Untuk mereka yang memutuskan berdiri di sisi yang berbeda. Melepas dan bertahan.
-Dua Sisi-
"Assalamu'alaikum, wahai fansnya Lisa Maharani yang maha cantik,"Lisa datang seperti biasa, membawa kericuhan di koridor fakultas ilmu keperawatan yang siang itu tampak lengang.
Namira dan Rose yang sedang belajar bersama kompak menoleh lantas membuang muka dan berujar didalam hati. Bukan temen gue. Berulang-ulang.
"Heh, kok engga ada yang bales salam gue?"
"Wa'alaikumsalam,"balas Rose dan Namira.
"Lo dicekokin apa sih sama si Bambang? Sama ricuhnya tau lo berdua,"ucap Rose.
"Cabe,"jawab Lisa sekenanya.
"Pantesan."
Lisa mendaratkan pantatnya disisi Rose. Mengintip sebentar apa yang tengah dilakukan sahabat-sahabatnya itu. Lantas kembali duduk tegak sambil menggeleng pusing. Sama sekali tak paham dengan materi yang tertulis dibuku.
"Busyet, pala gue langsung puyeng setelah liat materi itu,"tunjuk Lisa.
Rose memukul kepala Lisa dengan buku yang dipegangnya pelan tapi berhasil membuat Lisa memekik kesal.
"Yaiyalah lo puyeng, lo kan anak teknik. Materinya beda. Sama kayak gue liat materi lo, gue pasti pusing juga,"ucap Rose.
Lisa tiba-tiba tersenyum membuat Rose menatap heran. Dia pikir Lisa kerasukan penunggu lorong keperawatan yang konon katanya angker.
"Wah, seneng deh lo udah balik kayak Rose yang biasanya. Yang ceria, yang galak. Gini kek dari kemarin. Anyep tau liat lo galau mulu,"ucap Lisa.
Namira yang mendengar penuturan Lisa hanya bisa tersenyum simpul. Sungguh kepribadian yang bertolak belakang. Namira yang kalem dan Lisa yang rusuh, Namira yang pemaaf dan Lisa yang pemarah. Mereka sungguh berbeda. Dan Rose senang memiliki sahabat seperti mereka. Mereka saling melengkapi ditengah perbedaan.
"Oh iya, nih Rose. Kemarin lo pulang duluan jadi baru sempet gue kasih sekarang,"Namira memberi Rose plastik kecil berlogo sebuah ritel yang namanya ada dimana-mana kepada Rose.
"Apa nih?"
"Buka aja,"jawab Namira.
Rose melongok dan mendapati sekotak susu perasa pisang kesukaannya didalam sana. Ada dua buah. Salah satunya tertempel sticky notes.
To my crush.
I'm so sorry. Please, be healthy,
"Dari siapa?"
"Dari—"
"Selamat pagi, neng oce. Pagi gini udah minum susu belum biar bertenaga?"tiba-tiba Jayden datang merusuh.
Lisa berdecak, "gue sama Namira engga kelihatan apa gimana? Masa iya yang disapa Rose doang,"ucap gadis yang hari itu sengaja menguncir buntut kuda rambutnya.
Jayden tak peduli, dia tetap menatap Rose dangan mata berbinar. Lisa berdecak sebal.
Tunggu dulu! Minum susu?
"Ini dari lo?"tebak Rose sambil mengacungkan plastik pemberian Namira.
"Hah, apa?"bingung Jayden.
"Lo engga usah kasih kayak gini cuma buat minta maaf ke gue, semuanya udah berlalu. Jay. Gue engga mau ngungkit itu lagi."
Jayden masih memasang wajah tak mengerti, ketika Rose menyodorkan sticky note beserta sekotak susu. Otak Jayden langsung bereaksi. Mempergunakan kesempatan yang ada dengan baik
"Oh iya, itu dari gue."
Namira melotot. Jelas Jayden tengah berbohong.
"Lain kali jangan kayak gini,"ucap Rose.
Jayden mengangguk, "gue dimaafinkan?"
"Iya."
Jayden tersenyum lebar, dia reflek mengusap pucuk rambut Rose.
"Jay,"panggil Namira.
"Iya?"
"Ikut gue, penting,"tanpa menunggu jawaban dari Jayden. Namira berjalan menjauh. Dia tau Jayden pasti akan mengikutinya.
"Namira kenapa?"tanya Rose pada Lisa.
Lisa mengedikkan bahu sama tak mengertinya, "dia suka Jayden kali,"tebaknya asal.
***
"Lo tuh apa-apan sih?"
Jayden mengernyit tak paham,"apa sih maksud lo?"
"Kotak susu itu bukan dari lo tapi kenapa lo bilang iya?"
Jayden mengedikkan bahu,"mengambil kesempatan dalam kesempitan, mungkin,"jawabnya enteng.
"Itu dari Chandra 'kan? Kalo dia engga berani ngasih langsung ya salah sendiri kalau gue ngaku itu punya gue, salah dia jadi pengecut."
"Brengsek!"
Bukan. Itu bukan Namira yang berbicara kasar. Gadis lembut seperti Namira mana mungkin berkata buruk.
"Lisa?"
Lisa datang dengan wajah murka. Tak habis pikir dengan cara licik yang digunakan Jayden demi bisa dekat dengan sahabatnya. Jelas Lisa tak terima.
"Oh, jadi ini sifat asli lo? Busuk!"
"Lis—"
"Diem, Nam. Gue lagi buat perhitungan sama si brengsek ini."
"Rose mana?"tanya Namira.
"Ke kelas. Ada kelas katanya,"jawab Lisa tapi tatapan matanya tak lepas dari Jayden yang balas menatap dengan wajah angkuh. Seolah tak pernah melakukan kesalahan.
"Taik lo. Wajah aja ganteng tapi sikap lo kek banci."
Jayden balas menatap Lisa sengit, "udah ngomongnya?"
"Belum, kampret! Chandra sama Rose itu sahabat gue. Jadi tolong jangan jadi pho diantara mereka."
"Gue cuma mau ngambil punya gue yang direbut sama Chandra."
"Brengsek lo ya!"
"Udah, Lis. Udah. Ayo kita pergi aja,"ucap Namira tangannya memegang tangan Lisa. Mencegah gadis tomboy itu meledak.
"Awas lo ya, Jay! Urusan kita belom kelar."
"Hush, udah ah Lis, ayo pergi!"
***
Chandra membawa tas olahraganya berisi baju ganti, baru saja dia sampai di ruang tamu. Tungkainya terhenti ketika melihat sosok Johan berjalan masuk ke dalam rumah setelah hampir tiga hari tidak pulang.
"Muka kamu kenapa lebam begitu? Berantem lagi?"
Johan tak menjawab. Pemuda yang masih memakai seragam yang dibalut jaket bomber itu tetap melangkah hendak ke kamarnya.
"Han."
Johan melepas kasar tangan Chandra yang mencekalnya.
"Abang engga usah sok peduli."
"Tentu aja abang peduli,"balas Chandra.
"Kalau abang peduli, kenapa abang biarin ayah bunuh diri?"ucap Johan menatap abangnya sengit.
"Apa yang harus abang lakuin kalau orang yang abang harap bisa bersama terus menerus memilih menyerah?"
Johan berdecak, "itu karena abang mudah menyerah juga sama keadaan."
Chandra mengepalkan tangannya erat. Sesak itu datang lagi.
Johan lantas masuk ke dalam kamar, mengambil beberapa baju dan memasukkannya ke dalam ransel.
"Mau pergi kemana?"
"Kemana aja, asal jangan disini,"jawab Johan.
"Ah, tenang. Gue juga engga butuh uang abang,"lanjutnya.
"Han, jaga diri baik-baik. Dimanapun kamu. Kamu harus bisa jaga diri. Jangan rusak diri kamu sendiri. "
"Bacot."
