Sinar putih yang membutakan mata membuat kedua mata Julie terpicing secara otomatis. Ia bisa merasakan tubuhnya terbaring di suatu tempat, dan ada benda transparan terpasang di hidungnya yang memberikan akses oksigen tambahan untuk memperlancar napasnya.
Ia mengerjapkan mata lagi, dan kali ini ia bisa mendengar suara orang-orang di sekitarnya.
“Julie, kau sudah sadar?”
Ia memiringkan kepalanya untuk melihat ke pemilik suara, yang ternyata adalah Ben. Cowok itu terlihat sangat lega saat menangkap pandangannya, dan berikutnya ia beranjak sebentar untuk memanggil perawat.
Julie melihat selang infus ditusukkan di lengannya beserta selimut garis-garis yang disampirkan di tubuhnya. Barulah ia sadar kalau ia sedang ada di klinik kampus. Apa yang terjadi? Bukannya aku sedang bicara dengan Ben tadi?
Ben kembali ke biliknya bersama seorang perawat wanita yang segera memeriksa monitor di sebelah Julie dan menuliskannya di papan kertas yang ia bawa. “Kondisinya sudah lumayan membaik. Ia hanya perlu obat penurun panas dan antibiotik. Julie, apa ada orang yang bisa kuhubungi untuk menjemputmu?”
Julie menggeleng. “Aku bisa menghubungi supirku, terima kasih. Terkait riwayat medis dan perawatanku, kau mungkin bisa menghubungi Dokter Octa.”
Ia kemudian menyebutkan serangkaian nomor yang merupakan nomor telepon kantor Dokter Octa pada si perawat. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun menegakkan badannya untuk duduk di tempat tidur seraya menurunkan masker oksigennya agar lebih gampang bicara dengan Ben.
“Apa yang terjadi?”
Ben menatapnya balik dengan bingung. “Kau tidak ingat?”
Julie menggeleng, sehingga Ben pun mengulang kejadian barusan. Mendengarnya, Julie langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha meredam kelelahannya. Ia ingin menangis dan berteriak sekencang-kencangnya, tetapi sayangnya energinya sudah terkuras habis.
“Semua ini gara-gara apa yang diucapkan orang tuaku,” ucap Julie pedih.
Julie akhirnya menceritakan pada Ben mengenai mimpi buruknya semalam dan bagaimana dirinya sering berhalusinasi dengan melihat sosok Owen di rumahnya. Tidak ada siapapun yang tahu soal itu selain Billy, dan Ben adalah orang kedua yang ia beri tahu soal itu. Ia juga jadi menceritakan perawatan traumanya oleh Dokter Octa semenjak kematian Owen.
Di akhir ceritanya, Julie merasa ratusan ton beban yang seolah-olah ia pikul selama dua tahun ini terangkat begitu saja dari tubuhnya.
Ben meraih sebelah tangan Julie untuk menggenggamnya. “Julie, aku tidak bisa membayangkan apa yang sudah kau lewati selama ini. Aku menyesal mendengarnya.”
Julie menggigit bibirnya untuk mengontrol isakannya. “Ben, bagaimana kalau kita tidak bisa menerima kebenaran di balik semua ini? Bagaimana jika semuanya malah menjadi lebih buruk?”
Ben merasa pegangan Julie di tangannya mengerat, dan untuk kesekian kalinya ia melihat ekspresi terluka gadis itu yang diwarnai ketakutan.
x-x-x
Dua minggu kemudian.
“Selamat pagi. Saya ingin bertemu dengan Ben Easton.”
Resepsionis di ruang kantor manajemen Dalevoux University menoleh sekilas kepada Julie yang saat itu sedang berdiri di depan mejanya. “Apa Anda sudah membuat janji?”
“Katakan saja bahwa Julie Stone ingin bertemu.”
Walau ekspresi resepsionis tersebut masih ragu saat mendengar ucapannya, untunglah ia mengangkat telepon di sebelah kirinya dan menekan beberapa nomor yang sepertinya mengarah ke meja kerja Ben. Tidak lama kemudian, ia menutup teleponnya. “Maaf, sepertinya Mr. Easton belum tiba di kantor.”
“Tapi ini sudah pukul sepuluh pagi,” ucap Julie bingung.
“Kemungkinan Mr. Easton masih menjalani rapat di luar. Kudengar departemen Human Resource memiliki jadwal pertemuan hari ini di York and Partners.”
Julie mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. Setelah berterima kasih kepada si resepsionis, Julie berjalan keluar dari ruangan itu seraya mencoba menghubungi nomor ponsel Ben lagi. Sudah dua minggu berlalu sejak Julie jatuh sakit di koridor kampusnya dan terpaksa tidak menghadiri kelas selama dua hari untuk beristirahat di rumah. Mamanya sangat panik ketika mendapat kabar soal Julie dari Dokter Octa, sehingga mamanya segera mengosongkan jadwalnya untuk merawat putrinya hingga sembuh.
Setelah Julie sembuh dan kembali ke kampus, ia mencoba menghubungi Ben lagi untuk meminta update dari Ben, yang sayangnya belum sempat menanyai kedua orang tuanya soal Billy dan Owen. Ben menjelaskan bahwa ia sangat disibukkan oleh pekerjaan belakangan ini, dan orang tuanya juga sedang menghadiri acara pemakaman kenalan keluarga di luar kota.
Ben berjanji akan segera menghubungi Julie kembali, tapi sampai sekarang tidak ada kontak apapun dari cowok itu. Apa ia baik-baik saja? Apakah Ben sudah lupa dengan rencana mereka untuk mencari tahu soal kematian kedua saudara mereka? Itu tidak mungkin, tentu saja. Ben sangat mencintai Billy, dan ia akan melakukan apapun demi adiknya itu. Jadinya, daripada Julie terus bertanya-tanya, akhirnya ia memutuskan untuk menelepon Ben lagi.
Tetapi ia masih tidak mengangkat telepon atau membalas pesan-pesan teksnya, dan Julie mulai gelisah.
They promised to do this together.
Saat itu kelasnya sudah selesai. Langkahnya membawanya dari gedung kelas ke taman kampus yang ramai seperti biasa, dan ia pun duduk di bangku taman yang selalu ia dan Ben tempati jika ingin membahas investigasi mereka. Matanya memandangi setiap manusia yang berada di sekelilingnya, dan sesekali ia melihat ponselnya untuk melihat layarnya, siapa tahu ada panggilan atau pesan masuk dari Ben.
Beberapa menit kemudian, Julie hampir membangkitkan dirinya untuk pergi saja ke tempat lain, ketika ponsel di tangannya berdering dan ia segera mengangkatnya.
“Ben? Kau ke mana saja?!”
“Uh... ini Ken.”
Julie mengerutkan kening. “Siapa?” Kemudian ia melihat layar ponselnya dan menyadari bahwa itu bukan kontak ponsel Ben.
“Ken dari Departemen Bisnis.”
“Oh. Hei.” Ia sebenarnya tidak berteman dengan Ken, tetapi karena ia sering diajak beberapa murid Departemen Psikologi untuk menghadiri pestanya, Julie lama-lama jadi kenal dan sering main ke rumahnya. Tetapi ia sangat tidak punya mood untuk bicara dengan Ken sekarang.
“Aku sudah jarang melihatmu belakangan ini. Bagaimana kalau kita bertemu beberapa teman lama seperti dulu?”
“Aku tidak bisa,” jawab Julie tegas, dengan harapan pembicaraan itu cepat berakhir.
“Oh, ayolah! We got new drugs, jadi kau bisa mencobanya juga.”
“Ken, aku sudah berkali-kali bilang padamu. I don’t do drugs.”
“Baiklah, alkohol dan rokok seperti biasa. Seperti apa yang sering dimintai seorang Julie Stone,” ucap Ken lagi. “Jika kau berubah pikiran, kau tahu di mana mencariku.”
Telepon itu pun ditutup. Dengan kesal, ia merogoh ke dalam tasnya untuk mencari sisa-sisa batang rokok yang bisa ia hisap untuk menghilangkan kekesalannya saat itu. Ia menyalakan pemantiknya dan membakar ujung rokok dengan tergesa, seakan takut bahwa itu adalah rokok terakhirnya.
Sembari tubuhnya menyerap sensasi nikotin, Julie kembali memandangi sekelilingnya dalam diam. Sudah lima belas menit ia duduk di sana tanpa melakukan apa-apa, padahal biasanya ia sudah bepergian kesana-kemari untuk mencari tahu apa yang bisa ia cari dari kematian kakaknya dan Billy.
Setelah batang rokoknya itu habis, Julie menyalakan lagi batang berikutnya dan melanjutkan kegiatannya. Barulah setelah rokok keduanya habis, Julie memadamkan ujungnya dan membuangnya ke tong sampah di dekatnya, berjalan kembali menuju bagian dalam gedung kampus.
Ketika ia sedang berjalan melewati koridor fakultasnya, ia berpapasan dengan Miss Roselett yang sepertinya baru habis mengajar. Julie tidak menyapanya sama sekali dan hanya berjalan melewatinya seakan-akan wanita itu tidak ada.
“Julie.”
Langkah gadis itu terhenti, dan ia pun menolehkan kepalanya. “Ya?”
“Aku dengar kau masih mencari tahu tentang kematian Owen.”
Great, pikir Julie kesal.
“Kenapa memangnya?” tanya Julie sambil mengerutkan kening. “Jangan pikir karena Anda berteman dengan ayah saya, Anda jadi merasa punya hak untuk ikut mengetahui kehidupan personal saya.”
“Julie, aku—”
“Tidak seperti Anda, saya tidak percaya bahwa Owen membunuh dirinya sendiri.”
Miss Roselett terpaku sesaat. “Julie, semuanya sudah berlalu. Let Owen go.”
Julie memalingkan wajahnya dari hadapan Miss Roselett untuk menarik napas panjang, berharap agar kemarahannya dapat teredam dengan cara itu.
Ia tidak pernah membenci Blair Roselett sebenarnya.
Ia hanya kecewa.
Sebagai salah satu orang yang melihat Owen dan Julie tumbuh sejak kecil, Miss Roselett memiliki ikatan yang dekat dengan mereka berdua. Ia sering memberikan mereka nasihat dan mengajari banyak hal penting hingga mereka tumbuh besar dan mulai menghadapi dunia. Miss Roselett adalah satu-satunya teman dekat kedua orang tua mereka yang peduli pada Owen dan Julie dengan sungguh-sungguh, bukan karena berdasar imbalan harta atau janji palsu semata. Lagipula, Miss Roselett menjalani masa kecilnya bersama dengan papa Julie, dan mereka telah lama menjadi sahabat. Oleh karena itu, kakaknya telah menganggap kehadiran Miss Roselett sebagai berkah, dan ia mempercayai wanita itu lebih dari apapun. Owen menganggapnya seperti keluarganya sendiri.
Tapi dua tahun yang lalu, Miss Roselett, sama seperti ayahnya dan ribuan penduduk di Dalevoux memberitahu Julie bahwa kakaknya ternyata adalah seorang remaja depresi yang mencabut nyawanya sendiri, seakan-akan Owen tidak pernah memikirkan setiap konsekuensi dari perbuatannya itu; seakan-akan Owen tidak pernah mencintai Julie; dan seakan-akan Owen adalah bentuk kekecewaan terbesar yang dihadapi keluarga Stone.
Dari semua orang, ia sama sekali tidak berharap bahwa Miss Roselett juga menghakimi Owen seperti itu. Apa karakter Owen sedangkal itu di matanya? Apakah semua waktu yang Owen habiskan bersama Miss Roselett tidak cukup untuk menjelaskan bahwa Owen jelas-jelas bukan seseorang yang egois?
“Maaf, Miss. Aku harus pergi.”
Tanpa mendengar ucapan apa-apa lagi dari Miss Roselett, gadis itu berbalik dan melanjutkan langkahnya kembali.
