Embun pagi masih terasa segar di kulitku. Paru-paru terasa sangat basaha karena sudah berada di lapangan sepagi ini. Tidak ada alasan tertentu kenapa Aku sekarang berada disini, ini sudah terasa seperti rutinitas.
Seperti biasa, lapangan sudah diisi oleh suara pantulan bola tenis dan decitan sepatu yang bergantian. Aku duduk di kursiku, kursi taman biru yang cukup jelas untuk melihat kearah dua pemuda yang sedang mengayunkan raket mereka.
Aku mengeluarkan kamera polaroidku. Berpura-pura untuk mengambil gambar secara random, yang sebenarnya di maksudkan untuk menangkap gambarnya.
Tentu dia makin terlihat tampan di balik layar polaroidku ini. Wajahnya yang bersemangat selalu terpancar saat ia memegang raketnya. Bisa ku tebak bahwa raket itu adalah sebagian dari hidupnya.
TUKK…
Entah bagaimana bisa ia kehilangan konsentrasinya hari ini. Bola itu memantul di permukaan betisku yang tertutup kaus kaki.
Seseorang dengan seragam tenis abu datang ke arahku untuk mengambil benda bundar berwarna hijau itu. Aku terlebih dahulu mengambilnya dari tanah yang tak jauh dari kakiku.
“Ada yang luka? Saya minta maaf ya.” Dia menatapku dengan perasaan bersalah.
“Saya baik-baik aja kok.” Jawabku. “Ini.” Lanjutku sambil menyerahkan bola itu pada pemuda berkulit putih yang berdiri di depanku.
“Makasih.” Ia tersenyum dengan hangatnya dan berbalik pergi ke tengah lapangan.
Bisa ku lihat dari kejauhan, teman pemuda barusan juga memasang wajah cemas ke arahku. Aku yang merasa terlalu di perhatikan memutuskan pergi dari tempat itu, walaupun itu hanya firasatku saja.