Tara berusaha menahan dirinya agar tidak mengumpat sekarang. Terlebih posisinya sekarang benar-benar tidak menguntungkan. Mengumpat di depan ibunya sama saja dengan mencari mati. Cukup dengan uang sakunya yang terancam, bisa jadi dengan berkata kasar pada orang lain justru akan membawanya kepada masalah yang lebih besar. Misalnya seperti, pergi sekolah naik angkutan umum!
Tara takut nyasar, bukan gengsi.
Tapi memang dasarnya Dave suka cari gara-gara, mana bisa Tara menahan diri untuk tidak mengumpat dalam hati. Sumpah serapah tanpa filter itupun secara tidak langsung sudah tertuju pada Dave tanpa ampun. Apa sih maunya anak itu? Apa ini karena Tara tidak mau berkenalan dengannya? Kalau memang itu alasannya, Dave benar-benar kekanakan.
Ingat baik-baik, Tara tidak akan pernah mau bersalaman dengannya!
Ibu bergumam. "Enggak tahu. Siapa tuh?"
Seolah mendapat kesimpulan tentang ibu yang tidak tahu menahu tentang siapa itu Arlan, Dave melirik jahil kearahnya. Dari matanya, Tara berharap kalau cowok itu mau membungkam mulutnya kali ini dengan tidak membocorkan siapa itu Arlan. Karena ia merasa...malu jika ketahuan. Sekalipun ia tidak memiliki status apapun dengan cowok bernama Arlan itu.
Dave tersenyum kecil seperti berusaha menahan tawanya ketika melihat ekspresi Tara seperti ingin menangis, "Ah itu tante, temen baru Dave di sekolah. Katanya rumahnya dekat sini.."
Tara bernapas lega. Wajahnya sudah lebih rileks, tidak setegang tadi. Memang tidak salah, Dave itu orang yang pintar ngeles.
Baru lah setelah ibu merespon dengan 'oh', pembahasan mereka mulai melantur kemana-mana. Mulai dari kehidupan di eropa, alasan memilih Bandung untuk tempat tinggal, hari-hari disekolah, dan pertanyaan tentang apakah Dave mau dijodohkan dengannya atau tidak. Meski tidak memprotes, ia mendengus sekaligus berdecak kasar. Kesal dengan kelakuan ibunya yang satu itu. Terlebih ibunya sudah memandang Dave dengan kekaguman berlebih. Memang, sih, secara fisik dan tingkat ke-gantengan-nya, Dave jauh di atas rata-rata di banding dengan teman-teman sekelasnya, bahkan anak-anak cowok di angkatannya. Ralat, semua cowok di sekolahnya! Pengecualian untuk Arlan. Dave tidak sebanding dengannya, belum apa-apa ia sudah tergepak jauh. Ibu hanya belum tau saja kelakuan Dave aslinya bagaimana. Bikin naik darah!
Karena malas menjadi salah satu topik pembicaraan ibu dengan Dave yang semakin melantur, Tara memilih melenggang pergi menuju kamarnya. Ia perlu menenangkan diri, menerima kenyataan bahwa hidupnya sudah tidak akan setenang dulu.
***
Sekarang masih pukul 6.30 pagi, tapi Tara sudah kalang kabut menyiapkan diri. Beruntung semalam buku-bukunya sudah tersusun rapi didalam tas. Hanya saja ia belum sempat mengucir rambutnya karena suara bising dari bawah membuatnya mengalah. Tetapi, meski malas, cewek itu tetap bergerak dengan terburu-buru. Dia kesal!
Karena selain suara ibu yang terus meneriakinya dari bawah untuk segera turun, suara klakson mobil milik seseorang dengan tidak sabaran itu, menintruksikannya supaya lebih cepat. Astaga! Ada apa dengan orang-orang ini?
“Tara! Aduh cepat itu ditunggu Dave di depan rumah loh! Pamali buat orang ganteng nunggu,” Ucap ibu berlebihan ketika baru saja Tara tiba dihadapannya. Bahkan napasnya masih memburu sehabis berlari. Ibu bahkan tidak menawarinya untuk sarapan dulu dan malah menyuruhnya untuk segera menemui cowok itu.
Haa! Yang benar saja!
Lagi pula mau apa, sih, anak itu pagi-pagi begini? Sekolah juga akan dimulai setengah jam-an lebih lagi. Ini masih terlalu pagi kalau untuk kesekolah. Tidak mungkin mereka akan terlambat. Biasanya juga Tara berangkat dari rumah pukul 7 pagi dan masih menyisakan waktu kurang dari 5 menit sebelum bel masuk berbunyi.
“Ck. Malah melamun.” Ibu memutar tubuh Tara hingga dapat membuka resleting tas berwarna merah marun dipunggung anaknya itu untuk memasukkan kotak bekal berisi roti panggang berselai blueberry kesukaannya. “Sarapannya di mobil sama Dave. Bagi dua, ya, rotinya. Ibu buat lebih untuk kalian.” Tak lupa ibu juga menyodorkan kearahnya botol berukuran sedang berisi susu vanilla kesukaannya, “Susunya jangan lupa diminum. Udah sana. Ditungguin cowok ganteng!”
