Dua minggu telah berlalu, dan pelaksanaan ujian pun telah selesai di lakukan. Seluruh murid SMK Kesehatan 1 tinggal menunggu hasi ulangan, dan melakukan remedial jika nilainya di bawah rata rata. Sesuai pemberitahuan sebelumnya, bahwa hari Selasa ini setiap jurusan akan melakukan remedial khusus produktif bagi mereka yang nilainya di bawah rata rata. Dhilla dan Windi mendapat nilai yang memuaskan di atas rata rata.
Sehingga bagi mereka yang bebas remedial, di perbolehkan untuk pulang. Namun Dhilla dan Windi memilih untuk pergi ke kantin. Dhilla tiba tiba menepuk dahinya cukup keras, membuat Windi berhenti berjalan dan menatap Dhilla aneh.
“Kenapa Co?”
“Aku baru ingat kalo kamus bahasa Indonesia Rio tertinggal di perpustakaan.”
“Coco ini udah dua minggu dan kamu baru ingat?” Windi tidak habis fikir, buku oranglain ketinggalan di perpustakaan dan Dhilla baru mengingatnya.
“Gimana dong?” Tanya Dhilla dengan ekspresi tak bersalahnya.
“Ayo cari di perpustakaan” ucap Windi menahan kekesalannya. Mereka akhirnya ke perpustakaan dan mengabaikan cacing di perut yang berdemo meminta makanan. Dhilla memegang perutnya, ia lapar sehingga menarik tas Windi agar berhenti.
“Kenapa Co?” Dhilla menarik tas Windi membuat gadis itu berhenti.
“Bagaimana kalau kita beli makanan dulu? Cacing di perut aku gak bisa diem”
“Cacing di perut aku juga lagi pada konser, tapi itu buku orang Coco, bagaimana kalau buku itu hilang?” Dhilla diam, ia langsung berlari menuju perpustakaan mengabaikan Windi yang meneriakinya.
##
Perpustakaan cukup ramai oleh mereka yang terbebas dari remedial. Dhilla mencari di meja dan rak khusus kamus. Karena bisa saja penjaga perpustakaan menyimpannya disana. Namun, Dhilla tidak menemukannya, ia kesal dengan dirinya sendiri. ‘kamus itu basah, dan beberapa kertasnya sobek karena kecerobohanku. Dan sekarang? Kamusnya hilang’ batin Dhilla, gadis itu menggigiti bibir bagian dalamnya, tingkah Dhilla menarik perhatian teman temannya. Mereka bertanya pada gadis itu, namun Dhilla diam tak menjawabnya. Windi melihat Dhilla yang menjadi perhatian banyak orang, sehingga Windi menarik Dhilla keluar dari perpustakaan.
“Bukunya gak ada ya?” tebakan Wini benar adanya, dan Dhilla hanya diam.
“Kenapa kamu gak tanya sama Rio? Mungkin udah dia bawa, soalnya dia ada di perpustakaan hari itu”
“Kalo belum dia bawa?”
“Ya sabar aja” ucap Windi dengan senyum lebarnya, membuat Dhilla kesal. “Jadiin pelajaran ya Coco” lanjutnya dengan kekehan.
“Jelas aku jadikan pelajaran, tapi bukunya? Buku Rio hilang, aku bingung bilang sama Rio”
“Lagipula kamus bahasa Indonesia bisa beli lagi kan?”
“Wuwu, Rio bilang itu buku dari ayahnya dan ayahnya dari kakeknya. Dan bukan masalah bukunya juga, tapi masalahnya aku gak amanah kalau begini” Windi tau Dhilla akan mengucapkan hal semacam itu.
“Mau di bantuin gak? Kita kan sahabat” Tanya Windi membuat Dhilla tersenyum lebar dan mengangguk antusias. Windi tersenyum dan berdiri, Dhilla hanya memperhatikan gerakan Windi.
“Rioo..” Dhilla terkejut dan mengikuti arah pandang Windi. Disana ada Rio dengan kedua sahabatnya yang kini menatap mereka berdua. Windi selalu seperti ini, Dhilla malu dan bingung harus bagaimana memberitahu Rio mengenai kamusnya yang hilang. Baiklah, kini mereka bertiga melangkah ke arah Dhilla dan Windi. Membuat Dhilla berdiri di belakang Windi.
“Apa?”
“Ayo Coco” ucap Windi sambil menyuruh Dhilla agar tidak berdiri di belakang Windi.
“Rio, aku udah bawa buku kamu, dan aku bawa ke perpustakaan, dan bukunya basah soalnya kehujanan, dan…. i..itu.. bukunya hilang Yo” Dhilla menarik seragam Windi yang berada di sampingnya.
“Buku apa?” Tanya Rio
“Kamus kamu”
“Kamus apa?”
“Kamus yang aku pinjam sejak awal semester dua kemarin, dan aku lupa balikin mulu”
“Bukan itu yang aku tanyakan, maksud aku kamus apa?”
“Kamus bahasa Indonesia”
“Jadi kamu yang pinjam kamus aku? Aku kira kamusnya hilang” wajah Rio kembali ramah.
“Tapi bukunya hilang Yoyo” ucap Windi mempercepat semuanya,
“Hilang? Enggak Dhill ada di rumah bukunya, waktu kalian keluar dari perpustakaan ada di meja perpustakaan bukunya”
“Beneran?” Tanya Dhilla meyakinkan apa yang baru saja ia dengar, dan Rio mengangguk.
“Alhamdulillah” ucap Dhilla dan Windi bersamaan.
“Maaf ya Yo”
“Iya” Rio menatap Dhilla yang nampak gugup, lalu lanjut bicara “Udah kan? Aku mau pulang” Dhilla mengangguk, dan mereka pergi kecuali Fahri.
“Kenapa Ri?” Tanya Windi pada Fahri, namun pria itu hanya menggeleng dan sejenak menatap Dhilla kemudian melihat lantai dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Duluan ya La, take care” usai mengucapkan itu, Fahri pergi menyusul sahabatnya.
“Fahri kenapa?” Tanya Dhilla pada Windi, dan gadis itu hanya menggeleng.
Mereka akhirnya pulang, Windi yang tidak membawa kendaraan memilih untuk jalan bersama Dhilla. Windi sudah meminta kakaknya untuk menjemputnya nanti sore, karena gadis ini akan ke kostsan Dhilla.
“Masuk grup chat Farmasi angkatan kita gak?” Tanya Windi
“Enggak, dan aku gak tau kalo ada grup chatt. Kamu masuk?”
“Iya Co, di masukin sama temen di kelas. Topik yang mereka bahas itu kadang bikin aku mau keluar dari grup, tapi di grup itu banyak hal penting dari guru produktif farmasi tentang kesehatan dan pelajaran”
“Masukin aku juga Wuwu” pinta Dhilla.
“Jangan Co, soalnya mereka ngomongin…” Ucapan Windi terhenti karena Dhilla mencubit pipinya, sehingga gadis itu mengaduh kesakitan.
“Padahal aku cubit kamu pelan Wu”
“Pelan? Ini keras Coco!” kesal Windi. “Lagian kenapa tiba tiba nyubit?” lanjutnya.
“Ingat? Jangan ghibah, sama saja memakan daging busuk saudaranya sendiri”
“Oh iya, aku lupa.” Windi diam namun ia kembali bicara “Tapi ini bukan membicarakan Coco, ini fakta, dan aku hanya ingin kamu tau keadaan di grup itu”
“Tetap kan kamu membicarakan mereka? Walaupun fakta sekalipun, dan lagi lebih baik husnudzon aja, mungkin apa yang mereka ucapkan gak seperti apa yang kamu fikirkan”
“Tapi…”
“No!!! Stop Ghibah, Wuwu” Windi hanya mengangguk pasrah, dalam hati ia mengucapkan istighfar beberapa kali karena hatinya tidak tahan untuk tidak membicarakannya pada Dhilla.
“Wuwu” panggil Dhilla
“Apa?”
“Hari minggu nanti, ada kajian di Mesjid Abn. Datang yu?”
“InsyaAllah Coco” ucap Windi dengan senyum.
“Oh iya Wuwu, aku akan menggunakan masker mulai sekarang. Namun ada kemungkinan aku buka ketika di kelas” ucap Dhilla yang memang sedang menggunakan masker begitupun Windi.
“Begitulah tahapnya, ingat?” Dhilla tertawa kecil mendengar Windi yang menuruti nada bicaranya.
‘Bagaimana mungkin aku meninggalkan Coco yang membuatku selalu mengingat Engkau Ya Allah. Dhilla yang senantiasa meningatkanku, dan aku yakin Dhilla adalah sahabat yang Kau berikan untuk menemani langkahku. Bahkan rasa syukur yang ku ucapkan tiap harinya tidaklah sebanding dengan apa yang engkau berikan’ ucap Windi dalam hati.
‘Bantu aku dan Wuwu untuk memperbaiki diri Ya Allah, dan jangan biarkan sikap kekanak kanakkanku membuat Wuwu menjauh dariku. Aku yakin Wuwu adalah sahabat yang Kau berikan untuk membuatku selalu taat padamu. Aku lebih memilih di jauhi teman temanku dibandingkan oleh Wuwu yang senantiasa membuatku dekat dengan-Mu’ ucap Dhilla dalam hati.
Mereka berdua telah menemukan arti dari definisi sahabat yang sebenarnya, dan ketika mereka menemukannya, mereka takkan dengan mudah menghancurkan semuanya.