Mengingat hanya segelintir benda yang berhasil diselamatkan dari insiden yang menghanguskan rumahnya, Aya membawa satu koper saja ketika pindah ke rumah Farel. Isinya hanya lah baju dan beberapa dokumen keluarga yang tidak menarik perhatiannya.
“Ini rumahnya, semoga lu nyaman di sini,” ucap Farel selagi membuka pintu rumahnya, tampak mahal dan kokoh ketika berdecit dengan anggun. “Maaf kalo sederhana.”
Mendengar perkataan Farel hanya membuat Aya mencibirnya dalam hati, definisi sederhananya dengan lelaki itu sungguh berbeda. Ketika dibuka, furnitur dan perlengkapan mahal menyambut matanya sejauh dia melihat.
Rasanya sungguh berbeda dengan rumahnya dulu, Aya menyadari betapa nelangsanya dia ketika melihat karpet dan bukannya botol bir berserakan ataupun keramik pecah.
“Gila, rumahnya lebih besar dari punya gue,” bisik Lily dengan kagum, membuat Aya bertanya-tanya apakah ini kali pertama gadis itu menyempatkan diri untuk datang ke rumah pacarnya.
“Lu belum pernah ke sini?” tanya Aya yang entah kenapa ditanggapi dengan kebisuan.
Namun sebelum gadis itu kembali berucap, perhatiannya jatuh kepada sosok Farel yang diiringi oleh seseorang dengan tampang ramah.
Sesaat Aya hampir memanggilnya tante sebelum wanita di usia 40 tahun itu berkata, “Saya Bi Maryam, udah kerja di sini sejak Farel bayi.”
“Saya Aya dan ini Lily.”
Setelah beramah-tamah, Bi Miryam memandu jalan menuju kamar Aya. Selagi berjalan gadis itu mengagumi arsitektur rumah yang tampak disusun dengan suatu pola dan aturan yang mengagumkan.
“Lihat, ada patung segala,” bisik Lily ketika mereka berpapasan dengan patung wanita yang tampak seperti sedang duduk syahdu. “Lukisan besar juga banyak.”
Memang benar bila dikatakan rumah itu dipenuhi oleh benda-bendar berkarisma yang penuh unsur seni.
Apa keluarga Farel seorang seniman?
“Gue ke luar bentar ya, kalian sama Bi Maryam aja,” ujar Farel ketika mereka sudah berhenti di depan pintu kayu putih dengan ukiran rumit.
“Bi, apa keluarga mereka seniman?” tanya Aya ketika sosok Farel sudah menjauh, dia tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan itu. “Makanya tempat ini penuh seni?”
Wanita itu berhenti berjalan, ditolehnya Aya dengan senyuman ramahnya.
“Ayah Mas Farel punya perusahaan furnitur terkenal,” jelas Bi Maryam selagi membuka pintu, tampaknya wanita itu senang mendengar pertanyaan Aya.
Lily terlihat jelas tertarik. “Desain interior?”
Mendengarnya Bi Maryam mengangguk, dibukanya pintu demi memperlihatkan hasil karya perusahaan Farel. Tampak kamar penuh furnitur mewah dimulai dari meja kayu berukir, lemari kaca, kasur dengan tingkat kualitas yang tak terbantahkan, dan balkon luas.
Tapi yang membuat Aya kagum, semuanya bernuansa biru.
“Saya suka warna biru, makasih Bi!” seru Aya dengan semangat yang membingungkan dirinya sendiri, entah kapan terakhir kalinya dia sesenang ini.
“Ini semua pilihan Mas Farel, sepertinya dia perhatian banget ya?”
Mendengarnya membuat Aya dan Lily terkejut, terutama gadis dengan status pacarnya itu.
Walaupun suasana memburuk berkat perkataan Bi Maryam yang bagai menusuk ke dada Lily, wanita itu tetap memandu jalan untuk memperlihatkan isi rumah. Mereka kemudian melihat kolam renang jernih di bagian belakang rumah yang dihiasi bunga di sekitarnya.
“Apa Ibu Farel suka bunga?” tanya Lily sebelum Aya sempat berucap.
“Udah selesai kan liat-liatnya?” Secara mengejutkan Farel kembali, memotong pertanyaan Lily selagi menatap penuh arti kepada Bi Miryam yang menanggapinya dengan anggukan.
“Baik, sekarang kita masuk lagi ke rumah,” ujar Bi Miryam setelah terlebih dahulu melangkah mendahului kedua sahabat yang terdiam di belakangnya.
Ada apa dengan Ibu Farel? Kenapa mereka mengalihkan topik tentang dirinya?
Saat itulah Aya tersadar. Bi Miryam menunjukkan isi rumah dengan lebih detail: meja makan, dapur, hingga tangga mahoni yang terlihat mewah.
Dan di setiap bagian rumah itu, tidak terdapat satu pun foto keluarga.
Meskipun sepenjuru rumah dipenuhi barang mahal dan bahkan patung serta lukisan, tapi tidak ada satu pun yang menunjukkan foto keluarga Farel.
“Kenapa ya, Ya?” bisik Lily bagai membaca pikiran Aya.
***
Setelah kepergian Lily, Aya menghabiskan banyak waktu dengan mengurung diri di kamarnya. Berada di ruangan bernuansa biru terkadang membuatnya senang dan sedih.
Biru mengingatkannya pada air. Dan air mengingatkannya pada kali.
“Nona Aya, apa saya boleh masuk?”
Dengan cepat Aya menghapus air mata yang sempat menggenang ketika sebelumnya dia teringat tentang kondisi Ayahnya dan rumahnya.
“Iya, Bi Maryam,” ujar Aya.
Wanita itu tersenyum hangat. “Makan malam bakal siap sejam lagi, saya cuma mau ngasih tau itu.”
Dengan cepat Aya mengangguk, dirinya sedang ingin sendiri. Setelah pintu ditutup, Aya kembali merenung memikirkan kehidupannya ke depannya.
Dia tidak mungkin akan selalu bergantung pada Farel dan Lily, Aya sendiri harus berjuang untuk kehidupannya.
Aya harus kerja.
“Maaf ya kalo makanannya sederhana,” ucap Farel ketika Aya akhirnya melangkah keluar dari kamar dan mendatangi meja mahoni.
Namun Aya sudah tidak percaya lagi dengan kesederhanaan yang diucap Farel, maka dia hanya mengangguk seadanya.
“Hei, gue mikir mau coba kerja part-time di cafe deket sini,” ujar Aya ketika makanan sudah dihidangkan oleh Bi Miryam. “Gue gak mau ngebebanin lo sama Lily lagi.”
Mendengarnya Farel menggeleng, membuat Aya mengerutkan dahi tidak mengerti.
“Gue sama Lily udah sepakat bakalan ngebantu lo, Ya. Lagi pula sekolah negeri juga gak ada biayanya, jadi buat apa kerja?”
Aya tanpa sadar mencengkeram kuat sendoknya, merasa tersinggung atas perkataan Farel. Apa dia berpikir Aya tidak bisa mengurus sendiri hidupnya?
“Gue mau kerja, itu final,” ujarnya dengan tegas, tidak memedulikan tatapan keberatan Farel. “Makasih udah nyiapin makanan.”
Berkat perkataan Aya, malam itu berjalan dengan canggung. Setelah makan malam Aya segera menuju kamarnya dan berusaha untuk tidur.
Ketika mentari terbit di ufuk timur, gadis itu sudah selesai mempersiapkan diri untuk sekolah. Dia tahu bahwa Farel pasti akan memaksa untuk mengantarnya ke sekolah dengan mobil, namun Aya memutuskan untuk berjalan kaki.
“Lo mau kerja? Gak boleh!” seru Lily ketika Aya selesai menyampaikan niatnya di sekolah. “Ada gue sama Farel, lo gak usah maksain diri!”
Sungguh tersinggung hati Aya mendengar perkataan Lily, dia tidak percaya bahkan sahabatnya sendiri meragukan kemampuannya.
“Denger, Ya.” Gadis itu menggenggam tangan Aya yang tidak digips, tampak sedih. “Masalah lo udah berat banget. Tangan patah, rumah kebakar, Ayah luka parah, gue gak mau lo stres mikirin hal lainnya.”
Melihat hal dari sudut pandang Lily membuat Aya tersadar. Dia bukan meremehkan Aya, tapi mengkhawatirkannya.
“Gak apa-apa Ly, makasih.”
***
Dengan hati yang masih diselimuti rasa gundah, Lily menurunkan Aya di cafe yang dituju sahabatnya itu.
“Selamat datang di cafe cinnamon!” seru seorang wanita selagi Aya memasuki tempat itu. “Ah, lo cewek yang suka ketiduran di sini.”
Aya mengangguk mendengarnya, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu ketika dirinya yang sudah tidak waras mengambil keputusan gegabah.
“Saya Aya, mau kerja di sini,” ujarnya, dia mengabaikan tatapan wanita tersebut pada tangannya yang digips. “Emang saya lagi digips, tapi ini bakal cepet sembuh kok!”
“Ada apa ini?” Tiba-tiba datang seorang lelaki paruh baya dengan tampang ramah, dia kemudian menatap tangan Aya. “Kenapa ya?”
Aya kemudian memberitahukannya maksud kedatangannya, berharap lelaki itu akan menyetujui permohonannya.
“Agak susah sih, tapi kalo Nak bantu-bantu dikit gak masalah,” ujarnya yang langsung membuat Aya gembira.
Wanita di sebelahnya hanya menghela napas mendengar keputusan lelaki itu.
“Nama gue Lidia manajer toko ini, dan dia pemilik cafe Pak Rio.” Wanita itu memperkenalkan diri dengan enggan memikirkan kemungkinan bekerja dengan orang yang digips.
“Kalo gitu, tolong buangin sampah ini dong,” ucap Bu Lidia selagi mengambil sekantung sampah berisi makanan sisa cafe. “Tong sampahnya dekat gang di luar.”
Walaupun diberikan tugas remeh, tapi Aya tetap senang. Ini pekerjaan pertamanya, dengan ini dia tidak akan terlalu bergantung lagi pada Lily dan Farel.
Dalam hati Aya berharap semoga dia bisa menabung agar dapat menyewa rumah untuknya dan Ayahnya ketika beliau sembuh nanti. Gambaran tersebut membuat langkahnya ringan karena senang.
Namun senyumannya menghilang ketika dia melihat seseorang di dalam gang.
“Sialan, udah abis!”
Sosok lelaki dengan tampang berandalan menatapnya, anting dan seragam kotor menghiasinya. Di tangannya tampak sebatang rokok yang memperlihatkan dengan jelas kenakalan remajanya.
“Apa lo liat-liat?” serunya dengan ekspresi marah, mirip seperti seseorang di cafe.
To be continue~
Makasih banyak ya yang udah baca sampe sini!
Jangan lupa ninggalin jejak guys
Awal bca lgsg tertarik
Comment on chapter Hidup yang Membosankan:D