BAB 5
***
"Aku ada karena diperlukan, bukan diharapkan kehadiran."
***
Deretan buku-buku bermacam ukuran ketebalan menjadi latar tempat di mana seseorang tengah menenggelamkan dirinya dalam rangkaian aksara yang terpadu jadi satu.
Seorang cowok dengan rahang tegas serta mata yang selalu menatap orang lain dengan tajam itu sedang membaca sebuah buku untuk bahan presentasi di kelasnya. Ia terlalu fokus sampai tak memperhatikan seseorang yang tengah memandanginya dengan seksama seraya tersenyum konyol.
"Bukunya seru, ya, sampai yang di depan gak terperhatikan." Celetuk seseorang.
Langit mendongak, ia melepas kacamata bacanya seraya mengernyit menatap cewek yang selalu mengurai rambutnya itu kini mengucir rambutnya menjadi kucir kuda.
"Sejak kapan Lo di situ?"
Bulan tersenyum, senyum yang sempat hilang kemarin kini kembali lagi. "Sejak tadi." Ia masih tak mengalihkan pandangannya dari Langit.
Langit kembali mencoba fokus ke bukunya, namun cewek itu terus memandanginya membuat ia merasa tulisan-tulisan di buku menjadi satu dan sulit untuk dibaca. Tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang coba ia baca, Langit bertanya, "Kemarin Lo kenapa, sih?"
Tanpa sepengatahuan Langit, raut muka Bulan sempat berubah menjadi pilu namun dengan cepat ia mengubah menjadi seperti biasanya, seperti tak terjadi apa-apa dan selalu ceria.
"Gak apa-apa, kok." Bulan terkekeh kecil. "Biasa, problematika cewek."
Langit mendongak cepat, lalu mengerti apa yang dimaksud ia pun mengangguk pelan.
"Lo gak ada keperluan sama gue, kan?" Tanya Langit seraya membuka lembar baru di buku yang ia baca."Mending lo pergi aja. Gue terganggu dengan kehadiran lo di sini."
Bulan tersenyum kecil. "Tapi gue gak terganggu dengan kehadiran lo dan gue gak mau pergi."
"Gue gak peduli." Datar sekali, seperti papan triplek baru.
Bulan diam, ia tak mengucap apa-apa. Memperhatikan wajah Langit yang menurutnya terlewat tampan dengan mata yang tak berkedip. Menopang dagunya dengan kedua tangan yang bertumpu pada siku seraya tersenyum sendiri.
"Jangan liatin gue kayak gitu." Kata Langit dingin tanpa menatap Bulan.
Bulan semakin tersenyum lebar, sikap Langit yang seperti itu tak mempengaruhinya sama sekali. Ia malah bertanya yang seharusnya tak ia tanyakan pada Langit.
"Cewek yang di poto semalem itu siapa? Mantan lo, ya?"
Langit mendongak cepat, menatap Bulan tepat dimatanya yang berbulu mata lentik dan indah. "Lo gak perlu tau."
"Sebagai orang yang selalu mengejar lo serta mengagumi lo selama kurang lebih setahun ini, gue berhak tau siapa cewek itu." Ucap Bulan dengan santai.
Langit menaikkan alisnya sebelah. Matanya kemudian menyipit menatap Bulan dengan tajam memaksa memasuki retina cewek itu. Ia memajukan wajahnya hingga bisa menghunus mata Bulan seraya berbisik pelan. "Kalo Lo mau tau, jadi pacar gue sekarang."
Setelah itu ia pergi meninggalkan Bulan dan membawa beberapa buku untuk bahan presentasi.
Sedangkan Bulan, ia tertegun tak percaya. Detak jantungnya berpacu cepat dan perutnya terasa seolah ada kupu-kupu yang berterbangan. Senyumnya merekah bagai bunga-bunga di musim semi.
Bulan bahagia.
Secepat itu. Batin Bulan.
***
Bulan mengunyah makanan ringan yang ada di toples seraya menonton televisi yang sebenarnya menayangkan acara membosankan. Namun lebih membosankan lagi jika ia hanya mengurung diri di kamar sendirian.
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu, sontak Bulan menegakkan punggungnya. Ia mengernyit menatap pintu seraya berpikir siapa yang kira-kira datang ke rumahnya, setahunya kedua orang tuanya akan pulang ke rumah pada malam hari dan sekarang masih sore. Bahkan, burung-burung masih berkicauan dan matahari masih menampakkan dirinya sebelum sang malam menjemput.
Bulan bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu utama rumahnya. Saat ia membuka pintu, tampak siluet seseorang membelakanginya.
"Siapa, ya?"
Orang itu berbalik dan betapa terkejutnya Bulan ketika tahu orang itu adalah Langit. Ia berdiri mematung tak percaya, setahunya ia tak pernah memberikan alamatnya pada cowok di depannya ini dan ia sama sekali tak menyangka Langit akan datang ke rumahnya sore ini.
"Lo siap-siap, cepetan." Ucap Langit datar namun matanya tetap tajam.
Tanpa sadar Bulan mengangguk namun tetap bergeming di tempat. Ia masih menatap dengan cermat kesempurnaan yang terlukis di hadapannya ini. Ia tidak bisa membayangkan hal ini akan terjadi, baru melihatnya berdiri di ambang pintu dengan pakaian kasual santai saja sudah membuat hatinya berbunga-bunga, apalagi jika melihatnya setiap hari dan menjalani hidup bersama, pasti lebih membahagiakan.
"Bulan?"
"Eh?" Cewek itu langsung tersadar dari lamunan konyolnya. Kemudian, menampilkan senyum konyol. "Masuk dulu, Lang." Ia terkekeh dan mempersilahkan Langit masuk ke rumahnya.
Kemudian, ia berlari kecil menuju kamarnya.
***
Hal pertama yang dapat Langit rasakan saat menginjakkan kakinya di rumah Bulan adalah sepi. Rumah Bulan terasa suram dan sunyi seperti tidak ada tanda kehidupan kecuali Bulan sendiri dan dia. Poto keluarga yang biasanya terpajang di dinding tidak ada di rumah ini. Langit duduk di sofa ruang tamu seraya memainkan ponselnya untuk mengusir rasa bosan yang melanda.
Tiba-tiba saja seseorang menepuk pundak Langit, sontak Langit berjengit dan kembali menetralkan wajahnya ketika tahu yang menepuk pundaknya adalah seorang wanita paruh baya dengan serbet di bahunya. "Den, mau minum apa?" Tanya wanita itu yang Langit prediksikan merupakan pembantu rumah tangga keluarga Bulan. "Biar Bi Sumi bikinkan."
Langit tersenyum kikuk, ia masih mencoba menetralisir detak jantung yang masih berdebar kencang akibat terkejut tadi. "Nggak usah, Bi. Saya nunggu Bulan, mungkin sebentar lagi."
Bi Sumi mengangguk kemudian tersenyum penuh arti. "Aden temennya Non Bulan, ya?"
Langit mengangguk.
"Siapa nama Aden?"
"Langit, Bi." Bi Sumi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bibi harap Aden bisa temenan sama Non Bulan dengan baik-baik. Jagain Non Bulan dengan benar. Kasian, Non Bulan butuh teman bercerita, Non Bulan kesepian padahal dia anak yang baik. Kadang... Bibi sedih liat keadaannya." Jelas Bi Sumi yang membuat Langit mengerutkan keningnya heran.
"Emang kenapa sama Bulan, Bi?"
Belum sempat Bi Sumi menjawab, suara Bulan datang dari arah tangga. Bi Sumi kembali tersenyum penuh arti pada Langit dan pergi meninggalkan cowok itu dengan tanda tanya di kepalanya.
"Langit, gue udah siap nih!" Seru Bulan seraya menuruni anak tangga dengan senyuman manisnya. Langit mengangguk kemudian menatap arah pergi Bi Sumi seraya memikirkan maksud dari kalimat pembantu rumah tangga itu.
***
"Kita ke sini? Ngapain?" Tanya Bulan seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh kafe yang terlihat asing.
Bulan belum pernah ke sini sama sekali, maklumlah dia bukan orang yang hits dan eksis dengan jalan-jalan bersama teman-teman se-geng. Tunggu! Bukannya Bulan memang tak mempunyai teman se-geng?
"Katanya mau ke taman? Apa ke sini dulu baru ke taman?" Tanya Bulan dengan raut bingung.
"Lo kan mau tau siapa cewek yang ada di poto itu, sekarang kita mau ketemuan sama dia." Ucap Langit dengan santai.
Bulan mengernyitkan keningnya sebentar, lalu menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
Mereka berdua mencari tempat duduk yang nyaman dan memilih untuk duduk di pojokan saja. Mereka berdua memesan minuman untuk menjadi teman menunggu.
Tidak ada pembicaraan yang terjadi. Langit sibuk dengan ponselnya dan Bulan yang terus menerus menghela napas bosan seraya mengaduk-aduk minuma yang tadi dipesannya.
Bulan yang posisinya bisa melihat ke arah pintu menyipitkan mata seolah mengenal seorang cewek dengan rambut panjang tergerai menghampiri meja mereka. "Langit, apa dia orangnya?" Gumam Bulan tanpa mengalihkan pandangannya dari cewek yang jaraknya semakin dekat.