Johan menarik resleting tasnya, setelah menyampirkan dibahu tegapnya lantas dia berjalan keluar tanpa memperdulikan sang kakak.
"Kalau abang pengen aku kayak dulu, buat Mama kayak dulu juga."
Setelahnya Johan benar-benar menghilang bersamaan tertutupnya pintu rumah.
Chandra meremas dadanya. Tas yang telah dia sampirkan merosot ke lantai. Airmatanya kini tak meluncur turun. Seakan telah jenuh terus keluar. Seluruh hidupnya benar-benar telah pergi. Semesta tak membiarkannya bernafas lega.
Mama, Johan dan juga Rose.
Kini Chandra sendirian. Tak ada orang lain disisinya. Hidupnya telah hancur. Kebahagiaan yang dia idam-idamkan hanyalah sesuatu yang fana. Yang tak mungkin Chandra tembus. Kenapa jadi sesakit ini?
Semesta tak pernah berpihak padanya.
***
Malam itu ditengah hiruk pikuk puluhan orang berjoget dilantai dansa ditemani lampu disko dan lantunan musik penyemarak. Disudut ruangan dekat meja barista. Ada sebuah perkelahian. Keduanya saling baku hantam. Walau jatuh tetap bangkit kemudian kembali adu jotos. Karena suara bising ditambah suasana remang-remang tak ada yang memperdulikan mereka.
Dilain sisi ada Jiyo yang baru saja masuk kedalam klub malam itu, pandangannya mengedar lantas menemukan seseorang yang tampak familiar.
"Chandra!"pekiknya setelah sadar siapa pemuda yang baru saja tumbang setelah melepaskan satu pukulan. Dia terjatuh karena sudah tak kuat lagi. Sekujur tubuhnya terasa sakit.
"Heh, Chandra. Apa yang lo lakuin disini?!"
Dalam kesadaran yang tak sepenuhnya menguasai. Chandra melihat bayangan seorang gadis berlari menghampirinya dengan wajah khawatir
"Roseanne."
Setelah itu, Chandra benar-benar kehilangan kesadaran.
Jiyo berdecak, "ngrepotin aja sih lo mantan."
***
"Ngg.."
Chandra merasa badannya remuk rendam, wajahnya juga terasa kaku. Matanya mengerjap mencari sisa tenaga.
"Akhirnya sadar juga."
"Jiyo?!"Chandra mengamati keadaan. Baru sadar jika dia sedang berada satu mobil bersama Jiyo.
"Hai mantan, mau jadi sok jagoan lo? Telernya udahan?"
"Gue engga mabok kok,"jawab Chandra sambil membuka pintu mobil. Jiyo mengikuti.
"Lah terus?"
"Hampir sih, pas gue mau minum ada orang cari ribut sama gue karena gue butuh pelampiasan ya gue ladenin,"jawab Chandra badannya setengah menyender pada badan mobil karena tubuhnya masih terasa lemas.
"Gila."
"Iya, gue emang udah gila,"balas Chandra sambil tersenyum getir.
Jiyo melotot, didekatinya Chandra.
"Lo tuh atlet, jangan rusak diri lo sendiri. Sini gue bantuin masuk,"tawar Jiyo.
Chandra menahan tangan Jiyo yang akan membantunya.
"Lagipula hidup gue emang udah rusak,"ucap Chandra sambil tertawa hambar. Menertawai dirinya sendiri.
"Engga ada yang ngebutuhin gue, engga ada yang mau berada disisi gue."
Jiyo menatap iba Chandra. Jiyo dengan sigap menangkap tubuh Chandra yang hendak merosot turun.
"Chandra."
Jiyo terkejut ketika Chandra tiba-tiba memeluknya.
"Biar gini aja, sebentar. Gue butuh sandaran sebentar aja. Maaf abis ini, kalo lo mau gebug gue sampe pingsan juga engga papa."
"Lo pingin cerita engga? Gue siap jadi penampungnya deh."
