Read More >>"> Night Wanderers (The Night of The Accident) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Night Wanderers
MENU
About Us  

Mobil Julie berhenti di sebuah rumah kecil berwarna abu-abu yang dikelilingi pepohonan rindang dan kumpulan semak bunga liar yang mempercantik pekarangannya.

Gadis itu pun menghentikan mesin mobilnya dan mencabut kuncinya sembari masih memperhatikan rumah itu. “Menurut penjelasan penduduk di sini, ini adalah rumah Mr. Stanford.” Nama tersebut adalah nama supir yang terlibat dalam kecelakaan Billy dua tahun yang lalu. Mr. Stanford masih bertahan di rumah sakit beberapa saat setelah operasi pasca kecelakaan, tetapi karena infeksi organ dalam, ia akhirnya menghembuskan napas terakhir juga, menyusul kepergian Billy dan Owen.

“Kuharap istrinya masih tinggal di sini,” lanjut Julie cemas.

Ben melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil, diikuti Julie. Mereka berdua berjalan menuju teras rumah itu dan menekan belnya beberapa kali dengan harap-harap cemas.

Beberapa menit kemudian, pintu pun terbuka dan nampaklah seorang wanita paruh baya berkulit gelap dengan tubuh tinggi di hadapan mereka. “Ada yang bisa kubantu?” tanyanya.

“Hai, apa Anda Mrs. Stanford?” tanya Ben.

Wanita itu mengangguk. “Siapa kalian?” tanyanya lagi.

“Mrs. Stanford, namaku Ben Easton, dan ini Julie Stone,” jawab Ben.

Ekspresi wanita itu menjadi pias. “Apa yang kalian inginkan? Tidak ada yang perlu kita bicarakan.”

“Tunggu!” seru Julie ketika Mrs. Stanford hendak menutup pintu rumahnya di depan wajahnya dan Ben. Wanita itu berhenti dan memandangnya balik dengan sinar mata khawatir yang bisa Julie tangkap meskipun ekspresinya dingin. “Mrs. Stanford, kami ke sini hanya ingin menanyakan soal kecelakaan suami Anda dua tahun yang lalu. Kami tidak bermaksud buruk.”

“Untuk apa aku mempercayaimu setelah apa yang orang tua kalian lakukan?”

Ben dan Julie sama-sama kaget.

“Pergilah dari sini. Jangan pernah datang kemari lagi.”

Pintu hampir tertutup lagi, tetapi Ben cepat-cepat berucap.

“Mrs. Stanford, kami sangat putus asa. Aku sangat putus asa.”

Julie mengangguk sedih, membenarkan ucapan Ben. Mrs. Stanford sendiri menatap mereka berdua tanpa berucap apa-apa, seakan menilai hati nurani keduanya.

“Aku sudah tidak tahu lagi harus bertanya ke mana untuk mendapatkan kebenaran kematian Billy,” ujar Ben sambil menoleh pada gadis di sampingnya. “Begitu juga dengan Julie. Kami sudah bertanya kepada orang tua kami, para detektif dan kepolisian. Mereka semua terus memberikan jawaban yang sama. Namun saya yakin ada sesuatu yang lebih di sini. Sesuatu berupa kebenaran yang ditutup untuk memenuhi keegoisan pihak lain.”

“Mrs. Stanford, aku mohon padamu. Jika ada sesuatu yang Anda ketahui dari kejadian itu, tolong beritahu kami. Aku yakin jika saudaraku tidak meninggal seperti itu. Kalau aku tahu bahwa kakakku meninggal bukan karena bunuh diri, setidaknya aku masih punya harapan untuk dipegang. Aku tidak ingin percaya pada laporan apapun yang mengatakan bahwa Owen membunuh dirinya sendiri. Aku tahu kalau ia bukanlah orang seperti itu.”

Mrs. Stanford jadi terlihat kaget dengan keputusasaan mereka, tapi karena ia masih terlihat ragu-ragu, Ben pun menambahkan.

“Mrs. Stanford, sejak adikku meninggal, aku merasa seperti saudara dan anak laki-laki yang hilang di keluargaku. Aku kehilangan sosok adik yang paling terkasih di dunia ini, dan aku rasa aku tidak bisa lagi melanjutkan hidupku. Aku bahkan harus membatalkan aplikasi lamaranku di sebuah firma hukum di Washington, D.C. untuk membantu orang tuaku bangkit dari kehilangan ini, dan agar aku... tidak menjauh dari Billy. Agar aku masih bisa mengunjungi tempatnya beristirahat dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja untuk keluargaku.”

Julie diam-diam menoleh pada Ben dengan sorot tidak percaya. Tidak ia sangka bahwa Ben sampai rela mengorbankan karirnya untuk tetap berada di Dalevoux, demi keluarganya. Apa ini yang hampir ia katakan padaku sebelumnya?

Mrs. Stanford menghela napas. “Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Tapi kalian harus berjanji satu hal. Kalian tidak boleh membiarkan siapapun, terlebih orang tua kalian, mengetahui apa yang akan kuberitahukan kepada kalian hari ini.”

Mrs. Stanford akhirnya membuka lebar pintu rumahnya, mempersilakan mereka berdua masuk masuk ke dalam ruang tamu yang langsung menuju ke ruang tengah. Wanita itu meminta mereka menunggunya di sana sembari dirinya menuju dapur terlebih dahulu untuk memeriksa panggangannya di oven. Beberapa menit kemudian, harum ayam dalam baluran marinasi bawang putih dan daun timi beserta tumpukan sayur-sayuran di sekitarnya menyebar ke mana-mana. Tanpa sadar Julie menelan ludah, menyadari bahwa ia ternyata sudah lapar lagi.

Setelah Mrs. Stanford berberes-beres sebentar di dapurnya, barulah ia kembali ke ruang tengah sambil membawakan dua cangkir teh jasmin panas yang mengepul untuk Ben dan Julie.

“Aku tidak tahu kalau keluarga kalian sudah berekonsiliasi,” komentarnya setelah mereka bertiga menyesap teh masing-masing.

Julie menatap Ben karena komentar Mrs. Stanford tersebut. Karena semua orang tahu soal perselisihan mereka, wajar jika wanita itu bingung saat melihat Julie dan Ben bersama. “Kau bisa bilang begitu,” ucapnya singkat.

“Aku mengerti perasaan kalian berdua,” kata Mrs. Stanford sedih. “Aku juga masih sangat merindukan mendiang suamiku meski dua tahun telah berlalu.”

“Mrs. Stanford, apa maksud Anda tadi dengan ‘setelah apa yang orang tua kalian lakukan’?” tanya Julie akhirnya.

“Orang tua kalian juga menghampiriku untuk bertanya-tanya soal kecelakaan itu. Tetapi tujuan mereka bukan untuk mencari keadilan untuk suamiku. Mereka hanya peduli dengan siapa yang dapat disalahkan dalam skenario ini. Aku tidak ingin suamiku menderita lebih jauh lagi setelah ia harus meninggal dengan label pembunuh yang mengikutinya.”

“Tunggu. Apa orang tuaku juga menemui Anda?” tanya Ben ragu.

Mrs. Stanford mengangguk. “Mereka bergantian menemuiku beberapa hari setelah pemakaman. Pertama orang tua Miss Stone, kemudian orang tuamu,” jawab Mrs. Stanford sambil menunjuk Julie dan Ben bergantian. “Mereka ingin tahu apakah suamiku mengatakan sesuatu tentang Billy dan Owen sebelum ia meninggal di rumah sakit. Mereka sama sekali tidak peduli dengan suamiku yang jelas-jelas juga merupakan korban saat itu.”

“Biar kutebak. Anda pasti bilang kalau Anda tidak tahu-menahu soal kecelakaan itu,” kata Julie.

“Clint Stone bahkan memberikanku cek bertuliskan ribuan dolar hanya agar aku memberikan informasi dari suamiku sebelum ia meninggal,” lanjut Mrs. Stanford dengan amarah yang jelas.

Julie langsung memarahi papanya dalam hati. Ia tahu baik bagaimana papanya menganggap uang sebagai solusi untuk segala masalah di dunia ini, yang jelas-jelas bukan. “Anda sudah sangat terluka oleh kepergian suami Anda, dan kemudian orang tuaku menambah api ke dalam luka Anda dengan menyinggung perasaan Anda saat itu.”