Langit menatap Bulan sebentar, lalu berbalik melihat ke arah tatapan Bulan. Jantungnya berdetak lebih cepat karena hari ini cewek itu terlihat sangat cantik dengan balutan floral dress ditambah lagi dia sendirian tanpa pacarnya.
"Langit?" Sapa cewek itu yang tak lain adalah Keisha.
Langit hanya menatap datar Keisha, ia mengisyaratkan mantan kekasihnya itu untuk duduk. Mereka duduk dalam diam setelah sekian menit sampai suara merdu Keisha menceletuk. "Hei, kok cuma diem-dieman? Apa gak ada yang mau bicara di sini?" Keisha terkekeh kecil. Padahal tidak ada yang lucu.
Bulan memandangi Keisha dari atas sampai bawah, sempurna. Gadis itu seperti bidadari yang nyasar ke kota, berbeda dengannya yang cuma setara dengan buntelan cucian baju.
Bulan dan Keisha diibaratkan seperti bumi dan langit, jauh sekali hingga Bulan tidak bisa menyamai level cewek di depannya ini. Pantas saja Langit sempat jatuh cinta pada Keisha, atau mungkin... sampai sekarang?
Bulan berdeham, ia tersenyum ramah pada Keisha yang di respon dengan senyuman sangat manis.
"Kenalin, gue Bulan." Katanya seraya mengulurkan tangan kanannya bermaksud mengajak bersalaman.
"Oh, ini yang namanya Bulan." Ucap Keisha tanpa menyambut uluran tangan Bulan. Ia menatap Langit dengan alis naik sebelah, lalu menatap Bukan lagi. "Gue Keisha."
"Cantik, ya?" Tanyanya pada Langit dengan nada yang di tekan. Dan detik itu juga Bulan merasa ia mulai membenci Keisha, dari cara berbicaranya cewek itu terlihat merendahkan orang lain.
Langit?
Dia bersandar di kursinya seraya mengalihkan pandangannya kemanapun. Bulan menatap cowok itu dengan raut yang tak suka tapi ia cepat mengubah ekspresinya menjadi senyuman yang sangat manis, ia berlakon seolah semuanya bukan masalah baginya.
Bulan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Walau dalam hatinya ia bertanya-tanya maksud Langit menjadikannya pacar apa? Dan maksud Langit mempertemukannya dengan Keisha itu apa?
Apa Langit ingin menunjukkan pada Bulan jika ia tak pantas untuk mengejar cowok itu? Karena levelnya jauh di bawah?
"Selamat, ya! Bisa pacaran sama cowok kayak Langit itu beruntung, loh." Ucap Keisha entah apa maksudnya.
"Ternyata selera lo makin rendah aja." Ucap cewek iblis berwajah malaikat itu pada Langit.
Bulan benar-benar tak menyangka mantan kekasih Langit itu semakin merendahkannya. Bahkan pengucapannya pun sangat santai untuk ukuran penghinaan.
Langit yang sedari tadi mengalihkan pandangannya dari dua cewek di hadapannya ini langsung menatap Keisha dengan raut tak suka. "Apa maksud lo?"
Keisha terkekeh seraya menyilangkan kakinya dengan anggun. "Bulan itu cantik, loh. Tapi cantikan mana antara gue sama dia?" Tanya Keisha seraya menaikkan sebelah alisnya serta menampilkan senyum miring meremehkan.
"Gue sih maklumin, aja, Lo bisa move on kalo pacar Lo sekarang kayak model di majalah-majalah." Ucap Keisha menohok.
Bibir Bulan bergetar mendengarnya, yang ia lakukan hanya menunduk sedalam mungkin. Menahan amarah dengan sebisa mungkin.
"Tapi kalo modelan kayak gini..."
Keisha menatap Bulan secara seksama dan teliti lalu tersenyum miring. "Gue gak yakin. Apa lo bawa dia ke sini cuma mau nunjukkin kalo lo bisa move on dari gue?"
Langit hanya diam tanpa menjawab, namun matanya semakin menajam.
"Langit, Langit. Kalo Lo mau bohongin gue perihal Lo udah move on itu, bawanya yang sesuai, bukan modelan kayak gini." Keisha terkekeh sinis. "Kan, gue gak bakal percaya."
Rahang Langit mengeras, ia tidak tahan lagi dengan segala ucapan Keisha. Apalagi melihat Bulan yang duduk dengan gelisah dan bibirnya tampak bergetar. Langit menatap Keisha dengan sangat tajam, menghunus retina indah cewek itu.