Chandra mengangguk, airmatanya turun tanpa isakan. Jadi dihapusnya airmata itu kasar.
"Chan."
"Apa?"
"Ada pacar lo,"jawab Jiyo sambil berusaha melepas pelukan tapi Chandra enggan melepasnya.
"Chan, lepas. Nanti Rose salah paham."
"Dia udah salah paham sejak awal."
Jiyo menatap miris Rose yang berjalan pergi dengan uraian airmata.
"Dia udah pergi, Chandra. Pergi dengan kekecewaan."
Chandra melepas pelukan, dia lantas berbalik dan menemukan punggung pujaan hatinya yang berjalan menjauh dengan bahu yang bergetar.
Pada akhirnya mereka saling menyakiti satu sama lain.
"Gila. Tolong jangan bawa-bawa gue. Gue bukan pho."
"Tapi adanya elo atau engga, hubungan gue sama Rose juga bakal berakhir. Miriskan?"
Jiyo menghela, "ya udah, gue obatin luka lo."
"Engga usah. Lo pulang aja. Makasih udah mau nganter gue. Gue ceritanya kapan-kapan aja,"sahut Chandra membuat Jiyo memicingkan mata.
"Gue engga habis pikir sama sikap keras kepala lo. Dasar batu,"sindir Jiyo.
"Udah pulang aja. Udah malem, gue masuk ya."
"Chandra! Kalo besok ada yang dateng jangan lo usir ya!"teriak Jiyo ketika Chandra sedang berusaha membuka kunci rumah. Chandra menoleh dengan wajah heran dia hendak bertanya tapi Jiyo sudah lebih dulu masuk kedalam mobil.
***
"Udah ya Rose, udah,"ucap Lisa.
Disamping gadis yang mengecat rambutnya berwarna coklat tua ada Namira yang setia mengelus pundak Rose yang masih sesenggukan. Rose mengetuk pintu kamar kos Lisa ketika jam menunjukan hampir tengah malam dengan wajah sembab. Karena panik dia jadi menghubungi Namira juga. Untung saja rumah Namira dekat dengan tempat kos.
"Apa salah gue memilih bertahan?"tanyanya pilu disela tangis.
"Kenapa semuanya jadi kayak gini? Kenapa Chandra jadi berubah? Apa gue ngelakuin kesalahan fatal atau Chandra udah bosen sama gue? Lis, Nam, kenapa Chandra jauhin gue? Kenapa?"
Namira memeluk Rose. Menepuk-nepuk pelan punggung Rose.
"Rose udah dong nangisnya,"ucap Lisa dengan nada bergetar. Sejatinya walau Lisa bersikap layaknya lelaki dia sebenarnya memiliki hati yang lebih sensitif dibanding Rose dan Namira.
"Nam, apa gue cerita aja ya?"ucap Lisa pelan hampir tak terdengar tapi Namira masih bisa menangkap maksudnya.
Namira menggeleng, "jangan,"tuturnya tanpa suara.
"Rose, kalau lo cinta sama Chandra, tunjukin ke dia kalo cinta lo tulus. Bertahan buat Chandra. Kalo lo yakin sama perasaan Chandra. Bertahan Rose. Bertahan,"ucap Namira.
"Tapi, Nam. Gue liat- gue liat-"
"Yang lo liat belum tentu itu sebuah kebenaran Rose. Lo engga boleh nyimpulin dari sudut pandang lo aja. Lo juga butuh kebenaran dari sisi Chandra,"potong Namira.
Lisa yang melihat sahabatnya yang terpuruk jadi ikut merasakan sedih. Airmata gadis itu ikut turun.
"Heh, Rose. Tanggung jawab lo ke gue. Gara-gara lo gue juga ikutan nangis, huwaaa."
Namira menghela nafas panjang.
Dasar perusak suasana.
Ting!
+6282xxxx
Rose, bisa nemuin gue besok jam 8 di kafe melati? Ada sesuatu yang perlu gue omongin sama lo. Penting.
Jiyo.