Mata Abay merah menyala-nyala siap meninju siapa pun yang berani menghalanginya. Tangan kanannya ia kepal kuat-kuat membuat siapa pun yang melihatnya pasti takut. Abay berjalan terus sampai kakinya berhenti di depan ruang kelas IPA 1. Itu kelasnya Bintang dan Rayhan.
“BINTANG!” teriaknya membuat semua orang yang ada di kelas itu menatap heran. Ditambah lagi ada seorang guru yang sedang mengajar.
“Maaf Bu, saya mau bertemu dengan Bintang,” ucapnya tajam tanpa peduli permintaannya itu diijinkan atau enggak.
Abay berhenti di tempat duduk Bintang dan Rayhan. Tanpa menunggu aba-aba, Abay langsung menarik kerah seragam Bintang dan melayangkan tonjokannya tepat di rahang Bintang.
Bintang tersungkur ke belakang membuat anak-anak berteriak histeris.
“MAKSUD LO APA SETAN! MERASA SOK IYE LO BISA NYAKITIN CEWEK?! HAH!” Abay kembali menarik Bintang dan kini menendangnya sampai terdengar bunyi yang cukup keras karena terkena meja.
Rayhan yang melihat itu panik setengah mati lalu menghubungi Rafa dan Galang untuk segera ke kelasnya.
“BANGUN LO SETAN! CUMA SEGITU AJA? HAH!” Abay kembali berteriak membuat anak-anak kembali histeris. Sama sekali tidak ada yang memisahkan.
Bu Mia pun ikut berteriak tidak jelas. “Hey—pisahin, saya takut! Tolong—hey—pisahin mereka!!”
Tapi percuma saja tidak ada yang memisahkan.
Bintang bangkit lalu meninju Abay kencang. Dan terjadilah adu jotos di antara keduanya sampai akhirnya Rafa, Galang, dan Pak Agus datang memisahkan.
Abay yang kalap pun ditahan oleh Pak Agus dan terus menatap Bintang tajam. Sementara Bintang hanya menatap Abay dingin tidak tahu maksud Abay apa seperti ini.
***
“BULAN! BUL! SI BINTANG BERANTEM TUH!” seruan kencang itu muncul ketika Bulan sedang menulis catatan Melan.
Bulan langsung memberhentikan aktivitasnya.
“Apaan sih Rio! Nggak usah teriak-teriak! Kayak di hutan aja sih!” Melan langsung memarahi Rio kesal. Pasalnya Melan sedang asyik membaca novel.
Zoella yang mendengar teriakan Rio pun menjadi khawatir. Bertengkar dengan siapa?
Zoella bangkit dari kursinya, kebetulan saat ia bangkit ada seseorang juga yang ikut bangkit. Menimbulkan suara keras dan membuat anak-anak menoleh.
Ternyata itu Bulan.
Bulan menatap Zoella sengit. Sedangkan Zoella memalingkan wajahnya. Melan yang menyadari hal itu pun langsung angkat bicara.
“Lo mau ke mana Bul?” tanya Melan yang sebenarnya ia sudah tahu jawabannya.
Bulan malah duduk kembali, membuat Zoella melangkah jauh dari kelasnya. Pasti Bintang.
Bulan menghela napas panjamg. “Ah, gue lupa. Gue kan bukan siapa-siapanya. Ngapain gue khawatir. Iya nggak Mel?” katanya pada Melan.
Melan hanya melongo dan mengangguk ragu. Ia yakin hati Bulan pasti sedang panas.
Zoella terlihat panik. Ia berlari sampai akhirnya menemukan Bintang dan ketiga temannya di depan kelas. Zoella menghampiri mereka.
“Tang, kamu nggak papa?” tanyanya khawatir.
“Udah jelas dia kenapa-napa Zoe,” celetuk Rayhan membuat Zoella merasa malu.
Bintang selesai mengobati robekan yang ada di ujung bibirnya. Kali ini ia menatap Zoella. “Gue nggak pa-pa. Lo balik ke kelas aja. Sebentar lagi pergantian jam palajaran,”
Zoella pun mengangguk setuju dan kembali ke kelasnya. Setidaknya hatinya sedikit lega sudah melihat Bintang. Tapi, siapa yang menyebabkan Bintang seperti itu?
“Padahal bukan dia yang gue harapin,” gumam Bintang.
“Hah? Apa Tang? Bukan dia?” Galang yang merasa mendengar gumaman Bintang bertanya.
“Apasih lo, gak jelas,” balas Rayhan kesal.
Galang melotot tajam pada Rayhan. “Tapi tadi gue denger Bintang gumamin sesuatu. Iya kan Tang?” Galang memastikan.
“Sotoy,” jawab Bintang dingin.
Rafa dan Rayhan pun mengakak luar biasa.
“Ya udah Tang, kita balik ke kelas dulu. Mungkin pulang sekolah nanti bisa diomongin lagi,” jelas Rafa pada ketiganya.
Ketiganya pun mengangguk setuju.
“Padahal, gue denger loh Tang, lo bergumam apaan,” celetuk Rayhan jahil.
Seketika wajah Bintang memanas. “Sialan lo,” lalu Bintang bergegas kembali memasuki kelasnya.