"Keisha, dengar!" Desis Langit dengan dingin. "Lo boleh hina gue sepuasnya, tapi lo gak bisa hina Bulan. Ngerti lo?"
Keisha tersenyum meremehkan, suara anggunnya seperti panah yang menusuk hati siapapun yang ia hina secara perlahan namun pasti. Cewek itu bukan tandingan mudah untuk diajak adu bicara karena kata pedasnya yang menyayat sampai ulu hati.
"Kenapa, Langit?" Ia tersenyum sinis dengan tampang yang manis.
"Karena. Dia. Pacar. Gue." Langit menekan satu persatu kata yang ia ucapkan. Dan menarik tangan Bulan meninggalkan Keisha dengan senyum kemenangannya.
Biarkanlah cewek medusa itu berbahagia sekarang karena nanti akan ada kebahagiaan sesungguhnya yang dapat Langit perlihatkan.
Tapi... ia sedikit ragu.
***
Bulan menatap kosong pemandangan danau dengan latar belakang mentari yang menunggu sang malam menjemput sehingga menimbulkan semburat jingga yang indah. Harusnya Bulan tak melewatkan momen indah itu, tapi yang ia lakukan hanya melamun sedari tadi.
Langit sengaja membawanya ke sini untuk memperlihatkan ini, tapi ia rasa hal ini sia-sia.
Ini salahnya, begitulah Langit merapalkan dalam hati sedari tadi. Ia kembali dilanda rasa bersalah yang mendalam. Langit menghela napas berat.
"Bulan, maaf."
"Memang benar, kan." Sahut Bulan cepat tanpa menatap lawan bicaranya. "Gue ada karena lo perlu memperlihatkan sama Keisha kalo lo itu udah move on , padahal belum."
Langit bungkam, tak bersuara. Desiran angin membelai kulit mereka dan menambah momen aneh ini makin terasa nyata.
Jika biasanya Bulan yang mencoba membuat Langit bicara, maka sekarang keadaannya berbalik. Ia harus berusaha agar cewek itu tidak diam saja, karena diamnya Bulan sangat membuat Langit merasa canggung.
"Bukan maksud gue begitu..."
"Lalu, bagaimana?"
Langit diam. Ia tak mampu mengeluarkan suaranya. Tenggorokannya terasa mengganjal dan kering.
"Lo bahkan gak mampu buat jawab pertanyaan sederhana gue." Bulan menghela napas pelan, ia masih menatap lurus ke depan.
"Bulan gue minta maaf."
"Lo gak salah." Ucap Bulan cepat. Ia menyerongkan tubuhnya menghadap Langit. Mata cowok itu terlihat menampilkan rasa bersalah yang sangat mendalam. Pandangan tajam yang selalu ditujukan pada Bulan pun berganti menjadi pandangan yang sendu.
"Gue mau pulang."
***
Suasana hati yang muram sangat terasa sampai sekarang, ia turun dari mobil Langit tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya anggukan terima kasih, lalu berlalu meninggalkan Langit.
Ia ingin mengetuk pintu rumah, namun terdengar suara samar teriakan dari dalam rumahnya.
Bulan memilih langsung mengarahkan tangannya ke knop pintu dan membukanya. Setelah ia menginjakkan kakinya di dalam rumah penuh kesengsaraan ini. Ia menutup dan menguncinya. Suara teriakan semakin jelas. Tentu saja, orang tuanya bertengkar di hadapannya. Bulan juga sempat berpikir apakah orang tuanya memikirkan suara mereka yang bisa saja terdengar oleh tetangga.
Baru saja ia ingin melangkah dan mengabaikan pertengkaran itu, sesuatu berbentuk benda padat berbahan keramik melayang di udara dan...
Brakk...
Prangg...
Darah bercucuran di lantai, napas Bulan naik turun. Keadaan sunyi sepi, ia mendongak, kedua orang tuanya menatapnya dengan raut terkejut. Tak ada yang bersuara.
"Ma... Yah..." Panggilnya dengan suara berbisik serak. Napasnya semakin tersengal-sengal bak orang sehabis lari marathon.
Bulan meneguk ludahnya susah payah, tangannya penuh darah segar yang mengalir dari pergelangan dan telapak tangannya.
Darahnya semakin deras dan banyak. Tidak ada yang bergerak karena keadaan yang syok. Sebulir air mata menetes dari mata indah Bulan. Pandangannya buram. Ruangan terasa bergoyang dan lututnya lemas. Ia tak mampu menopang tubuhnya lagi. Ia ambruk dan semuanya... gelap.
Samar-samar ia mendengar suara Bi Sumi memanggilnya dengan panik. Selebihnya, ia tak tau lagi.
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG