Read More >>"> Persinggahan Hati (Bagian 2 \"Berkenalan\") - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Persinggahan Hati
MENU
About Us  

Bagian 2

 

"Berkenalan"

 

Lantunan sholawat terdengar melalui earphoneku, mata dan jari – jariku tidak mau kalah sibuk dengan telinga kananku. Mereka berdua saling berkolaborasi hingga menciptakan sebuah pengetahuanku mengenai kandungan setiap ayat dalam Al – Quran.

 

"Kenapa kamu dari tadi pegang handphone terus?" Lontaran kata itu membuat konsentrasiku terpecahkan. Aku menangkap sosok yang melontarkan kata-kata tersebut. Berdiri tepat di depanku, namun ia memberikan jarak hingga kami berdua tidak begitu dekat

 

Aku hanya tersenyum dan menunjukkan handphone padanya 

 

"Sorry aku ganggu kamu yah. Aku pergi dulu aja deh."

 

"Nggak ngeganggu kok. Aku emang udah beres mengaji. Cuman lagi baca arti setiap ayatny," Aku menarik napas sesaat. Dia meminta izin padaku untuk duduk disampingku, aku mempersilahkannya. Seperti biasa kami berdua memberikan ruang agar kami tidak begitu dekat satu sama lain yang akan menyebabkan timbul suudzon. 

 

"Apakah kamu pernah tanpa sadar meneteskan air mata ketika membaca arti dalam setiap ayat?" tanyaku

 

"Tentu saja pernah." Laki - laki itu menganggukkan kepalanya.

 

"Bahkan seorang laki-laki sepertimu bisa meneteskan air mata. Apalagi sepertiku," aku menghela napas panjang, "Surat Ar-Rahman di ayat empat puluh satu, aku menangis bagaimana orang-orang berdosa ketika ajal menjemputnya, rasa sakit yang begitu luar biasa. Aku berpikir jika aku termasuk golongan orang-orang berdosa, Malaikat Izrail menjemput nyawaku, seberapa sakit yang akan aku rasakan nanti." tanpa sadar air mataku keluar dari ujung mataku.

 

"Kamu tahu? Setiap manusia di muka bumi ini pastilah pernah melakukan dosa. Namun, Alloh akan memberikan pertolongan-Nya untuk orang-orang yang senantiasa mengingat-Nya" Kata – katanya membuat suasana menjadi hening.

 

Saat ini aku sedang berbicara dengan Rifqi, dengan nama lengkap Rifqi Mukhtarullah. Laki-laki yang aku kukenal sejak aku bergabung di ekskul jurnalistik. Umurnya satu tahun lebih tua dibandingkan denganku, namun dia satu angkatan denganku. Penyebab ia bisa satu angkatan denganku, karena dia masuk Sekolah Dasar pada usia 7 tahun. Walaupun, aku dan Rifqi berbeda umur, namun dia tidak ingin dipanggil dengan sebutan kakak atau sebutan lainnya. Dia lebih senang di panggil dengan namanya saja. 

 

Jabatan dia di ekskul jurnalistik hanyalah sebagai editor redaksi. Rifqi menolak untuk menjadi kadidat Calon Ketua Ekskul Jurnalistik pada tahun lalu. Karena dia takut, kesibukan dia menjadi ketua akan menyita waktunya untuk mengurusi Ibunya yang sedang sakit saat itu.

 

Jika kalian tahu perkenalanku dengan Rifqi tidak seperti perkenalan dengan tatapan kontak mata atau jabat tangan yang hal biasa orang lain lakukan. Saat itu, aku belum bergabung di ekskul jurnalistik, tapi aku selalu tertarik melihat mading yang sering menghiasi samping kelasku. Mading bulan september menjadi saksi perkenalanku dengan Rifqi. Seperti biasa, dalam mading terdapat memuat"Photos of Month" aku melihat sosokku sedang duduk di bangku bawah pohon, kedua tanganku begitu erat menggengam sebuah Al – Quran yang terbuka, kerudung putihku terlihat seperti berayun – ayun dengan sang angin yang tengah nakal di siang hari saat itu. Kedua mataku tidak menyadari akan ada seseorang yang sedang memotretku saat itu. Aku memerhatikan foto itu dengan seksama. 

 

"Oh jadi kamu sosok yang aku potret,"Aku ingat betul kata – kata yang ia lontarkan saat itu. Sosoknya datang tepat dibelakangku membuatku terkejut. Aku langsung membalikkan badanku, senyumannya yang dilengkapi lesung pipi menyapaku dengan ramah.

 

"Jadi, kamu yang memotretku saat itu ?" Anggukkannya sebuah jawaban yang cukup jelas untukku.

