"Gimana sekolahmu seminggu ini? Lancar aja, kan?"
Meski bingung, Tara tetap mengangguk dan menjawab, "Iya bu."
"Syukurlah," Ibu tersenyum lega, yang justru saat melihatnya Tara malah bertambah bingung. Karena tidak biasanya Ibu seperti itu. "Dave gimana?"
Nah, kan!
"Apanya gimana?"
Ibu berdecak, "Iya gimana perkembangan dia disekolah. Dia bisa ngikutin pelajaran atau engga? Sosialisasinya sama teman-teman baru bisa atau engga? Makan-"
"Bu.." Tara menghela napas. Ibunya kenapa, sih? Astaga! "Tara bukan baby sitternya Dave. Lagian dia udah gede gitu masa harus diawasin."
"Ih kamu ini gimana, sih!" Ibu memukul pelan tangan Tara, "Cowok ganteng itu harus di jagain tahu. Nanti direbut orang baru tahu rasa,"
Masalahnya hubungannya sama gue apa? Ya Tuhan.
"Ya gak apa-apalah, Bu. Mau dia deket sama ini itu, suka-suka dia. Kan dia-"
Ibu menggeleng pelan seraya menggerakan telunjuknya senada dengan gerakan kepalanya untuk menolak pernyataan Tara, "Dia itu calon menantu ibu."
"Gak usah aneh-aneh, bu.."
"Ibu bahkan sudah bilang sama Dave," Ucapnya bangga.
"Bilang apa?"
"Kalau dia calon menantu ibu. Dia nggak keberatan juga tuh," Kata Ibu enteng. Terlalu enteng bahkan ibu sepertinya tidak menyadari betapa malunya Tara sekarang. "Lagian kamu tuh lelet banget. Punya kesempatan kenal tetangga ganteng malah di sia-siakan. Karena kelamaan, ibu aja yang bilang."
"Tara nggak suka sama Da-"
"Assalamualaikum-"
"Waalaikumsalam. Nah ini anaknya, panjang umur! Sini-sini makan dulu, kita sarapan." Dengan wajah tengil dan terlalu sumringah, Dave duduk di kursi makan tepat dihadapan Tara.
Tara meliriknya sekilas dari bawah bulu matanya, memperhatikan gerak-gerik Dave yang memang jika dilihat-lihat pandai untuk membuat ibunya suka padanya. Saat itu juga Tara berpikir keras untuk mengakhiri semuanya, sebelum Dave bermain terlalu jauh dalam hidupnya.
***
Seminggu-ralat, tepat lima hari sejak minggu lalu, Tara jadi harus -dengan terpaksa ikut Dave ke sekolah dengan naik mobilnya. Dengan embel-embel bahaya naik sepeda di jalan raya dan pentingnya keselamatan berkendara yang dijelaskan panjang lebar kepada Ibunya, akhirnya Dave berhasil mengabulkan ucapannya waktu itu. Pergi sekolah bersama. Padahal Tara sudah lebih dari setahun pergi ke sekolah dengan naik sepeda dan Ibu dengan senang hati membiarkannya. Tapi yang namanya Dave, tentu semuanya jadi mudah dikuasai olehnya. Bahkan Ibunya sendiri! Apalagi mereka sudah dekat satu sama lain. Tara kalah telak.
Dimobilnya, baik Tara maupun Dave sama-sama memilih diam. Tara yang sibuk memandang keluar dan Dave yang fokus mengemudi sambil sesekali bersenandung mengikuti salah satu lagu dari the script yang sedang diputar. Mungkin Dave juga sedang berpikir keras untuk perkataan apa yang akan diucapkannya. Mengingat cowok itu terlalu-selalu berisik dan mustahil untuk berhenti bicara.
Untungnya jalan raya hari ini cukup sepi, sehingga jalan agak legang. Hal itu tentu sangat menguntungkan bagi Tara, karena ia pasti tidak akan memakan waktu lebih banyak berada di mobil ini bersama Dave.
Tetapi satu hal yang membuat Tara heran saat mobil Dave tiba di parkiran sekolah, suasananya sepi. Tanpa menaruh rasa curiga berlebih, Tara dan Dave tetap masuk lebih dalam hingga ke koridor kelas 10. Suasanannya masih sama sepinya dan itu benar-benar membuatnya semakin bingung.
Kemana orang-orang?
Padahal saat ini jam masih menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Mereka belum terlambat, bahkan masih tersisa sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi.
Seketika Tara melotot dan sedikit menggeram kesal, "Lo ngerjain gue, ya?!"
Dave sudah tertawa terbahak-bahak. Cowok itu sampai memegang perutnya yang mulai keram akibat tertawa terus sejak tadi dan beberapa kali mengusap sudut matanya yang berair. Ditertawakan seperti itu, Tara makin kesal. Apalagi kebiasaan cowok itu setiap pagi dengan menekan klakson berkali-kali tidak sabaran, membuatnya jadi semakin terburu-buru dan sekarang ia baru sadar kalau sedang dikerjai oleh Dave yang dibantu juga dengan ibunya.
"Kesel banget gue. Sumpah, ya!"
Tanpa menghilangkan sisa tawanya yang masih kentara, Dave berkata "Lucu, Ra. Aduh! Tanggung jawab lo, sakit perut gue ketawain lo mulu," Kemudian ia tertawa lagi, padahal mukanya sudah memerah.
"Ngapain juga sih lo cari kerjaan jemput gue kalau tau hari ini lagi libur nasional hah?!"
"Salah lo juga kali. Udah tau libur, main ikut aja sama gue." Dave tersenyum tengil, "Nggak lihat pakaian gue sekarang bukan seragam sekolah?"
Kontan Tara melirik kearah Dave. Dan astaga! Dia memang sejak tadi tidak mengenakan seragam putih abu-abunya.
"Ya lo tahu libur, kenapa bawa gue ke sekolah?!?" Sahut Tara tidak mau kalah.
"Soalnya lo pake baju sekolah. Pasti mau ke sekolah,"Jawabnya enteng. "Kalau pakai baju santai kayak gue, berarti mau jalan-jalan,"
"Halah! Gue tahu lo cuma alasan,"
Dave mengedikkan bahu, "Jadi, mau tetap disini atau pulang? Gue mau balik soalnya,"
Tara melotot, "Heh! Tanggung jawab. Bawa gue pulang. Sekarang!"
"Iya, iya. Yaudah, ayo."
Dengan kaki yang dihentak, Tara berjalan lebih dulu meninggalkan Dave yang senang karena berhasil mengerjai dirinya.
***
Salah satu toko yang lumayan besar dan cukup familier untuk Tara karena sering dilewatinya, menjadi tujuan mereka berikutnya. Toko yang menjual perlengkapan lukis-melukis dan segala keperluan lainnya yang berkaitan dengan bidang seni itu. Ini kali pertama bagi Tara untuk masuk kesana. Mengingat dirinya tidak suka melukis atau hal-hal yang menyangkut seni. Biasa saja maksudnya.
"Tadi katanya lo mau traktir gue es krim? Apaan ini malah kesini," Tara melipat kedua tangannya di depan dada. Menunggu respon dari cowok yang membelakanginya ini.
"Habis ini. Kenapa, sih, buru-buru banget?"
"Males gue kelamaan dekat sama lo,"
Meski ulah tetangganya ini tidak ketulungan jahilnya, Tara tetap melangkahkan kaki untuk mengekor di belakangnya menyusuri rak-rak yang menjual beranekaragam jenis palet.
"Takut naksir, bilang aja."
Tara terkekeh sarkastik, "Ada, ya, manusia kepedean kayak lo. Gue naksir orang juga milih-milih kali,"
"Ya,ya. Anggaplah lo sekarang lagi training buat suka sama gue. Kali aja dari semua cewek-cewek di sekolah, gue milihnya lo,"
"Dih,"
Dave sudah tertawa, bahunya yang lebar bergerak naik turun. Tara tahu meski hanya melihat dari belakang.
"Tapi serius, lo emang kayaknya kurang terbiasa dekat sama gue. Karena gue baik, gue mau bikin lo terbiasa,"
Tara mendengus, "Supaya?"
"Masa sama calon sendiri masih kaku gitu sih,"
Tara menggeplak tangan kanan bagian atas Dave, "Jangan asal ngomong ya lo!"
