Loading...
Logo TinLit
Read Story - LANGIT
MENU
About Us  

BAB 6

***

"Tidak ada yang lebih membahagiakan selain harapan yang akan menjadi nyata. Setidaknya... itulah menurut Bulan.

***

Bulan mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk ke dalam pupil mata. Buram, itulah pertama kali yang ia rasakan. Ia menyerongkan kepalanya ke samping, tampak sinar mentari pagi memasuki kamarnya lewat jendela yang gordennya sudah dibuka.

Bulan kembali menghadapkan kepalanya lurus ke langit-langit. Kemudian, meneliti ruangan yang ia tempati, ternyata ia di kamarnya sendiri.

Bulan mencoba mengingat kejadian yang menimpanya semalam.

Teriakan. Vas bunga yang terlempar. Darah.

Belum lagi pertemuannya dengan mantan kekasih Langit yang terkesan sangat tidak baik. Semuanya menjadi satu dalam sebuah memori. 

Ia mencoba bangun dari rebahannya, namun kepalanya langsung berdenyut sakit dan Bulan memutuskan untuk tetap berbaring sampai sakit kepalanya mereda nanti.

Bulan mengangkat kedua tangannya ke depan wajahnya agar bisa melihat seperti apa bentuknya sekarang.  Telapak hingga pergelangan tangannya penuh perban dan ada sedikit bercak darah di permukaan perban itu. Bulan meringis melihatnya.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, tampak wanita paruh baya dengan serbet yang selalu bertengger di bahunya, siapa lagi kalau bukan Bi Sumi.

Bi Sumi tersenyum hangat. "Non, sudah bangun ternyata. Baru aja Bibi mau bangunin."

Bulan tersenyum tipis. "Jam berapa sekarang?"

"Jam tujuh."

Bulan mengernyit seolah mengingat sesuatu, "Loh, berarti aku gak sekolah, dong. Kok Bibi gak bangunin, sih?"

Bi Sumi mendekat dan duduk di tepi kasur berukuran queen size dan menaruh nampan berisi bubur ayam serta segelas susu di nakas.

"Kata dokter, darah yang keluar dari luka Non Bulan cukup banyak. Bibi takut kalo Non Bulan sekolah, Non Bulan malah pingsan di sana karna gejala kurang darah."

Bulan mengernyit tak suka. "Tapi aku gak selemah itu, Bi." 

Bi Sumi masih tersenyum seolah kalimat protes dari majikan mudanya itu bukan apa-apa. "Bi Sumi tau Non Bulan bukan orang yang lemah, tau banget malah. Tapi, Bi Sumi gak mau Non Bulan tambah sakit kalo di paksain sekolah."

Bi Sumi mengelus-elus rambut Bulan dengan sayang, Bulan sempat memejamkan matanya menikmati sentuhan hangat yang menenangkan batinnya.

"Mendingan Non Bulan makan bubur ayam buatan Bibi terus minum susunya. Biar Non Bulan tambah sehat dan bisa sekolah lagi." Lanjut Bi Sumi, ia melepaskan elusan di rambut Bulan dan berdiri untuk meninggalkan Bulan.

Saat Bi Sumi meraih knop pintu, Buln memanggilnya."Bi,"

Bi Sumi berbalik menatap majikannya itu.

"Ibu sama Ayah ada jengukin aku?" Tanya Bulan. Matanya yang sayu menatap Bi Sumi denganpenuh harap.

Bi Sumi merasa semakin kasihan dengan gadis baik di hadapannya ini. Bi Sumi tersenyum prihatin, kemudian menggeleng pelan. Barulah wanita itu melangkah keluar kamar Bulan dan tak lupa menutup pintu.

Sepeninggalnya, Bulan menghela napas berat. Ia menatap tangannya dengan miris dan merasakan air mata jatuh menuruni pipinya. Ia menyerongkan kepalanya menatap kosong ke arah luar jendela.