 

"Kenapa kamu memotretku diam – diam?" Tanyaku. Karena kupikir dia stalker, Astagfirulloh, maafkan aku yang sempat bersuudzon padanya saat itu.

 

Tangan kanan yang lebar menggaruk alis sebelah kirinya". Karena aku salah satu fotographer di sekolah ini. Aku bingung objek mana yang harus kupotret saat itu. Kebetulan sekali kamu duduk disana dengan tangan kananmu sedang memegang Al – Quran. Sebuah pemandangan yang tidak bisa aku lewatkan begitu saja." Sesekali ia meremas – remas rambutnya yang pendek itu. "Sebelumnya aku minta maaf jika aku memotretmu tanpa izin."

 

"Tidak apa – apa, aku hanya sedikit terkejut melihat fotoku tertempel di mading"

 

Kedua mata coklatnya langsung memandang kembali foto yang menampilkan sosokku di dalamnya, "Sosokmu dalam foto itu, memiliki sebuah pesan yang cukup dalam, menurutku"

 

Aku mengangkat alis kananku, "Apa itu?"

 

Dia tersenyum sesaat, lalu telunjuknya menunjuk ke arah fotoku, "Lihat siswi dalam foto ini! Dia begitu serius membaca Al –Quran walaupun di saat waktu yang tidak begitu banyak. Sosoknya akan menjadi pendorong siswi lain untuk melakukan hal yang diperbuatnya dalam foto itu. Kesholehannya selalu ingat pada Alloh."

 

Aku terkekeh mendengarkan perkataannya, hingga tangan kananku menempel pada mading. Untuk kedua kalinya ia menampilkan kedua lesung pipinya yang bersamaan dengan senyumannya.

 

"Aminnn... semoga bisa menjadi pemacu untuk siswi lain." Aku menarik napas sesaat setelah mendengar perkataannya.

 

"Bolehkah aku meminta fotonya?" Aku mengulurkan tanganku seperti anak kecil yang meminta THR pada saudaranya

 

"Bukankah kamu punya fotonya?" Alis mata kananku kembali terangkat mendengar perkataannya.

 

"Tentu saja tidak. Untuk apa aku meminta kepadamu, jika aku memiliki fotonya."

 

"Bukankah kamu gabung ekskul jurnalistik?" tanyanya dengan wajah yang terlihat serius.

 

"Tidak. Kenapa kamu berpikir bahwa aku anak jurnalistik?" Kedua bahuku ikut mengekspresikan rasa bingungku dengan pertanyaannya.

 

"Entah kenapa orang sepertimu memiliki aura jurnalistik yang sangat kental, tanpa aku harus berkenalan denganmu terlebih dahulu" 

 

Aku kembali dibuat senyum oleh perkataannya, dia pun ikut tertawa dengan kembali menunjukkan lesung pipinya. Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tanganku,

 

"Rifqi, nama yang belum pernah aku ubah selama 16 tahun ini. Salah satu anak didik Pak Ozi tahun pertama" tapi aku hanya membalas jabat tangannya, namun tidak menyentuhnya. Dia mengerti mengapa aku melakukan itu. Pak Ozi bukanlah ayah kandung dia, tapi beliau berperan sebagai ayah disekolah dalam kata lain wali kelasnya. Pak Ozi mengajar dua mata pelajaran produktif di jurusan Multimedia.

 

"Azkia, jurusan Administrasi Perkantoran satu angkatan juga denganmu. Haruskah aku memanggilmu dengan sebutan kakak?" tanyaku.

 

"Nggak usah, cukup panggil saja namaku itu sudah cukup."

 

Kuperhatikan tangan kanannya masih dalam posisi mengajak salaman. Aku bertanya – tanya mengapa dia masih melakukan hal itu. Matanya seperti mengerti hal sedang aku pikirkan lantas ia memintaku untuk merapatkan kedua telapak tanganku seperti orang yang hendak meminta maaf dikala hari raya tiba. Aku mengikuti yang dipintanya, lalu telapak tangan kirinya ikut ditempelkan pada telapak tangan kanannya. Ia meminta mengikuti gerakannya, gerakan yang tidak asing lagi bagiku, permainan tepuk tangan yang biasa dimainkan saat umurku 8 tahun bersama temanku, sembari menyanyikan lagunya bersama – sama. Akhir gerakan kedua telapak tangan kami harus saling berhadapan seperti akan melakukan high five, ditambah sebuah kalimat, "Alhamdulilah bahagia,"

 

Namun, kami berdua melakukannya tidak sampai menyentuh sama lain, dia mengatakan ini salaman untuk setiap kali kita berdua tertawa bersama. Aku kembali tergelitik mendengar perkataanya. Baru pertama kali aku mengobrol dengan seseorang yang baru kukenal 5 menit yang lalu, sampai seakrab ini. Aku menganggukkan kepala menyetujui yang dipintanya.

 

"Sosok sepertimu sangat dibutuhkan di ekskul jurnalistik. Maukah kamu bergabung dengan kami?" Tawarnya

 

Tanpa pikir panjang aku menerima tawarannya, kulihat wajahnya 

 

"Setelah pulang sekolah datanglah ke tempat kami, akan kuperkenalkan pada ketua jurnalistik." Perlahan dia melangkah kakinya mundur hingga yang kulihat punggungnya yang begitu kokoh berjalan hingga sosoknya tertelan oleh kerumunan siswa – siswa yang bergerombol dari arah utara. Baru saja aku mengambil satu langkah, aku dibuat terkejut.

 

"Oh iya aku lupa satu hal kecil, Assalamualaikum, Azkia."

 

"Walaikumsalam," Aku terkekeh melihat tingkah lakunya, datang kembali hanya mengucapkan salam.Tapi, dia laki – laki yang begitu memperhatikan hal kecil pada sesuatu hal.

 

Humoris, ramah, mudah sekali untuk diajak berbicara, itulah tanggapan pertamaku mengenai dirinya. Dan hanya perkenalan lima menit itu, membuatku menaruh hati padanya. Apakah aku akan menyebut namanya dalam setiap sujud terakhirku? 

 

***

 

Jika aku dan Rifqi sudah bertemu biasanya kami berdua membahas tentang agenda-agenda di jurnalistik di waktu istirahat atau pun selekas pulang sekolah. Oh, iya aku hampir lupa memperkenalkan diriku, namaku Azkia Qintara Fatimah, biasa dipanggil Kia atau tara, saat ini aku menginjak kelas 11 semester genap. Aku bersekolah di SMK swasta di Kota yang tidak perlu kusebut namanya. Tidak perlu kesebutkan kembali berapa umurku saat ini karena sdah kuceritakan

 

Jabatanku di ekskul jurnalistik hanyalah sebagai sekretaris. Mereka mengangkatku jadi sekretaris, karena aku satu-satunya dari jurusan Administrasi Perkantoran yang mengikuti ekskul jurnalistik pada masa itu. Alhamdulilah, untuk angkatan adik kelasku, cukup banyak peminat yang masuk ekskul jurnalistik. 

 

Jurnalistik seakan telah mendarah daging padaku. Karena dulu Ibuku berprofesi menjadi wartawan koran harian. Banyak prestasi yang Ibuku raih selama berprofesi jadi wartawan. Bahkan saat itu, ibuku berkesempatan untuk mewawancari Perdana Menteri Inggris. Namun, semenjak menikah dengan ayahku, ibu berhenti menjadi wartawan. Tapi, ibuku masih aktif mengisi artikel dalam koran dan majalah mingguan.

 

Rifqi sudah tahu betul keberadaanku selama waktu istirahat. Biasanya aku duduk di bangku panjang yang telah dipoles dengan cat berwarna coklat. Bangku itu dihadapkan dengan pemandangan lapangan basket. Beberapa tanaman hias yang mengantung, menambah suasana sekolah yang dekat dengan alam. Belum lagi setiap hari rabu, kalian akan mendengarkan sebuah pertunjukkan kecil yang di sajikan oleh ekskul seni musik. Karena tempatku berada berdekatan dengan ruang musik. 

 

Jika kalian berada disini, kalian akan merasa betah perpaduan antara alam dan musik. Hari ini aku dan Rifqi membahas mengenai pemilihan Ketua Ekskul Jurnalistik yang akan di laksanakan 3 minggu lagi sebelum Ujian kenaikan Kelas dilaksanakan. Dia menunjukkan kepadaku contoh-contoh sampel kartu suara untuk hari pemilihan. 

 

"Aku suka latar yang ini," Aku menunjuk pada sampel kartu suara dengan latar biru.

 

"Karena kamu suka warna biru, kan ?"

 

"Eh, bukan begitu. Warnanya benar – benar berpaduan sekali dengan tema yang akan kita ambil saat pemilihan suara"

 

"Benar juga. Aku akan berikan softfilenya ke kamu.... Eh, proposal yang kamu kerjakan sudah beres?

 

"Alhamdulilah beres, tinggal kita ajukan ke pembina ekskul." Kedua mataku menunjukan himpunan kertas yang telah kumasukkan pada snel hecter berwarna biru muda tepat kusimpan sampingku. 

 

Selingan pembicaraan ringan kami, datang temanku yang bernama Adeeva – satu – satunya teman satu angkatan yang berasal dari jurusan AP yang bergabung di ekskul jurnalistik. Ia bergabung dengan pembicaraan yang tengah kami bahas.

