Read More >>"> Night Wanderers (Real Deal) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Night Wanderers
MENU
About Us  

Ketika pintu rumah bagian utama berderik keras hampir ke seluruh bagian depan kediaman Stone, mama Julie tidak perlu beranjak dari duduknya atau bahkan melongokkan kepala untuk menyambut siapapun yang datang. Karena berikutnya, ia melihat putrinya sendiri berjalan menuju ruang tengah dan memperhatikan bahwa ia masih mengenakan bajunya kemarin, dan ia pun tahu habis dari mana saja Julie sejak kemarin malam.

Julie sendiri segera mengurungkan niatnya untuk mengkonfrontasi mamanya setelah tadi malam bersama Billy, di mana pada akhirnya ia berlindung semalaman di dalam mobilnya dari kedatangan badai, yang untunglah tidak terlalu kencang walau ia sempat khawatir juga saat mobilnya beberapa kali bergeser saat angin besar menerpanya. Billy sendiri sudah menghilang entah ke mana, jadi Julie pun melewati malam itu sendirian.

Badai kemarin berlangsung sekitar tiga puluh menit, dan setelah dirasa aman, Julie pun mengendarai mobilnya ke rumah Ken yang tentunya lagi-lagi berpesta sampai pagi hari jika kedua orang tuanya tidak ada di rumah. Dan saat berada di rumahnya, Julie berusaha menghapus apapun yang sedang ia pikirkan dan rasakan dengan menenggak bergelas-gelas alkohol hingga isi kepalanya seakan berputar dan bergejolak layaknya campuran mixer. Ketika ia sudah tidak bisa mengkontrol sensasi mabuk itu, Julie pun berlari ke toilet untuk mengeluarkan semua isi perutnya hingga tenggorokannya sakit.

Setelah menyiram muntahannya dan mengelap mulutnya juga, ia kemudian melihat bayangan wajahnya sendiri di cermin kamar mandi dan menemukan matanya yang merah dan sedikit bengkak karena habis menangis sebelumnya. Lipstiknya sudah sedikit pudar, dan beberapa bagian riasan di pipinya terhapus berkat air matanya sendiri. Tapi lebih dari semua itu, she’s beyond wrecked.

Ia ingin menangis, tapi ia tidak punya tenaga lagi.

Julie kemudian melanjutkan berpesta dengan meminum lebih banyak alkohol dan merokok, di mana teman-temannya yang lain sudah banyak yang pergi atau terbaring begitu saja di sofa-sofa dan lantai rumah Ken. Ketika Ken sibuk mengusir mereka semua, ia malah menanyai Julie apakah ia ingin diantarkan pulang oleh supirnya saja. Namun Julie menggeleng dan hanya meminta izin untuk menghabiskan malam itu sambil menonton televisi di ruang tengahnya, karena ia tidak yakin bisa kembali ke rumahnya dan menatap kedua orang tuanya setelah mengetahui semuanya. Untunglah karena ia sudah lama berteman dengan Ken, cowok itu pun membiarkannya dan bahkan sampai memberikannya selimut dan bantal untuknya beristirahat.

Julie akhirnya tertidur juga walau hanya selama tiga jam, dan paginya ia segera pergi dari rumah Ken sebelum orang tuanya kembali. Dan setelah menjalani kelas di kampus sampai siang ini, barulah ia kembali ke rumah untuk berbicara dengan mamanya setelah sebelumnya mempersiapkan diri untuk menanyainya pertanyaan krusial darinya.

Dan tentunya Julie harus mempersiapkan diri untuk tidak goyah saat melihatnya.

Namun alih-alih bertemu mamanya, Julie saat itu melihat ada Dokter Octa yang duduk di samping mamanya, dan mereka sepertinya sedang berada dalam pembicaraan yang menyenangkan.

Julie menangkap sebersit pandangan marah dari mamanya, dan ia tahu jelas kenapa. “Hai, Mom, Dokter Octa,” sapanya.

“Julie, ibumu baru saja menceritakan tentang perkembanganmu beberapa minggu ini. Kudengar kau sudah bisa tidur sebelum tengah malam secara teratur, dan kau juga sudah jarang keluar rumah sampai pagi hari. Ini luar biasa, Julie,” kata Dokter Octa senang.

Julie menatap mamanya untuk sesaat. “Terima kasih, Dokter Octa.”

“Julie, duduklah di sini bersama kami,” kata mamanya yang jelas-jelas mencoba bersikap biasa di tengah-tengah kemarahannya. “Ada banyak yang ingin disampaikan Dokter Octa padamu.”

Julie pun menurut dan duduk di seberang mereka berdua. Dokter Octa kemudian melanjutkan dengan memberikan pandangan medisnya mengenai kondisi Julie yang sudah membaik, dan ia juga merekomendasikan beberapa obat tambahan yang bisa ia preskripsikan untuk mendukung percepatan peningkatan kesehatan Julie.

“Selain itu, sangat mungkin sekali Julie membaik berkat penerimaannya terhadap kepergian Owen,” lanjut Dokter Octa. “Selama ini Julie mengatasi perasaan negatifnya dari semua kejadian yang menimpa Owen dengan mengubah kepribadiannya dan menjadi orang lain. Namun berkat berlalunya waktu selama dua tahun ini, perasaan Julie akhirnya tidak senegatif dulu lagi, dan bisa jadi kau akan kembali kepada dirimu yang sebenarnya.”

Julie seakan ingin melempar vas bunga di sebelahnya saat mendengar kalimat itu, tetapi ia tentu saja ia hanya bisa diam. Lagipula, baik mamanya ataupun Dokter Octa tidak akan pernah mengerti apa yang ia rasakan sejak Owen meninggal. Dan tidak ada sedikitpun niat di dalam dirinya untuk kembali kepada Julie yang dulu naif dan tidak tahu apa-apa di saat semua orang yang ia percayai malah memperbuat hal-hal mengerikan dan menyakitkan kepada orang lain.

Setelah mendengar beberapa hal lainnya dari Dokter Octa, ia pun memutuskan untuk kembali ke klinik sehingga mamanya pun mengantarnya ke depan rumah. Dan yang seperti Julie tebak, mamanya kembali ke ruang tengah dengan marah dan segera menanyainya.

“Julie Stone, kau ke mana saja semalam?”

Julie menyenderkan punggungnya ke sofa dengan ekspresi datar. “Rumah Ken.”

Mamanya menyipitkan mata. “Apa kau berada di rumahnya sebelum badai? Dan menginap di sana hingga pagi ini?”

“Iya, Mom. Sekarang, apa aku bisa menanyaimu sesuatu?” tanya Julie sambil memandangnya tajam.

Mamanya duduk kembali di sofa yang tadi ia duduki. “Sepertinya aku yang harus menanyaimu—”

“Siapa di antara kalian yang menghapus pesan singkat dari Billy di ponsel Owen pada hari itu?” potong Julie dengan pertanyaannya. “Kau atau papa?”

Mamanya mengernyitkan dahi. “Apa maksudmu?”

“Aku tahu kalau pada hari kematian Owen, ia sempat mendapat pesan teks dari Billy yang meminta untuk menemuinya di coast bridge sebagai kesempatan terakhir menyelamatkan seseorang. Namun saat polisi memeriksa ponsel Owen untuk pesan tersebut, anehnya tidak ada pesan masuk apa-apa dari Billy saat itu,” jelas Julie. “Aku ingat jelas hari apa itu. Owen tidak membawa ponselnya ke kampus karena ia memiliki pertandingan sepakbola saat itu, dan aku pergi bersamanya untuk menyemangatinya. Owen meninggalkan ponselnya di rumah, dan saat itu hanya ada kalian berdua.”

Julie menangkap kekagetan dalam raut wajah mamanya, dan ia semakin yakin jika mamanya tahu mengenai hal itu.

“Mom, kumohon,” lanjut Julie. “Aku tidak akan berhenti mencari tahu sampai aku menemukan jawaban yang aku cari.”

“Dari mana kau mendengar hal-hal aneh seperti itu, Julie?”

Julie mendesah. “Tidak penting aku tahu dari mana. Jadi tolong jawab pertanyaanku, Mom.”

“Aku tidak tahu apa yang kau maksud,” ucap mamanya sambil beranjak dari duduknya.

Julie ikut-ikutan bangkit dan mengejar mamanya ke teras belakang rumah mereka. Jelas sekali mamanya menyimpan sesuatu karena ia terlihat sangat gugup. Namun belum sempat ia bertanya kembali, mereka berdua berpapasan dengan papa Julie di pekarangan belakang, yang mana mengagetkan Julie dan mamanya.

“Clint?” tanya mamanya bingung ketika melihat suaminya ada di situ. “Sejak kapan kau di sini? Dan kenapa kau tidak masuk dari depan?”

“Aku baru saja sampai dan langsung ke garasi, jadi aku masuk saja dari belakang rumah.” Kemudian papanya memandangi mereka berdua bergantian. “You two look... intense. What’s going on?”

“Dad, bisakah kita bertiga bicara?” tanya Julie bersikeras, sementara mamanya terlihat pasrah. “Kita bisa bicara di gazebo.”

Julie pun berjalan menghampiri gazebo di pekarangan belakang rumah mereka yang berukuran lumayan besar itu. Mamanya sering mengadakan perkumpulan atau acara kecil-kecilan di sana, sementara Julie dulu suka mengerjakan tugas kuliahnya di sana karena nyamannya tempat itu. Julie bahkan masih ingat bahwa dulu saat Owen masih ada, mama dan papanya kadang-kadang mengajak mereka untuk memanggang barbecue di bawah rintik hujan. Setelahnya mereka akan duduk bersama untuk bercengkerama, dan kedua orang tua mereka akan menanyakan sekolah mereka.

Julie menginginkan saat-saat itu kembali, tapi sekarang ia malah mengkonfrontasi mama papanya di tempat yang seharusnya merupakan tempat terdamai di rumah mereka itu. Dan ketika papanya akhirnya tahu apa yang sedang mereka bicarakan, lagi-lagi ekspresi murka menyergapi wajahnya.

What kind of nonsense is that?” tanya papanya pada Julie.

The kind of nonsense I want to believe,” jawab Julie cepat. “Aku tahu kalau kalian tahu mengenai apa yang kubilang. Jadi tidak ada gunanya lagi untuk kalian menyimpannya.”

Papanya menggeleng. “Aku tidak punya waktu untuk ini, Julie.”

Ketika papanya menarik mamanya untuk mengikutinya kembali ke dalam rumah, Julie cepat-cepat berucap kembali.

“Baiklah, jika kalian tidak mau memberitahu apa-apa, aku rasa aku tidak punya pilihan.”

Kedua orang tuanya menoleh padanya dengan bingung, dan Julie pun merogoh sesuatu dari dalam tasnya. “Ini adalah semua berkas-berkas sabotasemu terhadap ternak keluarga Easton dua tahun yang lalu, di mana kau awalnya menugaskan seseorang untuk menyamar dan bekerja pada keluarga Easton dan kemudian ia bertugas untuk membuat ternak mereka jatuh sakit.”

Mama dan papanya kaget luar biasa dengan semua perkataannya itu, sementara Julie berjalan menghampiri mereka.

“Setiap kegiatan mata-matamu dicatat dengan rinci agar kau bisa memantau perkembangan tugasnya dan juga untuk berjaga-jaga jika seandainya penyamarannya terbongkar. Namun semuanya berjalan sesuai rencanamu, dan ketika ternak-ternak mereka mulai sakit, kau pun berfokus pada pembangunan Green City untuk segera mengambil kesempatan di saat keluarga Easton mengalami masalah finansial mereka. Untunglah saat itu penjualan sayuran dan buah-buahan mereka masih bisa membantu pemasukan mereka, setidaknya sampai tahun lalu. Dengan semakin banyaknya ternak sehat yang tertular penyakit dari ternak sakit lainnya, semakin banyak pula pengeluaran untuk mengobati mereka dan membeli yang baru untuk menggantikan yang mati. Dan semakin terpuruk mereka di situ, semakin sukses pula Green City karena mereka adalah alternatif terbaik yang dibutuhkan penduduk Dalevoux, apalagi dengan banyaknya supply produk dan harga yang lebih murah dari yang dijual oleh keluarga Easton.”

Papanya terperangah, sementara mamanya menutup mulutnya karena terlalu kaget dengan semua yang ia katakan.

“Di berkas ini juga ada aliran dana kotor dari para investor korup yang terlibat dalam proyek Green City,” tambah Julie. “Jika berkas ini sampai ke tangan polisi, semua nama yang ada di dalam proyek ini akan langsung menghadapi pidana hukum dengan ancaman penjara lebih dari sepuluh tahun.” Julie kemudian mengangkat kedua bahunya. “Aku melakukan sedikit riset, jika kalian ingin tahu.”

Papanya berjalan mendekatinya dan merebut berkas itu dari tangannya. “Julie Stone, dari mana kau mendapatkan ini?” tanya papanya tajam. “Apa kau memasuki study room-ku lagi?”

Julie memandangi mereka dengan frustrasi. “Bisakah kalian tidak terus menanyaiku dari mana aku mengetahui ini atau mengetahui itu? Mungkin yang perlu kalian perhatikan adalah fakta bahwa pada akhirnya aku akan mengetahui semua ini. Dan jika kalian masih tidak ingin menceritakanku yang sebenarnya, aku akan pergi menemui Chief Lee sekarang untuk melaporkan kalian berdua.” Kemudian ia menunjuk berkas di tangan papanya. “Aku sudah membuat beberapa salinannya, ngomong-ngomong.”

 “Kau tidak akan melakukan itu, Julie,” kata mamanya dengan gestur mengancam. “Bagaimanapun juga, kami adalah orang tuamu.”

Julie merogoh saku jinsnya untuk mengeluarkan ponselnya, masih sambil memandang orang tuanya. Ia kemudian menekan nomor ponsel Chief Lee dan memperlihatkan layarnya kepada mereka berdua. “Beritahu aku sekarang.”

“Julie!” panggil papanya.

Dan Julie pun langsung menekan tombol panggil, mengakibatkan kedua orang tuanya panik.

“Baiklah, kami akan memberi tahu semuanya!” seru mamanya setelah beberapa detik.

Julie menajamkan pandangannya. “Benarkah?” tanyanya yang masih membiarkan ponselnya menghubungi nomor telepon Chief Lee.

“Kami janji, Julie. Sekarang tolong tutup panggilan itu,” kata papanya cemas.

Julie pun menghentikan panggilan itu dan kemudian melipat tangannya. “Well?”

Papanya mendekatinya dan mencoba menenangkan situasi itu. “Baiklah, Julie, kami akan cerita asalkan kau juga berjanji untuk diam dan tidak menceritakan ini pada siapapun.”

Walau Julie kesal dengan permintaan papanya itu, ia akhirnya mengangguk juga.

“Owen dan Billy sempat berteman, dan ketika kami mengetahuinya, kami segera menyuruhnya menghentikan pertemanan itu karena kami tahu kalau Billy adalah pembawa pengaruh buruk untuk Owen. Semenjak Owen mengenalnya, ia jadi tidak fokus dengan kuliahnya karena terus-terusan membantu Billy untuk mempersiapkan dirinya masuk ke Dalevoux University suatu saat nanti. Owen juga jadi pembangkang dan tidak mendengar ucapan kami lagi,” kata mamanya.

“Seperti misalnya saat aku menyarankan Owen untuk memulai investasi bisnis pertamanya untuk Green City. Owen sempat bilang padaku kalau ia ingin memulai bisnisnya sendiri di usia muda, dan aku pun memberikannya kesempatan itu,” lanjut papanya. “Tapi anehnya Owen malah menolak tawaranku dengan alasan bahwa ia tidak ingin lagi memulai berbisnis. Dan kami pun tahu kalau putra Easton itu telah mempengaruhinya untuk beroposisi dengan kami.”

Julie mengerutkan kening. “Bagaimana kalian bisa tahu? Mungkin saja Owen hanya telah menemukan apa yang sebenarnya ingin ia lakukan, seperti misalnya sepakbola. Oleh karena itu, ia pun menolak tawaran bisnis papa.”