Dan mood-nya yang sudah sangat jelek jadi tambah buruk ketika pikirannya mau tidak mau jadi kembali ke saat semua orang sibuk mengkritisi Owen tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
x-x-x
Malamnya, Julie dan kedua orang tuanya duduk bersama di meja makan untuk makan malam, sesuatu yang sebenarnya sudah jarang terjadi sejak Owen meninggal dua tahun yang lalu. Apalagi Julie dulu lebih sering berada di luar rumah, yang selain untuk berhura-hura sampai pagi hari, ia juga selalu berniat untuk menghindari mereka. Atau tepatnya menghindari omelan mereka.
Tetapi malam ini seharusnya berbeda.
“Aku sangat senang dengan ini,” ucap papanya sumringah. “Sudah sangat lama rasanya sejak kita duduk bersama untuk makan malam sebagai sebuah keluarga.”
Julie hanya mengaduk sup jamurnya dalam diam, tidak menatap mereka berdua ataupun membalas ucapan papanya. Baginya, semua yang papanya ucapkan adalah formalitas. Ia tahu jelas bahwa seorang konglomerat terkemuka seperti papanya telah tanpa sadar membawa topengnya di mata publik ke dalam keluarganya sendiri.
“Dan, Julie, aku senang bahwa kau sudah berhenti bertemu dengan Ben Easton,” sambung papanya dengan nada bangga. “Mamamu juga bilang kalau kondisimu semakin membaik.”
Mamanya memberikan anggukan kecil pada papanya. “Julie juga sudah jarang pulang pagi, dan jadwal tidurnya tidak terlalu larut lagi. Sekarang Julie sudah bisa tidur sebelum tengah malam,” lanjut mamanya senang. “Kami senang dengan perkembanganmu.”
Jika saja mereka tahu soal halusinasiku, pikir Julie dalam hati.
Mereka berdua kemudian beralih ke topik lain tentang bisnis keluarga Stone yang tidak Julie mengerti, sehingga ia pun melanjutkan makannya sambil memikirkan investigasinya. Beberapa menit kemudian, sekretaris papanya, Brian, datang untuk membisikkan sesuatu di telinganya.
Julie berhenti mengaduk supnya dan menatap Brian dengan penuh selidik. Apa ia sedang berbisik soal negosiasi bisnis properti Easton?
Papanya kemudian memberikan anggukan kecil, dan Brian berjalan pergi dari hadapan mereka. Julie kemudian melihat papanya melanjutkan memotong daging steak di hadapannya tanpa perubahan ekspresi apapun.
Julie menoleh pada mamanya yang sekarang sedang menyesap wine dari gelasnya. Entah dari mana ia mendapatkan dorongan ini, tetapi ia memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini untuk memancing informasi dari papanya meski dengan resiko tinggi.
“Dad, how’s work today?”
Pertanyaan Julie itu membuat kedua orang tuanya menoleh padanya, menatapnya dengan sedikit sorot bingung.
Sadar bahwa orang tuanya tidak pernah membayangkan Julie sebagai sosok yang peduli dengan apa yang mereka kerjakan, Julie cepat-cepat berdehem dan menambahkan alasan yang pas. “Aku hanya penasaran dengan pekerjaan papa. You know, karena ia selalu sibuk setiap saat.”
Papanya memberikan pandangan menyelidik pada gadis itu, dan Julie mulai deg-degan karena berpikir bahwa papanya mungkin sudah tahu apa yang sedang ia lakukan.
Tapi di luar dugaannya, papanya tersenyum pada mamanya. “Julie, aku senang kalau kau ingin tahu mengenai bisnis keluarga Stone lebih jauh. Mungkin sudah saatnya aku mengajarkanmu manajemen pabrik agar kau tidak perlu belajar dari awal saat kau mengambil alih nantinya.”
Julie tersenyum tipis tanpa menjawab apa-apa.
Papanya mengangguk lagi, masih tanpa kecurigaan. “Belakangan ini, perusahaan kita disibukkan dengan banyaknya event dan executive party sehingga aku harus selalu ada di tempat. Ada juga tawaran-tawaran partnership bisnis dari luar kota, beberapa negosiasi dan semacamnya. Rinciannya terlalu dalam bagimu, tetapi aku senang kalau kau menunjukkan ketertarikan.”