Tanpa sempat mengucap sepatah kata pun, bahkan memprotes, akhirnya Tara melangkah semakin malas, menurut saja. Ibu dengan tega mendorong pelan punggungnya agar Tara segera mempercepat langkahnya bertemu dengan orang yang masih menyisakan rasa kesalnya hingga ke ubun-ubun itu. Bahkan Dave tidak meminta maaf atas kelakukan-kelakuannya!
Setelah bersalaman dan pamit untuk pergi, serta membunyikan klakson sekali, mobil Dave berlalu meninggalkan pekarangan rumah Tara. Tidak ingin berbicara apapun, Tara melipat kedua tangannya di depan dada dan wajahnya cemberut dengan bibir yang mencebik.
“Seperti yang gue bilang kemarin, kalau kita bakal ke sekolah bareng,” Ujar Dave seraya tersenyum miring tanpa melirik kearah Tara dan memilih fokus dengan jalan dihadapannya.
Tara berdecak, “Lo emang suka cari perhatian rupanya. Ngomong apa aja sih sama ibu gue?”
Dave mengedikkan bahu, “Entah. Resiko orang cakep!”
Tara ingin muntah.
“Gue pikir, cowok kayak lo pasti punya pacar banyak. Mengingat wajah lo di atas rata-rata-“
Eh?
Sontak Dave terbahak. Dan hal itu membuat Tara sedikit menciut dikursinya dan wajahnya memerah menahan rasa malu. “Gue tahu kalau gue secakep itu. Pesona gue nggak akan terkalahkan.”
“Kepedean lo!”
“Lo sendiri tadi yang bilang,” Dave melirik kearah Tara disebelahnya yang juga menatap balik kearahnya, cowok berambut coklat itu ternyum jahil, “Atau lo juga mau jadi cewek gue?”
Itu tadi Dave menembak Tara? Tidak mungkin! Dave, kan, sukanya main-main saja.
Tapi sayangnya, meski mengelak ucapan tidak masuk akal Dave itu, wajah Tara sudah memerah lagi. Mata melotot yang ditujukan Tara pada Dave adalah bentuk manipulasi ekspresi karena rasa malu itu.
“HAHAHA! Biasa aja kali mukanya,” Tara memalingkan wajahnya. Sungguh, masih pagi dia sudah ingin marah-marah. “Iya gue paham lo mulai suka sama gue. Gue bakal tunggu sampai lo ungkapin itu.” Lanjutnya sambil terkekeh.
“Diem atau gue jambak rambut lo?!” Ancam Tara pada Dave yang justru menyengir. “Hanya di mimpi lo! At least, lo Kak Arlan, baru gue ngelakuin apa yang lo bilang barusan,”
“Memang si Arlan-Arlan itu tahu lo suka sama dia? Kayaknya belum, deh.” Dave bergumam seperti orang yang berpikir. Kelakuannya itu justru sedang mengejek Tara, bukan benar-benar seperti orang yang empati. “Oh, gimana kalau gue yang ngomong? Kayaknya keren kalau gue punya teman kaka kelas macam Arlan. Dia anak basket yang cukup popular disekolah, kan? Oh iya, dia, juga mantan ketua eskul basket..” Ucap Dave terus berceloteh seolah telah kenal lama dengan seorang Arlan. Dan sejujurnya telinga Tara mulai panas mendengar ucapan sok tahu cowok itu tentang Arlan. Dia tidak suka.
Terlebih Dave selalu menjawab ucapan-ucapan ketusnya dengan mudah dan seolah langsung dipatahkan olehnya hingga berakhir dengan Tara yang kehabisan kata. Benar-benar cerewet tingkat akut!
Tidak beruntungnya lagi, meski mereka sudah datang terlalu pagi, Tara merasa perjalanan mereka terlalu lama. Dia jadi tidak tahan untuk terus-terusan berada di sekitar Dave yang membuatnya ingin meledak.
Dave menghentikan mobilnya ketika warna yang menyala pada rambu lalu lintas berwarna merah. Tiba-tiba sebuah ide sedikit gila muncul di benaknya.
Tara dengan bergegas membuka pintu mobil dan beranjak keluar. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah klakson motor bergema nyaring di jalan yang tidak terlalu ramai ini datang dari arah belakang dan secepat itu pula Dave menarik tangan kanan Tara agar cewek itu kembali masuk kedalam mobilnya.
“Lo gila, ya, huh?” Ucap Dave sedikit membentak. Dave sudah mengunci mobilnya kembali, mengantisipasi kalau Tara ingin kabur lagi.
Mengabaikan bentakan dari Dave dan berusaha melupakan keterkejutannya sendiri, Tara berkata, “Gak usah bareng gue lagi, deh, besok-besok. Sial mulu gue perasaan!”
Cowok itu hanya mengabaikan ucapan Tara barusan, “Gue laper. Temanin gue sarapan.” Sahutnya dengan nada seperti semula dan ia langsung mengemudikkan mobilnya kearah kanan, berkebalikan dengan arah menuju sekolahnya di kiri perempatan tadi.