“Julie, Owen selalu memiliki pendirian tetap untuk apa yang ia inginkan di masa depannya. Apalagi ia sudah dewasa dan siap untuk meneruskan semua  bisnis keluarga Easton. Tapi sejak ia mengenal Billy, ia tiba-tiba berubah pikiran dan beralih ke sepakbola, begitu? Julie, kami mengenali putra kami sendiri,” jawab mamanya mantap.

“Atau mungkin kalian hanya menyalahi Billy mengenai apa yang terjadi pada Owen,” balas Julie yang masih curiga. “Apa kalian tahu bahwa Owen memiliki tekanan berat untuk menjadi putra kebanggaan keluarga Stone berkat apa yang kalian selalu harapkan darinya? Apa kalian tahu apa yang Owen rasakan setiap saat kalian menyuruhnya melakukan sesuatu?” tanyanya lagi dengan emosi. “Owen selalu merasa bahwa apapun yang ia lakukan tidak akan pernah cukup. Padahal ia adalah orang paling pintar dan bijaksana yang pernah kutemui. Aku belajar banyak darinya. Bagiku, ia sosok paling penting di hidupku. Tapi ia masih merasa seperti sebuah kegagalan di mata kalian. Dan ia tidak tahu harus bicara dengan siapa, karena kedua orang tuanya sibuk dengan urusan dan kepentingan masing-masing.”

Kedua orang tuanya tidak tahu harus mengucapkan apa, sehingga mereka pun saling memandang dalam penyesalan. Julie sendiri merasa dadanya kembali sakit, tetapi ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap melanjutkan pembicaraan itu.

“Lalu siapa di antara kalian yang menghapus pesan masuk dari Billy saat itu?” tanya Julie kemudian.

I did,” jawab mamanya, mengagetkan Julie.

“Apa?” tanya Julie kaget. “Tapi kenapa?”

“Karena itu adalah pesan dari Billy Easton,” jawab mamanya singkat.

Julie memandang mereka dengan tidak percaya. “Aku benar-benar sudah tidak mengerti dengan kalian lagi. In case you guys forget, Owen pada akhirnya tetap saja menemui Billy malam itu, dan hal berikutnya yang terjadi adalah jenazah mereka ditemukan di coast bridge, di mana ada satu hal lagi yang mencurigakan.”

Kedua orang tuanya memandangnya dengan kaget lagi. “Apa maksudmu?”

“Supir truk pembawa batu bara yang juga terlibat dalam kecelakaan itu... apa kalian mengenalnya?” tanya Julie balik.

Mama dan papanya mengerutkan kening. “Supir truk yang meninggal itu? tanya mamanya balik.

What are you insinuating now, Julie?” tanya papanya yang kembali marah.

Melihat kebingungan mereka berdua, Julie pun menjadi ragu. Tapi ia kembali lagi pada asumsinya, sehingga ia pun menceritakan mereka berdua mengenai pembicaraannya dengan Mrs. Stanford dan mengenai kecurigaan mereka berdua bahwa papa Julie mungkin berada di balik kecelakaan itu.

Dan kali ini reaksi papanya benar-benar penuh dengan keterkejutan bercampur kemarahan, sementara mamanya mengusap wajahnya dengan lelah.

Julie memandang mereka dengan pasrah. “Kumohon katakan bahwa kalian tidak ada kaitannya dengan kecelakaan itu.”

Air matanya mengalir.

“Kumohon. I beg you, please.”

Namun ketika ia melihat kedua orang tuanya berdiri dalam diam tanpa bisa menjawab apa-apa, Julie seakan membayangkan semua mimpi buruknya menyatu menjadi satu molekul raksasa, dan ia tanpa sadar memundurkan tubuhnya dari mereka berdua dengan raut wajah terperangah.

Tenggorokannya kembali terasa tercekat oleh sesuatu, dan berikutnya air mata telah mengalir lagi dari kedua sudut matanya. Ia tidak bisa menggambarkan lagi kondisinya saat ini. Perasaan dan pikirannya seakan-akan seperti kertas yang dirobek kecil-kecil, dan semua robekannya berterbangan ke mana-mana. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi untuk memulihkan semua luka-luka di tubuhnya yang kembali terbuka setelah ia menutupnya dengan susah payah.

Masih dalam keterpanaanya, Julie berjalan keluar dari pekarangan belakang rumah mereka untuk menuju garasi dan menyalakan mobilnya agar ia bisa pergi dari rumahnya sendiri sejauh-jauhnya.

Selama ini, monster yang ia cari ternyata ada di dekatnya.

 

x-x-x

 

Ben sedang berjalan memasuki area taman kampus Dalevoux untuk menemui Julie di tempat yang sering mereka tuju, sebuah kursi taman di bawah pohon mahoni besar yang menghadap air mancur di tengah taman. Setelah beberapa hari ini mereka tidak bertemu, Julie akhirnya mengirimkannya pesan teks untuk bertemu dengannya siang ini alih-alih pada malam hari di Lunar seperti biasanya.

Cowok itu pun menghampiri Julie yang telah duduk di sana. “Hai.”

Julie memberinya senyuman singkat, dan Ben menyadari bahwa ia terlihat sangat lelah dan tidak bersemangat, seolah-olah ia tidak tidur berhari-hari. Ia pun jadi khawatir. “Apa kau baik-baik saja?”

Julie menggeleng, mengakibatkan juntaian rambut merahnya yang lembab mengikuti gerakannya. “Tidak sama sekali.”

“Apa yang terjadi?” tanya Ben makin khawatir. “Dan kau terlihat seperti tidak tidur berhari-hari. Bukannya kau sudah membaik?”

“Aku tidak tidur tadi malam, jika itu yang kau tanyakan,” jawab Julie datar. “Enough about me. Ada hal lebih penting yang harus kita diskusikan.”

Julie pun menceritakan Ben semua hal tentang sabotase kedua orang tuanya terhadap keluarga mereka yang ia ketahui kemarin.

Tapi ia tidak memberitahunya bahwa orang tuanya terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawa Billy dan Owen. Karena setelah ia pikir-pikir, jika Ben dan orang tuanya sampai tahu, resikonya lebih fatal lagi. Dan ia tidak bisa membayangkan seberapa terlukanya perasaan Ben jika ia tahu soal itu.

Dari cerita Julie, Ben mengetahui sesuatu yang sangat mengagetkannya. Cowok itu pun segera mengirimkan pesan kepada seseorang, memintanya bertemu beberapa saat lagi.

Sesudah cerita Julie selesai, Ben pun berganti memberitahu Julie mengenai pembicaraanya sebelumnya dengan kedua orang tuanya juga. Karena mereka berdua sekarang telah tahu cerita masing-masing, Julie pun segera beralih kepada rencananya dalam menghentikan semua kekacauan ini, di mana Ben menjadi ragu-ragu.

“Bagaimana kalau kita gagal?” tanya Ben khawatir.

“Kalau begitu aku benar-benar akan memilih opsi terakhir. Aku akan mengeluarkan semua kebenarannya kepada publik.”

Ben akhirnya mengangguk. “Baiklah, aku mengerti.” Kemudian ia memandang Julie dengan sedih. “Apa kau tidak tidur semalaman karena memikirkan hal ini? Dan jika kau tidak ada di rumah, di mana kau semalam?”

Julie menghela napas. “Kau tidak perlu khawatir. Aku semalam menginap di rumah temanku, dan aku menggunakan insomniaku untuk menyusun rencana terbaik dalam menyelesaikan masalah ini.”

“Apa kau yakin kalau kau tidak ingin beristirahat dulu?”

Julie menggeleng. “Papaku mungkin sudah bergerak cepat untuk menyelesaikan kekacauan ini dengan caranya sendiri, jadi aku harus menyamakan kecepatanku dengannya. We got no time to lose.”

Ben pun mengangguk, dan berikutnya mereka beranjak dari sana untuk menuju tempat parkir di mana Ben menaruh mobilnya. Mereka pun naik, dan Ben membawa mereka keluar dari area kampus, yang mana pada akhirnya berhenti di sebuah rumah yang berlokasi cukup jauh dari pusat kota.

“Ini rumahmu?” tanya Julie dengan terkesima. “It looks beautiful.”

“Terima kasih,” jawab Ben. “Kedua orang tuaku pasti ada di rumah sekarang.”

