"Seharusnya, Ra, lo itu nggak usah maksain kalau gak kuat. Untung kemarin ada pangeran ganteng yang nolongin." Kinan menarik salah satu kursi untuk duduk di meja yang ia tempati bersama Tara. "Berasa nonton drama tau gak?! Tapi kalian lucu kok hehe."
Tara hanya diam tak menanggapi karena tidak berminat. Ia lebih memilih meminum milkshake rasa strawberry kesukaannya.
"Gimana rasanya? Deg deg-an, gak? Suka kali dia sama lo?!" Ujar Kinan dengan antusias yang berlebihan.
"Apaan, sih, Kin. Ngaco mulu daritadi."
"Ih, serius kali! Dia tuh perhatian sama lo meskipun lo suka marah-marah ke dia. Tapi emang lo kayaknya gak ngerti modelan cowok ganteng deh, Ra." Cewek itu mengelus dagunya seperti berpikir seraya bergumam. "Standar lo tuh perlu dipertanyakan."
"Gue cuma suka Kak Ar-"
"Iya, tapi sayangnya Kak Arlan nggak suka lo. Itu poinnya."
Tara cemberut mendengarnya. "Terserah lo deh. Tapi kemarin lo kejam, sih, ninggalin gue sama dia doang. Kemana lo waktu gue sakit?!" Kini bergantian ia melihat Kinan dengan sedikit pelototan sebal.
Kinan memukul meja yang membuat Tara sedikit berjengkit kaget, "Gue kemarin nengokin lo, ya. Cuma si Dave keras kepala banget, gue minta gantian, eh, malah gak ditanggepin. Ya udah akhirnya sampai jam pelajaran olahraga kelar, dia mulu yang jagain lo." Kinan berdecak, "Padahal gue pengen bolos kelas aja kemarin! Pegel, nih, badan gue main basket."
Tara terkekeh pelan, "Niat lo aja udah nggak bener."
Mereka berdua kini asyik menikmati sarapan pagi. Ralat. Kinan yang sarapan pagi karena Tara sudah sarapan lebih dulu dirumah.
Sekarang Tara merasa beruntung merasa tidak berada di dekat Dave. Sejak pagi tadi kedatangan mereka disekolah, Dave sudah berbalik meninggalkan kelas entah karena urusan apa. Yang jelas, wajahnya sudah tertekuk saat itu.
Sedangkan di tempat lain, tepat di ujung gedung lantai tiga ini, cowok berambut hitam kecokelatan itu harus menahan diri untuk tidak mengumpat. Meskipun kenyataannya adalah sebaliknya.
Seseorang diujung sana membuatnya muak. Ia sendiri merasa jengah dengan ucapan perempuan yang membujuknya itu melalui sambungan telpon.
"Stop it."
"Dave..kamu harus kembali ke London. Om Josh sakit." Sahut lawan bicaranya.
"Sejauh apa nyokap gue nyuruh lo ngatur-ngatur gue?!" Ucapnya setengah membentak.
Daerah disekelilingnya sangat sepi, sehingga jika ia berteriak sekalipun, tidak akan masalah.
"Gue nggak akan pulang!"
Suara perempuan itu bergetar. "Ta-tapi.. Om Josh.."
"Lo pembohong."
Perempuan itu mulai menangis, terdengar dari suaranya yang serak khas orang menangis. "Lalu kita.. Ki-kita..bagaimana?"
"Hear me." Sela Dave. Ia memijat pelipisnya tidak sabar.
Berusaha untuk tidak berteriak membentak kembali karena letupan emosi di dadanya semakin menggila. Entah karena mamanya atau cewek yang sedang terisak jelas karenanya.
"Jangan berusaha lebih jauh lagi atau lo akan menyesal."
Masih terisak dengan suara terbata, "Aku- apa nggak ada kesempatan lagi? Aku tahu itu salahku, makanya aku-"
"Enggak! Udah! Gue males bahas yang lalu."
"Kamu belum maafin aku?" Tanyanya melemah diujung kalimatnya.
"Sudah." Dave menghela napas gusar. "Tapi untuk mengabulkan harapan lo, gue nggak bisa. Berhenti sekarang sebelum terlalu jauh."
