Malam semakin larut. Suasana semakin sepi. Tetapi, Tara tetap terjaga bahkan ketika jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam lewat beberapa menit.
Insomnianya kambuh.
Malam ini, seperti melihat peluang terbaik, yaitu saat keadaan rumah benar-benar sepi karena semua orang sedang tidur, Tara memutuskan untuk pergi kerumah pohon. Kali ini tidak dengan cara kabur lewat pintu utama, tetapi memanjat dari balkon kamarnya.
Tara mendongakkan kepalanya untuk melihat dari bawah pintu masuk rumah pohonnya. Ternyata ia sudah rindu sekali. Ia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kesini.
Sesaat sebelumnya ia merapatkan sweater rajut berwarna ungu pastel ditubuhnya, Tara perlahan-lahan menaikki tangga yang akan membawanya masuk kerumah pohon lebih dalam.
"LOH? LO?!" Pekiknya kaget. Ia menatap kearah objek dihadapannya dengan delikan malas. Padahal ia sudah berharap agar tidak bertemu lagi dengannya setelah kejadian pulang sekolah sore tadi. "Ngapain lo? Sana pulang." Usir Tara tidak menunjukkan keramahan sama sekali.
Dave mengedikkan bahu acuh. "Gue udah sering kesini, sih. Jadi, ya, secara nggak langsung, ini tempat gue juga."
"Rumah lo diseberang sono, noh, kalau lo lupa."
Seraya mendekap erat kedua tangannya di depan dada dengan acuh, Tara berjalan menuju balkon mini rumah pohon ini. Balkon yang persis menghadap kearah rumah Dave.
Tara lalu mengatur posisinya untuk duduk dengan kedua kaki yang terjuntai diantara sela pagar kayu rumah pohon. Kedua tangannya juga berpegangan pada anakan potongan kayu yang menyusun pagar balkon ini. Memang, posisi seperti ini adalah posisi kesukaannya.
"Heh! Lo jangan bengong. Kesurupan baru tahu rasa lo." Dave yang tiba-tiba datang dari belakang, langsung memposisikan diri seperti Tara.
"Lo ngapain disini, sih?" Tanya Tara tanpa melirik Dave disebelahnya yang sudah menatapnya sejak tadi. "Ganggu tahu nggak."
Dave tersenyum, tanpa diketahui Tara. "Kadang kalau gue nggak bisa tidur, gue tidur disini. Seru juga ternyata. Berasa camping."
Tara berdecak. "Bahkan lo nggak minta ijin mau tiduran disini." Balasnya ketus.
"Nggak ada tulisannya, sih, ini punya siapa."
"Nggak ada tulisannya, sih, ini punya siapa..." Ulang Tara meniru ucapan Dave, mengejek. "Tapi lo masuk di wilayah rumah gue. Jadi ini tempat milik gue. Masa gitu aja lo ga paham, sih?!"
Dave terkekeh, menanggapi lucu kekesalan Tara. Mungkin malam ini cewek itu sedang dalam mood yang buruk. Bisa jadi disebabkan karena ulah Dave yang membuat acara 'berbagi tumpangan' oleh Arlan menjadi batal dan Tara masih merasa kesal akan hal itu.
Tapi, ya, sudahlah, memang sebenarnya ini adalah hal yang disukai Dave yaitu ketika Tara memarahinya. Bahkan untuk hal sekecil apapun semua tak luput dari kekesalan cewek yang sedang diurai rambutnya itu.
Baginya, semua itu terasa lucu.
Disaat banyak perempuan diluar sana mendekatinya dan berusaha mencari perhatiannya. Tetapi, untuk perempuan seperti Tara, ia merasa tidak ada menariknya sama sekali. Jelas-jelas sejak awal kedatangannya, Tara sudah menolaknya.
"Ah, ya. Buku harian lo.." Ucapan Dave barusan berhasil menarik perhatian Tara, terbukti dari matanya yang menatap penuh kearah Dave untuk menunggu kelanjutan ucapannya. "Ternyata lo bawel juga, ya."
"Meskipun hanya bentuk tulisan." Lanjutnya menambahkan.
Tara memutar bola matanya, lalu beralih memandang kedepan kembali. "Lo nggak paham esensinya." Ia menghela napasnya pelan. "Untuk orang seperti gue, nulis buku harian itu adalah bagian dari hidup."
