Sore menjelang malam di awal bulan November tepatnya di Desa Banjar, harusnya suasana menjadi damai dan tenang. Harusnya para penduduk menjalankan aktivitasnya seperti biasa, kembali pulang dari sawah, ladang atau pasar dan berkumpul bersama dengan keluarga tercinta di rumah masing-masing. Tapi untuk hari ini berbeda.
Disisa hari ini keadaan Desa Banjar nampak porak poranda, sepertiga rumah penduduk sudah hancur, ratusan mayat bertebaran dimana-mana, para korban yang terluka lari pontang-panting berteriak meminta tolong dan sisa korban lain yang selamat memilih melarikan diri menjauhi desa untuk mencari pertolongan.
Banyak pasukan TNI turun tangan menghadapi kekacauan yang dibuat oleh sisa-sisa tentara Jepang ini. Sebagian ada yang mengungsikan penduduk, menolong para korban yang terluka dan sebagiannya lagi membantu Wira dkk menghabisi Aoba beserta anak buahnya. Suara tembakan, bunyi kedua pedang yang saling bergesekan, pukulan bertubi-tubi entah dengan tangan kosong ataupun benda disekitar dikerahkan seluruhnya oleh pasukan TNI.
"Jenderal! Ada apa ini sebenarnya? Kenapa ada tentara Jepang yang datang menyerang kita? Bukannya Jepang sudah angkat kaki dari sini?" tanya salah seorang tentara Indonesia pada atasannya yang sibuk meneropong dari atas markas guna melihat kondisi yang terjadi disana.
"Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya penyerangan ini bukan ditujukan kepada kita melainkan kepada pemilik Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia." jawab jenderal tersebut memperhatikan sedikit demi sedikit tentara Jepang berusaha masuk kedalam pemandian air panas milik Nakamura.
Di tempat lain, pertarungan sengit juga terjadi antara Wira vs Aoba dan Lisa dkk vs anak buah Aoba. Di pertarungan satu lawan satu antara Wira dengan Aoba sempat berat sebelah lantaran salah satu diantara mereka ada yang bertarung tanpa menggunakan senjata.
"Hei, mie soba! Kau curang dalam pertarungan kali ini." ucap Wira menyudahi pertarungan mereka untuk sementara waktu.
"Sudah kubilang, namaku bukan mie soba! Namaku Aoba Sasaki!" jerit Aoba histeris namun hal itu tidak dipedulikan oleh lawan bicaranya.
“Kau bertarung menggunakan pedang sedangkan aku dengan tangan kosong. Bukankah itu curang namanya? Ada rasa ketidakadilan dalam pertarungan ini!" sambung Wira begitu bersemangat disetiap ucapannya. Entah ini sengaja dilakukan untuk mengecoh sang lawan agar dapat mengambil kesempatan emas ataukah dirinya bersungguh-sungguh mengenai ketidakadilan yang dirasakannya.
"Cih! Tipuanmu tidak akan mempan bagiku untuk yang kedua kalinya!" jawab Aoba percaya diri.
"Kau pikir aku sedang berbohong apa?! Aku ini serius! Kau tidak adil bertarung denganku dengan memakai senja—"
“Awas dibelakangmu!" teriak Tia memperingati Wira jika ada musuh lain berusaha menusuk dadanya dari arah belakang.
Secepat kilat Tia berlari mendekati sang musuh, mengayunkan sebilah pedang yang dibawanya kearah sang musuh lalu membelahnya menjadi dua bagian. Darah manusia segar mengalir diatas tanah, beberapa organ tubuh sang musuh juga ada yang mencuat keluar dari sarangnya. Wira tak bisa menangkis serangan sang musuh tersebut karena dirinya tidak tahu jika peringatan bahaya itu untuk dirinya. Baru Wira tersadar akan hal itu ketika punggung belakangnya merasakan ada punggung berukuran kecil menempel ditubuhnya dan napas tersengal seorang wanita menggema ditelinganya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Tia berusaha mengatur napasnya. Tatapannya masih tertuju ke depan, takut-takut musuh baru siap menyerang mereka. Bukannya mendengar ucapan terima kasih atau apa, Tia malah mendengar bentakan keras dari Wira.
"Dengkulmu baik-baik saja! Kalau kau ingin memberi peringatan padaku, setidaknya kau bisa memanggil namaku kan?"
"Tidak ada waktu untuk mengajakku berdebat tentang hal itu!" jawab Tia cuek. Diserahkannya pedang yang tadi dipakainya pada teman berharganya itu. "Ini, ambilah." Wira menerimanya dengan tatapan heran.
"Uh, tunggu dulu. Ada bambu runcing gak? Atau golok mungkin? Kalau pakai kedua benda itu ampuh melawan mie soba ini."
"Kau akan menang melawan Aoba Sasaki menggunakan bambu runcing dan golok waktu di akhirat nanti." jawab Tia mulai kesal dengan sikap Wira yang sempat mengajaknya untuk bercanda ria. "Jadi pilih mana? Tetap pilih bambu runcing dan golok atau pedang?"
"A-Aku pilih pedang aja biar gak cepet mati!" balasnya cepat. "Lalu, kau sendiri bagaimana? Apa kau bisa bertarung dengan mata satu dan tubuhmu yang seperti ini?"
"Jangan meremehkanku! Aku bisa bertarung bahkan dengan mata buta dan tubuh bagai mayat hidup sekalipun!" jawabnya terlihat sombong. "Aku juga sudah memiliki senjata untuk bertarung melawan musuh." Tia menunjukkan sebuah pistol yang didapatkannya saat berhasil melumpuhkan beberapa anak buah Aoba. "Gunakan pedang itu untuk membunuh Aoba Sasaki. Pakai bambu runcing dan goloknya ditunda dulu untuk kali ini."
"Aku mengerti." jawab Wira yakin. "Bagaimana dengan Pak Nakamura?" bentakan Wira seketika berubah menjadi Gede Wira Pratama 20 tahun yang lalu. Seorang “tangan kanan” I Gusti Ngurah Rai yang bisa diandalkan dan dapat dipercaya.
"Tuan Nakamura dan Niyang Ninuk sedang dijaga oleh Pande."
"Kau mengenal nenek itu?"
"Tentu saja aku mengenalnya." jawab Tia tersenyum tipis.
"Tapi, tunggu! Tadi kau bilang Pande yang menjaga Pak Nakamura dan nenek itu kan?" Wira menolehkan kepalanya sedikit untuk mendengar jawaban pasti dari Tia.
"Tentu saja!" angguk Tia mantap. "Memangnya kena—"
"Bang Wira! Mbak Tia! Lisa! Siapapun, tolong selamatkan kami!!" ucapan Tia terpotong lantaran teriakan menjerit minta tolong yang dikeluarkan oleh Pande dari seberang sana.
Nampak 10 orang anak buah Aoba mengelilingi Pande, Nakamura, dan Niyang Ninuk dengan pedang tajam dan senjata api yang siap mencabut nyawa mereka bertiga.
"Cepat serahkan Nakamura Sougo jika kalian ingin tetap hidup!" perintah anak buah Aoba bernama KK galak sembari menodongkan sebilah pedang pada leher Pande. Karena menggunakan bahasa jepang, Pande tak mengerti akan ucapan si KK tapi dirinya bisa mengerti arti dari ucapan si KK melalui todongan pedang yang didapatkannya.
"Jika kalian ingin menangkap Pak Nakamura, aku tidak akan menyerahkannya pada kalian! Bahkan jika aku harus menyerahkan nyawaku!" balas Pande harap-harap cemas.
"Apa kau bilang, huh?!" tak mendapat respon yang diinginkan, si KK makin mendekatkan pedangnya pada leher Pande hingga membuat darah mulai keluar.
"Pande!" teriak Wira, Tia, dan Lisa berbarengan.
"Aku mohon...siapapun tolong kami..." ucap Pande penuh dengan ketakutan.
"Jangan bilang Pande tidak bisa bela diri?" tanya Tia panik pada Wira.
"Makanya aku kaget waktu kau bilang Pande yang—Hei, Tia! Kau mau kemana?"
Belum saja Wira selesai berbicara, dengan sisa tenaganya Tia segera berlari menyelamatkan Pande dan yang lainnya. Sebenarnya kondisi tubuhnya masih lemah tapi dirinya tidak bisa diam saja melihat orang-orang yang disayanginya sedang dalam bahaya. Menyadari jika kondisi Tia belum pulih total, Wira bermaksud mengejar Tia namun langkah kakinya dihentikan oleh Aoba. Tak ragu-ragu Aoba menyodorkan pedangnya kearah Wira tapi dengan cepat Wira berhasil menangkis serangan mendadak Aoba.
"Sialan kau, mie soba!"
"Urusan kita belum selesai." balas Aoba tersenyum meledek.
Jika Wira dihadang oleh Aoba, berbeda dengan Tia yang harus menghadapi 10 orang musuh sekaligus. Kalau dalam keadaan sehat, 10 orang tak akan menjadi masalah tapi karena tubuhnya sedang tidak fit, 10 orang menjadi beban bagi Tia seorang diri. Namun hal itu tidak membuat Tia mundur. Dirinya tetap berlari menuju Pande dkk untuk menyelamatkan mereka bertiga.
Sadar ada pengganggu yang datang, salah seorang anak buah Aoba, yakni si GB mulai bersiaga menghadang kedatangan Tia. Dari jarak yang cukup jauh, Tia menerbangkan beberapa peluru yang ada didalam pistolnya tapi itu tidak bertahan lama. Rupanya peluru yang dibawanya tidak cukup untuk membuat si GB terkapar di tanah walau ada beberapa yang berhasil mengenai sasaran dan ada juga yang meleset. Tak ada pilihan lain, Tia memutuskan untuk melawan si GB dan teman-temannya dengan tangan kosong. Dibuangnya pistol miliknya ke tanah, lalu dengan sekuat tenaga Tia mengumpulkan seluruh kekuatannya dikepalan tangan kanannya. Sesampainya di dekat si GB, tanpa ragu Tia melayangkan tinjunya ke wajah GB namun serangannya berhasil dilumpuhkan. Si GB menusukkan pedangnya ke tangan kanan Tia hingga tertancap kedalam. Tia sempat meringis kesakitan namun bukan waktunya untuk merasakan sakit yang teramat sangat.
Tidak kehabisan akal, Tia menggunakan kaki kanannya untuk kembali menyerang si GB tapi usahanya kembali gagal. Si GB berhasil menangkap kaki kanan Tia agar sang target tidak dapat bergerak kembali. Sekuat apapun kaki kanan Tia berusaha lepas dari genggaman sang musuh, makin kuat pula si GB mempererat genggaman di kedua tangannya. Tak kenal kata menyerah, Tia memutar tubuh kurusnya kearah berlawanan hingga membuat kaki kirinya dapat melayang di udara dengan bebas. Disitulah kesempatan besar Tia melumpuhkan sang musuh dengan tendangan kaki kirinya dan
Buk!
Srek-srek-srek!
Si GB terpental jauh beberapa meter dari tkp, sedangkan Tia sendiri walau sempat terjatuh ke tanah berhasil bangkit berdiri. Dengan tubuh tertatih-tatih, Tia menghabisi ke-9 anak buah Aoba yang sempat memojokkan Pande dkk.
Butuh waktu setengah jam bagi Tia untuk membuat ke-9 musuh itu benar-benar terkapar di tanah.
"Mbak Tia!"
"Nak Tia!"
Usai melihat Tia bertarung melawan musuh, Pande dkk segera mendekati Tia yang jatuh bersimpuh ditengah-tengah tumpukan mayat anak buah Aoba. Ada bercak darah di seluruh baju Tia. Darah juga mengalir dibagian pelipis dan tangan kanan Tia yang masih tertancap pedang. Rambutnya berantakan dan wajahnya juga babak belur disana-sini.
"Mbak Tia, apa kau baik-baik saja?" tanya Pande, orang pertama yang datang mendekati Tia.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan yang lainnya?" tanya Tia suaranya terdengar lemah.
