BAB 3
***
"Aku bahagia melihat kamu bisa tersenyum walau bukan dengan aku."
***
Pernahkah kalian mendengar istilah 'The Most Wanted' di dunia nyata ataupun dunia fiksi?
Pernahkan kalian mendengar istilah 'Cowok terganteng se-antero sekolah'?
Jika pernah, maka kalian harus tahu bahwa gelar itu sangat pantas untuk empat cowok yang sedang berjalan beriringan di koridor sekarang. Semua cewek-cewek penggila cogan akan sangat susah untuk memalingkan wajah mereka.
Jika orang lain akan bangga dengan gelar tersebut, maka berbeda dengan empat cowok itu. Mereka tak suka di sebut sebagai 'The Most Wanted' atau 'Cowok terganteng se-antero sekolah' karena menurut mereka hal itu akan menjadi pembeda dengan cowok-cowok lain dan akan menimbulkan iri hati bahkan dengki.
Mereka ingin diperlakukan sama dan sesungguhnya sangat tak suka ditatap berlebihan sampai-sampai mata serasa akan lepas dari tempatnya. Tatapan kagum dan memuja itu seolah menelanjangi mereka dari atas sampai bawah dan bukannya senang, mereka malah malu dan risih. Namun, hal itu hanya berlaku pada Langit, Angkasa, dan Dami. Miko merasa dirinya biasa saja, walaupun terkadang menjadi kikuk karena cewek-cewek bisa terang-terangan menyatakan cinta padanya. Wajar, Miko yang paling tampan di antara mereke berempat.
Miko memang tipe yang sangat suka menggoda cewek, namun ia tidak bisa dibilang sebagai playboy karena ia tidak pernah gonta-ganti pacar atau memiliki pacar yang banyak sekaligus.
"KUPU-KUPU TERBANG MELAYANG!" Seru Miko dengan senyuman merekah. "I LOVE YOU, SAYANG!" Miko mengedipkan matanya pada salah satu siswi di akhir pantunnya. Lantas, siswi tersebut merasa sesak napas dan berpegangan pada temannya di samping saking senangnya.
"Lanjut, Mik!" Ucap Dami seraya terkekeh dan merangkul sahabatnya itu. Mereka berjalan tanpa tujuan karena permintaan Miko yang katanya ingin 'Mencari Cinta'.
Langit yang berjalan di belakang Miko dan Dami beriringan dengan Angkasa hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"ADA ITIK, BURUK RUPANYA!" Miko memulai pantunnya lagi.
"Cakep!" Sahut Dami.
"KAMU CANTIK, ABWANG YANG PUNYA!"
"KYAAAA!!!" Teriak seorang cewek seraya mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya. "Gue perlu air! GUE PERLU AIR!"
Miko dan Dami kembali tertawa melihat reaksi berlebihan dari siswi tersebut.
Di belakang mereka berdua, Angkasa mendekatkan kepalanya dan membisikkan sesuatu pada Langit. "Lang, mending Lo samperin Bulan sekarang. Kan, lagi deket kelas dia, tuh."
"Ogah."
"Emang Lo mau kena samber si Bintang?" Ucap Angkasa dengan ekspresi berlebihan. "Tuh, anak, kan, kalo nangis bakal tiga hari tiga malem. Gue gak mau tanggung jawab, loh, ya."
Langit menghela napas berat mendengar nama adiknya di sebut. Si bungsu yang cengeng telah memintanya untuk mengajak Bulan jalan-jalan bertiga ke mall. Langit sebenarnya sangat tidak ingin, namun seperti yang Angkasa bilang bahwa Bintang jika sudah menangis maka akan berlangsung tiga hari tiga malam alias lama sekali.
Langit selalu bertanya-tanya, kenapa Bintang selalu meminta bantuan atau apapun pada Langit? Kenapa bukan Angkasa?
Ah. Langit baru ingat kalo Angkasa selalu mengusili Bintang, bahkan pernah sampai membuatnya nangis kejer dan berguling-guling di lantai.
"Iya, iya. Banyak bacot, Lo!" Tukas Langit.
Angkasa tersenyum bangga ala ala sang ayah yang bangga karena anaknya menang juara satu balap keong. "Gitu, dong!" Serunya bangga. "Baru namanya adik Angkasa terganteng sejagad raya."