Mrs. Stanford mengangguk.

“Tapi sebenarnya Anda tahu, bukan begitu?” tanya Ben sekarang. “Apa Anda takut kalau kami akan cerita kepada orang tua kami tepat setelah kami beranjak dari sini?” tanyanya lagi. “Anda bisa tenang, Mrs. Stanford, kami tidak menanyai Anda karena disuruh oleh mereka atau siapapun. Ini murni hanya untuk informasiku dan Julie saja. Kami juga merahasiakan aliansi kami dari orang tua kami. Tidak ada yang paling penting bagi kami selain menemukan kebenaran mengenai kematian kedua saudara kami, dan hopefully, Mr. Stanford.”

Mrs. Stanford menghela napas. “Kuharap kau bisa menjaga janjimu, young man.”

Ben mengangguk mantap.

“Setelah operasi di rumah sakit, suamiku terjaga selama beberapa hari sehingga polisi tidak bisa bertanya-tanya padanya. Namun, seminggu kemudian ia terbangun dan mencengkeram jari-jemariku. Suaranya parau dan wajahnya penuh dengan kekhawatiran,” ucap Mrs. Stanford dengan sedikit isakan beberapa kali. Melihat kesedihannya yang sangat kentara, Julie ikut merasa hatinya tertusuk juga.

“Aku hendak memanggil para dokter, tetapi suamiku ingin mengatakan sesuatu padaku dulu sebelum ia menghadap para polisi. Ia bilang kalau ia tahu kalau kedua putra keluarga Easton dan Stone berada dalam kecelakaan itu. Ia melihat kedua saudara kalian sempat berkelahi dengan suara kencang di tepi jembatan sisi utara kota ini. Karena saat itu masih termasuk malam hari, suasananya sangat gelap, dan awalnya ia yakin tidak akan ada siapapun di area tersebut. Ketika mobil suamiku berbelok ke arah jembatan, lampunya menangkap siluet mereka yang terkejut, dan kemudian salah satu dari mereka mendorong yang lainnya untuk menghindar dari mobil suamiku sehingga ia-lah yang tertabrak. Menurut suamiku, satunya lagi yang terdorong itu seharusnya bisa selamat dari tabrakan. Namun karena jalanannya yang licin sehabis hujan, ia tanpa sengaja tergelincir menuju pembatas jembatan dan terjungkir ke belakang hingga terjatuh ke jurang.”

Julie tercengang dan lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan. “Apa?”

Ben juga terperangah.

“Suamiku sudah bertahun-tahun menjalani pekerjaannya sebagai pengantar batu bara ke pergudangan di perbatasan kota, dan setiap dini hari ia akan melewati jembatan itu. Tapi dua saudara kalian yang tidak berhati-hati malah mencelakakan suamiku dan diri mereka sendiri,” kata wanita itu dengan mata yang basah. “Dengan pengaruh nama besar keluarga kalian berdua di kota ini, Billy dan Owen tetap dikenang sebagai korban. Sementara suamiku? Semua orang menyebutnya pembunuh. Bahkan aku juga disebut sebagai istri seorang pembunuh. Jadi, dengan aku bercerita atau tidak, tidak ada apapun yang berubah untuk kami. Tidak ada yang akan peduli.”

“Mrs. Stanford, pihak kepolisian tentu akan membantu Anda,” kata Julie getir.

“Oh, maksudmu Detektif Braighton?” tanya Mrs. Stanford kesal. “Aku tidak ingin bertemu dengan orang itu lagi. Ia bahkan jauh lebih tidak berperasaan jika dibandingkan ayahmu, Miss Stone. Ia menginterogasiku berkali-kali seakan-akan aku adalah seorang penjahat kriminal. Aku sampai harus membuat laporan komplain kepada Kepolisian Dalevoux gara-gara sikapnya itu.”

“Benar-benar tidak ada orang yang bisa dipercaya,” komentar Ben pelan, yang diikuti anggukan pelan Mrs. Stanford.

“Oleh karena itu, Mr. Easton dan Miss Stone… jangan mengingkari janji kalian. Kalian adalah orang pertama yang kuberitahu soal ini,” tambah Mrs. Stanford tegas.

