#Wira Point of View#
"Tuan Nakamura dan Nyonya Ratih meminta Nyonya Kadek Ari agar dikirimkan beberapa orang yang bisa dijadikan sebagai pengawal dengan mengatakan jika mereka akan bekerja membersihkan kolam Pemandian Air Panas Nippon-Indoneshia."
“Tidak. Itu tidak mungkin!"
Aku masih tidak percaya dengan cerita dongeng ala Tia selama beberapa menit yang lalu. Aku tidak percaya jika ini merupakan persekongkolan yang dilakukan oleh Pak Nakamura dan Bu Cerewet itu. Ditambah lagi temanku satu-satunya ini malah menutup kedua mata dan telinganya agar persekongkolan ini dapat berjalan lancar!
Bagaimana bisa mereka semua melakukan ini pada kami? Menjadikan nyawa kami sebagai taruhan demi melindungi satu nyawa? Memangnya orang itu sudah berbuat apa untuk Indonesia? Pengorbanan apa saja yang sudah dilakukannya demi tanah air yang sama-sama kami cintai ini?
"Mengaku meminta pertolongan untuk membersihkan kolam dan dengan mudahnya mengatakan ingin membuat Negara Jepang berdamai dengan Negara Indonesia? Ingin membuat Negara Jepang bisa bekerja sama dengan kita?" aku tertawa meledek mengingat cerita Tia tadi mengenai impian kecil Pak Nakamura.
"Cih! Jangan bercanda!" ucapku datar. "Bagaimana bisa kita bekerja sama dengan mereka jika dari awal kita sudah dimanfaatkan olehnya? Dan lucunya, tujuan tersembunyi mereka ingin bekerja sama dengan kita yakni dapat menjadikan kita sebagai pengawal pribadi mereka." hatiku terasa sakit mengakui hal ini. "Sama seperti yang dikatakan Pande."
"Tidak!" teriak Tia membuat bulu kudukku meremang. "Kau benar-benar tidak mengerti! Setiap melakukan sesuatu yang berharga pasti ada pengorbanan!" ucap Tia lantang. "Tuan Nakamura tidak hanya mengorbankan nyawa kalian, tapi tempat pemandian air panas ini beliau rela korbankan agar impiannya dapat terwujud! Sama seperti Bli Ngurah yang mengorbankan nyawa dan teman-teman kita yang lain demi—"
"Lalu, kau sendiri bagaimana?" tanyaku tajam. Kulihat gelagat tubuhnya mulai terlihat aneh. Alis Tia mengkerut keras, tangannya yang mungil di genggam dengan tangannya yang lain, digigitnya bibir bawahnya tak tenang. Suaranya juga mulai tak terdengar. "Apa yang sudah kau korbankan?"
“Nya-Nyawa...seseorang."
"?!"
"Aku mengorbankan...nyawa seseorang." ucapnya terdengar ketakutan.
"Untuk apa kau melakukannya? Apa untuk kepentinganmu sendiri?"
"Tidak!" jawabnya cepat. "Aku melakukannya...demi dirinya." tak lama terdengar suara isak tangis yang tak tertahan berasal dari dirinya. Tapi hal itu tidak berpengaruh untukku karena perasaanku kini sedang bercampur mirip es campur. Ada rasa marah, sedih, dan juga kecewa.
"Siapa? Siapa orang itu?" pertanyaanku membuat matanya melotot tajam.
"I-Itu..."
"Katakan padaku, siapa orang itu? Kalau perlu, panggil namanya sekarang!" perintahku mulai tak terkendali.
Bukannya tenang atau apa, Tia malah kalang kabut mendengar seruan perintahku. Kuperhatikan napasnya mulai tak teratur, tubuhnya mulai menggigil, keringat mulai membasahi wajahnya, dengan mata melotot air mata mengalir membasahi pipinya. Tentu saja aku terkejut plus panik melihatnya seperti ini. Baru kali ini aku membuat seorang wanita menangis—sebenarnya sih ini yang kedua kali. Pertama kali kubuat Lisa menangis karena diumurnya yang menginjak remaja sering kupanggil dia bocah. Tapi sekarang, sepertinya dia sudah menerima panggilan bocah dariku. Yah, walau sering dimarahi sebagai gantinya.
