“Gimana mau punya pacar, temen laki-laki kamu punya? Jangan bawa-bawa pacar, ibu tau kalau kamu belum pernah pacarankan? Paling juga kalau pacaran sms atau chatting doang, mana mungkin mau diajak ketemuan. Jangankan ketemuan ditelpon aja pasti langsung kamu tutup, terus besoknya langsung putus deh.” Kata ibuku dengan nada meledek sambil tersenyum
“Ibuuuu, jangan ngeledek dong.” Sahutku merajuk dengan wajah cemberut
“Ibu gak ngeledek memang kenyataankan sayang? Senyum dong sayang, jelek ah kalau gak senyum? Iya deh ibu minta maaf, gak ngeledek lagi! Jadi gimana perasaannya sudah tenang? Kalau sudah tenang berarti sudah siap nikah dong.” Kata ibuku dengan tersenyum menggodaku
“Gimana bisa senyum kalau ibu ngeledek aku terus. Tapi siap gak siap ya harus siap karena semua juga sudah dipersiapkan. Mana mungkin dibatalin cuma gara-gara aku kan? Tapi tentang permintaan aku, gimana kalau satu rumah tapi beda kamar? Gak apa-apa kan bu?” kataku memohon penuh harap pada ibuku
“Tunggu ibu pikir dulu sebentar.” Jawab ibuku sambil berpikir dengan wajah yang serius
“Gimana bu? Jangan kelamaan mikirnya bu.” Kataku ingin mendengar jawaban ibuku
“Ya sudah, nanti ibu tanyakan lagi sama ayah dan keluarga yang lain solusi yang terbaik untuk kamu seperti apa. Tapi ibu bakal berusaha agar kamu bisa beda kamar sama suami kamu nanti.” Jawab ibuku meyakinkanku sambil mengusap rambutku
“Harus bu, karena ibu sudah janji sama aku. Bu aku belum siap sekamar sama dia.” Kataku memohon dengan wajah memelas
“Iya ibu usahain sayang. Gimana kalau sekarang kita keluar agar acaranya bisa dimulai. Kasihan yang lain sudah menunggu lama.” Kata ibuku mengajak aku keluar kamar
“Iya bu.” Jawabku dengan setengah hati
“Semangat dong sayang jangan lesu gini.” Sahut ibuku dengan tersenyum sambil berjalan menuju tempat acara pernikahan yang berlangsung di halaman rumah kami
Saat menuju tempat acara pernikahan, aku tidak bisa menyembunyikan wajah cemberutku dengan perasaan campur aduk antara gugup dan sedikit kesal. Sesampainya di tempat acara, semua orang melihat kearahku. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku dan hanya menatap lantai dengan perasaan bersalah karena membuat semua orang menunggu. Ibuku pun pergi meninggalkan aku seorang diri menuju tempat duduk yang sudah disediakan untuk beliau. Aku bingung harus kemana sehingga aku hanya berdiri.
Samar-samar aku mendengar langkah kaki menuju kearahku dengan perasaan takut dan juga gugup, aku pun melihat seseorang berdiri didepanku. Tetapi aku hanya melihat tubuh bagian bawahnya, masih belum tahu siapa orang yang berdiri didepanku. Lalu ia pun memanggil namaku
“Miranda.” Ia memanggil namaku dengan suara yang berat dan sedikit serak
Aku pun mengangkat kepalaku untuk melihat siapa yang memanggil namaku tanpa menyahutnya. Ternyata ia adalah laki-laki yang akan menjadi suamiku.
“Kenapa dia yang ada dihadapanku? Apa dia menjemputku?” kataku dalam hati bertanya-tanya
Lalu ia pun mengulurkan tangannya tanpa mengatakan apapun hanya menganggukkan kepalanya. Aku dengan ragu meletakkan tanganku ketangannya lalu ia pun menggenggam tanganku. Orang-orang yang ada di tempat acara menggoda kami dengan menyoraki. Aku sangat malu saat ia menggenggam tanganku dan menuntunku menuju altar pernikahan. Sesampainya dialtar, acarapun segera dimulai. Kamipun mengucapkan janji suci pernikahan dan sekarang kami sudah resmi sebagai suami istri.