"Aku, Pak Nakamura, dan Niyang Ninuk baik-baik saja. Tapi kau..." Pande tak berani melanjutkan. Ditatapnya tangan kanan Tia yang masih tertancap pedang.
"Ah, ini?" tunjuk Tia seakan-akan tangannya yang terluka itu bukan masalah besar. "Jangan khawatir!" Aku tidak akan mati hanya karena—
"Maaf, Nak Tia!"
"Aakkhh!" teriakan kesakitan milik Tia akibat perlakuan Nakamura yang tiba-tiba mencabut pedang dari tangan kanan Tia mendapat perhatian khusus dari orang-orang disekitar.
"Suara siapa itu?" tanya Aoba penasaran.
"Tia!" ucap Wira tertahan.
"Akh! Sakit!"
"Tahan sebentar, Nak Tia!" pinta Nakamura tangannya mulai cekatan mengobati tangan kanan Tia yang terluka parah. "Aku akui jika aku mata-mata yang kurang berbakat dibidang bela diri. Tapi dibidang pengobatan akulah rajanya." kata Nakamura sekaligus mengakhiri sesi pertolongan pertamanya pada Tia. "Sudah selesai. Setidaknya kau tidak akan cepat mati karena kehabisan darah."
"Terima kasih, hiks!" balas Tia disela-sela tangisnya yang tak kuat menahan rasa sakit yang ditahannya sedari tadi.
Mereka pikir waktu sesingkat ini dapat digunakan oleh mereka untuk bernapas lega. Padahal kenyataannya masih ada orang yang butuh bantuan diseberang sana.
"Woy, siapapun! Aku ingin minta tolong!"
"Itu suara Lisa!" ucap Pande memberitahukan pada yang lain.
"Adakah seseorang yang mau mengajarkanku bagaimana caranya menggunakan pedang?" tanya Lisa disela-sela dirinya yang berusaha menghindar dari serangan musuh entah itu ayunan pedang ataupun anak peluru yang mengarah padanya.
Padahal Lisa mempunyai senjata dikedua tangannya, yakni pedang yang didapatkannya ketika berhasil mengalahkan beberapa musuh namun dirinya tidak mengetahui cara menggunakan senjata yang berasal dari Jepang tersebut. Yang dia tahu hanya berkelahi dengan tangan kosong, maka tak heran jika tubuhnya dipenuhi dengan luka goresan pedang dan beberapa buah peluru menancap di tubuhnya. Anehnya, dengan tubuh terluka seperti itu Lisa masih bisa bergerak lincah menghadapi serangan musuh.
"Lisa belum pernah bertarung menggunakan pedang?"
"Belum pernah. Yang dia tahu itu hanyalah makan, tidur, uang, dan berkelahi dengan tangan kosong." jelas Pande memberikan ide brilian pada lawan bicaranya.
"Hanya tahu makan ya..." ucap Tia pada dirinya sendiri. Pande, Nakamura, dan Niyang Ninuk hanya menatap Tia dengan tatapan heran.
"Memangnya kenapa, Mbak Tia?" tanpa menggubris pertanyaan dari Pande, Tia berteriak sekencang yang dia bisa untuk memberi arahan pada anak buah temannya.
"Lisa, dengarkan aku!"
"Ah, Kak Tia!" seru Lisa senang.
"Kau sedang menghadapi musuh yang sangat banyak kan?"
Seperti yang kau—Howaa! Hampir saja!" balas Lisa berhasil menghindari sebuah peluru yang terbang menuju kearahnya.
"Habis perang perutmu pasti sangat lapar!"
"Apa yang direncanakan oleh Gek Tia?" tanya Niyang Ninuk yang akhirnya membuka suara dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Nakamura.
"Karena kau bertanya, mendadak aku jadi merasa lapar." jawab Lisa tiba-tiba dirinya merasa lemah. Perutnya juga mendadak berbunyi saat Tia menyinggung soal makanan.
"Kalau begitu, aku punya satu permintaan padamu!"
"Apa itu?"
"Kau lihat musuh-musuh disana?" Lisa mengikuti instruksi dari sang komando dengan sangat baik dan tanpa ragu melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan Tia.
"Ya, aku melihatnya!"
"Asal kau tahu, sebenarnya musuh-musuh yang ada didepanmu saat ini hanyalah ilusi belaka!" ucap Tia mulai menghipnotis anak buah temannya sendiri. Tapi sayangnya Tia tak menyadari akibat hipnotis yang diberikannya pada Lisa secara tak langsung membangkitkan sisi lain dari diri Lisa.
"Ilusi belaka?" beo Lisa tak mengerti.
"Iya! Mereka semua adalah binatang liar di hutan, misalnya saja babi." Tia mengarahkan lagi. "Kau lihat orang gemuk disana? Sebenarnya dia itu babi liar. Kau bisa memasaknya jika kau bisa membunuhnya."
"Benarkah itu?" tanya Lisa girang bukan kepalang.
"Tidak hanya orang gemuk mirip babi itu saja!" fakta memang ada anak buah Aoba yang bertubuh gemuk disana. "Kau bisa membunuh para hewan liar yang ada disini!" sambung Tia tersenyum puas karena berhasil menghipnotis Lisa. "Kau tinggal mengayunkan pedangmu ke udara lalu tebas mereka. Atau tusuk mereka entah itu badan, kaki, jantung ataupun tangan. Terserah padamu, yang penting tebas dan tusuk hingga mereka semua mati!" tujuan Tia melakukan ini agar sang musuh berhasil dibasmi dengan cepat oleh Lisa.
Harapan satu-satunya mereka kini berada ditangan Lisa karena dirinya sudah mencapai batas untuk disuruh bertarung, sedangkan Pande tidak bisa bela diri. Tia sadar tindakannya itu salah karena sudah memanfaatkan orang lain tapi, tidak ada pilihan lain baginya selain mengambil jalan ini.
"Hihihi! Baiklah kalau begitu. Aku mulai ya!"
Tanpa menunggu waktu lama Lisa langsung menyerang musuh-musuh yang dianggapnya sebagai binatang untuk dimakan dengan membabi buta. Mungkin karena nafsu makannya yang besar atau dirinya memang punya kepribadian ganda, dengan lihai Lisa bisa menggunakan pedang yang dipegangnya dan mulai membunuh targetnya satu per satu. Mulai dari memenggal kepala, memotong tubuh menjadi beberapa bagian sampai dengan mengeluarkan isi perut sang target dilakukan Lisa secara brutal dan sadis. Dihiasi dengan gelak tawa penuh kemenangan, Lisa berhasil membunuh seluruh anak buah Aoba tanpa satupun yang tersisa.
Tia, Pande, Nakamura, dan Niyang Ninuk yang menjadi saksi atas kebengisan pembunuhan yang dilakukan oleh Lisa hanya bisa menganga tak percaya. Pembunuhan brutal Lisa masih tergambar dengan sangat jelas dimata mereka berempat. Tak satupun ada yang terlewatkan. Tia pribadi langsung dihantui rasa bersalah karena telah membuat Lisa yang dikenal sebagai anak tomboy dan lucu menjadi Lisa yang sadis dan brutal.
"Hahahaha! Sepertinya malam ini aku akan makan besar! Ada isi perut babi, lemak sapi, daging ayam, semuanya serba ada!" ucap Lisa yang masih sibuk mengutak-atik isi tubuh mayat anak buah Aoba yang sudah menjadi mainannya. Lisa sendiri tidak sadar akan perbuatannya karena masih terhipnotis akan perintah dari Tia.
Tak ingin hal ini terus berlanjut, Tia yang dibopong oleh Pande dan Nakamura sambil menggendong Niyang Ninuk dibelakang segera berlari mengerubungi Lisa yang masih asyik dengan mainannya. Sesampainya disana, Tia menjadi orang pertama yang menyadarkan Lisa disusul oleh Pande dan yang lainnya.
"Lisa! Lisa, sadarlah! Acara berburu hewan liar dihutan sudah selesai!" pinta Tia sembari menahan isak tangisnya.