Julie meneguk ludahnya, khawatir dengan entah apa lagi yang akan ia temukan setelah ini.

 

x-x-x

 

Julie dan Ben pun memutuskan untuk kembali ke kampus setelah penemuan luar biasa tadi. Mereka berdua sekarang sedang berjalan di area taman publik Dalevoux University setelah Julie memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.

Ben sesekali melirik ke arah gadis itu, memeriksa keadaannya. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya pada akhirnya.

Julie menoleh, sedikit kaget dari lamunannya. “Oh? Oh, iya. Aku baik-baik saja. Kau?”

“Aku juga baik, kurasa.”

Diam lagi.

Tidak perlu dipungkiri, mereka berdua benar-benar terkejut dengan apa yang barusan terjadi.

“Kenapa kau tadi kelihatan tidak yakin ketika Mrs. Stanford bilang kalau orang tua kita menghampirinya setelah pemakaman suaminya?” tanya Julie tiba-tiba.

Ben menghembuskan napas pelan, terlihat kecewa. “Bukan itu yang kupermasalahkan. Dari cerita Mrs. Stanford, kelihatannya orang tuaku juga sangat egois karena hanya mementingkan soal Billy dan mengesampingkan Mr. Stanford begitu saja.”

Well, jika kau ingin merasa lebih baik, orang tuaku malah lebih buruk lagi. Bayangkan, papaku memberikan wanita itu cek ribuan dolar agar ia buka mulut. Aku benar-benar tidak tahu apakah papaku masih punya hati nurani atau tidak,” ucap Julie dengan kekesalan bertubi-tubi. “Kurasa karena aku tumbuh sambil menyaksikan tabiat dan sifat buruknya itu, aku jadi tidak kesulitan membayangkan papaku bersikap egois dan tidak berperasaan begitu.”

“Tapi orang tuaku tidak,” balas Ben. “Aku selalu mengenal mereka sebagai dua figur terbaik di dunia ini. Rasanya cukup out-of-character saat mendengar mereka menjadi seperti papamu. No offense, Julie.”

Julie menepuk sebelah pundak Ben. “None taken. Lagipula itu kan sudah lama juga terjadi. Mungkin itu hanya karena perasaan negatif mereka saja saat itu. I mean, Billy baru saja meninggal dan mereka tentu ingin segera menemukan keadilan untuk putra bungsu mereka, meskipun caranya malah jadi melukai orang lain.”

Ben mengangkat bahunya. “Kuharap kau benar.”

“Sekarang kita sudah lebih tahu bagaimana kematian Billy dan Owen terjadi, bukan sekadar dari ucapan penyiar berita dan hasil laporan investigasi kepolisian saja.”

Ben mengangguk.

“Dan meskipun aku tahu kalau ini sangat tidak pantas kedengarannya, aku senang Owen meninggal bukan karena bunuh diri,” ucap Julie. “Selama ini aku berpikir bahwa Owen menjatuhkan dirinya di jurang sebagai rencana bunuh dirinya. Apalagi aku menemukan sebuah catatan terakhir di dalam tasnya...”

Julie berhenti melangkah, diikuti Ben.

“Tunggu. Kalau begitu catatan itu punya siapa?” tanya gadis itu dengan bingung kepada Ben. “Catatan bunuh diri yang ada di tas Owen.”

“Apa kertas itu sudah diberikan ke kantor polisi?” tanya Ben balik.

Julie mengangguk. “Aku menyerahkannya sebagai bukti, dan setelahnya kematian Owen ditetapkan sebagai bunuh diri.”

“Apa kau pernah mengambil foto kertas itu atau memiliki salinannya?”

Julie menggeleng. “Tentu saja tidak. Aku terlalu shocked waktu itu. Hal pertama yang kupikirkan adalah menunjukkannya kepada orang tuaku, dan selanjutnya kertas itu sudah ada di tangan polisi.”

Mereka kemudian mengambil tempat duduk di sebuah bangku taman kosong yang ada di bawah pohon mahoni besar, berbaur dengan pengunjung taman dan mahasiswa Dalevoux lainnya.

