Lantas jarak telah membuat kita makin menjauh
-Dua sisi-
***
Chandra duduk dengan lesu. Bahunya melorot turun, sorot matanya tampak nanar menatap lantai.
Jino menepuk bahu Chandra bersimpati, "maaf Chan, gue udah coba nego sama abang gue. Tapi dia bilang kafe sepi akhir-akhir ini jadi dia berusaha nekan pengeluaran kafe. Lo bisa sih tetep nyanyi di kafe tapi jadi tenaga sukarelawan kayak gue. Yang cuman dibayar pake makanan."
"Engga papa, Jin. Lo engga usah minta maaf. Lo engga punya salah sama gue."
Jino menatap Chandra yang berusaha tersenyum walau terlihat sangat kaku. Berbeda sekali dengan senyum yang biasa pemuda itu tunjukan. Jino paham Chandra sedih dan karena itu Jino merasa tak enak hati.
"Tapi Chandra tetep a-"
Chandra menepuk bahu Jino, berusaha menunjukan jika dia baik-baik saja walau sorot matanya jauh menyiratkan kebalikannya.
"Belum rejeki gue. Mungkin rejeki gue di tempat lain. Santai aja."
"Okeh deh. Nanti gue cari info part time deh buat lo."
Chandra mengangguk, "iya makasih."
Jino mendorong jus jeruk yang es batunya telah mencair kepada Chandra. Dia yang meminta Chandra mendatanginya ke kantin fakultasnya yang cukup jauh dari gedung fakultas anak teknik. Sudah pasti butuh waktu dan tenaga untuk menemuinya
"Nih, diminum dulu."
Chandra menerima gelas berisi es jeruk itu, lantas meminumnya barang setegukkan karena sejatinya dia tidak punya gairah untuk melakukan apapun. Moodnya jatuh entah karena apa.
"Gue tebak, alasan lo lemes gini pasti karena Rose sama Jayden yang makin deket, lo cemburu. Tapi engga bisa ngapain-ngapain karena nyatanya lo juga deket sama mantan, benerkan tebakan gue?"
Chandra menghela, "kalah gue sama elo. Lo tau semuanya tentang gue lebih baik dari diri gue sendiri."
Jino tersenyum bangga, "jangan-jangan gue jodoh lo lagi?"candanya mencoba mencairkan bongkahan es dalam hati Chandra.
"Najis. Tolong gue masih cowok normal, taik!"
Jino terbahak,"sans bro. Bercanda gue elah. Oh iya."
Chandra diam. Menatap Jino dengan alis bertautan. Sedang yang ditatap tengah sibuk mengobrak-abrik isi dalam tasnya.
"Nih, gue mau ngasihin ini ke lo sebenernya dari kemarin tapi kelupaan terus."
Jino menaruh tas kertas di meja.
"Wih.. tumben lo ngasih gue hadiah? Dapet hidayah dari mana hah? Duh terharu gue."
Jino berdecak, "bukan dari gue bego."
"Eh? Lah berarti lo belum dapet hidayah dong? Engga jadi terharu gue, padahal tadi gue mau manggil lo jini oh jininya Chandra tapi engga jadi. Lo masih jadi jin item,"balas Chandra berpura-pura kecewa.
"Taik ledig. Gue lagi serius bego,"sewot Jino padahal tadi dia yang berniat mencairkan suasana hati Chandra.
"Iye. Iye,"Chandra membenarkan posisi duduknya. Sadar Jino sedang ingin mengobrol serius.
"Lo engga penasaran itu dari siapa?"tanya Jino.
"Penasaranlah."
"Itu dari Rose."
"Da—dari siapa?"kaget Chandra.
"Dari kekasih hati lo yang sekarang lagi berjarak,"jawab Jino.
Chandra mengumpat dalam hati. Tapi apa yang dikatakan Jino benar. Jadi dia tidak bisa mengelak. Dia dan Rose memang tengah dalam situasi yang tidak bisa dikatakan baik.
"Hadiah itu udah dikasihin lama sih. Eum, pas lo ijin ke gue engga bisa tampil. malam itu Rose dateng ke kafe, duduk diem kayak orang bego padahal dia tau gue yang manggung waktu itu. Dia tetep aja nunggu, mungkin berharap lo dateng tapi yang diharapin kayak telek. Terus dia ngasih itu ke gue katanya buat gue tapi mana suka gue sama real madrid. Jadi jelas banget hadiah itu buat elo."
