بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
"Dan Allah tahu mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu"
Hentakan kaki tak beraturan menjadi penghiburku di saat aku sedang menunggu sambutan hangat dari orang yang mendukungku selama 4 tahun ini. Aku baru saja menyelesaikan S1 di Birmingham City University dengan program studi Business Administration dengan beasiswa yang diberikan dari pemerintahan Inggris. Penuh rasa syukur akhirnya aku bisa meraih IPK dengan cukup memuaskan. Jungkir balik berjuang untuk mendapatkan nilai yang memuaskan. Dan hidup jauh dari keluarga dan tinggal di negara yang minoritas penduduknya menganut agama islam. Sempat menangis di minggu – minggu awal setelah meningggalkan tanah air, karena berpikir aku tidak bisa hidup di negeri orang.
Kalian tahu ? aku bukanlah tipe orang yang begitu senang untuk menunggu, jadi aku lebih memilih untuk berdiri dan mendorong kembali troli koper – koperku. Mereka mengatakan bahwa mereka menunggu di pintu 5 tapi, entah kenapa aku belum menemukan sosok mereka. Rasa rinduku kepada mereka terus membendung selama ini, seakan hatiku seperti bom waktu yang siap untuk di ledakkan. Apalagi kedua orang tua, mereka yang terus menghubungiku setiap saat, karena rasa rindu mereka yang tidak bisa terbendung. Dan dua sosok guru yang terlibat dalam kesuksesanku meraih beasiswa ini. Mereka berdua akan datang dan memberikan selamat kepadaku.
Kilas mataku menangkap sesosok laki – laki yang begitu aku kenal selama beberapa tahun ini, sosok itu membuat langkah kaki ku terhenti sesaat dan membalikkan badan memastikan sosok itu benar – benar aku kenali. Sosok laki – laki itu sibuk dengan menempelkan ponselnya di sebelah kiri telinganya. Dia menyadari bahwa dia telah diperhatikan olehku, sosok itu langsung mengarahkan pandangannya kepadaku. Perlahan tangan kirinya menjatuhkan diri di samping tubuhnya yang tinggi itu. Matanya menatapku beberapa saat, namun akhirnya ia menundukkan pandangannya, begitupun denganku langsung menundukkan wajahku. Langkah kakinya yang lebar mendekatiku hingga kami berdua hanya berjarak sekitar dua lenganku.
"Assalamualaikum Azkia," Suara yang tidak kudengar selama 4 tahun ini kembali kudengar.
"Walaikumsalam. Apa kabar ? Sudah lama tidak bertemu. Rifqi"
Senyum ia mengembang ketika aku menanyakan kabarnya, "Alhamdulilah, sehat. Bagaimana dengan kamu Azkia?"
"Alhamdulilah, sehat. Semakin tinggi saja kamu ini." Akhir yang kuucapkan ku tambahkan tawa yang renyah.
"Ah iya, alhamdulilah. Sudah 4 tahun kita tidak bertemu. Btw, kamu semakin cantik, Azkia."
Sontak kata – kata itu membuatku kembali berdegup kencang. Kata – kata yang sederhana seperti porsi nasi rames yang biasa kubeli saat SMK. Aku mengangguk dengan taburan sedikit senyuman.
"BTW, Selamat atas kelulusan S1-mu. Semoga ilmu yang kamu dapat di negeri ratu elizabeth bisa bermanfaat dan menjadi ladang amal jariyah kelak."
"Amin..Terima kasih" Pembicaraan kami terhentikan ketika seorang anak kecil berlarian menghampiri kami berdua. Anak itu begitu lucu dengan rambutnya yang diikat dua ditambah gaun yang berwarna merah jambu.
"Apa dia anakmu?"
"Bukan, dia keponakan istriku.... Ayo salam sama Tante Azkia!" Tangan mungilnya begitu lembut ketika ia salam kepadaku. Lalu, ia berlari dan bersembunyi di belakang Rifqi.
"Namanya Salsa umurnya baru lima tahun. Saat ini aku yang mengasuhnya sementara."
"Apakah kamu salah satu orang yang menjemputku?"
"Tidak...aku kemari untuk menjemput istriku,"
" Oh benar juga. Oh iya selamat atas pernikahanmu, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, waramah. maaf aku tidak hadir ketika pernikahanmu. Karena kamu tahu kan? Hari pernikahanmu bertepatan aku pergi ke inggris. Dan kamu tahu, ponselku saat itu terjatuh ke danau membeku. Jadi aku tidak sempat mengirimkan ucapan selamat."
"Terima kasih.... aku mengerti keadaanmu saat itu."
Kulihat sosok laki – laki yang telah kukenali selama beberapa tahun ini menarik napasnya begitu berat. Mataku sering terkesima dengan kedua matanya, namun kali ini berbeda. Matanya seakan berbicara padaku suatu kata yang membuat dia terus menahan air mata
"Kamu baik – baik saja?" Aku memajukan wajahku untuk meyakinkan dengan jawaban dari bibirnya yang tidak pernah mengisap sebatang rokok pun.
"Tentu saja aku baik – baik saja." Wajahnya mengembu menjadi kemerahan seakan dia berusaha menahan emosionalnya.
"Rifqi, aku kenal denganmu, bukan lima menit yang lalu. Apa yang membuat kedua matamu berkata sesuatu yang berlainan dengan mulutmu?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku. Kudengar napas Rifqi begitu berat, seperti menahan sesaknya saat ini. Laki – laki yang kukenal dengan ketegarannya menghadapi kehidupannya tanpa ibu yang ia sayangi. Kepalaku terisi pertanyaan yang menginginkan jawaban dari mulut Rifqi. Tiba –tiba kepalaku terlintas sebuah ide untuk menghiburnya sejenak.
"Bagaimana jika kita pergi ke kafe yang dekat dengan bandara? Aku yang mentraktirmu, hitung – hitung hadiah kecilku atas pernikahanmu.
¥¥
Terpaksa aku menarik koper – koperku ke kafe yang tidak begitu jauh dari tempat kami berdua bertemu. Kafe tersebut cukup ramai dengan para pengunjung, dan beberapa di antara mereka orang asing. Aku berpikir pemilik kafe memiliki rasa estetika yang tinggi pada kafe yang di dirikannya. Lihat saja ! mereka memberikan hiasan dedaunan pada dinding berwarna putih itu. Mereka begitu teliti sekali dalam pemilihan desain kursi dan mejanya. Mereka menyajikan kursi layaknya seperti ayunan taman kota di lengkapi dengan dua buah bantal setiap kursinya, sedangkan kursi sisi lainnya hanya kursi biasa yang disandarkan pada dinding putih. Mungkin ini salah satu cara mereka untuk menarik pelanggan. Kami duduk meja yang berdekatan dengan jendela berbentuk persegi panjang. Rifqi dan keponakannya memilih duduk pada kursi yang bersandar pada dinding sedangkanku memilih duduk di ayunan.
Kulihat tatapan mata Rifqi penuh dengan kata – kata yang tidak bisa diungkapkan oleh bibirnya, "Rifqi, apa yang ingin kamu pesan? Jangan sungkan"
"Tidak, terima kasih. Saat ini aku tidak haus. Mungkin Salsa yang harus kamu tawari"
Aku melirik ke arah Salsa yang tengah asyik membaca menu, ia menyadari bahwa aku memerhatikannya. Sontak ia menutup wajahnya dengan menu yang ia pegang. Oh, alangkah pemalunya anak ini, membuatku gemas dengan tingkah lakunya.
"Ayo, De Salsa mau pesen apa? Jangan malu – malu." Kedua matanya menampakan diri dari atas buku menu, lalu dengan sekejap matanya kembali turun.
Astagfirulloh, aku baru tahu jika sistem pemesanan di kafe ini kita harus mendatangi konter pemesanan terlebih dahulu. Aku mengajak Salsa dengan mengulurkan tanganku kepadanya, dia pun mengulurkan tangannya. Akupun mengajak Rifqi untuk pergi namun ia menolaknya, dia lebih baik menjaga tempat duduk kami agar tidak ada seorangpun yang menempatinya. Aku dan Salsa berdiri dari tempat duduk kami dan berjalan ke konter pemesanan. Sesekali aku menanyakan tentang dirinya, awalnya dia hanya menjawab pertanyaanku dengan singkat dan suara yang sangat pelan.
Hanya beberapa menit kami menyebutkan pesanan dan aku langsung membayarnya. Kami memesan Milk tea untuk ku, StrawberryMilkshake untuk Salsa. Namun, pandanganku kembali teralihkan melihat Rifqi yang masih terduduk di sana dengan ekspresi yang begitu jelas menggambarkan rasa kesedihannya. Sebuah ide terlintas dalam benakku, aku memesankan Dark Chocolate dan air mineral untuk Rifqi. Kuharap bisa mengubah suasana saat ini, walaupun sementara.
Aku dan Salsa kembali duduk di kursi kami. Namun, Salsa ingin duduk di sampingku karena ia ingin mencoba berayunan.
"Rifqi, angkat wajahmu. Aku tidak ingin kamu terlihat seperti itu." Perlahan wajah Rifqi terangkat hingga ia menatapku.
"Aku tahu dengan moto mu, 'Tidak setiap permasalahan yang kita hadapi harus selalu melibatkan orang lain' Aku bisa saja tidak terlibat dengan masalah yang sedang kamu hadapi saat ini. Tapi, aku mohon jika kamu butuh teman untuk sharing aku bersedia."
"Kamu ini, masih ingat aja dengan motoku itu." Kulemparkan senyumku padanya agar dia terhibur.
"Aku dan kamu ini sudah menjadi teman dekat sejak SMK. Jadi,aku thu betul tentang teman dekatku di jurnalistik."
"Kamu ini.." Rifqi mengusap perlahan mata kirinya dengan pergelangan tangannya, dan yang kulihat matanya memerah.
"Azkia... sebenarnya istriku sudah meninggal dunia."
Sontak membuatku seperti berhenti bernapas, seluruh orang yang ada di sekitarku seperti terhentikan aktivitas mereka akibat waktu yang berhenti
"Bukankah kamu mengatakan menjemput istrimu?"
"Iya,lebih tepatnya menjemput mayat istriku." Aku seperti orang tersambar mendengar perkataan Rifqi.
"Innalilahiwainalilahi rojiun, turut berduka atas meninggalnya istrimu, Rifqi. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Alloh, dan kamu serta keluarganya di beri ketabahan untuk menerima semua ini."
Kulihatnya kedua matanya siap untuk menjatuhkan bulir air matanya, iya benar saja perlahan bulir air matanya turun meluncur melewati pipinya yang halus tanpa jerawat, hingga terhenti di brewoknya.
"Aminn,.. terima kasih, Azkia." Rifqi mengambil selembar tisu yang disediakan oleh pihak kafe.
Aku tidak tahu bagaimana rupa istri dari Rifqi, karena aku tidak sempat menemuinya. Namun, sesekali Rifqi bercerita bagaimana orang yang akan ia nikahi. Sayang sekali, sepuluh menit yang lalu aku baru saja mengatakan selamat dan sekarang aku menyampaikan rasa dduka yang mendalam. Alloh benar – benar memiliki rencana diluar ekspetasi manusia. Namun, kita hanyalah hamba – hamba yang harus senantiasa patuh dan taat pada perintahnya. Dan mengikuti apa yang Alloh rencanakan.
"Maaf, Azkia. Aku harus pergi ke kamar mandi terlebih dahulu." Rifqi bangkit dari tempat duduknya dan berjalan perlahan ke sebuah pintu yang bertandakan toilet. Muncul rasa kekhawatiranku dengan perasaan ia saat ini. Astagfirulloh, aku tidak bermaksud untuk mencuri hati ia kembali. Karena hati ia kembali menjadi milik Alloh semata. Aku termengu melihat gantungan kunci mobil Rifqi yang diletakkan di atas meja. Gantungan itu berbentuk kepingan puzzle yang bertuliskan 'I will always love until jannah'
Terbesat dalam pikirku, aku merogoh buku binder yang biasa ku pakai selama masa kulaihku di inggris. Di dalam binder itu, ada sebuah kertas yang terselip yang telah kusimpan beberapa tahu ini. Kertas itu memang lecek namun aku tetap menjaganya saat ini. Kertas ini menjadi saksi sebuah kesalahpahamanku dengan Rifqi dan seseorang yang tidak pernah lepas dengan sketchbook saat itu. Aku memandangi jendela yang begitu besar dengan sebuah pembayangan sosok ia muncul di balik jendela tersebut sembari ia asyik dengan buku sketchbooknya
Bersambung...