Dewi Gandaria.
Nama itu sudah menghantui hidupku selama delapan belas tahun. Dua penggal kata yang mengingatkanku akan dongeng tak masuk akal di masa lalu. Dimana ibu dengan aura yang dibuat mistis sedemikian rupa—bercerita tentang seorang gadis cantik bak Dewi Kahyangan, yang berdiri di bawah pohon gandaria belakang rumah. Kemudian gadis rupawan itu berkata kepada ibu—bahwa anak yang dikandungnya kelak bukanlah anak biasa.
Sejujurnya, aku tak pernah bisa membayangkan rupa wanita yang hadir di mimpi ibu sebelum kelahiranku itu. Karena sepengetahuanku, perempuan-perempuan yang suka menunggu pohon—apalagi pohon gandaria tinggi dan tua di belakang rumah—kemungkinan besar adalah sosok yang serupa dengan mereka yang dijadikan tema di program televisi saat malam Jumat tiba. Kalaupun yang dilihat ibu di mimpinya itu bukanlah bagian dari mereka, paling tidak, aku berharap bahwa ia adalah sejenis mahluk astral yang sifatnya lebih mulia daripada manusia dan setan.
Setengah tahun lagi. Aku akan menuliskan nama itu di selembar kertas yang menjadi penentu hidup-mati seluruh siswa kelas tiga SMA. Tak ada yang lebih berat dari menyandang sebuah nama tak lazim yang dibawa kemana-mana. Di absensi kelas, di kartu tanda penduduk, di kartu pelajar, di kartu perpustakaan, di buku rekening bank, bahkan di tempat laundry—karena bukan hanya nama panjangku saja yang tidak mendunia. Tapi juga nama panggilanku, yang membuat siapa saja yang mendengarnya akan terkikik pelan, atau tertawa tertahan, atau minimalnya tertawa dalam hati. Baiklah cukup. Bagaimanapun itu adalah namaku. Pemberian kedua orangtuaku. Pemberian berharga yang tercetus hanya karena sebuah mimpi misterius.
Aku sih, sebenarnya tidak terlalu peduli dengan nama. Lha terus perkataanku ini sebenarnya apa ya?
Yah, aku mungkin hanya ingin menghibur diriku sendiri. Bagaimanapun juga, aku sudah terbiasa dipanggil hanya dengan tiga aksara,
“NDA!”
Wah pembukaan yang menarik. Jadi pingin lanjut baca >.< keep up the good work
Comment on chapter PROLOG