Sambungan telpon terputus secara sepihak. Ia tidak mau terlalu jauh dengan ini. Seharusnya semua tidak akan sulit, persis seperti saat dirinya meninggalkan kota kelahirannya itu. Dan untuk kembali, ia tidak yakin.
Dia harus menata hidupnya lagi.
***
Pelajaran siang ini berlangsung menjadi sangat lama menurut Tara. Terlebih pada mata pelajaran yang bukan menjadi favoritnya seperti fisika. Untuknya, pelajaran itu sangat kurang kerjaan, abstrak, membuatnya pusing, dan lainnya yang intinya dia tidak suka.
Resiko memilih jurusan IPA.
Namun ketika bel istirahat berdering nyaring di seluruh penjuru sekolah, suara semua siswa di kelas lain menggema nyaring. Setidaknya mewakili suara siswa dikelasnya. Karena dikelas Tara, teman-temannya tidak mungkin akan bersorak heboh ketika lebih dulu mendapat tatapan maut dari Pak Yuda membuat banyak anak menjadi ciut.
"Pelajaran hari kita akhiri sampai disini. Tugasnya jangan lupa dikumpulkan paling lambat besok lusa di meja saya. Yang telat dapat kortingan 20%!" Buku tulis yang berisi tulisan tangan Pak Yuda seperti kitabnya dalam mengajar itupun dipukul-pukul diatas meja ketika berbicara sebelum akhirnya beliau memutuskan pergi meninggalkan ruang kelas Tara.
Semua anak menghela napas panjang merasa lega. Tak terkecuali Kinan.
"Gile, ye, Pak Yuyud. Serem bats. Mana tugasnya seabrek, kortingannya juga gede banget lagi. Kejam sih. Gak pernah senyum apa, ya, tuh orang..."
Dan seterusnya celotehan Kinan berlangsung membicarakan segala hal tentang Pak Yuda yang sudah sering Tara dengar dari sahabatnya itu. Sampai-sampai Tara hapal. Mengingat Kinan cukup punya pengalaman buruk dengan gurunya itu.
Mereka berdua berjalan meninggalkan tempat duduk mereka menuju taman. Berkat bujukan -paksaan- dari Kinan, akhirnya Tara menurut juga. Kinan cukup percaya dengan hal-hal berbau mistis, itulah mengapa ia tidak berani ketaman sendirian meski banyak orang. Terlebih ditaman tersebut banyak ditumbuhin pohon-pohon besar yang sebenarnya agar memberi kesan sejuk. Tetapi karena sudah tersugesti pikiran aneh, Kinan sudah merutuk tumbuhnya pohon besar ini.
Siang ini ditaman, Kinan juga mengajak Tara untuk makan siang bersama disana. Meski sempat bingung, karena biasanya Kinan akan pergi ke kantin bersama Dan, Kaka kelas yang menjadi pacarnya sejak ia kelas sepuluh, kecuali jika mereka sedang bertengkar.
"...denger-denger doi mau ni...kah. HEH, RA! Dengerin gue gak?" Kinan menyikut lengan Tara yang sudah bengong senyam-senyum sendiri tidak jelas.
Tara refleks menghentikan langkahnya yang asyik berjalan di sepanjang koridor seraya melihat kearah tengah lapangan itu. Mengatur ekspresi wajahnya, meski tidak menolong sama sekali bahwa ia sangat senang sekarang.
"Eung?" Tara menoleh kearah Kinan yang sudah menatap kesal disebelahnya.
"Ah, kebiasaan nih, orang." Kinan memutar bola matanya sebal. "Ngapain, sih, ngeliatin Kak Arlan terus? Tuh, lihat, tuh, dia aja nggak nengok kearah lo, sibuk rebutan bola oren sama temannya." Seraya bersidekap, sahabatnya itu menunjuk dengan dagu kearah lapangan tentang apa yang sedang dilakukan oleh Arlan disana.
"Sewot, aja, sih, lo."
"Dibilang juga! Masalahnya lo ngeliatin dia gak kedip. Gue khawatir mata lo lepas entar."
Keduanya melanjutkan jalan mereka yang sempat terhenti. Seolah acuh, Tara tetap berjalan santai seperti menganggap omelan Kinan sebagai angin lalu.
