Loading...
Logo TinLit
Read Story - Run Away
MENU
About Us  

Akhirnya mereka sampai di tempat yang mereka tuju. Bukan Tara tetapi Dave. Tara bahkan baru tahu jika ia akan berakhir di café ini.

Astaga, seharusnya mereka sudah sampai sejak lima menit lalu dan perjalanan hanya butuh waktu sekitar lima belas menit. Tetapi mereka baru sampai setelah memakan waktu selama hampir setengah jam! Perempuan itu tidak sadar bahwa sejak tadi Dave membawanya berkeliling dulu dan memilih rute yang agak jauh. Bahkan tanpa perempuan itu sadari lagi, café ini sudah dua kali mereka lewati.

Memang percuma, menolak Dave tidak ada gunanya. Tara sudah menego─meski tersirat─ ajakan makan ice cream dadakan Dave. Tetapi tidak ada tanggapi berarti dari cowok itu. Justru ia gencar mengajaknya berdebat tanpa rasa lelah dan mau mengalah. Hukum ‘cewek selalu benar’ itu tidak berlaku sama sekali bagi Dave. Mungkin baginya, selama bisa berdebat, mengapa tidak?

Tara sudah meremas kedua tangannya. Cuaca yang dingin seperti ini sudah membuatnya menggigil, meski suhu udara tidak mencapai angka minus. Tanpa disadari perempuan itu, perilakunya itu mendapat perhatian dari Dave. Cowok itu sadar kalau Tara kedinginan, apalagi dengan kaos yang dipakainya jelas tidak mampu menghalau dinginnya hari yang menyerang kulit. Dave saja memakai sweater. Meski tidak sedingin kampung halamannya di sana. Tetap saja terasa dingin juga. Namun Tara terlalu enggan mengakui itu padanya.

"Pake." Dave menyodorkan sebuah hoodie berwarna abu-abu gelap kebesaran kepadanya─yang diambil dari kursi belakang─. Menyentaknya dengan sedikit lemparan yang mendarat mulus di wajah Tara yang sedikit pucat.

Wangi, batin Tara, refleks.

Buru-buru Tara sadar dan berdecak. Sadar Chintara!, teriak batinnya menyangkal.

Cowok itu, benar-benar nggak ada lembutnya sama sekali!

"Gue nggak mau lo pingsan karena kedinginan."

"Jangan lupa dicuci kelar lo pake." lanjutnya setengah mengejek.

Tara hanya mencibir namun tetap menggunakan hoodie itu. Ia pikir harus menurunkan egonya sedikit.

Hingga disinilah mereka berada. Di dalam sebuah café lumayan besar yang dibuat estetik, kekinian yang cocok buat nongkrongnya anak muda seperti mereka. Terlihat dari menu café, spot-spot foto yang instagram-able, dan mayoritas pengunjung yang didominasi anak-anak SMA seusia mereka.

Selain menjual ice cream, café ini juga menjual susu dan kopi dengan varian rasa yang berbeda, yang dapat disajikan dalam bentuk dingin maupun panas. Ada juga makanan ringan atau semacam kue dan roti, intinya semacam itu karena Tara tidak terlalu memperhatikan. Bahkan pizza pun ada!

Tara sempat malu mengingat bajunya yang seperti salah kostum, tapi tertolong oleh hoodie oversize milik Dave. Meski tetap saja, rasanya sedikit aneh. Salahkan tubuh Dave yang lebih besar darinya, ia sekarang seperti tenggelam menggunakan hoodie ini. Tapi, ya, sudahlah. Daripada hanya memakai kaos rumahan dan lusuh.

Cowok itu lalu mengajak Tara menuju lantai dua café. Disini lebih tenang, karena pengunjungnya tidak banyak. Hanya suara rintik hujan yang mendominasi karena langsung jatuh di atas atap yang menaungi mereka. Di lantai ini juga, hanya ada mereka dan sepasang manusia lainnya yang tak jauh dari mereka.

"Kenapa, sih, gue nggak boleh nunggu lo latihan basket tiap sore?" tanya Tara sedikit random, ketika mereka baru duduk di salah satu meja.

Alis Dave yang berada dihadapan Tara sudah naik sebelah.

"Lo modus."

Tara jadi gemas sendiri. Memang masalahnya apa? “Gue, kan, bukan modusin lo. Memangnya kenapa?"

Dave tidak merespon. Justru cowok itu tampak sibuk membolak-balik buku menu dihadapannya. Acuh dengan Tara yang sudah penasaran.

"Sebelum lo datang, gue juga udah biasa nontonin anak-anak basket latihan."

Lagipula ia juga tidak benar-benar mengerti basket. Satu-satunya yang membuatnya bertahan di tribun lapangan outdoor basket sekolahnya adalah Arlan. Meski ia bukan menjadi satu-satunya siswi yang berada disana. Bedanya, cewek-cewek lain itu memiliki status lebih terhadap teman-teman basket Arlan daripada dirinya.

Lalu setelah Arlan menepi untuk beristirahat, saat itu Tara akan berusaha membuat Arlan melihatnya. Hingga sebuah senyum manis yang cowok itu perlihatkan padanya, menjadi bukti bahwa kehadirannya terbalaskan. Paling tidak, pengorbanannya tidak sia-sia. Ia juga tidak akan merasa terlalu asing disana. Di lingkaran pertemanan Arlan yang bukan dirinya sekali. Senyum miliknya menjadi alasan pula mengapa ia harus bahagia saat itu. Rasa bahagia yang membuncah di dalam dadanya. Senyum yang akan selalu ia rekam dalam benaknya. Setelahnya, tanpa harus meminta, Arlan akan dengan senang hati menawarkan tumpangan pulang bersama. Dan tanpa ada drama menolak, sudah jelas Tara akan menyetujuinya.

Dave menghela napas pelan.

"Lo pergi bareng gue, pulangnya juga bareng gue."

Decakan itu terdegar dari Tara. "Kemarin-kemarin lo minta gue balik bareng Kinan. Padahal gue nggak bareng dia perginya."

"Itu beda lagi."

Tara memutar jarinya di depan wajah Dave dengan tatapan memicing, "Modusin gue, kan, lo?!"

Lelaki itu menangkap jari Tara yang terus bergerak di hadapannya yang buru-buru ditarik Tara, "Ya, ya, terserah lo, deh. Lo mau pesan apa? Cepetan."

Tara sedikit memekik ketika baru menyadari seorang pelayan muda, dua atau tiga tahun diatasnya sudah berdiri di dekat meja mereka. Menunggu pesanan mereka─lebih tepatnya Tara karena Dave sudah memesan lebih dulu.

Setelah berhasil memesan, pelayan itupun berlalu pergi dengan ramah.

Tara terkesima sesaat.

Entah mengapa, pelayan tadi membuat Tara jadi iri. Selain cantik, pelayan itu dewasa dan tegas.

"Pelayannya cantik,"

Tara sudah terlanjur tertarik itupun sontak menoleh.

"Itukan yang lo pikirin." Seperti cenayang, Dave berhasil mengetahui isi kepalanya. Terbukti dari sebelah alisnya yang naik disertai tatapan geli ke arah Tara yang keheranan.

"Lo kenal?"

"Cuma tahu. Bukan kenal."

Tara hanya manggut-manggut saja. Dave yakin jika Tara tadi tidak menyadari bahwa mereka sudah bertukar senyum dengan pelayan itu.

"Dave!"

Pandangannya teralihkan ketika matanya menangkap seseorang berdiri di dekat tangga lantai dua, meneriakkan namanya. Hal itu juga tak luput dari pendengaran Tara, karena cewek itu kini ikut-ikutan menengok ke arah suara. Seketika itu juga matanya membelalak lebar.

Dalam radius kurang dari sepuluh langkah, Tara tahu bahwa kondisinya sekarang tidak baik. Dalam artian, kondisi hatinya yang tidak stabil karena terlalu gugup.

Pagi itu, Tara melihat Arlan dengan style-nya yang berbeda dari biasanya. Soalnya di sekolah, perempuan itu selalu bertemu Arlan dengan pakaian sekolah. Pakaian formal. Tetapi apapun itu, bagi Tara, lelaki itu selalu terlihat keren meski memakai baju bebas.

"Kalian dari tadi disini?" Tanya Arlan yang sudah berdiri menjulang di depan meja mereka.

"Ada kali sepuluh─belas menitan,"

"Kakak sendirian aja disini? Ngapain?"

Tanpa peduli, Tara mengeluarkan apa yang sejak tadi ia tahan. Bertingkah seolah tidak ingin tahu, padahal sebenarnya ia sudah penasaran sampai ke ubun-ubun.

"Oh itu, gue mau ketemu seseorang," ujarnya seraya tersenyum kecil.

Setelah menunggu beberapa menit, pelayan cantik yang menerima pesanan dari Tara maupun Dave itu akhirnya datang membawa pesanan mereka. Dan secara bersamaan, perempuan itu terkejut dengan kehadiran Arlan. Tapi tak lantas untuk tidak menahan senyumnya.

"Kak Shey,"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Frekuensi Cinta
307      259     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
Can You Hear My Heart?
687      408     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Alvira ; Kaligrafi untuk Sabrina
14545      2625     1     
Romance
Sabrina Rinjani, perempuan priyayi yang keturunan dari trah Kyai di hadapkan pada dilema ketika biduk rumah tangga buatan orangtuanya di terjang tsunami poligami. Rumah tangga yang bak kapal Nuh oleng sedemikian rupa. Sabrina harus memilih. Sabrina mempertaruhkan dirinya sebagai perempuan shalehah yang harus ikhlas sebagai perempuan yang rela di madu atau sebaliknya melakukan pemberontakan ata...
Panggil Namaku!
8891      2271     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
ALUSI
9864      2331     3     
Romance
Banyak orang memberikan identitas "bodoh" pada orang-orang yang rela tidak dicintai balik oleh orang yang mereka cintai. Jika seperti itu adanya lalu, identitas macam apa yang cocok untuk seseorang seperti Nhaya yang tidak hanya rela tidak dicintai, tetapi juga harus berjuang menghidupi orang yang ia cintai? Goblok? Idiot?! Gila?! Pada nyatanya ada banyak alur aneh tentang cinta yang t...
Untuk Navi
1204      659     2     
Romance
Ada sesuatu yang tidak pernah Navi dapatkan selain dari Raga. Dan ada banyak hal yang Raga dapatkan dari Navi. Navi tidak kenal siapa Raga. Tapi, Raga tahu siapa Navi. Raga selalu bilang bahwa, "Navi menyenangkan dan menenangkan." *** Sebuah rasa yang tercipta dari raga. Kisah di mana seorang remaja menempatkan cintanya dengan tepat. Raga tidak pernah menyesal jatuh cinta den...
Dimensi Kupu-kupu
14612      2794     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
Aku Tidak Berlari
750      524     0     
Romance
Seorang lelaki memutuskan untuk keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Penjara itu adalah rasa bersalahnya. Setelah bertahun-tahun ia pendam, akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan kesalahan yang ia buat semasa ia sekolah, terhadap seorang perempuan bernama Polyana, yang suatu hari tiba-tiba menghilang.
AVATAR
8210      2297     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
Salju di Kampung Bulan
2149      984     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***