Mereka pun turun dari mobil yang kini terparkir di depan rumah Ben, dan Ben mengantarnya masuk ke dalam rumahnya yang terlihat sangat rapi dan asri walau ukurannya tidak sebesar rumah Julie.

Ben memanggil ibunya, dan seorang wanita paruh baya yang cantik dan berwajah ramah keluar dari dapur untuk menghampiri mereka. “Ben, apa hari ini kau pulang cepat?” tanyanya senang.

Ben mengangguk dan melihat bahwa ibunya saat itu ada di dapur bersama ayahnya. Mereka berdua memperhatikan Julie dengan penasaran, sementara gadis itu memberikan mereka senyuman sopan.

“Mom, Dad, perkenalkan... ini Julie Stone.”

Kedua orang tuanya tercengang dan kemudian menjadi kesal.

“Kenapa kau membawanya kemari?” tanya ayahnya tajam.

“Apa kau masih marah kepada kami, Ben?” tanya ibunya sedih. “Sampai-sampai kau membawa putri mereka ke rumah kita?”

“Tenanglah. Julie sudah tahu soal apa yang kalian sampaikan padaku malam itu,” kata Ben tajam.

Saking terkejutnya mereka, ayah dan ibu Ben sampai berdiri dari duduk mereka, dan kali ini Julie menangkap sebersit kepanikan dalam ekspresi mereka berdua.

“Mr. Easton, Mrs. Easton, aku tidak akan melaporkan kalian ke kantor polisi,” ucap Julie. “Aku datang kemari untuk memberitahu kalian sebuah rencana yang telah kupikirkan untuk menghentikan semua kekacauan ini.”

Mereka memandangi Julie dan Ben bergantian, masih terkaget-kaget dengan semua kejadian ini.

“Dan kalian bisa mempercayaiku,” lanjut Julie mantap. “Karena aku tidak pernah melakukan bisnis seperti ayahku.”

 

x-x-x

 

Pintu kedai kopi yang terletak di sebelah gedung universitas terbuka, menyebabkan bel yang tergantung di atasnya berdenting jelas ke seluruh penjuru.

Karen mengangkat kepalanya untuk melihat siapapun yang datang, dan dilihatnya Ben sedang menghampiri mejanya. “Hai,” sapanya ketika ia sudah berdiri di hadapan gadis itu.

Karen tersenyum tipis. “Hai.”

Ben mengambil tempat duduk di hadapan Karen, dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan pertama mereka, keduanya duduk dengan canggung dalam diam.

“Jadi? Kenapa kau tibat-tiba mengajakku bertemu?” tanya Karen, memecahkan keheningan di antara mereka, walaupun kedai itu berisiknya luar biasa karena kehadiran pengunjung yang lain.

“Apa kau sedang sibuk?”

“Aku harus kembali ke kantor untuk rapat. Tapi sepertinya pesan teksmu lebih mendesak.”

Ben menangkupkan kedua tangannya di atas meja, ekspresinya terlihat ragu sebelum memulai bicara. “Aku tahu bahwa kita sedang tidak saling bicara. Tapi aku ingin menanyakanmu sesuatu.”

Karen masih diam, membiarkan Ben melanjutkan ucapannya.

“Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau adalah salah satu investor utama untuk proyek Green City?”

Ekspresi Karen mengeras. Untuk sesaat, ia tidak mampu berkata-kata.

Ben sendiri menatapnya dalam diam, dan alih-alih marah, ia hanya merasakan gumpalan kekecewaan dan kepedihan hatinya yang retak.

“Kenapa kau berpacaran denganku, Karen? Apa kau merasa bersalah karena telah menjadi bagian dari sesuatu yang membunuh keluargaku?”

Karen cepat-cepat menggeleng. “Ben, aku tulus menyayangimu.”

“Apa kau akan menyimpan hal itu sampai kita menikah? Sampai kita memiliki anak? Sampai kita meninggal?”

Karen menggeleng lagi. “Ben, aku awalnya juga tidak menyangka bahwa aku akan langsung jatuh cinta padamu saat pertama kali bertemu denganmu. Namun hubungan kita semakin serius, dan aku tidak ingin menghancurkan apa yang sudah terjadi. Lagipula, investasiku di proyek itu tidaklah besar dan—”

Ben membuang tatapannya dari Karen, kekecewaan terlihat jelas di ekspresinya.

“Aku... aku minta maaf, Ben. Jika kau ingin aku menarik namaku dari Green City, aku akan segera melakukannya.

“Tidak perlu, Karen,” balas Ben pelan. “Aku ke sini tidak ingin memintamu melakukan itu. Aku hanya ingin mengkonfirmasi apa yang aku dengar dari Julie, itu saja. Sekarang karena aku sudah tahu, aku akan menghormati keputusanmu jika kita memang harus putus.”

Karen terkejut.

“Karen, aku tidak ingin berada di dalam hubungan seperti ini. Baik kau dan aku sama-sama tidak mempercayai satu sama lain, dan pada akhirnya, kita malah saling melukai diri masing-masing.”

Air mata Karen mengalir, dan ia segera mengusapnya.

“Aku minta maaf, Karen, untuk semuanya. Terutama jika aku menyakitimu,” kata Ben, sebelum beranjak dari duduknya untuk pergi dari situ.

Tetapi langkahnya berhenti ketika ia mendengar suara Karen lagi.

“Jadi, apa kau akan berpaling pada Julie sekarang?”

Ben membalikkan tubuhnya dengan kerutan alis mendalam. Sementara itu, Karen menatapnya lekat-lekat dari balik matanya yang tergenang air mata.

“Aku tidak berpaling kepada siapa-siapa, Karen,” jawab Ben.

“Pembohong,” balas Karen tajam.

Ben tertawa getir. “Bahkan sampai kita putus pun, kau masih tidak percaya padaku,” ucapnya terluka.

Dan cowok itu pun benar-benar pergi dari hadapannya, meninggalkan Karen yang kembali terisak di tempatnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (8)
  • dreamon31

    mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter Introduction
  • yurriansan

    @DeviYulia19 sma2. aku msh berussha mnemukan rahasia kmatian bily, xixi.

    mmpir juga ya ke story terbaruku kak. apalgi klau d krisanin, hoho.

    Comment on chapter After Effects
  • DeviYulia19

    @yurriansan Makasih banyak, dear 😘

    Comment on chapter After Effects
  • yurriansan

    aku masih di chapter 3, keren, suka. yah meski, tokoh ceweknya perokok, tpi bkin pnsaran uk lnjut baca.

    Comment on chapter After Effects
  • rara_el_hasan

    @DeviYulia19 sama-sama say

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • DeviYulia19

    @rara_el_hasan Thank you so much buat masukannya... really appreciate it :)

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    keren ceritanya.. suka suka

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    say... Namun pakai huruf besar.. di awali titik ya

    Comment on chapter Seeing the Unseen
Similar Tags
Gue Mau Hidup Lagi
354      223     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Blue Diamond
2573      829     3     
Mystery
Permainan berakhir ketika pemenang sudah menunjukkan jati diri sebenarnya
Something about Destiny
124      106     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
Manusia
1699      733     5     
Romance
Manu bagaikan martabak super spesial, tampan,tinggi, putih, menawan, pintar, dan point yang paling penting adalah kaya. Manu adalah seorang penakluk hati perempuan, ia adalah seorang player. tak ada perempuan yang tak luluh dengan sikap nya yang manis, rupa yang menawan, terutama pada dompetnya yang teramat tebal. Konon berbagai macam perempuan telah di taklukan olehnya. Namun hubungannya tak ...
Ignis Fatuus
1709      638     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...
The Eye
388      254     2     
Action
Hidup sebagai anak yang mempunyai kemampuan khusus yang kata orang namanya indigo tentu ada suka dan dukanya. Sukanya adalah aku jadi bisa berhati-hati dalam bertindak dan dapat melihat apakah orang ini baik atau jahat dan dukanya adalah aku dapat melihat masa depan dan masa lalu orang tersebut bahkan aku dapat melihat kematian seseorang. Bahkan saat memilih calon suamipun itu sangat membantu. Ak...
Give Up? No!
413      271     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
Daniel : A Ruineed Soul
528      300     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
PENTAS
971      593     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".