Perempuan dengan rambut sebahu yang sudah di kucir satu itu hanya menghela napas pelan. Memijat pelipisnya dengan sedikit tidak santai. Berharap dengan caranya ini dapat mengurangi sedikit rasa kesalnya untuk meluap.
Cukup kejadian dengan tadi pagi, saat dirinya harus rela turun lebih pagi ke sekolah ditambah paksaan oleh Ibu dan Dave hanya demi menemani cowok itu sarapan pagi di luar. Dan dengan noraknya, Dave bahkan tidak tahu jenis makanan apa yang akan dia makan. Mengingat dia tidak cukup familier dengan makanan-makanan itu. Cukup lama ia terdiam sekedar berpikir untuk menu sarapan apa yang akan dipilih, membuat mereka nyaris terlambat ke sekolah.
Baru merasa tenang sejak 2 jam pelajaran pertama, Dave kembali berulah. Tara memutar bola matanya jengah.
"Ayolaaaaah, Ra! Lagi free class masa lo diem aja disini." Celotehnya untuk kesekian kali.
"Bisa diem nggak sih?!?" Sahutnya ketus. Sumpah, ya, kalau ada lakban, ingin dia lakban saja mulut cowok itu agar tidak bicara lagi.
"Nggak, sampai lo mau nemenin gue ke pameran diatas,"
Sesi free class yang tidak dadakan hari ini membuat semua siswa siswi SMA Bhakti Mulia bersorak senang. Pasalnya agenda tahunan pameran ekstrakulikuler itu sedang diselenggarakan di lantai 3 gedung ini. Mengingat mereka baru saja memasuki tahun ajaran baru. Selain ingin memperkenalkan struktur baru dalam organisasi masing-masing ekstrakulikuler, ajang pameran bertujuan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam bidang non akademik juga. Karena sekolahnya ini cukup terkenal tidak hanya prestasi dalam akademik, namun juga non akademik. Sehingga tidak salah jika kepala sekolah mendukung penuh agenda tahunan ini yang dibantu oleh OSIS sekolah.
Dan diagendakan memang seperti itu, 2 jam pelajaran pertama untuk belajar seperti biasa, sisanya untuk agenda pameran ekstrakulikuler.
"Ayolah. Lo jadi tetangga nggak berbakti banget sama gu-"
"Emang lo siapa, sih, suka merintah gue?" Tanpa mempersilahkan Dave melanjutkan kalimatnya, cewek itu memotong lebih dulu seraya melotot. Berharap tatapannya ini cukup meintimidasi Dave agar tidak menyahut lagi.
Sedangkan Kinan ditempatnya hanya meringis sedikit. Temannya ini kalau sudah mengamuk ngeri juga. Disatu sisi ia sedikit kagum melihat Dave yang anti menyerah untuk mendapat perhatian Tara, atau sampai membuat Tara luluh dan memutuskan untuk menemaninya ke pameran itu.
Benar-benar nekat!
Kalau Kinan jadi Dave, pasti cewek itu memilih pergi saja. Karena Tara persis seperti cewek yang sedang PMS. Salah sedikit langsung marah.
"Gue, kan, anak baru. Butuh di dampingi. Lo harusnya mengayomi gue," Ucap Dave masih mengeyel. Cowok itu bahkan sudah melipat kedua tangannya di atas meja Tara dengan posisi duduk terbalik dari kursinya yang mengarah ke depan. Menatap Tara tanpa takut kalau cewek itu bisa menjambak rambut coklatnya yang sedikit berantakan itu kapan saja.
"Noh! Si Kinan bisa nemanin lo. Gue sibuk. Sudah sana. Hush! Hush!"
Namun Dave sama sekali tidak bergerak, mengikuti instruksi dari Tara. Dan Tara buru-buru mengeluarkan earphonenya, melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu karena cowok dihadapannya ini.
Tapi bukan Dave namanya kalau gampang menyerah. Dengan akal yang luar biasa cerdasnya, Dave berbisik di telinga kirinya yang sempat tersumpal earphone itu dan berkata, "Gue gendong lo aja kali, ya, sampai ke lantai 3."
Tara merinding. Ia bahkan sempat bergidik. Setelahnya ia melepaskan earphone ditelinga kanannya dengan wajah yang sudah tertekuk. Menatap kearah Dave dengan aura permusuhan. Ia benar-benar sudah tidak habis pikir dengan cowok di hadapannya ini yang senyam-senyum seolah menang karena akhirnya Tara menurut.
"Gue tahu lo makin menjadi kalau gue gak gerak sekarang."
***
Seperti yang dapat Tara duga sebelumnya, disepanjang koridor lantai 3, yang merupakan sarang dari siswa kelas 3 di SMA ini sudah sangat ramai. Banyak siswa yang menghabiskan waktunya untuk mengunjungi pameran itu. Terlebih siswa baru yang masih dalam tahap mengenal serba-serbi sekolahnya, jauh lebih mendominasi.
Sebenarnya Tara tidak hanya bosan dengan pameran yang itu-itu saja, tetapi Tara tidak cukup suka dengan keramaian dan jalan yang sesak. Rasanya ia malas. Ditambah, Dave yang masih suka heboh ingin mengunjungi stand ini itu yang membuatnya kadang pusing. Persis seperti anak kecil.
"Ra, gue mau kesana," Tunjuk Dave pada salah satu stand bidang seni, tepatnya seni lukis.
"Yaudah sana,"
"Temenin kek,"
Tara memutar bola matanya, "Kayak anak kecil aja sih lo, ini itu mesti diturutin. Kesana mah tinggal kes-" Kelamaan, akhirnya Dave menarik paksa Tara agar mau menemaninya mendekati stand itu. Ujung-ujungnya meski terpaksa, Tara menurut.
Bosan dengan pemandangannya dimana cowok itu sudah cukup tertarik dalam dunia melukis, Tara memberi jarak dan berjalan mendekat ke arah stand eskul basket. Dia tertarik sejak awal datang, bukan karena eskulnya, tapi karena seseorang.
"Eh Tara. Mau gabung juga, Ra?" Tanya cowok didepannya dengan senyuman manis.
Tara menggeleng pelan. Seanggun mungkin seraya tersenyum manis. "Enggak kak. Gue sih nggak bisa main,"
Arlan, cowok dengan senyuman manis itu terkekeh melihat kepolosan adik kelasnya. "Gue kira, lo kesini mau berubah pikiran dari tawaran gue sebelumnya,"
"Yang ada SMA kita kalah mulu kak, kalau gue join."
Arlan terkekeh seraya memasukkan satu tangannya kedalam saku celana,"Gue bisa ajarin lo cara mainnya, kalau lo mau. Yang terpenting niat belajarnya ada,"
BAH! Hati gue...duh!
Tara kembali tersenyum malu, tersipu entah karena apa. Rasanya kekaguman pada Arlan tidak berkurang sedikitpun, meski rentetan cowok-cowok ganteng yang dibuat oleh Kinan bertebaran di seantero sekolah, tidak cukup menarik perhatiannya.
Dimatanya, Arlan punya banyak kelebihan selain prestasi non akademiknya di bidang basket yang sangat melejit. Dia punya penampilan yang oke-maksudnya tubuh yang atletis, tinggi, bersih, wangi! Secara sikap, dia sopan, ramah, dapat mengayomi yang lebih muda, bahkan dia sudah menjadi siswa teladan di sekolah. Senyumnya juga tidak kalah manis, apalagi di pipi sebelah kirinya sudah terdapat lekuk cantik yang membuatnya semakin manis saat tersenyum, lesung pipi. Terlihat seperti cowok ideal, kan? Nyatanya cowok seperti itu memang ada. Arlan ini buktinya.
Sejak awal bertemu kakak kelasnya ini, Tara sudah di buat nyaman. Padahal saat itu topik yang mereka bicarakan pun sangat ringan dan tidak penting. Dan siapa sangka bahwa hatinya hingga sekarang menyukai Arlan.
"Woy, Ar!"
Tara menoleh kebelakang, sumber suara yang memanggil Arlan dengan nada terlampau tinggi. Tara sedikit kesal, karena usahanya untuk mengobrol lebih lama dengan Arlan tertunda.
Refleks Tara memutar bola matanya malas. Ketika lagi-lagi cowok itu berulah.
Kemudian mereka ber-high five ala cowok-cowok, "Lo mau join basket nggak?"
Dave menggeleng, "Nggak deh. Gue lagi nggak minat basket meskipun bisa. Lagi pengen nyoba yang lain,"
"Padahal lo oke juga kalau main. Malah bisa langsung jadi pemain inti sekolah loh,"
"Entaran ajalah kalau udah mood lagi. Kan lo bisa langsung bantu gue tanpa di tes," Ujar Dave terkekeh
Seterusnya mereka berbicara banyak tentang hal ini dan itu. Tara hanya menatap kearah mereka yang berbicara secara bergantian. Obrolan cowok-cowok yang mengalir saja seperti sudah kenal lama.
Sekarang yang menjadi pertanyaan Tara, sejak kapan mereka kenal? Mereka juga baru sekali ini bertemu, kan? Anehnya lagi menurut Tara, Dave bahkan tidak membubuhkan kata 'kak' saat memanggil Arlan. Sopan sekali. Apa cowok ini tidak tahu bahwa dirinya itu hanya adik kelas?
"Hati-hati loh Ar, sekarang modus banyak macamnya!" Seru Dave yang membuat Arlan tertarik. Tara yang mendengarnya hanya terkesiap dari lamunannya. Dari gerak-geriknya, Dave seperti ingin kembali menjahilinya.
Benar-benar ya dia itu!
"Modus?"
"Modus kayak..." Dave sengaja menggantung kalimatnya dan tersenyum jahil seraya melirik kearah Tara yang sudah sedikit melotot kearahnya. Tanpa sadar, Tara telah mencengkram roknya panik. Bahkan sekarang wajahnya perlahan memerah, malu. "Kayak nanya-nanya gitu padahal nggak mau gabung,"
"Oh... itu,” Arlan manggut-manggut, “Udah paham gue. Sebenarnya nggak masalah sih, selama nggak meresahkan."
Dave bergumam dan menyentuh dagunya seperti orang berpikir. "Gue punya contohnya kalau lo mau tahu,"
"Ngomongin apaan sih?" Cela Tara buru-buru. Sebelum tetangganya ini bertindak gila, lebih baik ia memotongnya sekarang.
"Ngomongin cewek yang suka modus," Ujarnya enteng seraya mengalihkan wajahnya kearah Tara, "Mau tau juga?"
"Penting banget apa!"
"Pentinglah! Biar Arlan tahu,"
Arlan terkekeh, "Eh, eh, kalian kok malah berantem. Udah nggak usah di bahas lagi. Nggak terlalu penting masalah itu."
Lewat matanya Tara berbicara kepada Dave 'Hah! 1-0. Awas ya lo,' dan tanpa Arlan tahu, Tara sudah tersenyum miring seperti ingin memakan Dave, yang dibalas cowok itu santai.