Chandra menarik tas kertas itu, melongok isinya. Benar saja isinya merupakan jersey klub bola kesukaan Chandra.
To my beloved boyfriend. Si alis pitak :)
Thanks for the many love you given for me. My canvas is full of your blessing colors. I'm gratefull to have you.
Happy 5th anniversary. Yeay!!
I love you, my genius shark
From your mawar.
Chandra meremas note kecil itu. Lantas menundukkan kepala. Rasa bersalah lagi-lagi menyelimuti hatinya. Dia baru ingat, hari itu hari jadian mereka yang kelima.
"Gue udah ngecewain dia. Entah udah keberapa kali."
"Baru nyadar lo?"
Chandra mengangguk, "gue udah ngingkarin janji gue sendiri buat engga nyakitin hati Rose. Jahat banget sih gue."
Chandra mengacak rambutnya sendiri, frustasi.
"Lo engga mau ngelurusin sesuatu?"
"Mungkin ini yang terbaik,"jawabnya.
Jino berdecak kesal tak tau dengan jalan pikiran sempit Chandra. Apanya yang terbaik? Saling menyakiti sih iya.
"Kenapa lo berpikiran gitu sih, Parjo?!"
"Karena gue engga bisa bahagiain dia. Gue cuma bisa buat dia nangis. Dia pantes dapat yang lebih baik dari cowok brengsek kayak gue."
Jino mendengus, "sial. Pengen ngumpat aja gue. Terserah lo aja udah. Pokoknya kalau lo butuh teman berbagi kekecewaan dateng aja ke gue."
***
Rose mengecek ponselnya. Berharap Chandra memberi kabar sekadar sebuah pesan singkat. Sudah beberapa hari ini dia tak bertemu dengan sang kekasih. Chandra seolah menghindar. Tak ada lagi komunikasi diantara mereka. Chandra bak raib ditelan bumi. Saat Rose bertanya soal Chandra kepada teman-teman Chandra, baik itu Bambang, Jino, Januar bahkan teman sesama perenang. Jawaban mereka tetap sama. Mereka bungkam ketika dia bertanya masalah yang tengah dihadapi Chandra. Mereka bilang Chandra baik-baik saja. Lantas meminta Rose jangan khawatir. Tapi justru karena itu Rose jadi khawatir. Karena hanya Rose yang tak tau masalah Chandra.
"Ayolah, Chandra. Jangan buat aku jadi pacar yang buruk karena engga tau masalah pacarnya sendiri."
Tin
"Kak, ayo berangkat!"
Rose menatap kecewa ponselnya yang sunyi. Dengan langkah malas lantas anak sulung Wijaya itu masuk ke dalam mobil. Ayah sudah rapih dengan seragam dinasnya.
"Lho, abang. Ngapain di mobil?"
"Mau nebeng teh sampe depan doang. Males abang di rumah terus."
"Iya deh yang udah kelar SBM tinggal nunggu hasil aja,"timpal Rose lalu duduk di depan. Sebelah ayah. Malas duduk di sebelah Jasper. Anak itu suka nglendot. Persis koala. Heran.
Jasper cengengesan, "yakin sih abang bakal lolos. Yang penting optimis dulu ya, Yah?"
Ayah yang fokus menyetir, menganggukan kepala setuju.
"Tapi abang setelah jadi mahasiswa harus fokus lho bang biar masa depannya baik,"ucap ayah tapi sambil melirik Rose yang tengah menatap keluar mobil. Pura-pura tidak mendengar.
Jasper mengangguk lantas sibuk bermain game online di ponsel.
"Ayah liat si kere itu udah engga nganter-jemput kamu. Kalian udah putus?"
Rose menatap ayah datar. Mulai malas ketika ayah mulai membicarakan Chandra dan memanggil pemudanya dengan panggilan 'cowok kere'.
"Belum."
"Berarti segera 'kan? Syukur deh akhirnya dia sadar diri."
"Ayah, tolong jangan buat mood Rose buruk. Ayah, fokus nyetir aja. Rose mau tidur."
***
"Hai, neng oce."
Rose menoleh dan menemukan Jayden berjalan mendekat dengan senyum manis yang dulu mampu menggetarkan hatinya. Dulu. Sekarang? Tentu saja tidak.
"Mau pulang?"tanya Jayden.
"Engga. Mau beli perlengkapan anak BEM,"jawab Rose.
"Oh, mau gue anter?"tawarnya.
"Engga usah, makasih. Entar cewek lo marah,"tolak Rose.
Jayden tertawa, "emangnya siapa pacar gue?"
Rose memicingkan mata. Jayden sedang bermain-main dengannya atau bagaimana. Jelas kemarin Rose melihat seorang gadis menggelendot manja di lengan Jayden.
"Itu yang pas SMA ikut cheers,"jawab Rose. Sial, dia jadi ingat kenangan dulu. Ketika Jayden lebih memilih si cantik anak cheers daripada Rose yang dulu sangat dekat dengan Jayden dan terang-terangan menyukai pemuda itu.
"Udah putus kali."
"Oh ya? Kok kemaren gue liat kalian mesra banget?"tanya Rose tidak percaya.
Jayden jadi besar kepala. Dia pikir Rose cemburu, "cemburu bilang aja kali, neng."
Rose mendesis sebal, "dih. Engga. Maaf maaf aja ya."
Jayden tertawa, "gue jadi kangen masa SMA waktu lo ngejar-ngejar gue. Rasanya pengen ke masa itu lagi dan memperbaiki kesalahan."
Rose terdiam. Ditatapnya pemuda yang dulu sempat singgah dihatinya itu. Rose tidak salah dengarkan?
"Jay, yang udah terjadi tolong jangan lo ungkit lagi. Karena lo engga bisa memperbaiki yang terlanjur terjadi,"jelas Rose. Raut wajahnya berubah serius.
Jayden menggaruk belakang kepalanya merasa telah salah bicara, "okeh maaf. Gue tau semuanya engga bisa kembali kayak dulu. Tapi paling engga ijinin gue memperbaiki kesalahan gue sama lo."
"Jay, gue pergi."
Jayden dengan sigap memegang lengan Rose. Rose berdecak.
"Ya udah iya, engga akan bahas itu lagi. Jadi mau gue anterkan?"
Rose memutar netranya malas lantas mengangguk.
"Hah?"
Sialnya bukan mengajak pergi. Jayden justru terbengong. Rose yang kesal menarik tangan pemuda itu.
"Ayo ih, keburu kesorean."
Jayden yang tertarik oleh ulah Rose, menatap tangannya yang dipegang oleh Rose. Ada yang bergetar dalam dirinya. Sesuatu yang dulu disesali karena datang terlambat. Jayden menoleh ke belakang dan tak sengaja melihat Chandra yang membatu. Pemuda itu lantas memasang senyum miring, digenggamnya tangan Rose lalu mengacak rambut gadis itu.
"Iya ih, engga sabaran amat."
"Ih Jay! Resek ah. Rambut gue berantakan!"
Jayden kembali menatap Chandra. Senyumnya kembali muncul. Sebuah senyum kemenangan atau sinyal tanda perang dimulai. Mungkin.
Chandra meremas plastik berisi susu perasa pisang kesukaan Rose yang dipegangnya kuat. Niat hati ingin menemui Rose paling tidak untuk mengobati luka hati walau hanya sedikit tapi yang dia temui justru pemandangan yang menyesakkan.
"Mungkin bener, ini yang terbaik buat kita. Rose."
Chandra lantas tersenyum getir. Semuanya dunia telah runtuh. Dia sudah tak memiliki apapun untuk dia patut syukuri. Tak ada alasan dia untuk bahagia. Semuanya telah menjauh atau dirinya yang memilih menjauh sebelum dunia yang menjauhinya dan membuat dia makin terpuruk.
"Eh, Chandra. Lo mau ketemu Rose?"
Namira datang dari arah belakang Chandra.
"Tapi dia udah engga ada kelas, lo ma-"
"Nih buat lo!"
Namira heran ketika Chandra menyerahkan plastik berlogo sebuah market kepadanya.
"Kalo lo engga suka, tau tempat sampah dimana kan?"
Setelahnya Chandra berlalu pergi. Membiarkan Namira diam dalam kebingungan.
Semesta mungkin saja sedang tak berpihak pada kita. Semesta mungkin punya rencana lain.
Oh semesta, jika ini yang terbaik. Aku rela menjauh agar dia tak kembali terluka. Mungkin pergi menjauh adalah pilihan yang terbaik.