"Aku...tidak bisa."
"Apa?!"
"Aku...tidak bisa...memanggil namanya." ucapnya tertahan. Kutatap wanita yang ada dihadapanku dengan penuh tanda tanya besar diatas kepalaku.
"Kenapa? Kenapa kau tidak bisa memanggil namanya?"
"Karena...kalau aku memanggil namanya...dia akan mati."
"Ap—?!"
"Dia...temanku yang sangat berharga."
Tubuhku mematung, napasku berhenti, mataku melotot lebar menatapnya, pikiranku seketika berhenti, yang ada hanyalah kejadian-kejadian dimasa lalu yang berkelebat diingatanku.
"Gus Wira, kau adalah orang yang sangat kupercaya untuk melindungi teman-teman kita yang lain." kuperhatikan Bli Ngurah menatapku penuh arti. "Kuserahkan sisanya padamu." sambungnya tersenyum senang.
"Pande."
"I-Iya?"
"Kau bilang Tia tidak bisa memanggil namaku lagi kan?"
"Ya, itu benar."
"Aku minta maaf, Wi—"
Bruuk!
"Saking berharganya aku”
"O-Oi, Tia!" Jangan katakan orang itu..." aku tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi. Aku masih syok mendengar sambungan kalimatnya.
"Aku tidak bisa memanggil namamu lagi!!!" bagai patung hidup, aku hanya menonton Tia yang menangis sejadi-jadinya dihadapanku.
Hari ini, rahasia baru yang lain akhirnya terungkap. Rasa penasaran akan dirinya yang tidak memanggil namaku lagi terjawab sudah. Dalam keheningan yang rupanya sudah berganti menjadi sore, suara isak tangis yang tak dapat kuredam menggema di ruang kamarnya.
"H-Hei, Tia. Aku tahu ini hanyalah kebohongan semata, jadi—"
"Kalau ini hanyalah kebohongan semata yang aku buat, selama kau tinggal disini kenapa aku tidak memanggil namamu walau hanya sekali?!" jantungku makin berdegup kencang mendengar suaranya yang mulai berteriak keras. Untuk pertanyaannya itu, aku memilih bungkam seribu bahasa.
"Kau pikir mudah untuk menjalaninya? Kau pikir mudah bagiku berhadapan denganmu dengan situasi sekarang?"
"Apa ini alasanmu pergi meninggalkan desa?" kali ini mulutku tidak bisa tertutup rapat. Sebisa mungkin kuhadang dirinya dengan berbagai pertanyaan.
"Apa karena aku, kau memilih meninggalkan desa? Bukan dihantui rasa bersalah karena tidak bisa melindungi teman-teman yang lain tapi ini semua karena aku? Atau bukan karena kau ingin tinggal di kampung halamanmu seperti yang dikatakan Bli Ngurah? Karena tidak bisa memanggil namaku, kau—"
"Itu benar!!!" teriaknya bagai orang kerasukan setan. "Karena tidak bisa berhadapan denganmu, aku lebih memilih meninggalkan desa! Karena kulihat dengan mata kepalaku sendiri jika kau hidup kembali, aku merasa sangat se—"
Sreek!
Kudekati ranjang Tia dengan langkah lebar, menarik kerah bajunya kasar dihiasi dengan tatapan garang sang raja hutan.
"Apa maksudmu aku hidup kembali?”
"Ukh!"
Jengkel karena Tia lambat menjawab pertanyaanku, kutarik lagi kerah bajunya hingga wajah kami saling berdekatan.
"Aku tanya, apa maksudmu aku hidup kembali?!"
"Du-kun..."
"Hah?"
"Aku...meminta seorang dukun...untuk membuatmu hidup kembali...ukh! Uhuk-uhuk! Uhuk-uhuk!" tak lama kulepas genggaman kerah baju miliknya. Kudengar suara batuk keras keluar dari mulut Tia. Tapi, aku tak peduli. Kutatap wanita yang terbatuk itu dengan tatapan tak percaya.
