“Duka kembali menyelimuti kota Dalevoux. Siang ini, polisi menemukan jenazah seorang laki-laki yang diidentifikasi sebagai Owen Conrad Stone terapung di perairan perbatasan kota Dalevoux dengan kota Pinewood. Dengan bantuan kapal milik tim SAR, polisi berhasil meraih tubuh Mr. Stone untuk selanjutnya dijadwalkan otopsi. Keluarga telah dihubungi untuk memverifikasi identitas jenazah dan memberikan keterangan lebih lanjut.”
“Julie?”
“Miss Stone, apa pendapat Anda mengenai kejadian ini?”
“Julie!”
Iris mata Julie bergeser pada dokter di depannya, kemudian pada mamanya yang duduk di sebelahnya dan memperhatikannya dengan kekhawatiran luar biasa. Ia melihat kembali ke arah televisi layar datar 24 inci yang terpampang di sisi kanan ruangan tersebut, tetapi tidak ada tayangan apapun yang menyala. Layarnya gelap. Tidak ada seorang reporter yang sedang menyodorkan mikrofon ke depan wajahnya, dan tidak ada belasan kamera di sekelilingnya.
“Sorry. Tadi dokter bilang apa?” tanyanya, mencoba terdengar riang. “Dok, kalau Anda tidak keberatan, mungkin kita bisa menonton acara boxing hari ini. Saya dengar akan ada pertarungan habis-habisan antara The Big Bulk dengan Scary Jaw.”
Mama Julie memberikan pandangan cemas pada Dokter Octa, nama dokter yang telah dua tahun menjadi langganan keluarga mereka jika Julie sakit.
Dokter Octa memandang kertas-kertas di atas mejanya dan membacakan beberapa kalimat untuk merangkum ucapannya tadi. “Hasil check-up kamu hari ini bagus, jadi tidak ada masalah—”
“Terus kenapa saya masih insomnia?”
Mama Julie menggamit tangan putrinya dan menekannya perlahan. “Julie.”
“Why. Am. I. Still. Sick?” tegas Julie dengan nada pelan.
Dokter Octa berdehem. “Saya bisa membantu merekomendasikan nama kamu untuk perawatan lebih intensif jika keluarga menginginkan penyembuhan lebih cepat.”
“Mau diperiksa, dirawat atau dioperasi sekalipun, sepertinya saya sudah tidak bisa sembuh.” Julie lalu berdiri dari duduknya dan meraih jaket jinsnya yang tersampir di lengan kursi, membuat kedua wanita di hadapannya menatap kaget. “Terima kasih untuk sesi hari ini, Dok.”
Dokter Octa hanya memandangi kepergiannya dengan tenang, saking seringnya ia menyaksikan tabiat pasiennya yang satu itu. Sementara itu, mama Julie ikut berdiri dari duduknya juga dengan tergesa sambil mengucapkan terima kasih pada Dokter Octa sebelum keluar dari ruangan itu.
Julie mengenakan jaket jinsnya sembari berjalan cepat menuju elevator dan menekan tombolnya menuju lantai satu. Bau antiseptik dan mungkin disinfektan membaluri penciumannya, meninggalkan kesan tusukan ringan di area sekitar sinusnya. Tanpa perlu menoleh ke belakang, ia tahu bahwa mamanya sedang mengikuti langkahnya, meskipun nampaknya sedikit sulit jika dilihat dari ramainya lalu-lalang para perawat, pasien, penjenguk dan orang lainnya yang tidak Julie ketahui identitasnya apa. Lagipula, jika ia tidak semobil dengan mamanya nanti, ia bisa menelepon Mrs. Mull di rumah untuk mengirimkannya supir ke klinik. Atau jika ingin lebih praktis, ia bisa berjalan kaki saja ke kampus. Cuaca hari ini cukup bersahabat dengan temperatur sejuk yang tidak mengharuskan orang-orang mengenakan beberapa lapis sweater atau jaket.
“Julie!”
Cewek itu berjalan masuk ke dalam elevator yang ternyata sepi. Ia mengeluarkan kupluk abu-abu favoritnya dari dalam tasnya dan mengenakannya sambil memandang siluet mamanya yang masih mencoba mengejarnya ke dalam elevator. Ketika pintunya hampir tertutup, gadis itu merogoh sakunya untuk mengeluarkan sebatang rokok dari sana.
“Julie!” panggil mamanya lagi.
Berikutnya Julie menaruh rokok tersebut di mulutnya dan memantikkan pengorek api ke ujungnya, menghisap setiap nikotin yang dapat diambilnya untuk menghilangkan seluruh bebannya hari ini, lalu menghirupkannya ke udara. Matanya menangkap tanda peringatan "Dilarang Merokok" yang tertempel di sisi elevator sebelah kanannya, tetapi ia tidak menghiraukannya.
Pintu elevator menutup, seiring dengan bayangan mamanya.
x-x-x
Siang itu, kelas Psychological Study diramaikan oleh beberapa pembicara dari luar kampus yang memiliki sertifikasi, pengalaman kerja dan pengetahuan luar biasa mengenai psikologi manusia. Seluruh mahasiswa jurusan Psikologi telah menanti event seminar hari ini dengan penuh pengharapan, dan Dalevoux University tidak membuat para mahasiswa kecewa dengan seluruh agenda yang telah mereka susun.
Seorang pembicara memperkenalkan dirinya sebagai salah satu dosen dari universitas luar negeri, dan memulai seminar tersebut. Ketika topik berlanjut kepada pembahasan benak manusia ketika dihadapi oleh beberapa keputusan tertentu dan kenapa terkadang sulit untuk mengambil keputusan terbaik, beberapa mahasiswa yang terlambat datang mengetuk pintu ruangan dengan ragu seakan takut mengganggu jalannya seminar.
“Silakan masuk, bagi yang baru datang,” kata profesor mereka yang memoderasi jalannya seminar hari itu, Miss Roselett.
Julie mengekor barisan mahasiswa malu-malu tersebut dan memandang seluruh teman-teman seangkatannya dengan datar seakan-akan mereka tidak ada di situ. Rokoknya sudah habis, dan permen pun tidak ada, sehingga ia tidak punya apapun lagi untuk dikulum. Tasnya tersampir malas di salah satu bahunya, dan tanpa ba-bi-bu, ia pun mengambil tempat duduk kosong yang tersisa paling depan.
Miss Roselett memandangi anak didiknya itu dengan was-was, karena ia tahu kedatangan Julie berarti sebuah masalah. Diliriknya mahasiswa-mahasiswa di belakang gadis itu yang kini telah saling berbisik mengenai kehadiran Julie dan entah apa lagi.
“Semuanya harap tenang! Mari kita dengarkan kembali Mr. Cody,” tegur Miss Roselett, yang kemudian duduk kembali di sisi panggung dengan mata masih tertuju pada seisi audiens.
“Seperti yang disampaikan tadi, psikologi manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks. Ketika dihadapkan pada beberapa pilihan yang sulit, faktor-faktor seperti fear, worry atau insecurity dapat melandasi pengambilan keputusan kita. Terkadang juga ada underlying depression, yang mana tidak hanya berdampak pada pengambilan keputusan tetapi juga perilaku yang lain,” katanya sambil sesekali menunjuk ke layar presentasi.
Tangan Julie terangkat, sehingga Mr. Cody berhenti berbicara.
“Yes, Miss...?”
“Julie Stone.”
“Oke, Miss Stone, apa ada yang ingin ditanyakan?”
“Mohon penjelasannya mengenai kenapa seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya begitu saja. Terutama jika mereka adalah saudara kandung kita sendiri.”
Seluruh mahasiswa terkesiap mendengar ucapan Julie, begitu juga para pembicara dan dosen mereka.
Setelah beberapa saat berada dalam keheningan yang kaku, Mr. Cody hendak membuka mulutnya lagi setelah keterkejutannya itu, di mana Julie kemudian tertawa keras diiringi tatapan lekat semua orang yang ada di situ.
“Oh, my God, relax! Saya cuman bercanda, Mr. Cody. Saya hanya terlalu penasaran dengan topik kita hari ini, dan pertanyaan tadi keluar tanpa saya sadari.”
Berikutnya Julie berdiri dari duduknya untuk menghadap teman-temannya. Ia dapat melihat jelas dari tempatnya berdiri bahwa mereka memandang Julie dengan tegang, seakan-akan gadis itu akan mengeksekusi mereka semua.
“Dan aku sarankan untuk kalian... sebaiknya kalian mencintai diri kalian sendiri. Jangan melompat dari ketinggian, atau jangan pernah berpikir untuk membeli senjata dan menembakkannya ke kepala begitu saja. Setidaknya tunggu dulu hingga kalian dewasa secara hukum. Jangan mengambil tali kabel dan melilitkannya di—”
“ENOUGH!” teriak Miss Roselett sambil beranjak dari duduknya untuk menghampiri Julie. “Miss Stone! Anda mengganggu jalannya seminar, jadi saya minta Anda keluar sekarang.”
Hening lagi. Dan suasana semakin kaku.
Julie memberi senyum lebar tanpa ada tanda-tanda terintimidasi oleh situasi tersebut atau kemarahan Miss Roselett. Tidak ada yang pernah tahu apa makna senyumannya. Atau isi hatinya.
Dengan tatapan yang sekarang tertuju kepada teman-temannya, Julie pun meraih tasnya dan menyampirkannya kembali ke bahunya. Diberikannya tatapan terakhir yang menusuk dengan senyuman lebarnya yang sama sekali tidak hangat itu kepada semua orang.
“Baik, Miss. Nobody needs an insane girl like me anywhere, right?”
Julie mengangguk kecil pada semua orang sebagai tanda selamat tinggal tanpa ucap sebelum melangkahkan kembali kakinya keluar dari ruangan seminar. Ia tidak perlu memeriksa arlojinya untuk tahu bahwa ia hanya menampakkan muka kurang dari sepuluh menit di ruangan itu. Julie bahkan sudah bisa melihat dirinya dipanggil ke ruangan departemen Psikologi untuk diberikan rangkaian peringatan, hukuman, dan tentunya panggilan telepon kepada kedua orang tuanya.
Baginya, semua begitu terprediksi. It's always like that. Julie the Trouble.
Mr. Cody dan pembicara yang lain memandang kejadian itu dengan bingung, dan para mahasiswa kembali berbisik-bisik.
“Miss Roselett, apa Anda bisa menjelaskan apa yang terjadi di sini?” tanya Mr. Cody sembari berjalan turun dari panggung.
“Saya benar-benar minta maaf, Mr. Cody. Gadis tadi memang salah satu mahasiswa di departemen Psikologi, but she can be a bit... handful.”
Miss Roselett melemparkan pandangan terakhir ke arah pintu dan melihat Julie masih berjalan pergi dengan senyuman khasnya yang sangat dibenci oleh banyak orang itu.
x-x-x
Julie memandang rumah besar yang ada di hadapannya itu dengan tatapan datarnya, mencoba menelaah setiap kisah yang telah berlalu sejak ia dan keluarganya pindah ke area ini. Saat itu, ia bahkan belum berusia sepuluh tahun. Yang ia ingat, rumah lama mereka yang dulu bukan di pusat kota dan tidak sebesar ini. Setiap kali ia pulang ke rumah lamanya, ia merasa disambut ke tempat terhangat di dunia. Ia bisa berlari-lari di seluruh penjuru rumah dan berakhir di ayunan kebun berkanopi warna peach dengan napas tersengal dan keringat bercucuran di tengah musim panas. Kemudian orang tuanya akan menghampirinya dengan senyuman lebar, memberitahunya bahwa makan malam sudah siap di ruang tengah.
Ketika ia semakin dewasa dan akhirnya pindah ke rumah megah ini, ia tahu bahwa harga yang harus ia bayar adalah hubungannya yang renggang dengan orang tuanya. Bisnis-bisnis papanya tumbuh seperti A Tree of 40 Fruits--produksi yang berbeda-beda dari satu pohon, yakni keluarga Stone. Kesibukan papanya menular ke mamanya, dan setiap pertemuan Julie dengan mereka bisa ditakar beberapa kali dalam sebulan. Tidak ada lagi kehangatan yang menyambutnya setiap kali ia pulang ke rumah. Rumah raksasa yang mungkin bernilai jutaan dolar di pasar real estate ini lebih terlihat seperti konstruksi tanpa jiwa dan makna. Apalagi setelah itu, orang tuanya juga sudah mulai mengatur-ngatur masa depannya: kursus bahasa, latihan anggar dan renang, pelatihan tata krama dan etika, penghadiran pesta, dan masih banyak lagi. Menurut mereka, perempuan yang menyandang nama keluarga Stone harus bisa membuktikan diri bahwa mereka bukan sosok yang bisa dianggap main-main oleh siapapun.
Tolol memang. Tapi Julie juga sadar bahwa saat ini hidupnya mungkin sudah bukan miliknya lagi.
Saat itu sudah larut sekali, dan tidak ada siapapun yang terlihat di sekitar area perumahan itu selain dirinya. Julie dapat melihat beberapa ekor burung hantu bertengger malas di pohon pinus yang ada di belakang rumahnya, dan terkadang telinganya menangkap bunyi aneh dari dalam hutan.
Ia akhirnya melangkahkan kakinya ke bagian rumah sebelah kanan, di mana balkon lantai dua yang ada di sana adalah satu-satunya akses aman menuju ke kamarnya. Mamanya pasti sudah tidur di waktu selarut ini, tetapi bagi Julie yang mengidap insomnia akut, ia terlalu awal untuk kembali ke rumah. Ia seharusnya masih berpesta di rumah Ken atau di rumah para pemain sepak bola di kampusnya, atau mengikuti temannya berbalap motor di jalan West Green yang selalu sepi.
Ia tidak tahu kenapa ia pulang cepat hari ini. Ia tahu bahwa ia tidak akan tidur lagi, dan yang menyakitkan adalah bahwa ia akan tetap baik-baik saja.
Julie melemparkan tasnya ke balkon sementara dirinya memanjat melalui tembok dan tumbuhan-tumbuhan sulur yang menempel di sana dengan gesit. Ia sudah melakukan ini selama dua tahun, dan rutinitas ini pun seharusnya sudah dimengerti oleh mamanya. Namun ketika ia menginjakkan kaki dan melihat mamanya tertidur di sofa kamarnya, Julie langsung membalikkan badan untuk pergi lagi.
“Ugh.”
Ia mengerang seraya meraih selimut tipis dari atas tempat tidurnya dan kemudian menyampirkannya ke tubuh mamanya yang meringkuk di sofa.
Julie pun benar-benar beranjak dari situ dan kembali menapaki tanah yang tadi ia pijak, kali ini bermaksud untuk pergi ke rumah temannya, walau ia belum tahu akan pergi ke tempat siapa.
Namun ada seorang cowok duduk di bangku taman yang ada di depan rumah mereka, bersender malas pada pegangannya. Ia memakai kemeja putih yang disetrika sangat rapi, dan rambutnya diberikan gel agar terlihat klimis dari kejauhan. Julie sebenarnya bisa saja menelepon polisi saat itu juga karena orang itu telah masuk tanpa izin ke area properti keluarganya, tetapi ia tidak ingin membuat keributan yang tidak penting seperti itu di malam hari seperti ini.
Ia memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan melewati orang itu begitu saja, ketika cowok itu mengucapkan sesuatu yang membuatnya menghentikan langkahnya.
“Julie Stone.”
Julie menoleh padanya dan melihat tampang orang tersebut. Jika Julie disuruh menebak, menurutnya cowok itu masih duduk di bangku SMA. Apalagi dengan kulitnya yang luar biasa pucat itu.
“Do I know you?”
Cowok itu menggeleng. “Tapi aku kenal denganmu. Tiap hari aku melihatmu terjaga seperti ini, hanya saja aku baru memiliki keberanian untuk menyapamu sekarang.”
Julie memutar bola matanya. “Carilah cewek lain. Aku tidak punya mood untuk pacaran dengan bocah sepertimu.”
“Eh? Maksudku bukan seperti itu,” kata cowok itu dengan tawa gugup. “Aku tidak bisa pacaran dengan siapapun saat ini.”
Julie berjalan lagi karena tidak mau meladeni cowok aneh tersebut, tetapi ternyata ia malah mengikutinya. Julie pun berpikir lagi untuk menelepon polisi agar mereka bisa membawa bocah itu pulang ke rumahnya.
“Aku senang karena akhirnya ada yang bisa melihatku."
"Memangnya kau apa? Setan?”
“Beberapa orang memanggil jenisku begitu.”
Langkah gadis itu terhenti. Untuk sejenak, ia terpaku di tempatnya sebelum akhirnya meraih kembali kesadarannya dan kemudian membalikkan badan untuk menghadap cowok itu.
“Very funny. Sekarang hentikan omong kosongmu dan menghilanglah dari sini,” balasnya tajam.
Dan betapa kagetnya Julie ketika ia membalikkan badan lagi dan menemukan cowok tersebut ada di hadapannya--seakan-akan cowok itu berlari ke depannya secepat kilat--kali ini menatapnya dengan tajam juga.
Julie terpana.
"What the—"
“Julie, namaku Billy, dan aku sudah meninggal dua tahun yang lalu. Apa yang mesti kulakukan agar kau percaya padaku?”
Tanpa sadar, Julie memundurkan badannya sambil terus memandangi sosok pucat di hadapannya itu.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction