Loading...
Logo TinLit
Read Story - Secret Garden
MENU
About Us  

Sebuah pagi yang membosankan bagi Bima. Pagi itu, dia sengaja berangkat sangat pagi karena cukup jengah dengan ucapan Mama. Sarapan bersama kedua orang tuanya bukanlah sesuatu yang menyenangkan jika apa yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang tak Bima mengerti, atau tak ingin dia mengerti lebih tepatnya. Setiap paginya, Papa hanya membaca korannya sembari menghirup kopi pagi sementara Mama selalu menanyakan kegiatan sekolah, yang selalu Bima jawab dengan, “Biasa aja”.

Tapi, hari itu Mama mengatakan sesuatu tentang bertemu dengan orang tua Rachel, yang membuat Bima lebih malas lagi.

Lebih bosanlah ia ketika dia memeriksa laci meja belajarnya. Lagi, hari itu dia menemukan surat cinta tanpa nama dan sekotak bekal makan siang. Bima mendengus. Dia sadar dirinya tampan dengan wajah baby face, mata berbentuk kacang almond, hidung mancung seperti Gunung Everest, serta wajah sedikit tirus dengan dagu berbentuk V. Belum lagi tingginya yang proporsional serta otot-otot yang bermunculan di lengannya karena sering main basket.

Tapi, seriously? Mengirim surat cinta tanpa nama? Memangnya mereka hidup di zaman Dilan dan Milea?

Tanpa banyak bicara, Bima meletakkan surat itu, yang ditulis di kertas warna pink dan tak dimasukan ke dalam amplop, ke dalam tas. Sementara untuk bekal makan siang ini... yah serigala-serigala kelaparan bernama Teguh dan Dhana akan memakannya.

Dan benar saja, ketika kelas mulai ramai, dua orang itu datang dan menyapa Bima dengan semangat berlebih. Dhana bahkan sudah sengaja mengosongkan perutnya karena tahu dia akan menerima asupan gizi berupa bekal makan siang dari Bima. “Yo, bro! Dapet apa lagi, nih?” tanya Dhana sembari membuka kotak makan itu. Dia duduk di samping kiri Bima sementara Teguh duduk di depan mereka. Mereka duduk di pojok kiri belakang kelas.

Bima, yang menyandarkan kepalanya di meja, menggumam, “Enggak tahu. Buka aja,” jawab Bima.

Dengan semangat ‘45, Dhana dan Teguh membuka kotak makan itu. Isinya adalah masakan rumahan berupa nasi, telor ceplok, dan sayur krecek. Tanpa banyak bicara, Dhana dan Teguh langsung menyikat habis isi kotak bekal itu.

“Gila kamu, Bim. Pake pelet apa kamu sampe-sampe ada cewek yang rela masak buat kamu?” tanya Dhana setelah beberapa suap.

“Bener tuh, Bim. Bikin iri aja,” sahut Teguh.

Bima berdecak malas. “Apaan sih, kalian? Sok tahu banget. Siapa tahu itu nyokapnya yang masak,” ujar Bima.

“Tapi tetep aja, Bim. Usaha cewek yang kayak gini harus dihargain. Kalo suka, tembak langsung. Kalo enggak suka, bilang ke cewek itu kalo kamu enggak suka. Jangan digantungin,” celetuk Dhana.

Bima menghela nafas. Yah, ucapan Dhana ada benarnya. “Gimana mau nembak atau nolak kalo yang ngirim aja aku enggak tahu siapa,” ujar Bima.

Teguh dan Dhana saling tatap. Meski Bima tak mengucapkannya, mereka tahu sahabat mereka itu tengah gundah karena rencana mamanya untuk menjodohkan ia dengan anak sahabatnya. Teguh pun bertanya dengan pelan, “Bim, mau ke UKS? Aku bisa izinin ke guru piket.”

Sepertinya usul Teguh boleh juga. Bima mengangkat kepalanya, bersiap untuk meninggalkan kelas yang suntuk. Tiba-tiba perhatian Bima teralih oleh kehadiran seseorang. Dia adalah sosok perempuan bertubuh mungil dengan rambut poni dan mata bulat besar serta pipi chubby. Namanya Asrani Pratista, biasa dipanggil Rani. Dan kehadiran Rani mampu mendatangkan senyum di pagi hari Bima yang terasa membosankan.

Bima dan Teguh berjalan keluar kelas dengan Bima yang berjalan di depan. Ketika Bima dan Rani berpapasan, dengan sengaja Bima menjulurkan kakinya hingga Rani hampir terjatuh. Perhatian seisi kelas pun teralih ke mereka. Sudah jadi rahasia umum kelas 11 IPS 1 kalau Bima dan Rani adalah musuh.

Rani menatap Bima marah. “Masih pagi kamu udah nyari mati, ya?!” seru Rani.

“Nyari mati? Enggak tuh. Kebetulan aja enggak liat kamu jalan, pendek banget sih jadi orang. Sori, ya,” ujar Bima enteng. Teguh dan Dhana hanya bisa menahan tawa mereka. Yah, mereka akui mereka terhibur akan pertengkaran ini, tapi mereka juga kasihan pada Rani.

“Caper banget kamu, Bim!” ujar Seto, salah satu teman yang duduk paling depan.

“Mungkin. Cantik sih dia, tapi sok jual mahal gitu ke aku. Kan jadinya bikin penasaran,” kata Bima. Dia menatap lamat-lamat sosok mungil Rani, yang hanya setinggi bahunya. Rani buru-buru membuang muka. Ditatap seperti itu oleh cowok sekeren Bima tetap membuatnya salah tingkah, meski dia juga tak menyukai orang itu.

Bima tersenyum tipis. Tanpa melepas tatap matanya dari Rani, Bima berujar, “Tapi, ada satu hal yang kurang dari dia,” ujar Bima.

“Apanya yang kurang, Bim?” tanya Teguh.

Bima melirik ke arah dada Rani. Dengan tatap dan senyum meremehkan, Bima berkata, “Itunya kurang gede. Enggak asyik!” ejek Bima.

Seisi kelas bungkam, candaaan Bima sudah keterlaluan. Bahkan Dhana sampai menghampiri Bima dan menegurnya, begitupun Teguh yang tak tinggal diam. Dia langsung berdiri menghalangi Bima dan Rani. Perempuan mungil itu sudah siap membunuh Bima dengan tatapan matanya.

“Ran, sori ya. Bima emang...”

“Emang kurang ajar? Ya, aku tahu! Tapi aku enggak nyangka dia bakalan sebrengsek ini. Ganteng, tapi enggak ada otaknya,” ucap Rani tajam. Lalu dia bergegas ke tempat duduknya yang berada di barisan tengah.

Perlahan suasana kelas mulai mencair. Teguh dan Dhana menatap Bima, seolah ingin mengatakan “Kamu, sih!”. Bima sendiri masih belum melepaskan tatapannya dari Rani. Tak semua orang melihatnya, bahkan mungkin hanya Bima yang melihat. Ada kaca-kaca bening rentan pecah membingkai kedua bola mata indah Rani ketika Bima menusuknya dengan ucapan tajam itu. Bima sendiri menyesali ucapannya, tapi dia tak tahu harus bagaimana.

‘Itumu yang kecil, Ran. Hatimu. Sampai-sampai aku tak tahu di mana celah agar aku bisa masuk.’

Di antara semua orang, hanya Teguh dan Dhana yang mengerti isi hati Bima walaupun Bima sendiri belum bercerita pada mereka. Bima bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik, kecuali terhadap Teguh dan Dhana. Bersahabat sejak SMP membuat mereka sudah saling memahami satu sama lain.

Dhana menepuk pundak kiri Bima. “Bim, jadi ke UKS?” tanya Dhana pelan.

Masih menatap Rani, yang kini tengah menundukkan kepalanya, Bima menjawab, “Enggak. Aku udah enggak suntuk lagi.” Lalu dia kembali ke tempat duduknya diikuti Dhana. Teguh menatap sesaat punggung Bima yang menjauh sebelum menyusul mereka berdua.

*****

Jogjakarta, sebuah kota yang mendapat banyak julukan. Kota Gudeg, Kota Pelajar, Kota Wisata, dsb. Di antara julukan-julukan itu, yang paling melekat di benak masyarakat Indonesia adalah Kota Pelajar. Tak heran, mengingat di sini berdiri tiga universitas negeri, salah satunya sangat legendaris dan salah satu dari yang terbaik di Indonesia. Selain itu, ada banyak juga universitas kecil maupun besar juga sekolah negeri maupun swasta.

Dan Rani merasa sangat beruntung karena bisa menjadi bagian dari sebuah SMA swasta dengan nama mentereng yang berlokasi di Kotabaru.

Kegiatan sekolah sudah selesai hari itu. Bersama sahabatnya Yenny, murid XI IPA 1, mereka pulang berboncengan ke arah Jalan Kaliurang. Kali ini Yenny yang membawa motor. Mereka tengah melintasi jalan Suroto ketika Rani mulai menyinggung masalahnya dengan Bima.

“Heran ya sama tuh orang. Enggak capek gangguin kamu terus,” komentar Yenny. Kini motor yang mereka kendarai sedang berhenti di lampu merah Gramedia.

Rani menghela nafasnya. “Gitu, deh. Aku juga enggak ngerti kenapa dia selalu ganggu aku. Wong aku enggak pernah gangguin dia, kok,” keluh Rani.

“Suka kali sama kamu!”

Celetukan Yenny membuat wajah Rani memerah. “Hus, ngawur!” seru Rani.

Lampu sudah menyala hijau. Motor mereka kembali melaju. “Loh, bisa aja, kan? Enggak mungkin dia ganggu kamu ora ono alesane. Banyak cowok yang terlalu malu buat nunjukin rasa suka ke cewek, jadinya dia gangguin cewek itu,” ujar Yenny.

Rani mengernyit tak mengerti. “Terus buat apa dia ganggu tuh cewek?” tanya Rani.

Yenny melirik Rani penuh arti dari kaca spion kirinya. “Supaya cewek itu bisa inget dia terus, yah meskipun diinget sebagai pengganggu,” ujar Yenny.

Mau tidak mau ucapan Yenny menarik Rani ke belakang. Benarkah Bima menyukainya dan terlalu malu untuk mengungkapkan perasaannya? Tapi, bukannya semua akan lebih mudah kalau Bima tinggal mengaku saja? Kenapa harus membuatnya jadi rumit?

Perhatian Rani teralih ketika mereka melewati bundaran UGM. “Yen, kok Nenek itu enggak ada, ya?” tanya Rani. Di bundaran UGM, ada seorang Nenek yang cukup termahsyur. Dia selalu menjajakan teh dalam poci dari pagi sampai malam. Orang-orang bilang teh yang disajikan Nenek rasanya enak dan menyegarkan dan Nenek memberikannya dengan cuma-cuma.

Sebenarnya Yenny juga merasa agak janggal. “Iyo, e. Biasanya kan ada di situ,” ujar Yenny.

Masih dengan pikiran yang tertinggal di bundaran UGM, motor Yenny melaju melintasi jalan Kaliurang.

*****

Bima baru saja masuk ke rumah ketika dia melihat Rachel sedang bercakap-cakap dengan Hera, ibunya, di ruang tengah. Percakapan mereka terhenti, lalu Rachel dan Hera menatap Bima. “Bima, sudah pulang? Ini Rachel juga baru sampe,” sapa Hera. Lalu Hera memberi isyarat agar Bima bergabung dengan mereka.

Bima mendengus. Dia sangat tidak ingin bergabung dengan mereka. “Males. Aku mau naik dulu, ada PR,” ujar Bima. Lalu dia melengos pergi, meninggalkan Hera dan Rachel terdiam tanpa kata.

Hera menghela nafasnya. “Anak itu, selalu seperti itu,” ujar Hera sembari menggelengkan kepala. Lalu dia beralih menatap Rachel. “Maaf ya, Nak. Bima memang seperti itu anaknya,” ujar Hera.

Rachel tersenyum lembut dan menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Tante. Mungkin emang lagi capek. Biasa anak SMA, banyak kegiatan,” ujar Rachel. Ya, Rachel tersenyum, meski tak ada satupun orang yang tahu betapa dia menyimpan pedih karena dia yang dicinta tak pernah menggubris kehadirannya. 

Lalu soal rencana perjodohan itu, Rachel tahu Bima tak menyukainya. Begitupun Rachel. Ada sebuah ingin dalam hatinya untuk mereka berdua bisa menjalani hubungan dengan lebih nyaman, dia tak ingin membuat Bima merasa tak nyaman berada di dekatnya. Tapi, Rachel tak cukup berani untuk berbicara pada ibunya. Dan gadis berponi itu hanya bisa menyembunyikan perasaannya.

‘Untuk sekarang, aku akan mencoba untuk mempertahankan kamu di sisiku, Bim. Walaupun kamu harus ngerasa enggak nyaman.’

*****

Seorang perempuan mencintaimu dengan tulus, tapi berani tak pernah menyertai

Seorang perempuan mencintaimu dengan utuh tanpa sebuah eksistensi

Dia mencintaimu tanpa suatu apa, hanya berharap kamu mau mendengar suaranya, merasakan dan mengakui kehadirannya

Perempuan itu mencintaimu dalam rasa sakit

Bayanganpun lebih beruntung dari perempuan itu, setidaknya bayangan itu akan terus bersamamu

Perempuan itu adalah aku, yang selalu hadir dalam hidupmu meski kamu tak menyadarinya

Perempuan yang kehadirannya tak lebih dari sebutir debu di matamu

Debu ini mencintaimu dengan tulus

*****

Satu hal yang aneh menyapa Bima membuat pagi itu terasa tak begitu membosankan. Pagi itu, tak ada surat cinta ataupun kotak makan siang yang ditaruh di laci meja belajarnya. Lalu Bima ingat dia belum membaca surat yang dia terima kemarin. Bima pun memeriksa tasnya dan mendapati surat itu ada di resleting depan. Di bagian depan lipatan kertas tertulis satu kalimat yang, entah kenapa, membuat hati Bima sedikit goyah

Untukmu. Dari seseorang yang ingin jadi bayanganmu

Bima melihat sekelilingnya. Setelah memastikan tak ada yang memperhatikan, Bima membuka lipatan kertas itu dan membaca isinya.

Seorang perempuan mencintaimu dengan tulus, tapi berani tak pernah menyertai

Seorang perempuan mencintaimu dengan utuh tanpa sebuah eksistensi

Dia mencintaimu tanpa suatu apa, hanya berharap kamu mau mendengar suaranya, merasakan dan mengakui kehadirannya

Perempuan itu mencintaimu dalam rasa sakit

Surat itu meninggalkan bekas di hati Bima. Siapa yang menulis surat ini, dan kenapa isinya selalu menyayat hati? Selalu orang yang sama, jika melihat dari tulisannya, dan sepertinya dia adalah orang terdekat Bima, atau setidaknya mereka saling mengenal satu sama lain.

Tapi, siapa?

Dan kenapa orang itu tak pernah berbicara langsung di hadapannya?

Dalam kebimbangannya, Bima kembali memasukkan surat itu ke laci meja belajarnya. Tak seperti biasa, dia tak membuang surat itu. Entah kenapa, Bima merasa dia akan menemukan jawabannya jika dia menyimpan surat itu. Dia sungguh ingin tahu siapa pengirim surat ini.

*****

Rani membuka matanya perlahan. Detik itu juga, dia merasakan kepalanya sangat pusing. Semalam, dia belajar sampai larut hingga dia ketiduran. Hanya saja, Rani ingat dia tidak tidur di kasur melainkan di meja belajarnya. Dan lagi, dia semakin bingung ketika Adri, tetangga samping rumah, duduk di samping tempat tidurnya.

“Mas Adri? Ngapain di sini?” tanya Rani.

“Aku diminta Om Rahman buat jagain kamu. Kebetulan juga aku enggak ada kuliah hari ini,” jawab Adri. Lalu Adri mengambil sepotong kain basah di dahi Rani, mencelupkannya ke baskom berisi air, dan meletakannya lagi di dahi Rani setelah diperas. “Kamu tuh kalo belajar lain kali inget waktu. Sekarang, coba lihat! Jadi sakit, kan?” ujar Adri cemas.

“Sori. Masuk PTN kan susah, apalagi kalo ngincer beasiswa. Kalo enggak pake beasiswa, bisa-bisa aku enggak kuliah.”

Adri pun mengangguk maklum. Bertetangga dengan Rani sejak kecil membuatnya memahami kondisi ekonomi keluarganya. Rani hanya tinggal dengan Papanya sejak ibunya meninggal tiga tahun yang lalu karena kecelakaan. Rahman adalah seorang pedagang sayuran di Pasar Beringharjo, penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan rumah yang mereka tempati adalah rumah sewa.

“Yah, tapi enggak sampe nyiksa diri juga kali, Ran,” ujar Adri.

“Iya, iya. Eh, bukannya Mas Adri harus beli inhaler baru, ya? Yang lama udah mau habis, kan?” tanya Rani.

Adri mengangguk. Dia memang sudah mengidap asma sejak kecil dan Rani adalah orang selain ibunya yang selalu mengingatkannya untuk beli inhaler baru. “Temenin ke apotek, yuk. Naik sepeda,” ajak Adri. Dan ajakan itu dijawab dengan anggukan semangat dari Rani.

*****

Kelesuan menghampiri Bima sepanjang hari itu, membuat Teguh dan Dhana cemas sekaligus heran.

“Bim, kamu enggak mau keluar?” tanya Teguh. Sekarang sudah istirahat pertama. Biasanya, mereka duduk-duduk di bawah salah satu pohon di lapangan sekolah. Tapi sekarang Bima malah menyandarkan kepalanya di meja, tak berniat untuk keluar sama sekali.

“Kalian duluan aja, entar aku nyusul,” gumam Bima.

Dhana dan Teguh bertukar tatap mata, mereka setuju kalau Bima tengah dirundung kegalauan. “Kamu kangen ya, bro? Sama dia?” tanya Dhana.

“Siapa?” tanya Bima tanpa mengangkat kepalanya.

Sopo meneh? Rani, lah. Dia enggak masuk hari ini terus kamu, orang yang sering buanget ganggu dia, tiba-tiba jadi lesu koyok wong kesepian. Masuk akal, to?” 

Sungguh, celetukan Dhana sama sekali tak salah. Mendapati sosok mungil itu tak datang membuat Bima sadar akan satu hal. Ada suatu hampa ketika dia tak menemukan si kecil itu di setiap matanya melihat. Biasanya, dia akan melihat punggungnya di setiap matanya melihat ke papan tulis. Hanya sebuah punggung, tapi bisa jadi penawar bagi pikirannya yang selalu kalut. Hari ini Rani tidak masuk dan Bima kehilangan alasannya untuk bersemangat.

Namun, seorang Abimanyu Laksmana Manggala tak akan mengakui perasaannya, bahkan ke Dhana dan Teguh sekalipun. Bima menegakkan tubuhnya dan berujar “Kalian iki ngomong opo, to? Justru aku seneng dia enggak masuk, tenang hidup aku! Aku cuma lagi males keluar aja,” ujar Bima.

Lagi, Dhana dan Teguh saling tatap penuh arti. Bersahabat dengan Bima sejak lama membuat mereka cukup tahu waktu untuk kapan tidak mengusik Bima. “Yowis, aku sama Dhana keluar dulu,” pamit Teguh. 

Lalu dia dan Dhana meninggalkan Bima sendirian di tempat duduknya, sibuk menikmati kehampaan hatinya. Bima menghela nafas, dia semakin menenggelamkan wajahnya. Menyadari dia begitu kehilangan, sepertinya dia harus bersikap lebih baik pada Rani.

‘Tapi, aku enggak bisa! Malu!’

*****

Di siang hari yang cukup terik, Adri naik sepeda menuju Apotek Kentungan yang berlokasi di ringroad, sebuah jalan protokol yang mengelilingi kota Jogja, bagian utara. Rani yang ikut duduk di jok belakang. Dengan khidmat mereka merasakan udara sejuk yang bawa cuaca sedikit mendung, sesuatu yang jarang terjadi di kota Jogja yang mulai panas.

Sekilas Adri melirik kedua tangan Rani yang memegang bajunya. Sudah lama sekali mereka tidak seperti ini, berboncengan berdua naik sepeda. Mereka sudah berhenti melakukannya sejak empat tahun yang lalu, saat Adri sendiri duduk di kelas 1 SMA dan Rani masih SMP kelas 2. Saat itu, Adri baru punya pacar dan sebagai sahabat, Rani cukup tahu diri untuk tidak “mengganggu” dan sedikit menjaga jarak.

Namun, satu hati itu hanya ada untuk Rani sejak dulu, seseorang yang tak tahu apa-apa karena Adri terlalu bodoh untuk sebuah ungkap. Adri takut Rani akan menolaknya dan hubungan di antara mereka berdua jadi hambar. Ketimbang itu terjadi, Adri lebih memilih hubungan yang seperti ini. Setidaknya, dia masih bisa bertemu Rani tanpa perlu merasa canggung.