“Banyak temanku yang mulai berinvestasi atau berbisnis di bidang real estate, Dad,” kata Julie yang mencoba bersikap natural sebelum meraih gelas air putih di hadapannya dan menenggaknya. “Menurut mereka, itu mendatangkan banyak untung di masa depan.”
“Ya, aku setuju. Keluarga kita juga sedang banyak menyiapkan kontrak untuk pembelian properti belakangan ini.”
“Area mana yang kau targeti, Dad?”
Julie tanpa sadar menangkap pandangan tajam mamanya dari seberang meja.
“Properti di area pinggiran atau perbatasan kota menarik perhatianku belakangan ini. Harganya memang tidak semahal di pusat, tetapi properti semacam itu punya potensial tinggi jika dikembangkan dengan tepat. Jika tidak ada masalah, keluarga kita bisa memiliki beberapa produk real estate baru sesegera mungkin.”
Julie menjadi sedikit kaget. Apa itu berarti negosiasi bisnis ini hampir selesai? Apa orang tua Ben telah setuju menjual rumah warisan keluarga Easton?
Julie hendak membuka mulutnya untuk bertanya lagi, tetapi mamanya mendahului dengan menanyakan apakah mereka ingin menikmati dessert.
“Dessert terdengar lezat, tapi aku rasa aku akan kembali ke study room saja. Enjoy the rest of your dinner, ladies.”
Papa Julie beranjak dari duduknya, meninggalkan Julie dan mamanya yang sekarang saling menatap dalam diam. Mama Julie memberi kode kepada para pelayan di samping mereka untuk meninggalkan ruang makan itu. Dan ketika semuanya sudah pergi, Julie langsung mendengar seruan mamanya.
“Julie, apa yang kau lakukan barusan?” tanya mamanya dengan amarah yang jelas. “Apa kau ingin papamu tahu kalau kau melanggar perkataannya dan memasuki ruangannya tanpa izin?”
“Aku tahu apa yang kulakukan, Mom. Papa sama sekali tidak curiga nanti.” Julie berhenti sejenak sebelum melanjutkan. “Apa menurutmu Ben tahu?”
“Untuk apa kita peduli? Itu terserah orang tuanya, mau memberitahunya atau tidak.”
“Mom, kenapa kita mesti membeli rumah milik keluarga Easton? Tidak adakah tempat lain yang bisa kita beli?”
Mamanya melipat serbet putih di pangkuannya dan menaruhnya di sisi piring sebelum berdiri dari duduknya. “Tentu saja kita bisa.”
Julie menatap mamanya yang berjalan pergi, kesal dengan jawabannya yang sama sekali tidak membantu.
x-x-x
Keesokan harinya, Ben sedang berjalan menuju kantor Human Resource sambil memeriksa notifikasi masuk di ponselnya. Ada banyak panggilan dan pesan teks masuk dari Julie, rekan-rekan kerjanya, beberapa teman kuliah dan email-email pekerjaan yang menumpuk. Ben langsung teringat dengan Julie saat membaca pesannya, dan ia bertekad untuk menghubunginya setelah ini.
Di antara tumpukan email pekerjaan, ada beberapa email yang merupakan hasil wawancaranya dengan firma-firma hukum di Washington, D.C. Sedikit berdebar, Ben pun mengecek satu per satu email tersebut... walau ia berakhir dengan ekspresi kecewa di wajahnya.
We regret to inform you that your application has been rejected...
We are very sorry to notify that your job application has been rejected...
... sorry... rejected...
... rejected...
… rejected…
Dan semua kalimat-kalimat penolakan tersebut mulai terbaca sama saja oleh Ben, dan saking kesalnya ia, Ben rasa ia bisa saja menghantam ponselnya ke lantai hingga hancur berkeping-keping.
Tidak sekarang, tidak setahun yang lalu atau dua tahun yang lalu.
Ia masih tidak bisa mendapatkan pekerjaan apapun di Washington, D.C., walau ia selalu memimpikannya dan mempersiapkan dirinya semaksimal mungkin dengan GPA-nya yang nyaris sempurna itu, karir akademis matang, pengalaman kerja yang mengagumkan dan lain sebagainya.
Ben sadar bahwa ia akan memulai hari itu dengan kesedihan yang mendalam, tetapi yang paling membuatnya marah adalah bahwa Clint Stone menduduki bangku mejanya dengan congkak seakan-akan ia memiliki hak itu. Tidak ada sekretarisnya di sebelahnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ben dingin.
Clint menoleh saat mendengar ucapannya. “Oh, Ben, kau sudah datang.”
Ben memberikannya tatapan tajam tanpa menjawab apa-apa.
“Mari kita berbicara di ruang rapat. Kita tidak mau orang-orang melihat kita berselisih, bukan begitu?” ucap Clint santai.
Ben mengontrol kepalan tangannya agar tidak melayang ke wajah Clint, dan ia pun mengikuti pria itu ke ruang meeting yang ada di sisi kanan meja kerjanya. Dilihatnya rekan-rekan kerjanya memandangi mereka dengan penasaran, tetapi Ben tidak menghiraukan mereka dan terus berjalan.
Ketika Ben menutup pintu di belakangnya, Clint langsung melanjutkan.
“Jangan pernah menemui Julie lagi.”
Ben terkejut.
“Aku perlu mengawasi siapapun yang membawa pengaruh buruk kepada putriku. Kuharap kau sadar bahwa kau adalah salah satunya.”
“Oh ya? Pengaruh buruk apa, specifically?”
“Apa kau lupa atau bodoh? Sejak bertemu denganmu, Julie membuang-buang waktunya untuk hal-hal tidak perlu, seperti menggali-gali soal kasus kecelakaan coast bridge dua tahun lalu yang jelas-jelas sudah dinyatakan selesai oleh pihak kepolisian. Gara-gara kau juga, dia jatuh sakit karena terlalu stres memikirkan kecelakaan itu. Apa kau tahu kalau sebelum semua ini dirinya baik-baik saja? Jika ia tidak mengenalmu, Julie bisa menggunakan waktunya untuk belajar tentang seluruh bisnis keluarganya sekaligus fokus kepada kesehatan dirinya sendiri.”
Ben memandangnya dengan tidak percaya. Pria di hadapannya ini benar-benar tidak tahu apapun soal putrinya sendiri.
Untuk sesaat, Ben merasa sedih dan iba dengan Clint. “Kami mencari kebenaran tentang putramu, Clint.”
“Owen meninggal karena bunuh diri, and that’s it,” kata Clint keras. “Aku peringatkan sekali lagi. Jangan pernah kau dekati Julie lagi, apapun alasanmu. Apalagi dengan sejarah di antara kedua keluarga ini, dan juga karena Billy Easton bertanggung jawab untuk kematian putraku, aku tidak ingin kesalahan yang sama terulang lagi.”
“Excuse me, kenapa menurutmu itu adalah kesalahan Billy? Seharusnya aku yang menyalahi Owen untuk kematian Billy. Jika Owen tidak pernah berteman dengan Billy, mungkin saat ini ia masih menjalani SMA-nya seperti anak-anak lain.”
Ben kemudian menghampiri Clint untuk memberikannya tatapan tajam yang sama.
“Aku tahu kalau kau sedang mendekati orangtuaku dengan proposal bisnis untuk membeli rumah dan dataran milik kakek dan nenekku dulu,” lanjutnya. “Well, guess what, aku dan orang tuaku tidak akan pernah mau menyetujui proposalmu itu. Orang tuaku akan terus menjaga peninggalan keluarga Easton, dan tidak ada siapapun bahkan keluarga Stone yang bisa mengubah prinsip itu.”
Clint merogoh sesuatu dari balik saku jasnya untuk mengeluarkan dua buah amplop putih dari sana. Ia lalu menaruh kedua amplop itu di atas meja.
“Aku tidak mendatangimu dengan tangan kosong, karena aku tahu kalau kau pasti akan mengungkit soal itu. Ini adalah dua lowongan pekerjaan yang ada di firma hukum terkemuka di Washington, D.C.,” ucap Clint. “Aku tahu bahwa kau sudah lama mencoba mencari pekerjaan di sana. Silakan kau lihat dulu isi amplopnya.”
Ben mengerutkan kening dan hanya meraih kedua amplop itu untuk membuka isinya. Setelah ia membacanya beberapa saat, kedua mata Ben mulai membesar. Ia memeriksa penglihatannya untuk membaca nama kedua perusahaan itu, dan ia sadar bahwa itu benar-benar adalah firma hukum paling baik di seluruh Washington D.C. jika dilihat dari cap dan tanda tangan basah di kertasnya. Ia sudah tidak bisa menghitung lagi soal berapa kali ia berjuang mendaftar untuk dapat diterima di salah satu firma ini. Beberapa kali ia mengikuti proses seleksinya, ia selalu gagal karena kompetisi yang sangat ketat dan sulit. Bahkan pagi ini, ia mendapat email penolakan lagi.
Tapi sekarang, di kedua tangannya ada sebuah surat keterangan yang menandakan bahwa mereka telah menyiapkan posisi lowong dengan level manajerial untuk Benny Easton—ya, namanya diketik rapi dan bukan ditulis tangan begitu saja, dan mereka meminta keputusannya segera dalam minggu ini. Jika ia tidak menerimanya, lowongan itu akan diberikan kepada orang lain.
“Aku memiliki koneksi dan posisi penting di dua perusahaan ini, sehingga aku bisa mendapatkan pekerjaan apapun yang kau inginkan hanya dalam sekali telepon saja,” lanjut Clint. “Kau tinggal bilang saja padaku, dan permintaanmu terkabulkan. ”
Ben sadar bahwa ada harga yang harus ia bayar untuk ini. “Tapi...?”
“Jika kau mengambil pekerjaan di Washington D.C., kau pasti akan pindah dari Dalevoux, bukan begitu?” tanya Clint dengan senyuman sinis. “Dengan cara itu, aku tidak akan perlu mengancammu untuk menjauhi Julie. Karena kau sudah pergi dari sini, Julie tidak bisa menemuimu lagi.”
“Bagaimana dengan proposal bisnismu kepada keluargaku?” tanya Ben.
“Aku akan menghentikannya juga jika kau mengambil lowongan pekerjaan itu,” jawab Clint santai. “God knows if I mess with your family, kau pasti akan langsung kembali ke Dalevoux untuk menghentikanku, bukan begitu?”
Ben memandangi kedua amplop di tangannya dalam diam untuk sesaat. “Bagaimana aku bisa mempercayaimu?”
Clint meraih sesuatu dari tasnya, sebuah map merah yang berisi seberkas kontrak tertulis. Ben membacanya sekilas dan menyadari bahwa itu adalah perjanjian agar keluarga Stone tidak mengganggu gugat seluruh properti dan hak milik keluarga Easton secara mutlak.
“Aku akan menandatangani kontrak itu bersamaan dengan keputusanmu. Kau tidak perlu khawatir, karena kau akan menyaksikan proses ini bersama pengacara kedua keluarga ini, notaris dan orang tuamu. Bila aku melanggar salah satu poin apapun di dalam kontrak ini, kau bisa segera melemparku ke penjara.”
Ben terdiam memandanginya.
“Tapi jika kau kembali ke kota ini atau menghubungi Julie melalui cara apapun, detik itu juga perjanjian kita hancur. Aku akan melanjutkan rencanaku untuk membeli rumah dan dataran keluarga Easton. Dan jika itu terjadi, segalanya yang kalian punya akan menjadi milik keluarga Stone... selamanya.”
Clint kemudian beranjak dari duduknya untuk keluar dari ruangan itu, sementara Ben masih berdiri di sana dengan tatapan tertuju ke dua amplop putih di tangannya.
mampir juga di ceritaku yaa...
Comment on chapter Introduction