Banyak pepatah bilang, hasil itu gak pernah khianatin suatu usaha.
Tapi kalau usaha keras dan gak pernah berhasil, itu pepatah apa petaka?
-Keenan, cowok manis berdompet tipis-
------------
"Nan, Keenan! Lo budek apa mati, sih? Buka pintunya, woy!"
Gebrakan keras yang terdengar dari arah pintu itu mau tak mau menarik ruhku secara paksa dari alam mimpi.
Sebenarnya pada gebrakan kelima aku sudah membuka mata, kemudian duduk bersila sejenak di atas kasur sembari meregangkan otot-otot kaku. Tapi, seakan belum lega karena aku tak kunjung setor wajah, dengan kurang ajar sang penghancur pagiku itu kekeuh menggedor pintu kosan hingga berakhir pada gebrakan ketiga puluh lima tepat setelah aku membuka pintu.
Pengganggu itu ternyata Faishal, teman seperjuanganku saat masih kuliah dulu hingga kini menjadi sesama pejuang map coklat pencari pekerjaan. Kamar kos kami memang bersebelahan, memudahkan aksesnya untuk menyambangi kamar kosanku dengan seenak jidat.
"Heh! Mau jadi Hulk, lo? Pintu gue bisa rusak, Kampret!" Aku refleks menoyor kepalanya sebagai bentuk protes atas aksi brutalnya yang membuat sakit telinga, tak peduli pada wajah merah padamnya yang menyambut di balik pintu.
"Jam berapa ini, Nyet? Dasar kebo!"
Cowok berkacamata di hadapanku ini berkata sengak sambil meninggikan sebelah alisnya, menatapku nyalang dengan kedua tangan bersedekap di depan dada.
Tak terlalu menggubris, aku memilih mengamati penampilan Faishal, hal yang membuatku penasaran saat bau menyengat dari parfumnya tercium sampai menusuk hidung. Pagi ini ia nampak cukup elegan, mengenakan setelan kemeja putih dan celana hitam polos yang dipadukan serasi dengan sepatu coklat mengkilap yang menyilaukan mata.
"Delapan lebih lima," jawabku mantap sambil menggedikkan bahu, beralih fokus menatapi rambut kuda kesayangan Faishal yang juga tampil berbeda. Rambut awut-awutan yang biasa ia kuncir asal itu kini tertata dengan begitu klimis. Beuh, rapi amat nih anak.
"Lo mau lamar siapa, Shal?" tanyaku tanpa ragu.
"Lupa?" Faishal balik bertanya dengan nada menusuk, netranya juga seketika membidik tajam tepat pada manik mataku hingga bulu kudukku meremang dibuatnya.
"Apaan dah, Shal? Cepetan bilang, nggak usah kode-kode," aku lantas mendengus sebal, dia yang ganggu kok dia yang marah? Aneh.
"KUPRET! Lima menit nggak siap lo bakal gue tinggal! Nggak peduli lo mau inget apa kagak ini hari apa!" Faishal sedikit terengah setelah mengucap rentetan kalimat itu dalam satu tarikan nafas. Tanpa permisi ia langsung beranjak dan membanting pintu kamarku cukup kasar.
"Dia kesambet apa, ya? Baru juga tanggal lima belas--- "
Allahu Akbar! Ichal! Ngapa tuh bocah nggak bilang daritadi!
***
Sepanjang perjalanan Faishal diam seribu bahasa, melangkah dengan tatapan lurus dan enggan menoleh ke arahku barang sedikitpun. Langkah kakinya cepat, sampai aku kewalahan menyamakan posisinya. Faishal kali ini dalam mode sengak level tinggi, terlihat jelas dari gesture tubuhnya yang sok jual mahal ala-ala wanita.
Oke, oke, aku mengaku salah.
Pertama, aku membuat kacau agenda pagi ini dengan drama terlambat ciri khas Keenan. Kami tiba di lokasi dengan waktu yang mepet, bahkan aku dan Faishal hampir terjungkal saat berlarian dari tempat parkir menuju ruang personalia.
Awalnya, sang eksekutor yang berada di balik ruangan personalia langsung menyambut kami dengan begitu ramah begitu kami menampakkan diri. Mengulurkan tangan dengan senyuman hangat tanpa peduli pada wajah kami yang sudah tak karuan bentuknya. Namun, semua sikap manis itu lenyap tatkala ia memperhatikan tampilan kami -khususnya aku- secara seksama.
Kedua, aku tak tahu ini merupakan suatu kesalahan atau tidak. Yang jelas, tolong jangan tanyakan alasan mengapa penginter-shit sialan itu langsung menolak dengan tegas usai meneliti kami dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Aku memang hanya mengenakan kaos oblong berbalut jaket sebagai alibi agar tampilanku terkesan sopan dan rapi. Alas kaki? Sepatu sandal casual yang menampilkan seluruh ruas jari.
Dan, bhoom! Hal itu menjadi faktor pemicu utama pengusiran kami tanpa basa-basi.
Oh, C’mon! Dunia pun tau jika ini bukan sepenuhnya kesalahanku. Salahkan Faishal yang membuatku tergesa dengan menyalakan motor bututnya saat aku masih sibuk memantas pakaian. Salahkan cowok kuncir kuda berengsek itu yang pergi tanpa permisi hingga aku kesetanan mengejarnya tanpa alas kaki!
Tapi, yang paling mengherankan, seharusnya ia hanya mengusirku, dan Faishal tak sepantasnya ikut menjadi korban.
Apa karena Faishal dan aku datang secara bersamaan? Kalau benar alasannya, itu bukanlah alibi yang tepat untuk menolak kehadiran Faishal. Realita pencari kerja itu memang tak seindah sinetron skripsi yang bertebaran di televisi.
"Aeh elah, Shal! Udahan ngambeknya ngapa,"
Hening.
Cowok tengil itu tetap mengunci mulut rombengnya, lalu menambah temponya melangkah tanpa peduli pada keramaian di sekitarnya. Faishal memang terkadang sekekanakkan itu jika sudah kesal.
"Shal! Tungguin gue, woy!" Aku tetap membuntut di belakang Faishal, berusaha menyamakan langkah kakiku meski cowok itu juga semakin mempercepat gerak kakinya.
"Ya Allah, punya temen gini amat," aku berucap dengan lantang, membuatnya seketika berhenti dan spontan terlihat mengernyitkan dahi.
Satu menit..
Dua menit...
"Gue bukan temen lo,"
Gotcha! Kenaan Yudhananta is winner!
Akhirnya mulut tanpa filter itu kembali terbuka.
"Tapi gue sayang sama lo,"
"Najis!" keningnya berkerut dalam, menampakkan ekspresi jijik tanpa menoleh.
"Najis tapi tiap hari nempel mulu," tawaku mengudara begitu saja ketika cowok tengil itu menggeplakkan map coklatnya tepat mengenai wajahku.
"Dasar nggak punya empati lo,"
Mulut Faishal lantas mendumal kesal, ada aura kekecewaan yang tersirat dalam nada bicaranya.
"Udahlah, Shal, mungkin belum rejeki," aku mengelus pundaknya pelan, bagaimanapun juga ini karena ulahku.
"Hmm," dia bergumam lirih, Ya Tuhan! aku merasa semakin bersalah.
"Gue traktir, dah! Mau, bakso? Mie ayam? Nasi Goreng? Pizza? Tinggal tunjuk, Shal,"
Kami masih berada di sekitaran Plaza tempat interview tadi. Banyak penjual makanan penggoda selera yang seketika menggugah imanku.
"Ogah,"
Astaga! Sabar, Nan, sabar.
Faishal itu aslinya orang berada, tanpa harus susah payah pun sebenarnya dia bisa bekerja pada perusahaan milik ayahnya. Tapi entah kenapa cowok itu lebih memilih menjadi pejuang map coklat seperti sekarang ini.
"Gue kasih bonus kenalan cewek seksi penghuni kos sebelah,"
Seringaiku tercetak lebar saat Faishal akhirnya menoleh dan langsung memamerkan sebuah senyuman tanpa dosa.
"Deal, ya? Okay. Soto bu Hadi dua mangkuk dan cewek seksi, i’m comming... "
Sialan!
***
Manusia nggak punya malu itu adalah teman nggak tahu diri yang bernaung dibawah nama agung ikatan persahabatan.
Bukannya mendiskriminasi, tapi lihat tingkah si Faishal! Tiga mangkuk soto bu Hadi ludes gitu aja dalam waktu kurang dari setengah jam. Dan, masih dengan masang tampang tanpa dosa, dia bahkan sempat berujar,
"Keenan ganteng, bungkusin satu lagi, ya? Lumayan buat ntar malem,"
Rasanya langsung pengen lempar tuh mangkuk kuah panas ke wajah Faishal!
Nyesel, bung, nyesel!
Aku meliriknya dengan malas, melihat makannya yang kalap bagai kerasukan itu membuat nafsu makanku lenyap seketika. Padahal, cowok tengil itu sendiri yang tadi sok ceramah soal empati padaku. Nyatanya, rasa empatinya pada dompet pengangguran lebih minim dibanding isi ceramahnya.
Bah! Aku meremas rambut frustrasi, Faishal itu kalau ngidamnya dituruti malah makin kurang ajar. Coba kemari, dengar dan saksikan sendiri! Tanpa rasa malu, si sialan itu baru aja sendawa di hadapan lautan manusia. Iya, SENDAWA, SODARA-SODARA! Bukan sendawa manis kayak di ftv, yang ada suaranya bikin keki setengah mati!
Aku langsung menunduk, pura-pura acuh kala tatapan menusuk orang-orang sekitar tertuju menghakimi Faishal. Sumpah, suasana ini lebih horor ketimbang nonton serial Karma Roy Kiyoshi sendirian tengah malam.
"Nan, beliin Mijon,"
Tanpa beban Faishal kembali berulah, memberi perintah bak paduka raja yang meminta segelas susu pada dayang-dayangnya. Dia lalu menuntunku mengikuti arah pandangnya, menunjuk pada sebuah minimarket yang terletak di seberang jalan.
"Noh es teh lo masih," aku tak sepenuhnya berbohong, mengamati gelas Faishal yang sepertinya belum tersentuh sama sekali
"Gak seger," jawabnya cuek.
"Jalan sendiri, Nyet! Kaki lo masih utuh, kan?"
"Ogah, panas. Lo aja gih yang beli,"
Cukup! Habis sudah kesabaran seorang Keenan. Manusia satu ini memang jago membuatku selalu menarik urat saat bicara dengannya. Aku mencebik, seketika menyesali niat baikku mengajak Faishal datang ke tempat ini.
Alih-alih emosi, aku malah luluh saat mulut manisnya itu kembali berkata dengan ekspresi serius namun begitu menggoda.
"Kasirnya cakep, Nan. Sikat!"
***