"Lo bisa cerita sama orang lain."
"Nggak semua orang memahami perasaan lo dan nggak semua orang bisa dipercaya. Kalaupun orang itu dekat sama lo, lo seharusnya cukup tahu diri untuk nggak membebani orang lain dengan masalah yang lo punya."
"Kinan?"
"Termasuk Kinan. Meski dia sahabat gue, gue nggak akan membiarkan dia ikut kerepotan dengan curhatan gue. Mungkin ada, tapi nggak semua hal bisa gue bagi. Hanya lo yang bisa membagi batas itu. Dan hanya lo juga yang bisa memilih, kepada siapa lo mau berbagi."
"Coba sekarang cerita sama gue." Sahut Dave percaya diri.
Tara mendengus, "Gue bahkan nggak pernah kepikiran sedikit pun untuk berbagi apapun dengan lo. Yang ada, gue bawaannya emosi tiap kali lihat lo."
Dave manggut-manggut yang sebenarnya ingin seperti mengejek, "Gue bisa buat lo jadi mau berbagi sama gue."
Sebelah alis Tara terangkat dan menoleh kearahnya.
"Hati lo." Senyum kecil yang seperti seringaian diwajahnya itu muncul. "Itu nanti yang bakal lo bagi sama gue."
Tara berdecak nyaring, "Untung, ya, gue itu nggak kemakan pesona lo. Lo tuh kadang suka nggak sadar, omongan lo bisa bikin orang lain berharap. Ini bukan tentang gue, tapi tentang cewek-cewek diluar sana."
"Gue gini ke lo doang by the way."
"Gue nggak akan terpengaruh juga, sih. Sekalipun lo punya pesona ngalahin adam levine, lo nggak bisa nandingin Kak Arlan dari segi apapun." Sahut Tara cuek.
"Lo ngeremehin gue?"
Cewek yang rambutnya tertiup angin malam itu pun menggedikkan bahu. "Menurut lo aja gimana?
Keduanya lalu terdiam. Dave baru kali ini merasa benar-benar tertolak, hanya untuk perempuan biasa seperti Tara. Padahal perempuan paling cantik disekolahnya dulu pun bahkan sampai mengemis hanya untuk meminta nomor ponselnya.
"Gue bakal buktiin kalau gue bisa bikin lo jatuh cinta sama gue."
"Gak akan terjadi."
***
"Satu...Dua...Tiga...Empat..."
Suara teriakan siswa siswi SMA Bhakti Mulia kelas dua di lapangan sekolah menggema nyaring. Bukan karena semangat berolahraga tetapi karena jam pelajaran olahraga seperti waktu yang paling menyenangkan untuk bermain-main.
"SATU, DUA, TIGA, EMPAT,.." Teriak seorang cowok berkulit coklat gelap itu nyaring dari pojok barisan paling belakang. Membuat beberapa teman-temannya memekik kesal.
"HEH, Ojan! Suara lo, tuh, ya, berisik banget. Gak usah teriak-teriak gitu bisa nggak, sih?!" Sahut Kinan angkat suara mengutarakan isi hati teman-temannya yang sudah mengomel didalam hati.
"Ah, suka-suka gue lah." Balasnya acuh dan kian berteriak dengan menambah satu oktaf lebih tinggi suaranya.
Pak Wardi yang jauh dari barisan mereka tampak biasa saja, bahkan sepertinya tidak terganggu sama sekali. Padahal jelas-jelas suara cowok bernama Fauzan itu sangat mengganggu, terutama anak-anak yang berada di barisan belakang.
"Wah, ngajak ribut, ya, lo?! Sini lawan gue."
Merasa tidak dihiraukan, Kinan sudah akan maju ingin mengajak Fauzan bertengkar seperti kebiasaan mereka dikelas. Meski tidak punya keahlian khusus dalam bertengkar, tetapi Kinan bisa membuat Fauzan paling tidak merasa kapok walaupun sebentar dengan jambakan maut dirambut cowok itu.
"Kin, udah, nanti ketahuan Pak Wardi ribet urusannya." Cegah Tara dengan menahan bahu Kinan.
"Tapi itu, loh, Ra. Temen lo nyebelin banget! Ngajak ribut emang dari kemarin." Jawab Kinan berapi-api.
Prittttttt.
Suara peluit berbunyi panjang.
Semua orang menjadi hening dan fokus pada Pak Wardi di depan.