Langit menatap Angkasa tajam. "Gak sudi."
Lalu, meninggalkan Angkasa untuk melangkah menuju kelas Bulan yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari posisinya.
"Woi, Lang! Kemana, Lo?" Panggil Miko. Angkasa datang berdiri di antara Miko dan Dami seraya merangkul mereka.
"Dia lagi tugas negara." Kata Angkasa yang langsung mendapat tatapan heran dari kedua sahabatnya itu.
***
"Bulan di mana?" Tanya Langit pada seorang cowok dengan kacamata tebal dan memakai dasi padahal hari ini bukan hari Senin.
"A--anu, di--"
"Di mana?" Tanya Langit lagi.
"Di--itu, d--di dalem." Jawab cowok itu tergagap.
Masih ingatkah kalau Langit adalah orang yang tidak bisa di dekati dan diganggu?
Maka, hal itu berlaku untuk semua orang. Tentu saja, si cowok berkacamata itu ketakutan ketika Langit bertanya padanya. Ia merasa seakan bertemu dengan psikopat yang bisa kapan saja membunuhnya.
Langit mengangguk tipis dan melenggang memasuki kelas. Suasana kelas tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa orang saja di sana termasuk Bulan. Gadis itu duduk di barisan kedua paling belakang dekat jendela dan tampak fokus pada sebuah novel di depannya.
Langit mendekat dan berdiri tepat di samping Bulan. Ia kira Bulan akan menyadari kehadirannya, ternyata gadis itu tetap bergeming tanpa memedulikan lingkungan sekitar.
Langit mencoba berdeham. Lagi, Bulan tetap diam dengan rangkaian aksara yang terpatri rapi dalam sebuah buku. Tampaknya dunia fiksi lebih mengasikkan daripada dunia nyata hingga lupa kembali ke alam sendiri.
Langit berdeham lagi lebih keras di sertai pukulan pelan di meja. Usahanya berhasil, gadis itu menoleh ke samping tepat dimana Langit berdiri. Ia beranjak dari duduknya dan menatap Langit dengan mata yang menyipit karena otot mata tertarik akibat senyuman yang terlalu lebar.
"Kenapa, Langit?"Tanya Bulan. "Ah, Lo pasti kangen gue, kan, karena hari ini gue gak gangguin Lo. Ayo, ngaku!" Bulan menaik turunkan kedua alisnya pada Langit. Ia tersenyum percaya diri.
Cowok itu memutar bola matanya malas melihat tingkah Bulan yang terlampau percaya diri itu.
"Gue gak mau basa-basi, deh." Kata Langit dengan nada yang datar. "Intinya sore ini kita jalan-jalan."
Sontak mata Bulan melebar karena tak percaya dengan apa yang Langit lontarkan.
Cowok itu mengajaknya jalan-jalan?
Susah dipercaya, tak bisa dipungkiri jantung Bulan berpacu dengan cepat dan hatinya sangat senang sekali. Ia menatap Langit dengan mata bulatnya yang indah dan tersenyum senang.
Langit yang melihat hal itu, lantas langsung mengucapkan sederetan kalimat yang membuat hati Bulan hancur seketika.
Langit berkata, "Bukan mau gue, tapi Bintang."
Dengan wajah yang selalu ceria, Bulan mencoba untuk tidak menampakkan kesedihannya pada Langit. Ia tak suka terlihat menyedihkan apalagi di depan orang yang ia sukai. "Ah... ya, oke. Nanti gue ke rum--"
"Terserah." Potong Langit. Tanpa berkata apapun lagi, ia melenggang pergi meningglkan Bulan yang sekarang tersenyum masam.
"Lo baik-baik, aja, Bulan. Lo gak sedih, yang penting Lo bisa jalan sama Langit." Gumam Bulan untuk menenangkan dirinya sendiri.
***
Bulan mengayuh sepeda lipatnya memasuki pekarangan rumah Langit yang cukup luas. Baru saja ia memparkirkan sepedanya, sebuah teriakan memekakkan telinga datang dari arah pintu utama.
"KAK BULAN!!!" Teriak Bintang dengan berlari kecil menghampiri Bulan.
"Kak Bulan, kenapa lama?" Tanya Bintang dengan bibir yang mengerucut karena cemberut.
Bulan tersenyum geli. "Kakak ketiduran. Maaf, ya?"
Bintang menganggguk tiga kali dan tangan mungilnya menarik tangan Bulan memasuki rumah besar kediaman Langit beserta keluarganya.
Saat menginjakkan kakinya di rumah, tampak Melati duduk di ruang tamu dan sedang membaca katalog pakaian branded.
Bulan memanggilnya. "Tante,"
Melati menoleh, tak ayal wanita itu langsung mendekati Bulan dengan senyuman merekah seperti biasanya. Ia memeluk Bulan dengan sayang, hal itu membuat Bulan merasa nyaman dengan wanita itu.
"Lama gak ketemu, Bulan."
Bulan tersenyum seraya mengusap tengkuknya. Rasa-rasanya mereka tidak bertemu cuma dua hari yang lalu. Tapi, ibu tiga anak itu menyebut lama, hehe. Sedikit terdengar berlebihan.
Melati menarik tangan Bulan dan membawanya duduk di sofa. "Bintang udah nungguin kamu dari tadi, loh."
Bulan terkekeh kecil. "Maafin aku, Tante. Ketiduran tadi. Gak dibangunin sama Bibi."
Mendengar kata 'ketiduran', Melati menepuk jidatnya seolah mengingat sesuatu. Ia menatap Bulan. "Langit juga ketiduran. Kamu mau, kan, bangunan anak itu?"
Bulan mengernyitkan keningnya seolah memastikan apakah yang di dengarnya ini salah atau tidak. "Bangunin Langit?"
"Iya."
"Emang boleh, Tante?"
"Iya. Cepetan kamu ke kamarnya, nanti Bintang ngambek kalo kelamaan. Tapi, hati-hati banguninnya, dia bisa ngamuk." Jelas Melati sambil terkekeh di ujungnya.
Bulan mengangguk mengerti dan berjalan menaiki tangga. Jujur saja, ini baru pertama kalinya ia naik ke lantai dua rumah ini. Dan ia tak tau sama sekali kamar Langit yang mana.
Mata Bulan menelusuri deretan pintu hingga ia menemukan sebuah pintu berwarna hitam bertulisan 'DANGEROUS AREA'. Bulan yakin sepenuh hati jika pintu itu adalah pintu kamar Langit. Tulisan yang tertempel di pintu sudah menunjukkan karakteristik seorang Langit.
Bulan awalnya ingin mengetuk, namun entah kenapa tangannya malah bergerak meraih knop pintu untuk membuka.
Jantung Bulan berdetak lebih kencang sekarang, ia tidak tau apa yang dirasakannya. Campuran senang, gugup, dan takut menjadi satu.
Pintunya tidak dikunci, Bulan membuka sedikit dan mengintip. Ia melihat Langit tampak bergumul di dalam selimut.
Inikan sore, apa gak kepanasan? Pake selimut segala lagi. Batin gadis itu.
Ia mendorong pintu hingga tubuhnya dapat masuk seutuhnya ke dalam kamar yang beraroma maskulin itu.
Bulan berdiri tepat di samping kasur. Ia bingung apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia menghela napas berat. Bulan memandangi ke seluruh penjuru kamar. Rapi, itulah kesan pertama yang ada di benaknya.
Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia mendekat pada meja belajar yang mana tersusun buku-buku berbagai ukuran ketebalan. Di sana, terdapat sebuah bingkai poto yang menampilkan poto Langit dengan seorang cewek. Bulan mengangkat bingkai poto itu lebih dekat agar bisa melihatnya lebih jelas.
Cewek di dalam poto itu sangat cantik sekali dan Bulan mengakui hal itu. Di dalam poto tersebut, Langit tampak bahagia dengan senyuman yang tak pernah ia lihat sama sekali. Ketampanan Langit bertambah berkali-kali lipat.
Bulan tersenyum hambar, Bulan hanya bisa memberi Langit kekesalan dan kemarahan daripada senyuman lebar seperti di poto.
Menurut Bulan, cewek itu sangat beruntung sekali karena bisa membuat Langit bahagia.
Bulan ingin meletakkan bingkai poto itu, ke tempat semula, namun...
"Ngapain Lo?!" Suara Langit membentak dari belakang Bulan.