"Ibu lo udah ngelamar gue, kalau lo mau tahu,"
Tara berdecak. Lihatkan ulah ibunya. Sekarang Dave malah berada diatas angin. Meski semua yang dikatakan olehnya itu hanya bercanda, tapi tetap saja Tara malu. Dia belum pernah digoda seperti ini oleh laki-laki. Apalagi Dave juga...lumayan ganteng.
"Jadi sekarang intinya lo mau beli apaan? Kalau kelamaan, mending gue pulang aja!"
Dave lalu mengambil beberapa kuas dan cat air dengan berat hati untuk dibawa ke kasir sebelum Tara bergerak keluar dari toko.
***
Setelah merasa sangat puas makan es krim dengan varian 3 rasa didalam cup besar, Tara berseru senang. Lumayan lah sekali-kali malak Dave mengingat dosa yang dilakukan tetangganya itu kelewatan banyak pada dirinya. Sementara ini, biarlah Dave menebusnya dengan semangkuk besar es krim dulu, besok-besok Tara akan memikirkan yang lainnya.
Mereka tiba di pekarangan rumah Tara pukul tiga sore lewat beberapa menit. Tara persis seperti siswi yang sedang bolos sekolah, mengingat sejak pagi ia masih berpakaian lengkap seragam sekolahnya. Berbeda dengan Dave yang memang sudah berniat untuk menghabiskan libur satu hari ini untuk jalan-jalan. Meski Tara minta diantar pulang dulu sekedar untuk berganti baju, cowok itu tetap nekat membawanya pergi.
Sekarang sudah pukul sebelas malam. Namun Tara masih terjaga. Pandangannya menatap langit-langit kamar dengan penerangan yang minim. Dia sudah berusaha tidur dengan berbagai macam cara, tapi hasilnya nihil. Jika ia tidak mengingat larangan ibunya untuk pergi ke rumah pohon, pasti Tara sudah akan mengendap-endap keluar rumah sekarang. Belum lagi ancaman ibunya tentang uang sakunya yang dipotong. Seminggu lalu sudah Tara rasakan, sehingga ia harus benar-benar mengirit.
Tapi daripada tidak bisa tidur, lebih baik kabur, kan? Anggaplah sekarang dirinya sedang mencari angin segar, mengusir rasa bosan, dan berharap setelah ini dapat tertidur saat kembali lagi ke kamar karena rasa lelah. Sebentar saja tentu tidak akan menjadi masalah.
Iya, bentar aja, kok! Nanti langsung balik.
Meski sempat merasa ragu, Tara bergerak menuju jendela kamarnya dan melewati jendela itu untuk ke luar kamarnya. Katakanlah sekarang ia benar-benar nekat, tentu dalam hal manjat-memanjat bukan menjadi keahliannya, sekalipun Tara tidak takut ketinggian. Tapi tetap saja jika ia jatuh dari atas sini, rasanya akan sakit juga.
Setelah meyakinkan dan menyemangati diri dengan berkata 'Tara pasti bisa!', Tara kemudian benar-benar melompat dan...
Hap!
...berhasil.
Tara sempat mendongakkan kepalanya keatas, penasaran setinggi apa ia berhasil melompat. Dan sempat terbesit dipikirannya, bagaimana cara untuk kembali naik keatas sana. Tapi itu nanti saja dipikirkan matang-matang saat dirinya ketahuan Ibu sedang kabur.
Tara dengan cepat menaikki tangga rumah pohon. Menuju salah satu spot favoritnya yang berada di ujung ruangan, tepat di sebuah lemari kecil yang dengan uniknya berbahan dari batang besar pohon itu sendiri. Ukurannya yang cukup kecil tidak membuat orang lain tahu bahwa itu adalah lemari rahasia Tara. Tempatnya menyimpan salah satu barang berharganya.
Segera Tara memegang gagang kecil dan mencoba membuka lemari itu, namun ia heran karena tidak di kunci. Padahal ia selalu memastikan bahwa lemari itu selalu dikunci. Bahkan saat tersadar, ia mendapati kunci lemarinya masih terpasang rapi dimulut kunci. Dirinya mulai cemas, perasaannya tidak enak. Setelah berhasil terbuka, sesaat itu juga matanya membulat ketika objek yang seharusnya ia lihat pertama kali tidak ada ditempatnya.
"Buku harian gue dimana?!?"
Ia menelan salivanya saat dirinya memikirkan satu nama dibenaknya, "Dave."