"Hee? Aku baru dapat buruan banyak sudah disuruh berhenti!" balas Lisa ngambek.
"Masalahnya, kalau kau tetap melanjutkan perburuan ini..." sambung Pande tak melanjutkan kalimatnya lagi.
"Kenapa?" tanya Lisa memasang wajah lugu.
"Kau akan menjadi seorang pembunuh yang amat sadis, Nak Lisa." Nakamura membantu Pande menjelaskan semuanya pada Lisa.
"Pembunuh...yang amat sadis?" tanya Lisa tak percaya. "Aku?"
"Maafkan aku, Lisa. Sungguh maafkan aku karena sudah membuatmu menjadi seperti ini!" tak kuasa Tia menahan tangis, dipeluknya anak buah Wira erat.
Lisa yang entah sudah kembali sadar atau masih terhipnotis diam terpaku dipeluk erat seperti itu. Kedua matanya melihat kesekeliling ada begitu banyak cairan darah manusia, potongan-potongan tubuh seperti tangan, kaki, paha, lalu ada juga isi perut manusia entah itu hati, usus, pankreas, ginjal bertebaran dimana-mana. Bagi orang awam melihat hal itu pasti akan langsung muntah-muntah ditempat. Bagi orang yang sudah sadar jika dirinyalah yang melakukannya pasti akan dihantui rasa bersalah dan hidup dalam ketakutan. Tapi, itu semua tidak dirasakan oleh Lisa. Dirinya bahkan menunjukkan respon yang tak terduga kepada keempat orang yang mengelilinginya ini.
"Serius semua ini aku yang melakukannya?" pertanyaan Lisa yang terdengar begitu antusias mendapat tatapan heran dari orang-orang disekitarnya.
"Y-Ya, itu benar." jawab Tia terbata-bata. Dilepasnya pelukan eratnya dan ditatapnya Lisa dengan penuh kecurigaan. "Kenapa kau bertanya seper—"
"Keren!"
"Hah?!"
"Ini kereen!!" seru Lisa takjub.
"Apaa?!" teriak Tia dkk tak percaya akan pernyataan Lisa barusan.
Dipertarungan satu lawan satu antara Wira dan Aoba...
"Hosh-hosh-hosh! Tak kusangka, melawanmu lebih sulit daripada si keparat Maeda Yuuji!" ucap Wira napasnya tersengal-sengal ditengah-tengah pertarungan.
"Heh! Sudah kubilang kan, dengan kekuatanku yang sekarang ini tidak mungkin aku bisa dikalahkan!" balas Aoba yakin.
Pertarungan antara Wira dan Aoba memang sangat mendebarkan. Tak satupun dari mereka yang jatuh tertunduk dari serangan-serangan dan jurus andalan yang dikeluarkan oleh mereka. Luka yang didapatkan dari hasil pertarungan sebelumnya mulai dirasakan oleh mereka berdua. Wira mendapatkan luka yang cukup besar dari sabetan pedang Aoba di dada dan kaki kirinya. Berbeda dengan Aoba yang mendapat luka dipunggung belakang dan kepalanya yang bocor akibat pukulan benda keras dari Wira. Dari luar, kelihatannya fisik mereka sudah mulai menurun tapi jika dilihat dari dalam ada satu orang yang masih menyimpan tenaga fisiknya.
"Jika kau tidak ingin mati disini, cepat serahkan Nakamura Sougo hidup-hidup!"
"Apa gunanya orang tua seperti dia bagi negara kalian?" Aoba tersenyum licik mendengar pertanyaan yang dilontarkan Wira.
"Tentu saja orang itu berguna bagi kami. Dia menyimpan informasi yang sudah didapatkannya selama ini mengenai Indoneshia. Jika kami berhasil memaksanya membuka mulut, kami dapat menguasai negara ini kembali!"
"Bagaimana cara kalian membuka mulut orang tua itu?" tanya Wira ragu.
"Mudah saja!" balas Aoba enteng. "Orang tua seperti dirinya lebih baik dicuci otak saja.”
"Cuci otak dengkulmu!" teriak Wira suaranya terdengar marah. Entah kenapa jawaban yang keluar dari mulut Aoba membuatnya naik pitam.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Wira bangkit dari rasa lelahnya. Perlahan demi perlahan kedua kakinya dipaksa berlari menuju sang target dengan kepalan tangan ditangan kirinya yang siap menghajar mulut kurang ajar anak buah Maeda Yuuji itu.
"Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan orang tua itu pada negara yang kulindungi ini. Aku tidak akan pernah mengerti pengorbanan yang sudah dilakukannya demi bangsa ini. Tapi, ada satu hal yang tidak bisa kumaafkan darimu!"
"Nak Wira..."
"Bang Wira!"
Dari kejauhan Nakamura, Pande, Lisa, Tia, dan Niyang Ninuk menonton pertarungan satu lawan satu antara Wira dan Aoba tanpa ikut campur tangan. Tak ada yang bisa dilakukan oleh mereka untuk membantu Wira kecuali dengan duduk manis ditempat.
Tuhan! Bli Ngurah! Tolong! Tolong lindungi dia!,doa Tia dalam hatinya.
"Aku tidak akan memaafkanmu jika kau berani mencuci otak Pak Nakamura dan membuatnya menjadi orang yang tidak mencintai Indonesia lagi!" teriak Wira kencang, siap menghajar Aoba sesampainya dia didepan sang target. "Terima seranganku ini! Hiyaaa!!"
"Hm! Terlambat!" Aoba memasang senyum licik di wajahnya.
"Apa?!"
"Sudah kubilang ratusan kali. Kau tidak akan bisa membunuhku!" dengan gerakan lincah Aoba memukul dada Wira yang terluka dengan sekuat tenaga hingga membuat targetnya muntah darah dan jatuh tersungkur beberapa puluh meter jauhnya.
"Nak Wira!"
"Bang Wira!"
"Oh, tidak!"
Para penonton panik melihat Wira yang tersungkur di tanah masih memaksakan diri berkelahi disertai batuk darah yang tak bisa ditahannya.
"Sial! Darimana orang itu mendapatkan kekuatan sebes—Gyaaagghh!!!" terdengar jerit kesakitan Wira mendapati luka di bagian dadanya diinjak-injak oleh Aoba dengan sangat keras hingga membuat darahnya terus mengalir tanpa henti.
"Bang Wira!" teriak Pande takut.
"Kurang ajar kau, mata sipit sialan!" Lisa bangkit berdiri, mengambil pedangnya lalu berlari mendekati Aoba. "Berani-beraninya kau melukai Bang Wi—"
Dor! Dor! Dor!
Bhuaakk!!
Brukk!
"Lisa!"
Belum sampai di tempat tujuan, Lisa sudah ditembaki 3 peluru tepat di dadanya. Pande segera berlari mendekati Lisa untuk melihat kondisi temannya.
"Lisa! Lisa, bertahanlah!" namun Lisa tak menjawab. Matanya sudah tertutup rapat saking lelahnya bertarung dengan banyak musuh sepanjang hari ini. Pande kemudian mengecek denyut nadi Lisa apakah masih hidup atau tidak.
"Denyut nadi Lisa melemah!"
"Kita harus memberinya pertolongan pertama. Ayo!" Nakamura mulai berlari mendekati Lisa dan Pande untuk memberi pertolongan pertama dibantu Niyang Ninuk disampingnya. Tia sendiri masih diam terpaku melihat satu per satu teman-temannya mulai tersungkur dihadapannya.
"Brengsek kau!"
"Aku akan memberimu satu kesempatan sebelum kukirim kau ke neraka." kata Aoba acuh tak acuh pada korban yang sedang diinjaknya.
"Aku tidak akan mati ditangan kotormu!"
"Hei, ayolah! Kau itu sudah cukup umur. Kau tidak akan bisa membunuhku jika staminamu lemah seperti ini!" ucapan Aoba menyadarkan Wira dari harapan kecilnya untuk bisa bertahan hidup kembali.