Bulan menoleh cepat pada Langit karena tersentak kaget dan membuat tangannya tidak bisa menahan bingkai poto itu. Akhirnya, bingkai poto terlepas dari tangannya.
PRANGG
Bingkai poto bahkan kacanya pecah berkeping-keping di lantai.
Napas Bulan naik turun melihat hal itu. Ia menatap Langit dengan takut.
Tampak Langit dengan napas menderu, matanya melebar dan langsung memandang Bulan tajam, serta rahangnya yang mengeras membuat Bulan langsung menunduk.
"LIHAT APA YANG TELAH LO LAKUIN?!" Teriak Langit dengan amarah yang tidak bisa ditahan. "LO NGANCURIN BENDA KESAYANGAN GUE!"
"Maaf." Cicit Bulan, ia langsung berinisiatif berjongkok dan memungut pecahan kaca di lantai.
Namun, dorongan di bahunya membuat ia terpental sedikit lebih jauh dari posisinya dan serpihan kaca di tangannya teriris jarinya. Matanya menatap Langit yang mana wajahnya sudah memerah karena marah.
"GAK PERLU BERSIKAP BAIK DI DEPAN GUE DENGAN MUNGUTIN KACA ITU!!!"
Bulan berdiri dari posisinya dan masih terus menunduk.
"Bisa gak ,sih, sehari aja Lo gak usah cari masalah sama gue?! Hah?!"
Bulan semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia menggigit bibirnya sendiri bahkan ada rasa asin dilidahnya karena darah yang keluar.
"Gue juga gak mau mengasihani Lo hanya karena luka di tangan Lo." Desis Langit dengan nada yang dingin.
Bulan mulai merasakan air matanya akan meluncur ke pipi, namun dengan cepat ia usap sebelum Langit melihat. Ia menatap lantai yang masih terdapat pecahan kaca serta poto yang ada di sana, benda kesayangan Langit telah hancur karenanya.
"Gue mau Lo pergi sekarang." Desis Langit lagi.
Bulan berusaha menetralkan detak jantungnya, namun bentakkan Langit membuat dia tersentak dan kembali membuat detak jantungnya menjadi tak karuan.
"SEKARANG!!!"
Tanpa pikir panjang lagi Bulan langsung berlari meninggalkan Langit yang masih mencoba meredakan kemarahannya.
Hati Bulan hancur dan sakit. Dadanya pun sesak. Ia dibentak Langit. Sekali lagi, ia tegaskan bahwa ia dibentak dan diteriaki Langit. Ia diperlakukan seperti itu oleh orang yang ia sukai. Menyedihkan.
Bulan menangis menuruni tangga. Di lantai bawah Bintang nampak menunggunya. Lekas Bulan menghapus air matanya. "Kenapa lama, Kak? Jadi, kan?" Tanya Bintang.
Bulan tersenyum tipis. "Maaf, Bintang. Kak Bulan ada urusan mendadak. Lain kali saja, ya."
Lalu, pergi meninggalkan Bintang yang bahkan baru membuka mulut untuk bertanya namun tak dihiraukan oleh Bulan.
Ia mengambil sepedanya dan tak peduli teriakan Bintang yang menyuruhnya kembali.
Yang ia butuhkan adalah kesendirian. Kesendirian dari segala hal yang menyesakkan.
***
Langit masih bergeming di tempatnya dengan napas yang tak karuan. Ia memejamkan matanya sejenak, menatap kosong pecahan bingkai poto di lantai. Serpihan bernoda darah Bulan terdapat di sana akibat tak sengaja tergores kulit cewek itu.
Ia merasa... seharusnya ia tak usah membentak dan meneriaki Bulan seperti tadi.
Cewek itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya orang yang berada di kamarnya dan kebetulan memegang bingkai poto itu. Bahkan, ia memecahkannya pun karena tak sengaja.
Apalagi mata berkaca-kaca gadis itu membuatnya semakin memaki diri sendiri.
Tidak seharusnya...
Tidak seharusnya...
Langit berjalan menuju kasurnya dan duduk ditepian kasur. Ia meremas-remas rambutnya karena kesal pada dirinya sendiri. Kecewa, kesal, marah bercampur aduk di dalam dirinya.
Ia merasa bersalah pada Bulan.
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG