“Cepat cari Pak Toni!” seru salah seorang warga selagi sibuk mengoper bak berisi air, tampaknya dia sendiri enggan mencari Ayah Aya. “Cepat!”
Keadaan sekitar rumahnya kacau, terdapat banyak orang berdatangan demi membantu memadamkan api yang dalam beberapa menit lagi akan menguasai sepenjuru rumah. Namun tidak ada satu pun yang ingin repot-repot menerjang api demi mencari Ayahnya.
Bohong kalau Aya bilang khawatir dengan kondisi Ayahnya, namun di sudut hatinya dia menginginkan pertolongan terhadap lelaki tua itu. Meskipun berubah menjadi orang yang menakutkan dan kerap menyakitinya, dahulu Aya sempat mencintainya sebesar dia menyayangi Ibunya.
“Tolong Ayah saya!” teriak Aya nelangsa, menatap kobaran api yang dengan cepat menguasai tiap sudut rumah. “Kumohon!”
Entah kenapa dengan berada di sana tanpa tenaga dan keberanian untuk melakukan sebuah tindakan, mengingatkan Aya kembali tentang masa lalunya.
Saat Ibu dan Ayahnya mengajarinya cara memasak ikan bakar dengan bumbu racikan khas yang menggiurkan, atau ketika mereka pergi tamasya ke kebun binatang dan mendapatkan pencerahan tentang hewan melata.
Mengingatnya sekarang hanya membuat air matanya basah. Dia sudah kehilangan Ibunya, tidak mungkin lagi Aya menginginkan kepergian satu-satunya keluarganya yang tersisa.
“Ayah!” teriaknya dengan gusar. Dia mengingat masa-masa ketika Ayahnya kembali dari perjalanan bisnisnya yang biasa, membawakan kue dan mencium keningnya lembut ketika Ibunya sibuk menghidangkan makan malam. “Ayah! Tolong dia!”
Semuanya sungguh berbeda, meskipun begitu Aya tetap tidak ingin kehilangan Ayahnya.
Dahulu dia tidak bisa mencegah kepergian Ibunya, tapi sekarang dia tidak ingin mundur tanpa perjuangan. Dengan tekad yang susah payah dikumpulkannya, Aya menggigit bibirnya selagi berusaha menerjang menuju rumahnya. Menuju kobaran api.
Melihat gadis itu hampir memasuki rumah, salah seorang warga dengan sigap menahannya. Aya memberontak, menangis sekuat-kuatnya selagi berusaha membebaskan diri dari cengkeramannya.
“Sudah terlambat, Ya!” ujarnya yang membuat Aya terdiam seketika. “Ayahmu sudah-“
“Gak!”
Aya tersungkur ke tanah, menangis terisak-isak. Tiba-tiba lelaki yang menahannya tadi menepuk pelan kepalanya, ketika mendongak Aya menyaksikan dia berlari kencang menuju kobaran api rumahnya. Pergi menyelamatkan Ayahnya.
Terkejut, Aya hanya mampu terdiam seribu bahasa.
“Sumber kebakarannya dari luar rumah!” ujar seseorang, mukanya merah padam ketika dia mengangkat tinggi sebuah tabung bensin yang kosong. “Ini bukan kecelakaan, emang ada yang sengaja ngebakar rumah!”
Sontak sepenjuru warga berbisik-bisik memikirkan sebuah teori. Hal paling wajar yang dapat dipikirkan adalah pelaku terlebih dahulu membasahi seantero rumah dengan bensin kemudian menyalakan api dari tempat tabung itu ditemukan.
Seseorang sengaja membakar rumah Aya.
“Ayesha!” Terkejut mendengar nama panjangnya disebut, Aya refleks menoleh. “Apa ada yang dendam sama keluarga kalian?”
Aya hanya dapat menggeleng, dia tidak punya ide sedikit pun tentang motif atau siapa pelakunya.
Namun ketika gadis itu memberanikan diri mendekati sumber kebakaran, silau suatu benda menarik perhatiannya. “Permata?” bisiknya tidak mengerti selagi mengulurkan tangan untuk meraihnya. “Apa ini punya pelakunya?”
“Pak Toni diselamatin!” teriak seseorang yang membuat Aya terkejut, dikantonginya permata itu dengan cepat. “Cepat bawa ke RS!”
Keributan pun mereda ketika sirene pemadam kebakaran terdengar dan Ayahnya dibawa ke rumah sakit terdekat.
***
“Ya, apa lo beneran gak apa-apa?” tanya seseorang yang sangat Aya kenali. Lily menatapnya dengan khawatir, peluh yang menetes dari dahinya adalah bukti kuterburunya demi menemani Aya.
Aya mengangguk lesu. “Malah harusnya gue yang tanya balik. Lo lagi dinner kan?”
“Ya Tuhan! Mana mungkin gue tetap dinner pas denger berita rumah lo kebakaran,” jelasnya dengan wajah yang tersinggung, mengira Aya menyangka dirinya tidak peduli dengan kemalangan sahabatnya.
Mendengarnya Aya tersenyum kecil, sedikit rasa lega menyelimutinya ketika dia berpikir masih ada yang peduli padanya.
“Makasih, Ly.”
Gadis itu menepuk pundaknya ringan, sedikit berhati-hati dengan lengannya yang digips. “Pasti lah!” ucapnya riang.
Ketika keheningan tiba, Aya pun bertanya, “Farel di mana? Kok gak ke sini bareng?”
Mendengarnya pertanyaannya membuat Lily menunduk, wajahnya terlihat kecewa yang menerbitkan kebingungan pada Aya.
“Tadi dia gak dateng,” jawabnya dengan wajah yang tidak terbaca. “Katanya telat, tapi sampe rumah lo kebakar dia gak ada kabar.”
“Mungkin dia ketiduran, Ly,” hibur Aya ketika kekecewaan dengan jelas membaluri wajah manis sahabatnya.
Tapi Lily tidak percaya dengan ucapan Aya, pikiran buruk menyelimuti otaknya tanpa dia sendiri pun sadari. “Gimana kalo dia tahu kalo gue bukan orang yang mau bunuh diri itu?” tanyanya. “Pasti dia bakal ngebuang gue.”
Tiba-tiba pintu ruang rawat Ayahnya terbuka dan keluar beberapa suster yang lantas menatap Aya prihatin. Dipanggilnya Aya untuk menengok keadaan lelaki itu dan detail tentang kondisinya.
“Nyawanya gak terancam, tapi luka bakarnya serius,” jelas suster itu selagi memperlihatkan Aya catatan keadaan Ayahnya. “Akan sulit ngehilangin lukanya, ini bakalan permanen.”
Mendengar penjelasan susternya membuat hati Aya meringis, namun walaupun sedih dia tetap bersyukur nyawa Ayahnya tertolong. Mungkin dengan begini, keadaan akan berubah seiring berjalannya waktu.
“Harusnya gue gak ngeluh waktu lo lagi susah,” ucap Lily ketika melihat kesedihan mendalam pada mata Aya, dipeluknya gadis itu dengan hangat. “Masih ada gue, Ya. Gue bakal ngebantu.”
Sudah lama sejak terakhir kali seseorang memeluknya. Merasakannya kembali membuat perasaan Aya menghangat dan membuatnya tenang.
“Sekarang kita harus ngomongin tempat tinggal lo, Ya,” ujar Lily dengan nada seakan-akan Aya tidak diperbolehkan untuk menetap sementara di rumahnya, yang membuat sahabatnya bingung. “Apa di hotel aja?”
Aya menggeleng tidak mengerti. “Kenapa gak di rumah lo aja? Gue gak bakal ganggu,” pintanya dengan ekspresi yang membuat dada Lily meringis. Tentu ada penyebabnya dia tidak memperbolehkan Aya menetap di rumahnya, tapi alasannya masih nanti.
“Ada masalah di rumah gue, Ya,” jelasnya dengan ragu, seperti mencari-cari alasan. Layaknya menyembunyikan sesuatu dari Aya.
Meskipun keinginan untuk tinggal sementara di rumah Lily besar, tapi toleransi Aya kepada sahabatnya lebih banyak. Dengan kecewa gadis itu mengangguk mengerti, membuat Lily semakin merasa bersalah.
“Kalo begitu, gimana kalo lo tinggal di rumah gue aja?” tanya seseorang yang langsung menarik perhatian kedua sahabat itu. “Mumpung rumah gue ada kamar kosong.”
Dengan mengejutkan Farel datang setelah tidak ada kabar sama sekali. Lily yang melihatnya kini memberengut kesal, lelaki itu sudah telat sekali.
“Gimana? Mau gak, Ya?”
To be continued~
Gak kerasa ya udah 5 chapter! Makasih nih yang udah mau baca sampe sini
Jangan lupa ninggalin jejak guys!
Awal bca lgsg tertarik
Comment on chapter Hidup yang Membosankan:D