"Apa gue harus mati dulu, biar ayah sama ibu perhatian sama gue?" Gumamnya pelan dan lebih kepada diri sendiri.

***

Desak-desakkan para murid yan berebut ingin membeli makanan dan minuman membuat kantin semakin ramai. Ditambah kegaduhan yang disebabkan oleh empat serangkai--ah, lebih tepatnya tiga diantaranya. Siapa lagi kalau bukan Angkasa, Dami, dan Miko. Sedangkan Langit, hanya dia yang tak melakukan apa-apa.

Mereka duduk di bagian tengah kantin, kata Miko supaya lebih asik 'konsernya'.

Dami dan Miko berjoget dan bernyanyi ria di atas kursi serta Angkasa duduk seraya memukul-mukul meja sebagai gendangnya. Di sampingnya, Langit menatap mi ayam--hanya menatapnya tanpa memakan. Langit memandang mi ayam itu dengan tatapan kosong dan tak memperdulikan keributan di sekitarnya.

"Bang Miko pilih yang mana? Perawan atau janda?" Dami bernyanyi dengan botol kecap di tangan sebagai mikropon. "Perawan memang menawan, janda lebih menggoda~"

"Asek asek Joss!" Seru Miko lalu tertawa nyaring. "Giliran gue!"

"Pacarku memang dekat, lima langkah dari rumah~" Kini giliran Miko yang bernyanyi dengan suaranya yang pas-pasan.

"Asek asek joss!"

"Tak perlu kirim surat, sms juga tak usah~"

Angkasa berdiri dan menyambung liriknya, "Kalau rindu bertemu, tinggal nongol depan pintu. Tangan tinggal melambai sambil bilang Halo Sayang~"

"Tu, wa, ga, pat!" Hitung Dami.

Angkasa, Dami, dan Miko bernyanyi bersama seraya berjoget ria diikuti penghuni kantin lainnya. Suara mereka membaur menjadi satu. "Duh aduh memang asik punya pacar tetangga, biaya apel pun irit, tidak usah buang duit~"

Dan lirik selanjutnya Langit tak peduli lagi, ia tak mendengarkan. Langit menyisihkan mangkok berisi mi ayam yang teraduk sia-sia ke samping.    Ia berdiri dan pergi meinggalkan sahabat-sahabatnya yang sedang kumat.

Keadaan kantin yang cukup sesak membuat Langit harus berusaha agar bisa keluar dari keramaian tersebut. Langit bisa bernapas lega ketika ia sudah keluar dari kantin.

Cowok itu berjalan tak tentu arah karena pikirannya melayang entah kemana.

Ia seperti patung berjalan, wajah yang datar dengan bibir yang terkatup rapat. Dan entah bagaimana kakinya membawanya ke arah kelas Bulan--Kelas XI IPA 1.

Langit baru ingat jika hari ini ia belum ada melihat batang hidung gadis itu. Seketika rasa bersalah tentang kejadian semalam kembali melanda. Ia menghela napas berat. Langit berjalan sampai depan pintu kelasnya Bulan dan menengok ke dalamnya. 

Gadis itu tak terlihat sama sekali.

Kemana dia? Batin Langit seraya mengedarkan matanya ke penjuru kelas.

Langit merogoh ponselnya dan mulai mencari kontak, tiba-tiba ia ingat sesuatu...

"Gue kan gak punya nomor hape Bulan." Gumamnya.

Langit bingung, ia tak tau bagaimana menanyakan dimana Bulan jika ia saja tak punya kontak cewek itu.

Langit bersandar di dinding samping pintu kelasnya Bulan sambil memikirkan sesuatu dimana kira-kira Bulan berada. Langit mencari Bulan tidak ada niatan lain selain meminta maaf atas kejadian semalam, ia tidak bisa seperti ini terus dan dihantui rasa bersalah yang semakin dalam. Bahkan, tadi malam tidurnya tak nyenyak karena memikirkan hal ini.

