BAB 26
***
"Seperti langit yang menjadi tempat bertenggernya bulan."
***
"Makasih udah mau anter aku pulang." Ucap Bulan setelah Langit mengantarnya ke rumah. Lebih tepatnya, mengantar Bulan ke kamar. Karena Langit tau akan kesusahan jika gadis itu harus menaiki anak tangga satu persatu. Langit pun berakhir dengan menggendongnya.
"Iya." Langit mengangguk. "Lo mending istirahat sekarang. Soalnya muka lo pucet banget."
Bulan mengangguk. Setelah itu Langit berbalik. Baru selangkah ia berjalan, Bulan mengintrupsinya.
"Kamu gak keberatan kalo aku repotin kamu terus kayak gini?"
Langit kembali berbalik menatap lurus pada mata gadis di depannya ini. "Gak sama sekali. Dan untuk selama yang gue perbuat sama lo, itu... "Langit memejamkan matanya sebentar, lalu membuka. "Harusnya gue minta maaf dari dulu."
Bulan tersenyum sendu. "Bukan salah kamu." Kata Bulan seraya memegang perutnya yang terasa sedikit mual. Hanya ... sedikit, kok.
"Itu kesalahan aku yang terlalu mengejar kamu." Lanjut Bulan dengan nada sedikit sesak, ditambah rasa di perutnya entah kenapa semakin menjadi-jadi. Ia semakin meremas perutnya.
Langit menghela napas pelan. Tanpa sadar matanya menangkap jam digital yang tertera di nakas samping tempat tidur gadis itu. Lantas saat itu juga Langit baru ingat jika gadis di depannya ini belum mengonsumsi makan siang sedikitpun.
Ia menoleh cepat pada Bulan. Langit melebarkan bola matanya kala ia melihat Bulan meremas perutnya dengan muka pucat seraya terduduk di lantai.
Langit langsung menghampiri Bulan dengan panik. "Lan, kamu telat makan lagi." Ucap cowok itu dengan cemas. Langit mengangkat tubuh Bulan dan membaringkannya di kasur.
Bulan terus meringis dan ...
Huekkk
Langit semakin panik, ia langsung menelpon dokter spesialis untuk menangani Bulan. Kemudian, cowok itu membantu Bulan menumpahkan segala isi perutnya ke lantai kamar.
Tak sedikitpun Langit merasa jijik dengan hal itu, rasa khawatir yang besar lebih menguasai dirinya. Ia takut gadisnya kenapa-napa.
"Bi!!!"Teriak Langit memanggil Bi Sumi yang entah secepat apa langsung datang dengan wajah paniknya.
"Kena-- Astaghfirullah!" Pekik Bi Sumi. Wanita itu langsung mencari minyak kayu putih dan mengoleskannya pada tengkuk Bulan. Bi Sumi juga memijat pelan tengkuk Bulan agar gadis itu mudah mengeluarkan isi perutnya.
Sedangkan, Langit berjalan mondar mandir karena dokter sangat lama datangnya. Ia ingin berteriak frustrasi, tapi ia sadar berada dimana.
Setelah Bulan berhasil mengeluarkan semuanya, gadis itu terbaring lemah dengan napas terengah-engah.
Langit duduk di samping Bulan seraya mengusap pelipis gadis itu yang bercucuran keringat dingin.
"Harusnya lo gak perlu membawa gue ke danau segala." Ia kesal, tapi Langit tak bisa marah. Bagaimanapun juga yang orang yang ia kesalkan ini adalah gadis yang tengah terbaring lemah.
"Maaf, aku ngerepotin kamu lagi." Ucap Bulan lirih. Ia menatap Langit dengan sayu.
Saat itu juga Langit menggeleng tegas. Ia mengusap kepala Bulan dengan lembut. Namun, ia berkata dengan nada tegas dan dingin. "Lo sama sekali gak ngerepotin gue. Dan, berhenti bilang itu."
"Gue gak suka." Lanjut cowok itu.
Entahlah kenapa ia merasa tak suka dengan kalimat Bulan yang merasa jika dia telah merepotkan Langit. Sejatinya tidak, sama sekali tidak. Langit murni khawatir dan cemas. Ia tak pernah merasa sekhawatir ini sebelumnya.
Apalagi melihat Bulan yang tak berdaya seperti ini, hati Langit malah didera rasa bersalah. Dan ... sesak. Mungkinkah ia telah mulai memiliki rasa dengan Bulan? Rasa cinta?
Ia tidak tau arti ini semua. Karena selama bersama Keisha pun ia tak pernah merasakan detakan kuat di jantung ketika melihat senyuman gadis itu, jujur akhir-akhir ini ia menyangkal perasaan itu. Ia merasa gengsi untuk mengakuinya.
Bi Sumi pun membersihkan semua muntahan Bulan dengan sigap.
Hingga tak lama kemudian, Dr. Sinta bersama perawat-perawatnya datang dan langsung memeriksa Bulan. Langit yang sadar bahwa ia bukan siapa-siapa pun memilih untuk menunggu di luar.
***
"Bagaimana, Dok?" Tanya Langit segera ketika Dr. Sinta baru saja keluar dari kamar Bulan.
Dr. Sinta menghela napas berat. Wajahnya tidak bisa diartikan dengan makna apapun oleh Langit. Melihat gelagat wanita itu, Langit merasa ada yang tidak beres dengan gadis berstatus pacarnya.
"Kondisinya semakin melemah." Ucap Dr. Sinta dengan sendu. "Pengobatan kuratif pun rasanya sudah tak mempan lagi."
Alis cowok itu mengerut bingung. Ia diam dan menunggu kalimat selanjutnya dari Dr. Sinta.
"Sebaiknya kita menggunakan pengobatan paliatif saja."
"Lalu, untuk donor hati?"
"Sudah saya katakan, penyakit Bulan sudah terlalu parah untuk itu. Hal itu mungkin akan sia-sia karena sel kanker sudah menyebar."
Langit seperti merasakan ada tali yang membelenggu tubuhnya atau jika diibaratkan ia seperti terhantam batu besar di bagian dada. Menyesakkan sekali. Kerongkongannya terasa susah menelan saliva.
Ia menatap Dr. Sinta dengan mata sendunya dan dahi yang berkerut heran. "Lalu, pengobatan paliatif itu apa?"
***
Ada yang tau pengobatan paliatif itu apa?? Heheh. Cari tau sendiri, ya. Biar penasaran hohoho.
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG