Aku pemuda berumur 22 tahun, tengah dilanda penyakit galau stadium akhir akibat terlalu lama menjadi Tuna Karya. Sejak 6 bulan lalu sudah ratusan lamaran yang kukirim dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain, tapi hasilnya nihil dan malah membuatku semakin gila.
Di era modern saat ini menjadi pengangguran seperti cara ampuh bunuh diri perlahan, mengingat mahalnya biaya hidup sekarang apalagi bagi anak rantau sepertiku. Hidup di kota besar dengan modal pas-pas’an rasanya bagai menyerahkan diri pada lubang kesengsaraan yang siap menyambut kapan saja.
Sedikit bercerita soal pengalamanku mencari kerja, pernah dengar bagaimana mudahnya mencari kerja lewat "orang dalam"? Hal yang paling ditakuti dibandingkan ujian tertulis maupun lisan saat sesi wawancara.
Kalau dipikir secara nalar, timbal balik keuntungan dari cara penerimaan karyawan melalui koneksi semacam itu apakah setara? Lalu, untuk apa perusahaan repot-repot memasang iklan lowongan jika akhirnya hanya menjadi formalitas belaka, bukankah malah rugi ? Demi alasan rahasia perusahaan tetap terjaga karena saling mengenal, apa itu bisa jadi jaminan bisnis mereka bakal bergerak maju? Enggak, kan?
Dan sialnya, aku sering menjadi korban, bung!
Pernah suatu hari aku dinyatakan lolos seleksi tertulis pada perusahaan ternama di pusat kota, membuatku berjingkat kegirangan karena jalanku menuju kesuksesan sudah terbuka lebar di depan sana. Namun, sangat sayang karena euforia itu tak berlangsung lama.
Saat sesi wawancara akhir berlangsung, santer terdengar kabar kalau hanya orang yang lewat jalur ’dalam’ yang akan diterima menjadi karyawan nantinya. Awalnya aku tak acuh, memilih tetap fokus pada tujuan kedatanganku. Tapi tak disangka, sebuah statement yang menyedihkan tiba-tiba keluar dari mulut salah seorang pelamar yang duduk dengan gaya angkuh dan menatap para pelamar lain dengan pongah.
"Tante gue kerja sini. So, gue lah yang bakal diterima."
Skakmatt, bung! Lagi-lagi orang dalam turut andil pada seleksi penerimaan karyawan baru. Dan, detik itu juga, lagi-lagi aku harus kembali menelan pil pahit dari sebuah drama pencari kerja.
Oh! Ayolah! Negeri ini butuh perubahan. Tak habis pikir jika sistem semacam itu masih diterapkan, bagaimana nantinya nasib para generasi muda yang baru mulai mengenal kerasnya kehidupan ? Dikhawatirkan, ke depannya akan lebih banyak lagi generasi galau hanya karena alasan klasik itu.
Aku memang sensitif kalau menyangkut hal-hal tabu. Entahlah, rasanya nggak adil jika cara itu masih berjalan dalam negeri tercinta ini.
Perlu diingat, sesuatu yang di raih secara instan biasanya bersifat kesenangan sementara dan bahkan bisa berbalik menjadi boomerang bagi diri sendiri. Kalau ingin sukses, raihlah citamu dengan usaha yang keras dan tak melulu mengandalkan orang lain dalam liku perjalanan karirmu.
Oke, cukup segini aja. Kalau diteruskan yang ada aku jadi mirip sales produk perayu customer.
Jadi, sudah siap dengar kisah dari generasi (pernah) galau ini? Stay tune, ya!
Salam hangat,
Manusia tampan sejagad umat,
-Keenan Yudhananta, Spesialis Pejuang Map coklat-