Tak lama kemudian matanya menangkap seorang cowok berkacamata yang tempo hari ia tanyai dimana Bulan, dan sekarang ia bertemu lagi. Langit menegakkan punggungnya dan memanggil cowok itu. "Woi!"

Cowok berkacamata yang ingin memasuki kelasnya itu terhenti langkahnya dan menengok ke samping, lantas ia mendadak kaku.

"Ke--kenapa?" Tanyanya takut-takut sambil memilin jari jemarinya.

Ah. Tentu saja cowok itu ketakutan, Langit kan memanggilnya seperti mengajak orang berkelahi. 

Langit menghampiri cowok itu dan otomatis cowok berkacamata itu mundur selangkah.

"Lo punya nomor hape Bulan?" Tanya Langit to the point.

"En--nggak punya."

"Cariin sekarang."

"K--ke--kemana?" Tanyanya terbata-bata. Langit memutar bola matanya malas, ia menatap dingin cowok itu.

"I--iya, iya. Gue cariin sekarang." Lalu, ngacir masuk ke dalam kelas untuk mencari nomor Bulan seperti yang Langit inginkan.

Sementara Langit, ia menunggu seraya menyandarkan punggungnya di tempat tadi---dinding samping pintu kelasnya Bulan.

Tidak berlangsung lama, cowok berkacamata itu datang ke hadapan Langit seraya membawa secarik kertas yang Langit yakini adalah nomor hape Bulan.

"I--ini nomornya. Satu-satunya yang punya nomor Bulan ini c--cuma--"

"Gue gak peduli." Langit mengambil kertas berisi nomor Bulan yang ada di tangan cowok itu. Lalu, pergi berlalu dari hadapannya tapa sepatah kata.

Baru tiga langkah berjalan, ia berhenti dan berbalik. Ia bertanya pada cowok berkacamata itu yang mana masih bergeming di depan pintu kelas.

"Heh?" Panggil Langit pada cowok itu.

Yang dipanggil menoleh. Memandang si pemanggil dengan takut. "Y--ya?"

"Lo gagap?"

"E--enggak." Jawabnya.

"Terus?"

"Gugup."

Langit mendengus, ia langsung melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

***

Bel tanda pulang berbunyi seantero sekolah dan merupakan surga dunia bagi seluruh murid. Gerombolan orang keluar dari kelasnya, berdesak-desakkan seperti kumpulan lebah yang keluar dari sarangnya. Di antara kerumunan itu termasuk Langit.

Cowok itu tampak berjalan seorang diri dan kakinya membawanya ke kelasnya Bulan. Cuma ingin melihat sekali lagi adakah Bulan di antara kerumunan yang keluar dari kelas itu.

Langit menunggu sekitar lima menit, jumlah murid yang keluar dari kelas itu semakin sedikit. Bulan tidak ada di antara mereka dan Langit yakin cewek itu tidak hadir sekolah hari ini. 

Saat Langit ingin berjalan meninggalkan kelasnya Bulan, telinganya mendengar seorang cowok menyebut-nyebut nama Bulan. Otomatis langkah Langit terhenti.

"Eh, Lo tau rumah Bulan, nggak?" Tanya cowok itu di ambang pintu menanyai teman sekelasnya yang baru saja keluar.

"Nggak tau." Jawab teman sekelasnya. Cowok itu menghela napas berat.

Langit masih mengamati gerakan cowok bermata sipit itu seraya bersandar di tiang depan kelas. Supaya tak terlihat mengamati, Langit memasang earphone di telinganya walau tidak ada lagu yang ia putar dari ponsel.

Cowok yang menjadi pengamatan Langit itu terus menanyai teman sekelasnya yang juga teman sekelas Bulan, namun ia tak kunjung mendapatkan seseorang yang tau alamat Bulan.

Langit sempat berpikir jika Bulan adalah orang yang tertutup di kelasnya. Padahal sikapnya selalu ceria di depan Langit. Aneh.

Kemudian, Langit kembali mengamati pemandangan di depannya itu seraya menghentakkan kaki pelan seolah menikmati irama lagu yang ia putar.

"Kinar, Kinar!" Panggil cowok itu menghentikan langkah gadis bernama Kinar.

"Eh, Gibran! Ada apa, ya?" Tanyanya pada cowok  dengan mata sipit yang ternyata bernama Gibran.

"Lo tau alamat Bulan?" 

"Emang kenapa?" Tanya Kinar balik.

"Bu Rina nitipin pesan buat ngasih tau Bulan kalau dia diikutkan olimpiade matematika bulan depan. Tapi... kan tadi Bulan gak hadir, jadi gue perlu ngasih tau dia." Jelas Gibran. "Kalau gak ada alamat, kontaknya aja, deh. Biar gue bisa ngasih tau dia."

"Oh..." Kinar ber-oh ria.

Gibran mengernyitkan dahinya. "Lo tau nggak?" Desaknya.

Kinar tersenyum simpul. "Gak."

Mata sipit Gibran melebar, setelah ia menjelaskan pada gadis di depannya ini panjang lebar. Ternyata... dia tidak tahu juga. Astatang!

"Lo gimana sih? Gue kira lo tau!" 

Kinar mengerucutkan bibirnya. "Kok malah lo yang sewot sih!" Balas Kinar. "Hellow...! yang ketua kelas kan lo, harusnya lo tau alamat rumah teman sekelas lo minimal kontaknya! Huh!" 

Kinar memalingkan wajahnya sebal dan berjalan dengan menabrak bahu Gibran, lalu meninggalkan cowok itu begitu saja.

Di sinilah Langit beraksi, ia menghampiri Gibran yang sedang kebingungan seraya mengantongi earphone yang sudah ia lepas.

"Lo cari alamat Bulan?" Tanya Langit dari belakang Gibran yang tengah menatap kepergian Kinar.

Gibran berbalik dan sedikit tersentak ketika tau yang bertanya adalah Langit. "Iya. Lo tau?"

Langit bergumam mengiyakan. Tampak Gibran menghela napas lega.

"Kalo gitu Lo mau gak sampein ke Bulan kalo--"

"Gue mau."

Gibran mengangguk-angguk kaku. "O--oke. Thanks kalo gitu."  Lalu, berbalik meninggalkan Langit.

Langit diam dalam pikirannya. Ini kesempatannya untuk bisa ke rumah Bulan, ini lah saatnya ia meminta maaf pada cewek yang berstatus pacarnya sejak kemarin.

Langit pun berjalan menuju parkiran meninggalkan lorong kelas-kelas yang mulai sepi penghuni.

***

Langit memasuki pekarangan rumah Bulan dengan mobilnya. Ia turun dari mobilnya dan langsung menuju pintu rumah Bulan untuk mengetuk.

Langit menunggu dengan sabar sampai ia mendengar suara samar dari balik dinding. Tak lama kemudian, munculah Bi Sumi membukakan pintu. Wanita paruh baya itu tersenyum ramah. "Eh, Den Langit, kan?"

Langit tersenyum tipis dan mengangguk. 

"Ayo, masuk, masuk." Bi Sumi mempersilahkan Langit masuk ke dalam rumah dan ingin pergi ke dapur untuk membuatkan minuman untuk Langit.

"Bulannya mana, Bi?" Tanya Langit cepat sebelum Bi Sumi benar-benar meninggalkannya.

 Bi Sumi menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Langit dengan senyum yang tak bisa diartikan. "Ada di kamarnya. Di lantai dua."

"Saya boleh--"

"Boleh, Den." Potong Bi Sumi seraya tersenyum ramah. "Nanti Bi Sumi bawain minumnya ke atas."

Langit mengangguk tipis, ia pun naik ke lantai dua dan mencari kamar Bulan. 

Pintu kamar berwarna putih di sebelah kanannya seolah memiliki magnet untuk dia menatap ke sana. Ia merasa pintu putih itu adalah pintu kamar Bulan.

Langit pun tanpa ragu mengetuk tiga kali. Terdapat sahutan samar yang menyuruhnya masuk. Langit semakin yakin karena suara samar itu adalah suara Bulan. Langit meraih knop pintu kamar itu dan membukanya sedikit.

Ada rasa ragu ketika ia ingin masuk ke kamar itu, ia merasa jantungnya seakan memberontak di tempatnya dan Langit tidak tau kenapa. 

Ia menyembulkan kepalanya sedikit, tampak Bulan bergelung dengan selimut dengan posisi membelakanginya. Langit mngernyitkan keningnya.

Dia sakit? Batin Langit.

Langit membuat dirinya masuk seutuhnya di kamar Bulan yang bernuansa putih. Tidak banyak perabotan di dalam kamar Bulan yang berukuran 6 × 6 meter itu. Hanya ada satu kasur berukuran queen size, satu meja rias,  dua nakas  di kedua sisi kasur yang salah satunya terdapat lampu tidur di atasnya, satu meja belajar, dan satu lemari pakaian, serta satu lemari setinggi pinggang Langit berwarna hitam yang entah apa  isinya. 

Langit berjalan menghampiri Bulan, gadis itu tetap membelakanginya. Langit tahu Bulan tidak menyadari kehadirannya. Langit duduk di tepi kasur.

Merasakan kasur yang bergerak, Bulan berbalik seraya berkata, "Bi Sumi bawain aku apa la--Eh? Langit?"

Bulan cukup kaget dengan kehadiran Langit yang tiba-tiba di kamarnya, Bulan langsung mendudukkan dirinya dan menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. Bulan masih tak percaya ada Langit di sini, tepat di hadapannya, menatapnya datar seperti biasanya.

"L--Lo kenapa di sini?" Tanya Bulan terbata-bata. Ia masih tak menyangka akan kehadiran cowok itu.

Seolah tidak mendengarkan pertanyaan Bulan, Langit malah bertanya balik."Lo kenapa gak sekolah?" 

"Gue males." Jawab Bulan cepat.

Alis Langit naik sebelah seakan-akan jawaban Bulan tidak masuk akal. Bagaimana bisa cewek serajin Bulan malas sekolah?

Bulan mengalihkan pandangannya ke arah lain, tatapan Langit yang seperti itu membuatnya gugup. Ia semakin menyembunyikan tangannya di balik selimut yang menutupi setengah tubuhnya. "Lo... belum dibuatin minum sama Bi Sumi, kan? Biar gue pang--"

"Gak perlu." Bulan menatap Langit, lalu mengangguk kaku.

"Bu Rina nitipin pesan sama cowok yang namanya Gibran--"

"Pesan apa?"

"Lo diikutin olimpiade matematika bulan depan." Jawab Langit.

Senyum Bulan seketika merekah, seolah hal itu adalah hal yang sangat membanggakan, atau mungkin... memang membanggakan?

Pokoknya Bulan sangat senang, karena dengan begini ia bisa membuat kedua orang tuanya bangga dengan prestasi yang dicapainya, walaupun waktu lalu kedua orang tuanya malah mengacuhkannya ketika ia mendapat juara 2. Mungkin... jika Bulan bisa mendapatkan juara 1 orang tuanya akan bahagia dan bangga punya anak pintar seperti dia.

Bulan terus tersenyum sendiri sampai-sampai ia tak mendengarkan Langit yang memanggilnya beberapa kali.

"Bulan!" Panggil Langit lebih keras.

"Eh! Anu.. apa?" Tanya Bulan bingung.

Langit menatap Bulan datar seraya memijit pangkal hidungnya. Ia bertanya dengan nada dingin, "Lo denger gue ngomong gak, sih?"

Bulan mengernyit. "Ngomong apaan?"

Langit menghela napas berat. "Gue mau minta maaf sama lo." Ucapnya cepat. 

Gengsi Langit itu tinggi sekali, seperti namanya selangit. Untuk mengucapkan maaf pun rasanya susah, maka ketika ia mengucapkan maaf pada Bulan pun harus mengumpulkan niat dahulu.

Bulan menatap Langit dengan tatapan yang tak bisa dibaca. Karena mood nya sedang baik, maka Bulan mengangguk dengan senyuman lebar. "Iya. Gue maafin." Ucapnya pelan.

Lantas Langit tersenyum tipis seraya menggumamkan terima kasih. Tak lama kemudian, Bi Sumi masuk ke kamar membawakan dua minuman untuk dua insan di kamar ini.

"Ini Non, Den, diminum." Ucap Bi Sumi seraya tersenyum ramah. Lalu, wanita itu berbalik dan melangkah keluar dari kamar Bulan meninggalkan dua orang itu.

"Kemarin... jujur, gue gak maksud--"

"Udahlah, gak apa-apa. Lagian yang berlalu biarlah berlalu." Bulan tersenyum lagi.

Ia mengalihkan pandangannya keluar jendela yang menampilkan burung-burung berterbangan di angkasa dengan awan putih bergumpal, serta matahari yang tidak terlalu terik. Tuhan seolah menunjukkan kebahagian Bulan lewat cuaca yang cerah hari ini, seolah alam berpihak padanya dengan harapan bahagia yang akan menjadi nyata.

Bulan sangat-sangat bahagia.

***

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Tataniiiiii

    Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu

    Comment on chapter EPILOG
  • dreamon31

    Hai...aku suka sama nama Langit. Aku juga punya judul cerita yang sama - LANGIT - , mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Lavioster
3863      1079     3     
Fantasy
Semua kata dalam cerita dongeng pengiring tidurmu menjadi sebuah masa depan
Manusia
1905      835     5     
Romance
Manu bagaikan martabak super spesial, tampan,tinggi, putih, menawan, pintar, dan point yang paling penting adalah kaya. Manu adalah seorang penakluk hati perempuan, ia adalah seorang player. tak ada perempuan yang tak luluh dengan sikap nya yang manis, rupa yang menawan, terutama pada dompetnya yang teramat tebal. Konon berbagai macam perempuan telah di taklukan olehnya. Namun hubungannya tak ...
Balada Cinta Balado
15199      3034     19     
Humor
"Hidup atau dilahirkan memang bukan pilihan kita, tapi dalam HIDUP KITA HARUS MEMILIKI PILIHAN". Mungkin itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kehidupanku sekarang ini. Kehidupan yang sangat Liar Binasa menyedihkan. Aku sering dijadikan bahan bertema kehidupan oleh teman dan juga keluargaku sendiri. Aku tidak pernah menyangka rencana kehidupanku yang sudah disiapkan dengan ...
Senja Kedua
3456      1310     2     
Romance
Seperti senja, kau hanya mampu dinikmati dari jauh. Disimpan di dalam roll kamera dan diabadikan di dalam bingkai merah tua. Namun, saat aku memiliki kesempatan kedua untuk memiliki senja itu, apakah aku akan tetap hanya menimatinya dari jauh atau harus kurengkuh?
THE HISTORY OF PIPERALES
1982      749     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Melihat Mimpi Awan Biru
3734      1248     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Love Escape
9669      1861     3     
Romance
Konflik seorang wanita berstatus janda dengan keluarga dan masa lalunya. Masih adakah harapan untuk ia mengejar mimpi dan masa depannya?
SERENA (Terbit)
17554      3143     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
REMEMBER
4379      1319     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
Tanda Tanya
404      288     3     
Humor
Keanehan pada diri Kak Azka menimbulkan tanda tanya pada benak Dira. Namun tanda tanya pada wajah Dira lah yang menimbulkan keanehan pada sikap Kak Azka. Sebuah kisah tentang kebingungan antara kakak beradik berwajah mirip.