Abay termasuk kedalam kategori laki-laki yang rajin bangun pagi di hari Minggu. Walaupun sebenarnya ia tukang tidur, tapi entah kenapa setiap hari Minggu ia selalu bangun pagi. Mungkin karena kebiasaannya untuk berkunjung ke rumah putih.
Abay juga sudah menyiapkan satu kardus yang isinya adalah bermacam buku-buku yang akan ia berikan ke rumah putih.
“Waduh, perjaka pagi-pagi udah ganteng. Mau ke mana?” suara Erta yang baru saja turun tangga dan Abay yakini baru bangun tidur itu membuat Abay menoleh.
“Rumah putih. Mamih mau nitip apa?” tanya Abay.
Erta kelihatan berpikir. “Calon mantu, boleh nggak?” katanya asal nyeletuk.
“Astaghfirullah,” Abay refleks beristighfar sambil mengelus dada. Kadang mamihnya ini selalu saja meledek tentang masalah yang sangat sensitif bagi Abay. “Udah ah, Abay pamit,” ia menghampiri mamihnya lalu salim.
Saat ia sedang membawa kardus itu, ia tidak sadar kalau dari arah pintu ada seseorang yang ingin masuk. Alhasil keduanya saling bertabrakan.
“Maaf,” ucap Abay lebih dulu meminta maaf.
“Kamu mau ke mana? Rumah putih lagi?” tanya orang itu dengan suara yang dingin dan berat.
Abay menghela napas panjang. “Emangnya kenapa kalau saya ke rumah putih? Anda mau nitip sesuatu?” balas Abay sengit. Entah kenapa setiap ia berbicara dengan papihnya, pasti rasanya ingin marah-marah.
“Enggak. Ya sudah, hati-hati,” kata papihnya lalu pergi masuk ke dalam rumah.
Abay masih mematung. Ia mengembuskan napasnya lalu mulai berjalan menuju mobil. Pikirannya kembali melayang saat tahu kejadian itu. Orang yang dulunya ia agung-agungkan menjadi idolanya, sekarang sangat ia benci. Ya, itu Tristan Dirgantara, papihnya sendiri.
***
Menuju rumah putih itu sedikit lama. Memakan waktu sekitar 3 jam. Sebelum itu juga Abay pergi ke suatu tempat makan dan memesannya untuk ia bawa ke rumah putih. Senyuman Abay terus mengembang ketika melihat seorang gadis kecil sedang menyapu halaman. Abay berlari kecil lalu menghampirinya.
“Halo peri kecil, boleh kenalan?” ucap Abay lembut.
Gadis kecil yang sedang menyapu itu mendongak lalu langsung memeluk Abay erat. Abay pun balik memeluknya. Betapa rindunya ia pada peri kecil kesayangannya ini.
“Bunda ada?” tanya Abay.
Dan gadis itu mengangguk. Lalu ia menarik tangan Abay dan membawanya masuk ke dalam rumah putih itu. Rumah di mana anak-anak dari mana pun berkumpul di sana. Lagi-lagi Abay tidak bisa menahan senyumnya ketika tangannya digenggam oleh tangan kecil nan hangat dari seorang peri kecil favoritnya.
“Bunda! Ada Mas Bay nih!” seru gadis kecil itu menghampiri seorang perempuan yang sudah berkepala empat.
“Ya ampun Bea, hati-hati,” Bunda kelihatan panik ketika melihat gadis kecil yang bernama Bea itu berlari semangat.
“Itu Bun, itu!” Serunya. Lagi-lagi disambut senyuman hangat oleh Bunda.
“Assalamualaikum Bun, apa kabar?” sapa Abay salim pada Bunda.
Bunda langsung memeluk Abay erat. “Waalaikumsalam, ya ampun, kami kangen Nak,” ucap Bunda sendu.
Abay melepas pelukannya. “Duh, jadi malu nih dikangenin Bunda,”
Bunda dan Bea hanya terkekeh. Berikutnya bunda memanggil anak-anak untuk berkumpul dan makan makanan yang sudah Abay bawakan. Selama menunggu anak-anak makan, bunda mengajak Abay untuk ke taman belakang
“Gimana sekolahmu Mas?” tanya bunda perhatian. Bunda ini sudah Abay anggap sebagai ibunya sendiri. Dia adalah perempuan yang Abay sayangi setelah mamihnya.
