Mika berjalan menyusuri koridor tempat parkir. Sendirian dengan tatapan kosong ke depan. Hari ini ia berangkat lebih pagi dari biasanya. Sang raja siang pun masih mengintip malu di balik atmosfer dan kapas langit. Suhu udara pagi terasa seperti menusuk setiap pori-pori kulitnya, ia menyesal karena tidak membawa baju hangat.
“Selamat pagi de Mika.” Sapa Pak Edi, salah satu penjaga sekolah. Memecah lamunannya.
“Pagi juga pak’e.” Jawab Mika seadanya.
“Tumben berangkat jam segini, saya aja baru datang loh.” Ujar pak’e terkekeh sembari mengesap cangkir kecil berisi kopi panas. Dalam beberapa waktu ia menguap tanpa sadar. Matanya terlihat lelah, cukup menandakan bahwa ia masih ingin tidur lebih lama.
“Iya, papa ada urusan pagi-pagi, jadi dianternya jam segini.”
Pak’e mengangguk ringan sembari ber-oh ria.
“Saya masuk duluan ya pak.” Ucap Mika tak terlalu ingin berlama-lama.
“Oh iya iya.” Jawab pak’e.
Mika berjalan melewati Pak Edi. Setelah beberapa waktu berjalan, langkahnya terhenti di depan anak tangga. Tatapannya kembali kosong. Kelima jarinya menggenggam ringan tiang bercat putih di samping tangga. Seakan menguatkan tekat dahulu sebelum naik, ia menarik napas beberapa kali, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Dengan segenap perjuangan ia sampai dan memasuki ruangan kelas, menjinjing sebuah ransel kesayangangannya. Raut wajahnya selalu sama setiap pagi, menunjukkan ketidaktertarikan.
Kali ini ada sedikit yang berbeda, sedikit perubahan pada rambutnya yang panjang, terlihat lebih rapi.
Dalam waktu singkat, ia duduk di barisan depan. Ingin fokus belajar dan tak ingin diganggu. Jari-jarinya menggenggam ringan sebuah botol yang berisi air hangat, kesukaannya. Bisa membawanya pada perasaan yang baik dipagi hari.
“Pagi. Mika?” Tanya Vania, teman dekatnya.
“Pagi.”
“Tumben banget berangkat pagi.” Vania keheranan dengan tingkah Mika.
“Kalo berangkat siang, telat dong gue.”
“Haha iya juga sih.”
Mika hanya tersenyum singkat menanggapi percakapan tersebut.
“Eh iya, lo belom tau ya?” tanya Vania tiba-tiba memecah keheningan.
“Apa?”
“Oka, sekelas sama kita.”
Mika membeku. Tangannya seketika melemas mendengar ucapan Vania.
“Yaudah biarin aja.” Ucap Mika berusaha terlihat acuh tak acuh.
“Lo gapapa Mik? Kelas 10 kan hubungan lo sama dia gak terlalu baik. Kelas 12 malah ketemu lagi.” Tanyanya khawatir.
Mika mengangguk ringan dan menyimpulkan seulas senyum kecil kepada Vania, berharap semoga bisa melewati setahun ini dengan baik.
Satu per satu anak kelas memasuki ruangan, wajah baru dan suasana baru dirasakan oleh Mika. Ada perasaan sedikit menggebu dalam hatinya sedari tadi. Membuat bola matanya menjelajah ke seluruh penjuru ruangan setiap beberapa menit.
Tepat sepuluh menit sebelum bel, matanya menangkap sesosok laki-laki yang sedari tadi ditunggunya tanpa sadar. Oka. Ia berjalan memasuki kelas dengan napas yang sedikit terengah, tertawa ringan bersama teman laki-laki sebayanya, bercerita bahwa ia takut telat di hari pertamanya, Mika bisa mendengar semua itu dengan jelas.
Sekilas, Mika teringat akan senyum yang sempat ingin ia lupakan, sekarang akan menjadi santapan matanya setiap hari. Seulas senyum yang membuat otaknya bereaksi kepada kenangan dimasa lalu.