“Yang kita harus cari tahu juga adalah kenapa Billy dan Owen berkelahi waktu itu,” ucap Ben kemudian. “Kita tahu bahwa mereka pernah berteman atau setidaknya saling kenal satu sama lain. Tapi kita tidak tahu bagaimana mereka bertemu dan apa yang menyebabkan perselisihan mereka terjadi. Lagipula, perkelahian macam apa yang mengharuskan seseorang mengunjungi jembatan menuju perbatasan kota yang sepi pada dini hari?”

“Tapi selama kita belum tahu bagaimana mereka bisa berteman dan apa konflik yang mungkin mereka hadapi waktu itu, kita tidak bisa menemukan jawaban apapun.”

“Apa kau ingat jika Owen pernah menyebut-nyebut nama Billy?”

Julie menggeleng. “Bagaimana denganmu?”

“Aku juga tidak pernah mendengar Billy menyebut nama Owen,” jawab Ben. “Karena perang dingin di antara keluarga kita, mungkin mereka merahasiakan pertemanan mereka.”

“Kita bisa bertanya-tanya kepada teman-teman Billy dan Owen yang dulu pernah satu kelas, satu kegiatan sosial atau satu ekstrakurikuler dengan mereka,” kata Julie. “Siapapun yang mungkin pernah kenal atau dekat dengan mereka bisa kita tanyai. Kita tidak pernah tahu.”

“Baiklah. Kita bisa mulai dari Billy, karena aku besok ada kunjungan sebentar ke SMA lama Billy. Kita bisa bertemu lagi di perpustakaan setelah jam makan siang.”

 

x-x-x

 

Setelah ia memarkir mobil ibunya kembali di garasi, Julie pun masuk ke dalam rumah melalui pintu dapur dan langsung berjalan menuju ke tangga yang menuju kamarnya, ketika ia melihat Billy berjalan keluar dari ruang study ayahnya.

Cowok itu menyelinap melalui pintu ruangan ayahnya yang terbuka sedikit, dan ketika ia melihat Julie sudah kembali, ia langsung menyapanya. “Hai, Julie! Kau sudah pulang?”

Julie langsung menjadi panik dan cepat-cepat berlari melewatinya untuk menutup pintu ruang study ayahnya. Ia, ibunya dan Mrs. Mull tahu jelas bahwa ayahnya sangat tidak senang jika ruangan pribadinya dimasuki oleh siapapun secara sembarangan tanpa ada izin atau pengawasannya. Julie jadi bingung luar biasa mengenai bagaimana caranya Billy bisa membuka pintu ruangan itu, mengingat ia adalah seorang roh.

Belum hilang kepanikannya, sebuah suara lainnya membuatnya terlompat lagi.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Julie menoleh dan melihat ayahnya berdiri di belakangnya dengan pandangan tajam. Ia masih mengenakan kemeja dan celana kerjanya dengan rapi, sementara di sebelah tangannya ada sebuah map berkas berwarna biru yang isinya tidak terlalu tebal.

Tentu saja ayahnya tidak bisa melihat Billy, meskipun ia sedang berdiri di sebelah Julie saat itu.

“Hai, Dad,” sapa Julie kaku. “Apa kau baru kembali dari kantor?”

Ayahnya memberinya pandangan menyelidik. “Hari ini papa ada konferensi online yang bisa dijalankan dari rumah.”

Julie hanya bisa mengangguk-angguk, tidak tahu harus membalas apa. Di depan mamanya, ia bisa menjadi dirinya sendiri. Tetapi setiap kali ia berhadapan dengan papanya, Julie selalu berusaha menjaga dirinya agar tidak kelihatan aneh-aneh. Sejak kecil, papanya mendidiknya dengan tegas, dan baginya masa depan Julie bukanlah sesuatu yang main-main. Oleh karena itu, keseriusannya dalam membesarkan Julie jadi mengarah ke hubungan mereka yang serius dan kritis juga, yang mana berbaur apik dengan didikan mamanya yang lembut dan keibuan.

“Papa baru melihatmu lagi hari ini. Ke mana saja kau?”

“Aku… aku barusan dari kampus.”

“Jangan sampai papa mendengar dari mamamu kalau kau masih sering tidak pulang ke rumah.”

Julie mengangguk. “Baik, Dad.”

“Jika tidak ada yang ingin kau sampaikan, kembalilah ke kamarmu.”