"Jadi sebenarnya, aku ini..sudah mati...20 tahun yang lalu?"
"Tidak!" gantian sekarang Tia yang menarik kerah bajuku dengan kedua tangannya. "Kau tidak mati! Kau masih hidup! Sejak dulu hingga sekarang kau masih hidup! Tidak dengan 20 tahun yang lalu. Kondisimu saat itu hanya kritis saja!"
"Kalau kondisiku kritis, kenapa kau sampai pergi ke dukun itu, huh?"
"A-A-Aku..." Tia tak tahu harus menjawab apa lagi.
"Kau sendiri yang mengatakan jika kau pergi ke dukun untuk membuatku hidup kembali." kupegang kedua tangannya erat bermaksud ingin melepaskan tangannya dari kerah bajuku. Tapi, yang kulakukan malah menggenggam tangannya erat sampai Tia meringis kesakitan.
"Jika kondisiku saat itu benar-benar kritis, kenapa kau tidak membawaku ke rumah sakit saja?"
"Aakh!!" tanpa sadar tanganku berusaha meremukkan tulang tangannya yang berukuran kecil.
"Kau tadi juga bilang kalau sudah mengorbankan nyawa seseorang demi orang itu. Orang dan nyawa yang kau maksud itu aku kan?"
"A-Aku...akh! Bi-Bisa...menjelas...kannya..."
"Biar aku yang menjelaskannya padamu. Agar aku bisa hidup kembali nyawaku sendirilah yang menjadi taruhannya. Dan caramu membuatku hidup kembali dengan memanggil namaku. Jika aku hidup, kau tidak diijinkan untuk memanggil namaku lagi karena jika itu terjadi..."
"Aarrgghh!!!" makin lama tanganku makin menggenggam erat kedua tangannya. Bunyi kretek-kretek mulai tersebar dipenjuru ruangan. Aku sendiri sempat kaget kenapa aku bisa mengetahui semua itu padahal Tia tidak ada menceritakannya secara jelas. Mungkin dewi fortuna yang membisikkan kata-kata itu di telingaku.
"K-Kau...!" panggil Tia tanpa menyebut namaku disela-sela rasa sakitnya yang makin menjadi-jadi.
"Aku akan mati, benar begitu kan?" harusnya aku menghentikan aksi bodohku itu tapi, karena kesadaranku sudah diluar kendali, aku tetap melanjutkannya. Dengan senyuman raja iblis kumulai meremukkan kedua tangannya perlahan-lahan.
"K-Kau...! Aku mohon...sadarlah!"
"Kau pikir perkataan dukun sialan itu benar-benar akan menjadi kenyataan?" tak kugubris ucapannya barusan. "Cih! Mau sampai kapan kau percaya pada hal-hal yang berbau mistis seperti itu, huh? Kau ini punya Tuhan kan? Apa jangan-jangan...kau ini sebenarnya gak punya agama?"
"Aku...mohon...sadarlah!" pinta Tia meringis kesakitan.
"Kau ini sebenarnya lebih percaya siapa sih? Tuhan atau dukun sialan itu?"
"Karena aku sudah berjanji untuk melindungi teman-temanku, maka akan kutepati janjiku pada Bli Ngurah dengan tidak memanggil namamu agar kau tidak mati!" balas Tia tergagap penuh dengan kepercayaan diri. Entah sejak kapan tapi aku ingin tertawa mendengarnya.
"Melindungi katamu?" tanyaku mengejek. "Bagaimana bisa kau sebut hal ini melindungi teman-temanmu jika kau sudah memberikan satu nyawa pada setan sebagai tumbal agar aku bisa hidup kembali!!!”
"Aakhh!"
"Bang Wira!"
"Kak Tia!"
"Tiaraap!"
Seperti adegan slow motion, kulihat dari dalam pintu kamar Tia yang terbuka lebar Pande, Lisa, dan Pak Nakamura sambil menggendong seorang nenek-nenek dipunggung belakangnya tengah berlari mendekati kami berdua. Dibelakang mereka juga ada peluru berukuran besar yang tidak hanya mengejar mereka saja, tetapi juga mengarah padaku dan Tia dengan kecepatan kilat. Jika saja Tia tidak berteriak menyuruhku untuk berlindung, mungkin aku dan yang lainnya akan menjadi rata dengan tanah.
