Adakalanya kapal yang mereka pikir akan berlayar tenang pun bisa terombang-ambing oleh ombak.
-Dua Sisi-
"Chan, maaf hari ini aku engga bisa nemenin kamu. Ada rapat BEM dadakan."
Chandra menghembuskan nafas kasar, ini bukan yang pertama Rose tidak bisa menemaninya mengunjungi sang mama. Adakalanya Rose punya kepentingan sendiri. Seharusnya itu tidak masalah. Tapi pengecualian untuk hari ini. Hatinya terasa gundah seperti ada sesuatu entah apa yang akan terjadi. Chandra berdoa dalam hati, semoga saja itu bukanlah hal buruk.
"Saya mau beli bunga yang ini, tolong bungkus yang rapih."
"Baik, tunggu sebentar."
Chandra mengangguk, pandangannya mengedar dan menemukan bunga mawar diantara bunga-bunga yang tak kalah indah.
Mawar tampak indah dipandang tapi ada duri yang sewaktu-waktu dapat melukai.
"Maaf, ini bunga anda."
"Ah iya."
Setelah membayar bunga pesanannya, Chandra buru-buru keluar dari toko bunga. Namun, baru saja dia akan mengendarai Rosemary-nya Chandra melihat seseorang yang tampak tak asing.
Chandra merogoh sakunya mengambil handphone lantas menghubungi seseorang.
"Halo,"suara Rose mengalun merdu menyapa indera pendengarnya.
"Selamat sore, mawarku."
"Iya kenapa, Chan?"
"Engga papa. Aku mau jemput kamu. Kamu masih rapat?"
Chandra mengernyit bingung, Rose tak kunjung menjawab.
"Iya, kayaknya masih lama deh. Kamu engga usah jemput aku."
"Kok gitu?"
"Eh, Chan. Udah dulu ya. Ini rapat penting engga enak sama yang lain kalo aku telponan gini."
"Tap-"
Belum sempat Chandra menyaut, sambungan telepon sudah diputus.
Raut wajah Chandra berubah, seketika dia merasa kecewa sekaligus marah. Ditumpanginya Rosemary lantas berhenti di lampu lalu lintas yang menunjukan warna merah mensejajarkan motornya dengan mobil yang beberapa detik dia pergoki membawa seseorang. Seseorang yang amat dia kenal. Roseanne. Sang kekasih.
Rose tengah duduk di kursi penumpang dekat kursi pengemudi, iya. Rose berbohong pada Chandra. Chandra tak sengaja memergoki. Jelas Chandra merasa kecewa. Tapi satu hal yang membuat raut wajahnya menggelap. Rose pergi bersama Jayden. Mantan gebetan sang kekasih. Mereka tampak bersenda gurau di dalam mobil tak menyadari jika Chandra sedari tadi memperhatikan.
Dan duri dari mawar itu, telah melukainya.
***
"Selamat sore, suster,"Chandra menyapa ramah suster yang menjaga kamar rawat sang mama. Selain mama ada satu pasien lagi yang sekamar dengan mama.
"Sore, jagoan."
Chandra tersenyum malu, dia sudah sebesar itu tapi masih dipanggil jagoan oleh suster Sarah.
"Bagaimana kondisi Mama saya, suster Sarah?"
Suster Sarah menghela nafas, "maaf, Chan. Kondisi Mama kamu masih sama belum ada perubahan."
"Oh,"Chandra menunduk sambil tersenyum miris. Sudah hampir tiga tahun mama dirawat. Itu sebabnya suster dan dokter disini amat mengenal Chandra. Selain Chandra itu atlet muda yang tengah digandrungi kaula muda karena bakat dan ketampanannya.
"Ini, Sus. Dimakan ya. Cabenya lima lho. Pedes pasti,"Chandra memberikan kantong plastik berisi ketoprak kesukaan suster Sarah.
"Ya ampun, Chan. Kamu engga usah repot-repot begini."
"Engga papa, sus. Sesekali aja kok. Saya masuk dulu ya?"
"Oh, ya, Chan,"panggil Suster Sarah.
"Iya?"
"Habis ketemu Mama, kamu bisa nemuin saya 'kan?"
Chandra mengangguk, "iya."
Chandra meragu untuk beberapa alasan, tangannya masih mengambang untuk memegang gagang pintu. Chandra membasahi bibirnya yang terasa kering lalu setelah mengumpulkan segenap tenaga serta jiwa dan raganya. Dibukanya pintu kamar mama.
Chandra menatap sosok rapuh yang tengah duduk di atas ranjang pasien dengan mata sendu. Sekali lagi hatinya terasa sesak. Hingga dia merasa ada yang mendesak dipelupuk matanya. Matanya memanas namun sekuat tenaga untuk tak jatuh.
Dia berjalan mendekati ranjang mama, dia tersenyum walau terasa ada yang perih. Diambilnya bunga didalam vas yang telah layu kemudian menggantinya dengan yang baru.
"Ma, Chandra datang nemuin Mama. Mama apa kabar?"tanya Chandra dengan nada tercekat. Terasa amat sulit untuk sekedar berbicara menanyakan kabar. Karena dia tau mama tidak akan meresponnya.
"Mama, cepet sembuh Ma. Chandra kangen."
Chandra mengalihkan pandangan sambil menghapus ujung matanya yang berair.
Mama tetap sama. Tak bergeming. Duduk diam dengan pandangan kosong.
Chandra dengan susah payah menelan ludah, "Mama jangan khawatirin apa-apa ya? Chandra sehat Ma, tapi Chandra engga baik-baik aja. Chandra terluka Ma. Chandra butuh Mama. Butuh pelukan Mama,"pada akhirnya pertahanan pemuda itu runtuh. Dinding yang telah coba dia bangun roboh dengan sekali hentakan.
"Rasanya sesak sekali Ma. "
Tangis Chandra mengencang ketika mama tetap tak merespon. Menatap dinding rumahsakit dengan pandangan yang teramat kosong.
Miris memang. Iya, hidup Chandra memang menyedihkan. Adik yang membencinya dan mama yang harus dirawat dirumah sakit jiwa. Semua kenyataan itu terasa amat menyakitkan bagi Chandra.
"Ma, tolong jangan buat aku khawatir. Mama harus cepet sembuh."
Chandra kembali buka suara ketika tangisnya telah mereda. Rasanya sedikit lega setelah menumpahkan apa yang tengah mengganjal di hati.
Dikecupnya dahi sang mama penuh kasih kemudian beralih hendak menggenggam tangan mama tapi dia baru sadar jika mama tengah memegang bunga. Dahi pemuda itu mengernyit.
"Ada yang datang selain Chandra ya Ma?"setelah mengatakan itu Chandra tersenyum miris. Tentu saja mama tidak akan menjawab.
"Ya udah, aku pamit dulu. Nanti Chandra datang lagi. Mama jaga diri Mama baik-baik."
***
Chandra mengetuk pintu setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan, dibukanya pintu itu.
"Suster Sarah."
"Ayo masuk, duduk sini depan saya, jagoan."
Chandra meringis kemudian setelah menutup pintu, dia duduk di depan suster Sarah. Kebetulan ruang itu merupakan ruang istirahat para suster jaga. Ada kursi yang berderet saling berhadapan dengan meja panjang ditengahnya, kursi itu mengelilingi meja sedang Chandra duduk disalah satunya, berhadapan langsung dengan suster Sarah. Suster Sarah tak memiliki ruangan khusus.
"Maaf untuk membahas ini, Chan."
"Engga papa kok, Sus."
"Sudah tiga tahun Mama kamu disini, bukan bermaksud mengusir. Tapi selama dirawat Mama kamu tidak menunjukkan perkembangan yang baik."
Chandra menundukkan kepala. Tapi dia memilih diam membiarkan Suster Sarah berbicara hingga selesai.
Digenggamnya tangan Chandra, "biaya selama Mama kamu dirawat itu mahal, Chan. Saya tau kamu masih punya tanggungan uang sekolah adik kamu. Saya juga engga bisa membantu banyak. Rumahsakit juga engga bisa terus menerus memberi kamu kelonggaran. Kedepannya biaya perawatan Mama kamu pasti akan terus melonjak naik."
Chandra menatap dengan pandangan kosong, dia paham telah banyak menunggak biaya sang mama. Dia bersyukur rumahsakit mau mengerti keadaannya.
"Saya pasti akan membayar semua pengobatan Mama kok, Sus. Jadi tolong rawat Mama saya sampai sembuh."
Suster Sarah menatap Chandra prihatin. Dia tau kesulitan yang tengah dihadapi pemuda itu. Beban yang dipikul pria muda itu terlalu besar. Beban yang sebenarnya tidak harus dia tanggung diusianya yang masih semuda itu.
"Pihak rumahsakit pasti akan menagih kamu dalam waktu dekat ini, maaf karena saya tidak banyak membantu."
"Engga papa, Sus. Selama ini Suster sudah banyak membantu saya. Terima kasih banyak."
Suster Sarah berjalan mendekati Chandra kemudian memeluk pemuda rapuh itu. Suster menepuk-nepuk punggung Chandra yang telah dia anggap seperti putranya sendiri.
***
Chandra menatap buku tabungannya kemudian menghembuskan nafas berat. Pandangannya menengadah keatas. Melihat langit senja yang tampak menyejukkan tapi tidak benar-benar bisa menenangkan hatinya.
Dia ingat, kemarin baru saja membayar tunggakan sekolah sang adik. Tabungannya telah terkuras untuk itu, sedang dia sudah dapat tagihan lain. Suster Sarah benar. Pihak rumahsakit memberikan tagihan biaya perawatan sang mama. Lantas bagaimana dia harus membayarnya sedang saldo tabungannya saja tidak sampai tujuh digit.
"Engga papa. Kamu pegang aja kartu nama itu. Barang kali kamu berubah pikiran. Hubungin aja nomer yang tertera di kartu itu. Saya pergi dulu. "
Chandra baru ingat. Kemudian dia membuka dompet. Ternyata kartu nama itu masih disimpannya padahal dia tidak pernah menyimpan sesuatu yang baginya tidak penting.
Chandra mengerjap, antara ragu untuk benar-benar menghubungi nomor itu atau tidak. Namun, karena terdesak dan tidak ada cara lain. Chandra pun mengetikkan beberapa digit angka di handphonenya.
Tut.. tut.. tut..
Tersambung.
"Halo."