"Baiklah anak-anak. Pemanasannya cukup. Sekarang lari keliling lapangan..." Titah Pak Wardi kepada semua siswanya. "...5 kali putaran, ya!"
"Yahhhhh bapak"
"Kebanyakan itu pak!"
"Gak kuat saya pak. Ga sanggup."
"Aku tuh lemah, aku tuh."
Begitulah seterusnya teman-teman Tara berceloteh. Berharap paling tidak jumlah putaran bisa dikurangi atau kalau perlu tidak usah lari sama sekali. Sedangkan dari kubu anak laki-laki, mereka terlihat menerima saja mau sebanyak apapun jumlahnya dengan senang hati.
Namun berbeda dengan Tara, ada hal lain yang ia cemaskan.
Melihat perubahan yang cukup kentara dari wajah Tara, Dave jadi ikut berpikir. Dan seperti mendapatkan lampu yang berpijar terang dikepalanya, Dave langsung mengerti.
"Ra," Tegur Dave dan ia hanya mendapat tolehan dari cewek itu. "Lo-"
Prittttttt.
Suara peluit dari Pak Wardi mengintrupsi kegaduhan sesaat itu dan membuat semua dari mereka kembali tenang dengan pekikan karena kaget.
"Sudah! Masa gitu aja protes. Ayo sekarang siap-siap lari." Baru akan meniup peluitnya, Pak Wardi berbicara lagi seperti teringat sesuatu. "Disini ada yang sedang sakit? Atau punya riwayat penyakit?"
"Ra.."
"Apa?" Sahut Tara seperti berbisik seraya menoleh kearah Dave disebelahnya.
"Ngaku aja. Atau gue yang bilang?" Tanyanya serius.
"Gue bisa kok. Gue nggak apa-apa." Tara menghela napas pelan seperti meyakinkan diri sendiri. "Lagipula hari ini pengambilan nilai basket. Gue nggak mau ngulang sendirian."
"Gue temanin."
Prittttttt.
Suara peluit panjang itu telah menandakan mereka harus berlari sekarang. Tidak ada satupun siswa yang mengaku sedang sakit atau memiliki riwayat penyakit yang parah, sehingga Pak Wardi pun langsung memberi aba-aba untuk berlari mengelilingi lapangan.
"Gue nggak selemah itu kali."
Masih mengeyel, Dave tidak kehabisan akal agar Tara bisa menghentikan aktivitas larinya sekarang. Secara spontan, Dave menahan pergelangan tangan kiri Tara untuk membuatnya berhenti berlari dan membawa cewek itu menepi.
"Jangan mulai, deh! Kalau ketahuan Pak Wardi kita bisa dimarahin." Lagi-lagi pelototan Tara tidak berarti apa-apa untuk Dave. Justru cowok itu malah menyahuti ucapannya gemas.
"Gak peduli. Pokoknya lo udahan aja larinya."
Tara memutar bola matanya malas. Jengah dengan larangan Dave sekaligus godaan dari beberapa temannya yang menaruh fokus padanya dan Dave ditengah kegiatan lari mereka.
Dave yang lengah berhasil membuat Tara melepaskan cengkeraman tangan Dave di pergelangan tangannya. Kemudian ia meneruskan larinya diantara gerombolan temannya yang sudah sangat berantakan.
Sementara Dave akhirnya kembali ke barisan dan ikut berlari. Ia memposisikan diri tepat di belakang Tara. Mengantisipasi kemungkinan terburuk dari keadaan Tara jika perempuan itu tetap memaksakan diri untuk terus berlari.
Awalnya semua masih baik-baik saja, hingga diputaran ketiga..
BRUK!
Tara terduduk lemas dan dahinya hampir menghantup batu semen pembatas taman.
"Ra. Lo bawa inhaler nggak?" Itu suara panik Dave yang terdengar jelas ditelinga Tara.
Tara menggeleng lemah. Berusaha setenang mungkin dalam mencari udara segar agar bisa masuk kedalam saluran pernapasannya yang terasa sempit dan mencekik.
Karena semakin lemas dan tak berdaya, Tara akhirnya hampir kehilangan kesadaran. Yang ia ingat terakhir kali adalah teman-temannya mengerubunginya seraya memanggil namanya untuk menyadarkan dirinya, sebelum akhirnya tubuhnya diangkat oleh seseorang tanpa bisa ia protes.