Wira merasa mungkin inilah takdirnya untuk segera mati. Toh juga harusnya dia sudah mati 20 tahun yang lalu, bukannya masih hidup dan berkeliaran dengan bebasnya di bumi ini. Wira juga merasa dirinya sudah sangat lelah untuk kembali bertarung. Sudah waktunya bagi dirinya untuk menutup matanya sekarang.
"Tapi, hati kecilku saat ini menolak untuk mati lho!" Aoba kaget ketika mendengar suara gagah dan meledek Wira menggema ditelinganya.
"K-Kau...!" rasa takut dan cemas mulai menghantui Aoba.
"Tia!" panggilan Wira sukses membuat orang yang dipanggilnya kembali tersadar.
"Y-Ya?"
"Apa kau masih tetap berpegang teguh pada ucapan dukun sialan itu?"
"U-Uh?" Tia bukannya bingung dengan pertanyaan Wira tadi, tapi dirinya bingung harus menjawab apa.
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" Wira berusaha memancing Tia agar jebakannya berhasil dimakan oleh 2 burung sekaligus.
"T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat.
Yang dikatakan Wira tadi itu benar. Sudah puluhan bahkan ratusan kali Tia ingin memanggil nama temannya tapi bayang-bayang kematian selalu menghantuinya.
"Kalau begitu aku akan menyumpahimu!"
"Kau masih belum selesai memberikan pidato pada wanita itu?" tanya Aoba tak sabar. Tingkat kewaspadaannya sengaja diturunkan karena dirinya yakin jika mangsanya tidak akan bisa bergerak lagi.
"Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati."
"Apa?!"
"Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba senang. "Baiklah, akan kutunggu sampai dihitungan ketiga." padahal ancaman Wira tadi ditujukan kepada Tia tapi Aoba malah salah mengartikannya. Dirinya kira dihitungan ketiga dia harus membunuh Wira.
"Cepat, panggil namaku!" teriak Wira tak sabar.
"Ta-Tapi..." Tia panik harus mempercayai perkataannya siapa.
Kalau kupanggil namanya dan perkataan nenek dukun itu benar-benar terjadi bagaimana?, tanyanya pada dirinya sendiri. Tapi, jika dalam waktu 3 detik aku tidak memanggil namanya...
"Satu!" Wira mulai berhitung.
"Tu-Tunggu! Sumpahmu itu tidak benar kan?"
"Dua!" Wira tak menggubris pertanyaan teman lamanya dan tetap berhitung. Karena sudah dihitungan kedua, tak ada pilihan lain lagi bagi Tia untuk memanggil nama Wira. "Dua setengah..."
"Wi...ra..." panggil Tia perlahan. Masih ada rasa takut menghantui dirinya.
"Apa? Aku tidak dengar!" pancing Wira lagi.
"Wira..." suara Tia mulai berani dikeraskan.
Karena tak mendapat respon yang diinginkan, terpaksa Wira mengambil tindakan lain.
"Jangan salahkan aku jika kau tidak ada memanggil namaku dan aku beneran mati." ucap Wira pasrah menunggu malaikat maut akan segera datang menjemputnya.
"Tidak! Jangan mati!"
"Tiga."
"Matilah kau!"
"Wiraaa!!!"
Jleb!
Croot!
Mata Tia merekam semua peristiwa yang tengah terjadi hari ini. Ada dua pedang yang saling menusuk satu sama lain, membuat darah manusia bagai air mancur keluar dengan indahnya.
Bruuk!
Tubuh Aoba jatuh ke tanah dan tak bergerak sedikitpun. Begitu juga dengan Wira yang dihiasi cairan merah disekitar tubuhnya. Tia mendekatinya perlahan. Diamatinya tubuh teman berharganya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Tidak!" ucapnya jatuh tersungur di tanah. Air mata mulai membasahi kedua pipinya. "Tidak...kau tidak boleh mati, Wira." sambungnya lagi sembari membangunkan Wira yang tak kunjung bergerak.
"Sudah kubilang kan, kau tidak boleh mati, Wira. Wira!" panggil Tia tanpa sadar yang tak dijawab oleh teman berharganya itu.
"Wiraaa!!!"