Tara berdeham pelan. Tenggorokannya terasa kering. Ia haus. "Ha-haus." Ucapnya entah kepada siapa. Yang jelas ia membutuhkan minum sekarang.
Dave mengulurkan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya kearah Tara. Membantu cewek itu untuk bisa duduk dengan benar.
"Masih sesak napasnya?" Tanya Dave memastikan. Wajah Tara sedikit pucat dari biasanya.
Tara menggeleng pelan setelah meminum air mineralnya.
"Udah tahu sakit, masih ngeyel. Untung cuma pingsan."
"Gak usah nolongin aja tadi sekalian." Sahut Tara cuek.
"Bilang makasih kek!" Dave bersender penuh di kursinya dan melipat kedua tangannya didepan dada seraya menatap Tara.
Tara menghela napas mencoba sabar. "Makasih."
Tara lalu berusaha turun dari tempat tidur UKS. Merasa sudah sedikit lebih baik dan akan melanjutkan olahraganya yang sempat tertunda.
"Mau kemana lo?" Cowok itu spontan berdiri dari duduknya, menahan pergerakan Tara dengan merentangkan tangan kanannya sebelum cewek itu benar-benar turun dari tempat tidur.
Tara mengernyit, "Mau olahragalah. Lo kira gue sekolah absen doang."
"Lo lagi sakit. Tiduran aja kenapa, sih?!" Balas Dave gemas.
"Gue nggak mau pengambilan nilai basket sendirian! Udah, sih, minggir gue mau lewat!" Tara berusaha menggeser tubuh besar Dave dihadapannya yang sudah menghadang dirinya untuk lewat. Ia jadi kesal sekarang, karena cowok itu hari ini terlalu banyak melarangnya.
"Ngambil nilainya barengan gue. Gue juga belum." Dave membawa bahu Tara untuk duduk lagi ke tepi tempat tidur. "Mending lo makan siang. Ini makan."
Sebuah kotak sterofoam berisi nasi goreng terhidang cantik didalamnya. Baunya menggugah selera Tara untuk segera menyantapnya.
Masalah bekal, Tara tidak sempat menyiapkan bekal untuk Dave karena hari ini ia sedikit kesiangan akibat begadang semalam.
Pandangan Tara teralih dari sekotak nasi goreng menggiurkan dihadapannya dengan menu makanan Dave. Cowok itu hanya meminum satu cup berukuran jumbo Cola dan Burger Double Cheese. Menu makanan yang sama persis seperti saat mereka pertama kali makan di meja kantin yang sama kala itu.
"Apa enaknya, sih, makan Junk Food mulu?" Ucapan Tara malah seperti menyindir daripada bertanya.
"Kalau mau bilang."
Cowok itu acuh, terbukti dari dirinya yang sudah menyantap makan siangnya dengan lahap. Tanpa menghiraukan ucapan Tara selanjutnya.
"Lo, tuh, kebiasaan banget makan junk food. Nggak ada sehat-sehatnya."
"Salah siapa nggak bawain gue bekal?"
Tara memutar bola matanya kesal, "Masih banyak makanan lain dikantin yang lebih sehat. Gak harus nunggu masakan gue."
"Entar lo keenakan gak jalanin tugas lo."
"Dasar, ya, manusia gak mau rugi!"
***
Sejak dulu, Tara akan memprotes bagaimana anak perempuan mengejar-ngejar anak laki-laki. Rasanya...aneh. Benarkan? Tidak seharusnya anak perempuan bersikap seperti itu.
Mulai dari yang berusaha sembunyi-sembunyi sampai yang berani terang-terangan tanpa ragu. Tara hanya tidak habis pikir, kenapa harus seberlebihan itu?
Ah, ya, mungkin dirinya juga melakukan hal itu tanpa ia sadari. Seperti misalnya modus pada Arlan. Tapi menurutnya kadar usaha pendekatannya masih sangat dibatas wajar. Tidak berlebihan. Tidak seperti yang satu ini..
"Gue, tuh, udah suka dari lama, Ra. Please dong bantu gue. Comblangin gue kek! Lo, kan, deket banget sama dia.."