Ciiuut!
Bom!
Duuaaarr!!!
Ledakan itu berhasil menghancurkan setengah dari tempat pemandian air panas ini. Guncangan tanah yang begitu hebat, reruntuhan bangunan dan bebatuan akibat ledakan barusan sukses memporak porandakan tempat pemandian air panas ini.
Braak!
Merasa kondisi sudah aman dengan sekuat tenaga kuangkat lalu kubanting reruntuhan tembok dan balok kayu yang menimpa tubuhku agar tubuhku bisa keluar dari reruntuhan itu dan menyelamatkan yang lainnya.
"Uhuk-uhuk! Kalian semua baik-baik saja?" tanyaku sembari mencari beberapa temanku yang hilang dan berakhir di Tia. "Tia, aku ingin—"
Awalnya aku ingin meminfa maaf karena tindakanku yang diluar batas tadi. Saat ini keadaanku sudah kembali normal. Aku benar-benar insaf atas tindakan kasarku tadi.
"Tidak ada waktu untuk ini. Ada musuh dihadapan kita!" ucapnya memotong sekaligus menyadarkanku jika ada tamu tak diundang datang.
"Sudah kuduga kalian semua pasti akan selamat. Karena tembakan basoka milikku hanyalah masalah kecil bagi kalian, iya kan?"
Dari gumpalan asap akibat ledakan barusan, samar-samar kulihat ada segerombolan mangsa dengan senjata apinya menampakkan batang hidungnya didepan kami semua.
"Eh, mata sipit brengsek! Kau ini benar-benar ingin minta dihajar ya?!" teriak Lisa terlihat mengamuk.
Setelah gumpalan asap akibat ledakan barusan lenyap, baru bisa kulihat dengan jelas siapa gerangan yang berani mengganggu obrolan hangatku dengan Tia tadi.
"Jadi kau rupanya."
"Aku tidak bermaksud untuk balas dendam padamu lho, Gede Wira Pratama. Aku hanya ingin Nakamura Sougo hidup-hidup." balas pria bermata sipit itu tak menggubris ucapanku dan Lisa.
"Bukannya sudah kuperingatkan padamu jika kau berani menampakkan diri dihadapan kami, aku akan membunuhmu?" gelak tawa terdengar dari suara pria bermata sipit itu.
"Hahaha! Jangan bercanda!" ucapnya senang. "Dengan kekuatanku yang sekarang ini, aku tidak mungkin bisa dikalahkan dengan mudah."
"Oh ya?" balas Lisa yang tak sabar ingin beradu otot dengannya.
"Oi, Pande! Jangan bilang orang ini anak buah si keparat Maeda Yuuji yang waktu itu kita lawan?" tanyaku mulai terpancing akan semangat membara Lisa yang siap menghajar musuh didepan.
"Iya. Dia itu Aoba Sasaki."
"Oh~ Jadi dia orangnya." jawabku tersenyum simpul. Dengan berani kulangkahkan kakiku ke tengah-tengah arena pertarungan sambil memasang wajah mengejek penuh kemenangan, kutantang dirinya satu lawan satu.
"Hei, mie soba!"
"Ap-Apa katamu?!" balasnya tak terima kupanggil dirinya mie soba.
"Sini kalau berani!"
"Ke-Keparat kau, Gede Wira Pratama!" umpatnya kesal setengah mati padaku.
"Kenapa? Takut?" pancingku lagi membangkitkan kemarahannya yang selama ini ditahannya.
"Semuanya! Lawan para pengacau dibelakangnya dan tangkap Nakamura Sougo hidup-hidup! Untuk orang ini, biar aku saja yang menghadapinya."
"Heh! Besar juga nyalimu." balasku makin bergairah untuk segera melawannya. "Aku harap kau tidak selemah tuanmu yang dulu, mie soba.
"Cih! Semuanya, serang!" dan pertarungan tak terhindarkan ini pun segera dimulai dari sekarang.