Mereka baru saja keluar dari apotek ketika Rani melihat Sang Nenek duduk beberapa meter di depan apotek, tepat di pinggir jalan raya, lengkap dengan “barang dagangan”nya. “Mas, liat deh. Itu Nenek yang biasa nongkrong di bundaran UGM, kan?” tanya Rani.

Adri mengikuti arah tunjuk Rani. “Eh, iya. Ngapain di situ, ya? Samperin, yuk!” ujar Adri.

Mereka berdua pun menghampiri Sang Nenek. Beliau tersenyum ramah ketika mereka berdua berdiri di hadapannya. “Putu-putuku wis teko,” sapa Nenek.

Rani berjongkok di depan Nenek. “Nggih, Mbah. Kemarin kok ndak jualan di tempat biasa?” sapa Rani basa-basi.

Aku ora nduwe alasan kanggo kuwi,” jawab Nenek.

Punapa nggih, Mbah? Pancenipun eyang putri sampun sugih?” gurau Adri.

Nenek melirik Adri tak suka. “Putuku lanang, dhuwit udua semubarange!” tegur Nenek. Lalu, beliau melanjutkan, “Kemarin, aku ora ana neng panggon biyasa amarga ora ana sing mbutuhake aku. Kabeh manusia sing ana neng bundaran wis bahagia. Neng kene, ana manusia sing isih kesusahan,” ujar Nenek.

Yah, sang Nenek memang punya prinsip jualan yang aneh. Dia tak akan berjualan kalau tak ada yang sedang mengalami kesulitan. Ada rumor yang mengatakan kalau dia hanya memberikan tehnya hanya untuk orang-orang yang tengah hidup susah. Logika seorang penjual minuman yang aneh.

Rani pun bertanya, “Memangnya ada yang sedang bersedih sakmenika ing riki?”

Sang Nenek melirik Adri, membuat Adri kebingungan. “Saya? Saya baik-baik saja, Mbah,” ujar Adri.

Nenek menilai Adri dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Lalu dia berkata, “Putuku lanang isih gering. Kebahagiaan sejati kuwi kebahagiaan jasmani lan rohani,” ujar Nenek. Lalu Nenek itu mengambil salah satu poci dan menuang isinya ke dalam gelas kecil. Poci-poci itu memiliki warna yang mencolok, Nenek mengambil poci yang berwarna biru tua. Lalu beliau menyerahkan gelas itu ke Adri. “Putuku lanang muga-muga lekas kepenak.” Sang Nenek berdoa.

Adri menerima teh itu dengan sedikit gugup. Setelah meminum seteguk, Adri bersumpah kalau teh yang baru saja dia minum terasa sangat menyegarkan, Adri mengembalikan gelas itu ke Nenek “Matur nuwun nggih, Mbah,” ucap Adri.

Sang Nenek menjawab Adri dengan senyuman lembut, lalu manik matanya beralih ke arah Rani. Dia bisa melihatnya, sebuah malang yang nantinya akan Rani hadapi. Sebuah iba pun muncul di dalam hati Nenek, membuat Rani terkesiap karena tatapan Sang Nenek yang begitu berbeda terhadapnya. “A-ada apa, Nek? Kok ngeliatinnya gitu?” tanya Rani. Tanpa menjawab suatu apa, Sang Nenek memberikan pocinya yang lain, yang berwarna merah manyala. Rani menatap poci di tangannya bingung. “I-ini semua buat saya, Nek?” tanya Rani.

Sang Nenek mengangguk. “Neng waktu urip undhak angel, ngombea. Mula uripmu arep berubah, Insya Allah menyang arah sing luwih becik,” ucap Sang Nenek.

Meski Rani bingung dan meragu, dia juga mulai berpikir kalau sang Nenek benar-benar aneh, Rani menerima poci itu. Dengan sebuah rasa penasaran yang membuncah, Rani menatap poci berwarna merah mencolok itu lamat-lamat dengan sebuah pertanyaan bersarang dalam benaknya.

‘Kira-kira kesulitan apa yang akan menghampiri?’

*****

Bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid langsung bersiap-siap untuk pulang. Tak terkecuali Bima, Dhana, dan Teguh yang sudah merasa sangat suntuk sejak beberapa jam terakhir. Terutama Bima, yang punya alasan lain untuk suntuk.

“Bim, mau langsung pulang?” tanya Teguh.

“Kalian duluan aja, aku kan harus nemuin Pak Munjid buat nyerahin tugas minggu lalu.”