***
Napas Abay masih menggebu-gebu. Emosinya masih belum bisa terkontrol. Saat ini, Abay sedang berada di ruangan ayahnya. Sialan. Lagi-lagi ia harus berurusan dengan orang yang selalu menguras emosinya. Kenapa juga ayahnya harus berada di sini? Kenapa nggak di sekolah lain aja sih?!
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya menatap Abay datar.
Abay balas menatap datar. “Saya berantem sama ketua OSIS,”
“Apa maksud dan tujuan kamu berantem?” tanya ayahnya lagi. “Padahal saya tidak pernah mengajarkan seperti itu,”
Abay tertawa renyah. “Peduli apa anda sama saya? Bukannya yang anda pedulikan cuma harta dan tahta?”
“CUKUP!” teriaknya membuat Abay sama sekali tidak merasa takut. Ia bangkit dan menatap ayahnya tajam.
“Saya nggak mendengarkan ceramah orang yang menomorsatukan harta dan tahta. Ditambah tidak becus mengurus keluarga.” Ucap Abay dingin lalu pergi keluar dari ruangan sialan itu.
Di dalam ruangan, ayahnya memijat peilipsnya. Ia mengusap wajahnya kasar.
“Kamu belum tau apa yang sebenarnya terjadi Bay,” gumamnya.
Abay terus berjalan. Ia tidak akan ke kelasnya. Jadi ia putuskan untuk menuju rooftop. Tidak peduli dengan pandangan yang orang-orang berikan. Persetan dengan semuanya. Persetan dengan Bintang dan ayahnya.
Sesampainya di rooftop, Abay langsung merebahkan tubuhnya di tanah yang kotor itu. Tidak peduli lagi dengan bajunya yang akan kotor. Ia hanya ingin ketenangan.
Sebenarnya, Abay selalu punya alasan mengapa ia berbuat ini dan itu. Mengapa ia sering membuat onar? Karena Abay bosan dipandang dengan tatapan "wah", dipandang kalau dia adalah penguasa. Abay bukan penguasa. Abay hanya anak yang kebetulan dilahirkan oleh seorang ibu dan ayah yang gila harta dan tahta.
Maka dari itu, walaupun ada ruangan games di rumahnya, tetap saja Abay merasa bosan. Ia butuh kasih sayang. Itu saja cukup.
Dan untuk masalah Bintang. Mungkin Abay salah karena tiba-tiba datang ke kelasnya dan langsung menghantam Bintang habis-habisan. Emosinya benar-benar naik ketika Abay yang baru keluar kamar mandi mendengar ada seorang perempuan yang sedang menangis di lorong. Awalnya Abay tidak mau tahu. Tapi, suara temannya yang menyebut nama sahabatnya itu membuat Abay ingin tahu.
“Sialan tuh cowok! Awas aja, kalau ketemu gue tampol! Gue udah bilang kan Bul, kalau Bintang itu nggak baik buat lo! Dia tuh cuma cowok sok dingin yang dipuja banyak cewek. Nggak ada spesialnya!”
“Ja—jangan Mel, mungkin Bintang punya alasan kenapa dia nurunin gue di jalan dan pergi gitu aja. Gue yakin dia punya alasannya.”
“Cowok emamg kebanyakan alasan Bul. Udah, jangan nangis lagi, ke kelas yuk,”
Mereka pun kembali ke kelasnya. Dan detik itu emosi Abay memuncak. Perempuan yang ia suka diperlakukan seenaknya oleh sahabatnya sendiri.
Abay tidak pernah cerita kalau dia menyukai Bulan. Karena Abay tahu dengan jelas kalau Bulan itu menyukai Bintang. Tapi, sikap Bintang yang terlalu dingin itu kadang membuat Abay muak dan ingin meninjunya. Dan akhirnya hari ini ia bisa meninju Bintang.
“Terima kasih atas semua pukulan lo,” ucap seseorang yang namanya baru saja Abay sebut.
Ia mendekat lalu merebahkan tubuhnya di samping Abay.
Abay menoleh. “Ngapain, lo?”
“Nemenin lo,”
“Najis,”
Bintang hanya terkekeh.
“Gue suka Bulan,” ucap Abay gamblang.
“Gue tahu,” balas Bintang enteng.
Abay langsung bangkit dan duduk sila menatap Bintang yang masih tiduran. “Hah? Maksud lo?” Abay tidak percaya.
“Gue bukan orang bego yang nggak bisa menilai apa arti tatapan lo untuk Bulan,” katanya lalu ikut duduk sila. “Dan setelah lo ngomong begitu, ternyata gue tahu apa alasan lo ninju gue,”
“Sori,”
“Nggak masalah. Gue jadi punya alasan untuk ke UKS dan malah ke sini,”
Abay menatap Bintang kesal. Kenapa dia bisa berubah dalam beberapa waktu sih? Nanti dingin, nanti baik, terus dingin lagi. Gitu aja terus sampai Bulan jadi milik Abay.
“Ngomong-ngomong makasih Bay, tapi gue juga punya alasan kenapa kayak gitu ke Bulan. Gue punya cara sendiri untuk menyayangi dia.”
Dan seketika ucapan Bintang kembali membuatnya harus mundur dan merelakan Bulan untuk Bintang.