"Gue laporin ke Dave baru tau rasa lo." Ucap Kinan menggebu terlalu memihak pada Dave sepenuhnya.
Berbicara soal Dave, cowok itu tidak terlihat saat jam pelajaran fisika tadi. Tara tahu bahwa ia memilih bolos karena merasa tidak suka dengan pelajaran itu. Tara sampai bingung melihat tetangganya itu yang seenaknya. Memang dikira ini sekolahnya apa?
"Laporin, gih. Gue gak takut, ya."
"Ih, parah banget. Gue meskipun suka berantem sama Kak Dan nggak pernah kepikiran selingkuh, ya. Emang lo mau sama cowok yang fokusnya sama bola oren doang?"
"Gak masalah, sih. Gue bisa mendukung." Jawab Tara santai.
"Dasar bucin (Budak Cinta)!"
Tara menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Kinan dengan menyahut, "Jangan lupain kalau cowok lo juga anak basket."
Tara terkekeh geli menangkap ekspresi kesal dari Kinan dan mengabaikan Kinan yang berjalan dibelakangnya kini sudah berteriak-teriak memprotes dengan segala pembelaannya.
"Tapi, Ra, Gue kan..."
BRUKK!
"...ASTAGA TARA!"
Kinan bergerak cepat kearah Tara yang sedikit terhuyung kesamping karena mendapat serangan mendadak. Sebuah bola basket mengenai lengan kanannya dan membuatnya terjatuh sangking kerasnya bola itu mengenai dirinya. Kini Tara terduduk dilantai koridor yang tak jauh dari lapangan basket sambil merasakan nyeri di sepanjang tangan kanannya.
Beberapa anak basket dengan kostum eskul mereka berlari kearah Tara, entah karena khawatir atau merasa kepo saja. Tak terkecuali Dan. Bahkan seingat penglihatan Tara, kaka kelasnya itu melirik kearah Kinan disebelah Tara.
Yang membuat Tara menggetar, bukan karena seberapa kagetnya ia dengan hentakan bola basket. Tetapi karena Arlan bersimpuh dihadapannya dengan tatapan khawatir. Wajahnya jadi menggemaskan untuk Tara meski dipenuhi peluh. Bukan rasa sakit lagi yang Tara rasakan, namun kebahagiaan yang ingin meledak dihatinya karena merasa diperhatikan. Tara jadi salah fokus.
"Ra, lo gak apa-apa? Gue-" Ucapan Arlan yang terdengar cemas itu tepotong.
"Yaelah, kak. Lo bisa lihat sendirilah temen gue sampai limbung gini badannya. Katanya kapten basket, masa gitu doang bolanya nyasar sih?! Nggak profesional banget." Kinan mendengus.
Belum sempat Tara menyahut, Kinan sudah menyambar lebih dulu dengan sedikit emosi. Dia sampai heran, kenapa temannya ini bisa sampai menggebu sekali. Sepertinya efek dari pertengkaran dengan Dan jadi merugikan Tara. Padahal ini kesempatan yang bagus untuk Tara agar bisa dekat dengan Arlan lagi tetapi malah dikacaukan oleh Kinan.
"Gue anter lo ke UKS, ya, Ra?" Seperti tidak menyerah, Arlan berusaha mengajak Tara bicara kembali.
"Ya itu, sih, kewajiban lo Kak. Tanggung jawablah. Lo, kan, cowok."
Arlan menghela napas, mungkin berusaha sabar. "Bisa jalan, kan, Ra? Atau perlu gue gendong lo?"
Kinan berdecak. "Kebanyakan intro, deh, lo, Kak. Tara bisa jalan, yang sakit, kan, tangannya bukan kakinya."
"Nan." Tegur Dan. Cowok yang berdiri dibelakang Arlan itu memperingati Kinan dari caranya menatap cewek itu. Ia tahu kalau sekarang Kinan sedang emosi, makanya ucapannya ceplas-ceplos.
"Ayo, Ra, gue anter lo."
Arlan mengulurkan tangan kehadapan Tara ingin membantunya berdiri, ketika sebuah suara mengintrupsi membuat tangannya yang menjulur itu terhempas begitu saja.
"Biar gue yang bawa Tara."