Julie mengangguk dan lalu memberikan jalan pada ayahnya untuk lewat. Setelah ayahnya masuk ke dalam ruangan study-nya, Julie cepat-cepat berjalan ke dapur yang untunglah saat itu kosong, diikuti Billy.

“Billy, apa yang kau lakukan? Kau bisa menjelajah ruangan apapun di rumah ini, tapi ruangan itu...,” ucap Julie sambil menunjuk ke ruang study papanya, “... adalah ruangan yang tidak boleh kau ganggu gugat, oke?”

“Aku hanya sedang berkeliling dan kemudian melihat pintunya yang terbuka, jadi aku masuk saja. Tapi bukan itu yang penting sekarang,” ujar Billy.

“Apa yang lebih penting, Billy?” tanya Julie sarkastik.

“Aku membaca berkas-berkas bisnis ayahmu dan menemukan sebuah proyek terbaru, di mana ayahmu sedang berada dalam proses membeli rumah peninggalan kakek dan nenek Benny Easton. Rumah itu kelak akan diperbaiki kembali menjadi sebuah properti resort yang layak ditempati.”

Julie terkejut. “Rumah kakek dan nenek Ben?”

“Laki-laki yang datang ke rumahmu waktu itu... dia Benny Easton kan?” tanya Billy balik. “Aku melihat fotonya di berkas papamu.”

Walau untuk sesaat Julie jadi penasaran dengan berkas yang diceritakan oleh Billy, Julie akhirnya jadi ingat bahwa Billy belum tahu siapa Ben sebenarnya.

“Billy, aku belum memberitahumu ini... tapi Benny Easton adalah kakak kandungmu. Nama belakangmu adalah Easton.”

Billy tertegun, terlalu kaget untuk memproses jawaban itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (8)
  • dreamon31

    mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter Introduction
  • yurriansan

    @DeviYulia19 sma2. aku msh berussha mnemukan rahasia kmatian bily, xixi.

    mmpir juga ya ke story terbaruku kak. apalgi klau d krisanin, hoho.

    Comment on chapter After Effects
  • DeviYulia19

    @yurriansan Makasih banyak, dear 😘

    Comment on chapter After Effects
  • yurriansan

    aku masih di chapter 3, keren, suka. yah meski, tokoh ceweknya perokok, tpi bkin pnsaran uk lnjut baca.

    Comment on chapter After Effects
  • rara_el_hasan

    @DeviYulia19 sama-sama say

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • DeviYulia19

    @rara_el_hasan Thank you so much buat masukannya... really appreciate it :)

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    keren ceritanya.. suka suka

    Comment on chapter Seeing the Unseen
  • rara_el_hasan

    say... Namun pakai huruf besar.. di awali titik ya

    Comment on chapter Seeing the Unseen
Similar Tags
Gue Mau Hidup Lagi
354      223     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
Blue Diamond
2573      829     3     
Mystery
Permainan berakhir ketika pemenang sudah menunjukkan jati diri sebenarnya
Something about Destiny
124      106     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
Manusia
1699      733     5     
Romance
Manu bagaikan martabak super spesial, tampan,tinggi, putih, menawan, pintar, dan point yang paling penting adalah kaya. Manu adalah seorang penakluk hati perempuan, ia adalah seorang player. tak ada perempuan yang tak luluh dengan sikap nya yang manis, rupa yang menawan, terutama pada dompetnya yang teramat tebal. Konon berbagai macam perempuan telah di taklukan olehnya. Namun hubungannya tak ...
Ignis Fatuus
1709      638     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...
The Eye
388      254     2     
Action
Hidup sebagai anak yang mempunyai kemampuan khusus yang kata orang namanya indigo tentu ada suka dan dukanya. Sukanya adalah aku jadi bisa berhati-hati dalam bertindak dan dapat melihat apakah orang ini baik atau jahat dan dukanya adalah aku dapat melihat masa depan dan masa lalu orang tersebut bahkan aku dapat melihat kematian seseorang. Bahkan saat memilih calon suamipun itu sangat membantu. Ak...
Give Up? No!
413      271     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
Daniel : A Ruineed Soul
528      300     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
PENTAS
971      593     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".