Setelah kejadian kemarin, Abay benar-benar nggak bersuara. Bahkan Serina yang benar-benar penasaran pun diabaikannya begitu saja. Abay benar-benar lemas mengetahui itu semua. Antara percaya atau nggak. Benar-benar membuat Abay pusing. Ucapan pertama dan terakhir Zoella lah yang membuat Abay pergi dari hadapannya. Katanya, “Pulang Bay, gue bisa urus sendiri,” Zoella mengatakan itu dengan suara yang bercampur dengan isak tangisnya. Abay sebenarnya ingin sekali tetap di sana, menolong Zoella dari laki-laki sialan itu. Tapi apa daya, kaki Abay begitu berkhianat sampai-sampai meninggalkan Zoella.
“Mas Bay? Kok bengong?”
Suara imut itu langsung membuat Abay mengerjap beberapa kali. Ia tersenyum ke arah peri kecilnya. “Mas Bay bengong ya?” tanyanya, Abay sampai nggak sadar kalau dari tadi ia melamun.
Bea mengangguk cepat. Ia memasang wajah bingungnya yang sangat imut itu. “Mas Bay bengongin siapa?”
“Bukan siapa-siapa kok Be,” Abay menjawab sekenanya lalu tersenyum pada Bea.
Tapi tentu saja Bea bukan anak yang akan melupakan begitu saja. Bea termasuk ke dalam anak yang memiliki tingkat penasaran yang tinggi.
“Mas Bay bengongin pacar Mas Bay ya?!” tebaknya diiringi cengiran yang menampilkan gingsulnya.
“Ha? Siapa? Mas Bay nggak punya pacar Be,” elak Abay.
“Bohong! Cewek yang waktu itu Mas Bay bawa ke sini, siapa?” Bea mengingat-ingat kalau Abay itu pernah membawa perempuan cantik ke rumah putih ini.
Abay berpikir sejenak. Lalu ingatannya jatuh kepada Bulan. Ya ampun! Abay sampai lupa kalau ia pernah mengajak Bulan ke sini. “Itu teman Mas kok, dia bukan pacar Mas,”
Bea ber-oh ria.
“Kamu diajarin siapa sih udah tahu pacar-pacaran begitu? Ha?” Abay mengelitiki pinggang Bea, membuat Bea tertawa kegelian.
“Geli... Mas Bay.. geli.. aduh, hahaha—Bea nggak bisa na..pas, haha... duhh,” Bea lelah sendiri mengeluh pada Abay. Abay ini kalau sudah iseng nggak ada ujungnya.
“Ehhhh—kalian ngapain? Mas, udah Mas, kasihan Bea-nya!” Bunda tiba-tiba datang dari pintu belakang menghampiri Abay dan Bea.
Abay langsung menghentikan gerakannya. Sedangkan Bea langsung berlari memeluk Bunda. “Bun.... Mas Abay isengg,” adunya pada Bunda dengan nada yang sangat manja. Abay yang mendengarnya dari jarak jauh saja rasanya gemas. Bea itu imut sekali!
“Hus... Mas-mu kan emang iseng. Udah, jangan ngambek, nih, Bunda udah siapin baju Bea,” ucap Bunda mengelus-elus rambut Bea. Bea yang mendengar itu langsung melirik ke arah tentengan Bunda.
“Bea beneran dibolehin nginap Bun?” Bea bertanya sangat antusias.
Bunda pun mengangguk penuh dengan senyuman. Tanpa disangka-sangka, Bea langsung memeluk Bunda bahagia.
“MAKASIH YA BUNDA! BEA SAYANG BUNDA LEBIH DARI BEA SAYANG MAS ABAY!” pekiknya heboh. Bea benar-benar bahagia luar biasa.
Abay tersenyum bahagia. Setidaknya ada perempuan yang benar-benar harus dia lindungin selain mamihnya. Yaitu Abea Diananta
***
Sebelum pulang ke rumahnya, Abay menawarkan diri pada Bea untuk mengantarnya ke mana pun yang Bea mau. Dan ternyata Bea malah ingin mampir ke sebuah kedai es krim. Yang lagi-lagi mengingatkan Abay pada Bulan. Dahulu, Abay memang pernah nggak sengaja mengajak Bulan ke kedai es krim ini. Dan ternyata Bulan menyetujuinya. Dan dari sana Abay mulai berani mengajak Bulan menuju rumah putih.
“Enak Be?” tanya Abay memperhatikan Bea yang sangat khidmat menikmati es krim-nya.
Bea mengangguk cepat tanpa melihat Abay. Sedangkan Abay yang melihat itu sangat bahagia sekali. Abay mengusap kepala Bea gemas.
“Yuk, pulang,” ajak Abay mengulurkan tangannya.
Bea menyambut tangan itu dan tersenyum senang karena sudah nggak sabar ingin menginap di rumah Abay. Bea benar-benar bahagia sekarang.
“Bea seneng banget Mas Bay,” celetuk Bea menoleh pada Abay. Sesekali ia melihat jalanan yang sangat asing baginya.
Abay menoleh lalu tersenyum pada Bea. “Mas ikut seneng kalau Bea seneng,”
Abay memberhentikan mobilnya di rumah mewah itu. “Ayo Be, udah sampe,” katanya lalu melepas seat belt yang dipakai Bea lalu membawanya turun.
Bea benar-benar nggak mengedip ketika melihat rumah yang baginya ini bagai istana. Bea menggoyang-goyangkan tangan Abay.
“Mas, istananya bagus banget!”
Abay terkekeh dengan tingkah polos Bea. “Ini rumah Be, bukan istana,” lalu ia mengusap kepala Bea lembut.
“Bea nggak sabar mau masuk!”
“Ayo kita masuk Be!” Abay jadi ikutan bersemangat ketika melihat ekspresi Bea.
“MIHHHH!!!” Abay berteriak memanggil mamihnya. Karena ia yakin seribu persen, Erta nggak akan muncul kalau Abay nggak teriak seperti itu.
Tapi yang ditunggu-tunggu nggak datang juga. Baru saja Abay ingin berteriak lagi, seseorang muncul dari arah dapur dan membuatnya melongo.
“Nana?”
Serina mendekat pada Abay seraya berdecak. “Nggak usah teriak, bukan hutan kan ini,”
“Kok lo di sini?” Abay menghiraukan ucapan Serina. Yang ia bingungkan adalah kenapa Serina ada di rumahnya sore ini?
“Bantuin mamih bikin kue. Katanya lo mau bawa tamu untuk diajak nginap,” jawab Serina. Lalu ia melihat sosok perempuan yang sedari tadi nggak berhenti menatapnya.
“Ini tamunya?” tanya Serina dengan wajah ragu.
“Iya, ini tamunya.” Abay menoleh pada Bea. “Be, kenalin ini Kak Nana, temannya Mas Bay,”
Bea mengulurkan tangan kanannya pada Serina. “Halo Kak Nana, aku Bea,” katanya ramah diiringi dengan senyuman manisnya.
Serina berjongkok menyamakan tubuhnya dengan Bea. Ia menerima uluran tangan Bea. “Hai Bea, kamu cantik banget ya,” kekeh Serina.
Bea tersenyum. “Terima kasih Kak, Kak Nana juga cantik banget,”
Serina yang gemas akhirnya mencubit kedua pipi Bea.
“Ehhh, perjaka mamih udah pulang,” suara nyaring itu muncul membuat ketiganya menoleh. Ternyata mamihnya baru saja keluar dari kamarnya.
“Mih, Abay bawa tamu nih,” ucap Abay lalu menarik Serina untuk berdiri agar bisa memperlihatkan Bea.
Erta yang sedang berjalan mendekat seketika langkahnya menjadi tertahan. Ia melihat tamu yang di bawa oleh Abay.
“Ibu?” itu bukan suara Abay dan Serina. Itu suara Bea.
Erta menegang di tempatnya ketika Bea memanggilnya dengan sebutan ibu. Abay dan Serina memasang tampang bingung. Bea malah berjalan mendekat ke arah Erta. Ia salim pada Erta. Bea bisa merasakan tangan Erta yang sangat dingin.
“Ibu yang pernah datang ke rumah putih kan?” tanya Bea membuat Erta bisa menetralkan degupan jantungnya yang berdebar cepat.
“i..iya.. kamu ingat?” tanya Erta yang sudah berjongkok di hadapan Bea.
Bea tersenyum manis. Sepertinya memang ini adalah kebiasannya. “Ingat dong! Ibu kan yang pernah ngobrol sama Bunda,”
“Kam—”
“Mamih pernah ke rumah putih?” Abay memotong ucapan Erta. Erta langsung menatap Abay.
“Pernah, waktu nyari kamu,” jawab Erta menutupi rasa gugupnya.
Abay ber-oh ria. “Ya udah, Abay mau ajak Bea keliling rumah dulu. Mamih sama Nana lanjutin buat kuenya aja ya?”
Erta dan Serina pun kompak mengangguk. Abay lalu menggandeng tangan Bea untuk mengitari rumahnya. Abay ingin membuktikan kalau rumah yang ada dalam mimpi Bea waktu itu adalah rumah keluarga Dirgantara. Setelah Abay sudah hilang dari hadapan Erta dan Serina, Erta langsung menatap Serina meminta jawaban.
“Apa kamu lupa Na siapa anak yang dibawa Abay itu?”
Serina diam berpikir. Lalu seketika mulutnya melongo ketika mengetahui satu fakta itu. Astaga, kenapa Serina bisa lupa?
“Mungkin memang udah saatnya Abay tahu Mih,” Serina berucap pelan, takut-takut membuat Erta sakit hati.
Erta menunduk sejenak lalu menatap Serina. “Nggak sekarang Na,”