“Ya gitu deh Bun, biasa-biasa aja,” jawab Abay diselingi kekehan.
“Gimana sama kecengan kamu yang pernah diajak ke sini? Udah ke tahap lanjut kah?” tanya bunda iseng.
Abay menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Boro-boro lanjut Bun, udah diambil temen sendiri. Lagian dari awal emang nggak ada celah di hatinya buat Abay,”
Bunda menepuk pundak Abay beberapa kali sebagai tanda menyemangati. “Semalam Bea mimpi lagi,” Bunda tiba-tiba bicara serius. “Mukanya merah, napasnya terengah-engah. Harusnya dia masih sakit. Entah kenapa saat tahu ini hari Minggu dan dia yakin kalau kamu bakal datang, lemasnya ilang gitu aja,” jelas bunda.
Abay manggut-manggut. Ia tersenyum ketika melihat Bea—peri kecilnya datang menghampiri Abay dan Bunda.
“Mas Bay! Bunda! Kok malah ngegosip di sini sih? Anak-anak udah selesai nih makannya,” serunya dengan wajah kesal dan memerah. Bea ini lucu. Mau tertawa, sedih, malu, ataupun ngambek, pasti wajahnya akan merah.
Bunda dan Abay kompak terkekeh. Bunda berpamitan untuk membereskan bekas makan anak-anak. Sedangkan Bea menghampiri Abay.
“Hai peri kecil!” Seru Abay saat Bea sudah duduk di sampingnya.
Bea tersenyum manis. Dan Abay sangat suka senyum itu.
“Mas, semalem Bea mimpiin Mas Bay,”
“Wah? Mimpi apa tuh?” Abay terlihat antusias.
“Bea ada di rumah yang gede banget, di sana makanannya banyak, terus aku juga punya ruangan game. Terus tiba-tiba di taman ada Mas Bay lagi nyiram tanaman. Dan aku lihat ada orangtua di sana. Tapi anehnya mereka nggak nyamperin aku, malah nyamperin Mas Bay,”
Abay mengangkat satu alisnya. Kenapa ciri-ciri rumah yang disebutkan sangat mirip dengan rumahnya?
“Be, di rumah itu ada ruang game?” tanyanya dan Bea mengangguk antusias.
“Di taman juga ada air mancur dan kolam ikan. Terus di belakang rumah ada kolam renang dan ayunan besar,” jelasnya lagi dan kali ini membuat Abay merasa aneh.
“Be, mungkin suatu saat Mas Bay akan ajak kamu,”
“Ke mana?”
“Rumah yang kamu sebutin tadi,”
“Emangnya ada Mas?”
“Hmmm, ada gak ya?” ucap Abay jahil.
Bea manyun dan itu membuat Abay semakin gemas dengannya. Sebenarnya dulu Abay menemukan Bea di jalanan saat ia ingin pergi menenangkan diri dari kejadian itu. Tidak sengaja Abay melihat Bea yang saat itu kelihatan bingung di jalanan. Sepertinya memang kesasar. Lalu Abay menghampirinya.
“Hai,”
“Hai. Aku Abea Diananta. Mas orang baik atau orang jahat? Kalau orang baik aku mau minta tolong, tapi kalo Mas orang jahat aku nggak punya apa-apa.”
Abay melongo. Kenapa anak ini lucu sekali. Dan akhirnya Bea menceritakan kenapa ia ada di sini. Abay pun mengantarkannya ke rumah putih. Rumah yang sampai sekarang selalu Abay kunjungi di waktu selangnya.
“Mas Bay!” tepukan Bea di tangan Abay langsung membuat Abay tersadar. “Kok bengong sih?”
“Eh... maaf Be,”
“Andai aja aku ini adik Mas Bay, pasti aku bahagia punya Mas kaya Mas Bay,” ucap Bea tiba-tiba berandai-andai.
Abay memeluk Bea. “Kamu kan udah jadi adik Mas semenjak pertama kali Mas lihat kamu,”
Bea pun tersenyum manis dipelukan Abay.