 

"Kalian ini udah kaya pasangan serasi, duduk disini berdua – dua." Canda Adeeva itu membuat kedua pipiku memerah karena malu. Adeeva tidak mengetahui mengenai perasaanku pada Rifqi, karena hanya aku dan Alloh saja yang mengetahuinya. Dan kulihat ekspresi Rifqi tidak berubah, dia tetap memasang wajahnya seperti biasa.

 

"Assalamualaikum, Dee" Dengan semangat Adeeva menjawab salam dari Rifqi. Rifqi mempersilahkan duduk kepada Adeeva, namun Adeeva berbalik dan menghampiri sebuah kursi lipat untuk dibawa di dekat bangku kami.

 

"Rifqi, masalah tentang pencetak majalah buletin kita. Mereka sanggup untuk mencetak 300 eksplar untuk bulan depan. Harganya lebih murah dibanding kemarin, tapi menurut Rifqi kualitasnya bagus nggak?" Adeeva menyondorkan kepada kami sampel majalah edisi kemarin. Aku dan Rifqi melihat majalah itu dengan seksama, membuka halaman demi halaman.

 

"Aku rasa ini lebih bagus dibanding pencetak sebelumnya, kertas yang digunakannya tidak mudah robek dan tintanya tidak ada yang memudar, "Bagaimana pendapatmu, Azkia?"

 

"Aku ? Aku setuju dengan pendapat Rifqi, tambahan dariku untuk back cover ditambahkan foto – foto kegiatan sekolah." Mereka berdua mengangguk dengan semangat menandakan mereka setuju.

 

"Tidak salah kalo Fauzan memilih sekretarisnya yang pandai dalam menyusung sebuah pendapat,"

 

"Ihhhh, kamu itu ada – ada aja." kembali Rifqi memujiku dengan carannya sendiri. 

 

"Oke, kalo begitu aku akan laporan pada Ketu-" Kudengar ponsel berbunyi yang tak asing di telingaku, Adeeva langsung merogoh saku roknya untuk menjawab panggilan tersebut. Karena aku sering mendengarkannya dalam ponselku.

 

"Assalamualaikum de, ada apa ?" tangan kanan Adeeva menyuruh kami berdua untuk mengecilkan suara kami. 

 

"Astagfirulloh, Yang bener de ?" Nada yang dikeluarkan dari mulut Adeeva membuat kami berdua memikirkan pertanyaan

 

"Ya udah kakak, kak Rifqi, sama Kak Qia kesana." Tangan kirinya Adeeva langsung menyentuh layar ponselnya. Dia menatap kami berdua secara bergiliran. Adeeva mengekspresikan rasa kekhawatiran. Apa yang terjadi ? Dan mengapa aku dan Rifqi harus ikut dengan Adeeva ?

 

***

 

To be continue.....

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Unforgettable
501      346     0     
Short Story
Do you believe in love destiny? That separates yet unites. Though it is reunited in the different conditions, which is not same as before. However, they finally meet.
Strange Boyfriend
179      145     0     
Romance
Pertemuanku dengan Yuki selalu jadi pertemuan pertama baginya. Bukan karena ia begitu mencintaiku. Ataupun karena ia punya perasaan yang membara setiap harinya. Tapi karena pacarku itu tidak bisa mengingat wajahku.
Bloody Autumn: Genocide in Thames
8148      1894     54     
Mystery
London, sebuah kota yang indah dan dikagumi banyak orang. Tempat persembunyian para pembunuh yang suci. Pertemuan seorang pemuda asal Korea dengan Pelindung Big Ben seakan takdir yang menyeret keduanya pada pertempuran. Nyawa jutaan pendosa terancam dan tragedi yang mengerikan akan terjadi.
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1094      453     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...
OUR PATH | MinYoon
317      217     1     
Fan Fiction
"Inilah jalan yang aku ambil. Tak peduli akan banyaknya penolakan masyarakat, aku akan tetap memilih untuk bersamamu. Min Yoongi, apapun yang terjadi aku akan selalu disimu." BxB Jimin x Yoongi Yang HOMOPHOBIC bisa tinggalkan book ini ^^
seutas benang merah
1894      739     3     
Romance
Awalnya,hidupku seperti mobil yang lalu lalang dijalan.'Biasa' seperti yang dialami manusia dimuka bumi.Tetapi,setelah aku bertemu dengan sosoknya kehidupanku yang seperti mobil itu,mengalami perubahan.Kalau ditanya perubahan seperti apa?.Mungkin sekarang mobilnya bisa terbang atau kehabisan bensin tidak melulu berjalan saja.Pernah mendengar kalimat ini?'Jika kau mencarinya malah menjauh' nah ak...
102
1945      797     3     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
Alicia
1138      537     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Truth Or Dare
7602      1397     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
Let it go on
1082      763     1     
Short Story
Everything has changed. Relakan saja semuanya~