Kalimat yang intinya memohon didekatkan dengan tetangganya yang menyebalkan itu, membuat Tara pusing. Diana, temannya yang terkenal paling modis diangkatannya, meminta didekatkan pada Dave. Ini aneh, mereka bahkan belum pernah saling berbicara sebelumnya. Masih menyadari Tara sebagai teman satu angkatannya saja, Tara sudah takjub. Apalagi sampai mengajak bicara.
Tara yakin, ia bukanlah orang yang masuk dalam kriteria teman yang harus didekati oleh cewek seperti Diana.
"Dengerin gue gak, sih, Ra?! Gue ngomong sama lo woy!" Diana menggeser tubuhnya untuk berdiri dihadapan Tara yang sejak tadi tidak merespon sama sekali. Ia sudah berpikir bahwa Tara takut tersaingi olehnya. Saking kesalnya, cewek itu bahkan sudah mendengus keras sekarang, "Lo takut gue nyaingin lo? Seharusnya lo sadar sih, Ra, cowok kayak Dave bakal milih cewek yang gimana." Dengan angkuh, kedua tangannya bersidekap didepan dada. Ingin menunjukkan siapa yang lebih pantas.
"Gue nggak peduli."
Tak kalah acuh, Tara memilih memutar balik. Mengabaikan kekesalan Diana dibelakangnya.
Jauh beberapa meter dari tempat ia meninggalkan Diana, Tara sedikit tersentak ketika pergelangan tangan kirinya dicegat seseorang dari balik pilar dekat lapangan basket.
"Sejauh apa, sih, toilet cewek sama lapangan basket?"
Seharusnya tadi mereka bertemu di parkiran sekolah ketika Tara selesai dari toilet, namun belum sempat sampai disana, Dave mengatakan bahwa ia harus ke lapangan basket yang malah membuat telinganya panas karena bertemu Diana sebelumnya. Sehingga ia harus memutar jalur lebih jauh hanya untuk tiba di tempat ini.
"Mestinya tadi gue langsung balik aja, ya, gak usah kesini sekalian." Sahutnya sarkas. Tara juga menatap Dave malas, terlebih saat cengkraman di pergelangan tangannya belum juga lepas.
Tara sedikit meringis ketika menyadari luka ditelapak tangannya setelah terjatuh tadi yang untungnya sekarang sudah tertutup oleh plester luka bermotif Star Wars yang ia yakini adalah milik Dave.
"Masih sakit telapak tangannya?" Seolah sadar kemana arah mata Tara menatap, Dave juga ikut meneliti telapak tangan cewek itu yang sudah ia obati siang tadi.
"Iya, sakit, apalagi kalau di pegangin begini."
Dave lalu melepaskan tangan Tara dan berucap, "Temanin gue bentar."
"Gue mau pulang. Capek."
"Tapi gue belum bisa balik sekarang."
"Ya udah gue balik duluan."
"Bareng gue." Titah Dave tidak ingin dibantah. "Atau buku harian lo.."
Cewek itu hanya mendesah berlebih, "Oke,oke! Puaskan lo?!"
***
Jika Tara menganggap ini sebagai bentuk kesialan, justru dirinya salah besar. Seharusnya ia banyak-banyak mengucapkan terima kasih kepada Dave setelah ini. Karena berkat dirinya, ia bisa bertemu Arlan lagi sekarang.
Berbeda dengan Tara, Dave justru mengernyit bingung ketika yang ia jumpai bukan Tito, teman kelas sebelahnya, melainkan Arlan, si kapten basket sekolahnya. Ia ingat benar bahwa yang mengajaknya bertemu barusan adalah Tito. Temannya itu meminta bertemu sebentar untuk membicarakan soal pertandingan basket ketika ia baru saja selesai bertemu dengan teman-temannya di klub seni tadi. Meski bingung, cowok itu hanya diam mendengarkan penuturan dari Arlan dihadapannya ini.
Sementara Tara, ia sudah pasti senang bukan main. Entah apa yang sedang Dave dan Arlan bicarakan di tengah lapangan sana. Semoga itu sesuatu yang menguntungkan baginya.
Kurang dari tiga puluh menit lamanya, Dave dan Arlan menyudahi obrolan serius mereka. Tara sudah sangat penasaran dan pastinya setelah ini ia akan bertanya tentang apa yang mereka bicarakan.
"Mulai besok sampai waktu yang nggak di tentukan, setelah selesai sekolah, lo balik duluan."