Sepeninggal Teguh dan Dhana, Bima mengambil tugas kliping dari dalam tasnya. Dia kembali melihat surat itu ketika meletakkan bolpoin di kantung depan. Dan atas dorongan hatinya, dia tak jadi membuang surat itu. Bima memutuskan untuk membawanya pulang.

Sementara itu, beberapa kilometer dari sekolah, Rani sedang menatap notes-nya dengan perasaan tak karuan. Matahari menyembul dari jendela kamarnya, melukis bayangan langit sore di penjuru kamarnya. Papa belum pulang, dia bilang dia sedang menutup warungnya di pasar. Tadinya Rani hendak menunggu Papa sembari belajar.

Tapi, keinginan itu menghilang begitu dia menemukan sesuatu di notes-nya.

Tadinya dia adalah satu halaman utuh, kalau Rani tidak menyobeknya hingga dua bagian. Di paruh kedua lembar kertas itu terdapat untaian kata yang Rani tulis sendiri berdasar sebuah perih yang merasuk dalam hati. Dengan khidmat Rani membacanya lagi, seolah ingin menghipnotis dirinya, meyakinkan dirinya bahwa isi pesannya adalah benar adanya.

Bahwa dia hanyalah debu tak berarti...

...dan dia yang ada di suratnya adalah permata yang berharga.

Sebuah satu tak akan pernah terjadi di antara mereka. Itulah yang Rani yakini. Oleh karenanya, dia hanya menyimpan rasa ini dalam dadanya sehingga tak seorangpun tahu, bahkan Yenny sekalipun.

Bayanganpun lebih beruntung dari perempuan itu, setidaknya bayangan itu akan terus bersamamu

Perempuan itu adalah aku, yang selalu hadir dalam hidupmu meski kamu tak menyadarinya

Perempuan yang kehadirannya tak lebih dari sebutir debu di matamu

Debu ini mencintaimu dengan tulus

Sebuah tetes air mata menjatuhi untaian kata itu. Rani buru-buru menutup bukunya, ingin menjaga pesan itu dari kelunturuan. Tepat pada saat itu, dia mendengar Papa sudah pulang. Rani bergegas keluar dari kamarnya, meninggalkan perasaannya yang tersakiti sendirian di meja belajarnya.

‘Kamulah salah satu alasan kenapa aku semangat berangkat ke sekolah. Meski alasan itu juga menyakitiku secara perlahan, aku sama sekali tak keberatan. Asal aku bisa melihatmu setiap hari... dan tertawa... itu sudah lebih dari cukup.’

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Samudra di Antara Kita
35167      5728     136     
Romance
Dayton mengajar di Foothill College, California, karena setelah dipecat dengan tidak hormat dari pekerjaannya, tidak ada lagi perusahaan di Wall Street yang mau menerimanya walaupun ia bergelar S3 bidang ekonomi dari universitas ternama. Anna kuliah di Foothill College karena tentu ia tidak bisa kuliah di universitas yang sama dengan Ivan, kekasihnya yang sudah bukan kekasihnya lagi karena pri...
Chasing You Back
414      291     1     
Romance
Sudah 3 tahun, Maureen tidak pernah menyerah mengejar pangeran impiannya. Selama 3 tahun, pangeran impiannya tidak mengetahui tentangnya. Hingga suatu saat, Pangeran Impiannya, Josea Josh mulai mendekati Maureen? Hmmm ..
Reality Record
3063      1067     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Fighting!
563      393     0     
Short Story
Kelas X IPA 3 merupakan swbuah kelas yang daftar siswanya paling banyak tidak mencapai kkm dalam mata pelajaran biologi. Oleh karena itu, guru bidang biologi mereka memberikan tantangan pada mereka supaya bisa memenuhi kkm. Mereka semua saling bekerja-sama satu sama lain agar bisa mengenapi kkm.
society said
475      330     1     
Short Story
story about my daily life with insecurities
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
415      294     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Be Yourself
535      361     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better
Bilik Hidup
655      444     0     
Short Story
Malam itu aku mabuk berat usai menenggak sebotol vodka dan tempe mendoan. Bersama teman lamaku, aku bercinta dengan seorang gadis yang pernah kutemui beberapa waktu silam.
Sad Symphony
381      276     0     
Short Story
Aku ingin kamu ada dalam simfoni hidupku. Tapi kamu enggan. Aku bisa apa?
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
8066      2240     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...