BAB 25
***
"Kita adalah dua insan yang terhalang oleh tembok es yang kau bangun karena sakit hatimu di masa lalu."
***
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Siswa-siswi keluar dari kelas bagai lebah-lebah yang keluar dari sarangnya. Ada yang ke parkiran atau langsung menuju gerbang untuk menunggu jemputan.
Di antara sekerumunan siswa-siswi itu, ada Bulan dan Langit yang berjalan beriringan menuju parkiran.
Langit tampak muram seperti biasanya entah apa yang dipikirkannya. Terlebih lagi, mata Langit baru saja menangkap sosok Keisha yang berjalan bersama seorang cowok kelas XII entah siapa namanya, namun yang pasti cowok itu bukan cowok yang bersama Keisha di gudang waktu itu.
Ketika melihat itu, Langit langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tatapannya juga menajam. Dan Bulan sadar akan hal itu.
"Langit," Panggil Bulan, lantas cowok dengan tampang dingin itu berhenti seketika. Menatap Bulan dengan alis yang naik sebelah.
"Kita nanti aja, deh, pulangnya." Kata Bulan.
"Kenapa?" Tanya Langit dengan alis yang menyatu.
"Kita ke tempat lain dulu. Aku mau bawa kamu ke sana."
Langit berdecak. "Buat apa, sih?" Langit ingin lanjut berjalan menuju mobil hitam yang terparkir rapi di parkiran. Tapi, Bulan lekas menarik tangan Langit hingga cowok itu termundur sedikit langkahnya.
Tanpa pikir panjang, Bulan membawa Langit berjalan menuju gerbang. Langit menghentikan langkahnya. "Kita harus pulang dan lo harus istirahat." Ucap Langit tegas.
Tapi, Bulan hanya memutar bola matanya malas. "Pokoknya kamu harus ikut aku."
"Kemana, sih?" Langit berusaha sabar untuk gadis yang masih setia menggandeng tangan Langit dan melangkah menuju suatu tempat yang Langit tidak tau tempat apa yang dimaksud Bulan.
"Bawel, ih."
***
Indah.
Danau yang cukup luas terhampar dihadapannya. Pohon-pohon peneduh tertanam kokoh di sisi-sisi danau dengan jarak berjauhan. Rumput hijau menyelimuti tanah di sekeliling danau ini. Lalu, ada pohon rindang dan besar berdiri kokoh dengan bangku di bawahnya. Berjarak sekitar lima meter dari sisi danau. Dan di bawah pohon itulah Bulan dan Langit berada. Duduk bersampingan menatap indahnya danau belakang sekolah mereka.
Langit pernah ke sini dengan teman-temannya saat Angkasa mengajak mereka bolos waktu itu, hanya sekali saja. Tapi, tak pernah ia memperhatikan jika danau ini memang indah dengan adanya tanaman teratai di atasnya yang tengah mekar.
Langit menatap Bulan yang sedang menatap lurus ke depan dengan senyuman yang terpatri di wajahnya. Ia menoleh pada Langit. Tatapan mereka bertemu.
"Kenapa?" Tanya Bulan.
"Harusnya gue yang tanya, kenapa lo bawa gue ke sini?" Langit tidak kesal atau marah. Ia hanya heran mengapa Bulan mengajaknya ke danau ini.
"Biar suasana hati kamu tenang."
"Gue tenang, kok." Jawab Langit sedikit sewot.
"Kamu memang tenang." Kata Bulan yang masih setia dengn senyumannya. "Tapi, hati kamu nggak."
"Maksud lo apa, sih?"
"Aku tau kamu masih cinta sama Keisha."
"Nggak, kok." Elak Langit cepat. Ia sedikit kesal dengan topik ini.
"Tuh, kan." Bulan terkekeh pelan dan hambar. "Aku tau, Lang. Kamu masih mengharap sama dia."
"Tapi, kamu juga gak bisa mengelak kalo kamu juga kecewa dan marah besar sama dia." Lanjut Bulan.
Langit mendengus. Ia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju tepi danau. Ia mengambil kerikil di samping sepatunya dan melempar ke arah danau dengan kencang.
Bulan tau itu bentuk pelampiasan emosi Langit. Bulan pun menghampiri Langit dan berdiri di samping cowok itu.
Langit pun berkata, "Lo jangan sok tau." Ucapnya dingin tanpa menoleh. Cowok itu mengambil kerikil lagi dan melemparnya ke danau.
"Aku emang tau." Jawab Bulan dengan santai. "Bahkan, aku tau kalo kamu tadi perhatiin Keisha yang jalan sama pacar baru--"
"Stop, Bulan." Kata Langit dengan datar. "Berhenti."
"Maaf, Lang." Bulan menghela napas. Ia berdiri menyamping menghadap Langit. "Tapi, aku gak bisa kalo kamu kayak gini."
Langit hanya diam. Menatap lurus ke depan.
Bulan menunduk, lalu tersenyum pahit. Ia mendaratkan tangannya pada pundak Langit. Langit menoleh, ia melirik tangan Bulan di pundaknya.
"Aku tau kamu lagi mendem emosi. Karena itu, makanya aku ajak kamu ke sini."
Langit masih menatap Bulan, menunggu kalimat selanjutnya dari Bulan. Menatap mata bening yang kini sedikit menguning itu. Wajah pucat dengan senyuman yang selalu terlukis di bibir gadis yang sering ia sakiti ini.
"Kamu lampiasin aja emosi kamu dengan teriak. Mungkin dengan itu hati kamu bisa nyaman dan plong. Soalnya aku sering ke sini kalo lagi gak enak hati."
Langit masih diam. Ia masih menatap Bulan. Sedangkan, Bulan mendengus kesal karena Langit yang tak kunjung melakukan apa yang ia suruh.
"Aku contohin dulu, nih. Mumpung cuma kita aja berdua." Bulan menatap ke arah danau. Ia menarik napasnya dengan dalam.
Bulan pun berteriak. "BULAN SUKA LANGIT!!! BULAN GAK AKAN BERHENTI PERJUANGIN LANGIT!!!"
Bulan menghembuskan napasnya lega. Ia tertawa sendiri. Seolah-olah bebannya terangkat ke atas, meruap ke udara dan terbawa angin.
"Kayak gitu." Ucap Bulan. "Coba, deh."
Langit tanpa sadar tersenyum tipis. Ia menatap ke arah danau dan mulai melakukan apa yang Bulan contohkan. Cowok itu menarik napas dalam dan...
"GUE BENCI SAMA, KEISHA!!! GUE BAKAL LUPAIN, KEISHA!!! SECEPATNYA!!!"
Dan lagi, tanpa sadar Langit tersenyum. Bahkan, cowok itu terkekeh sendiri. Tentu hal itu menular pada Bulan yang tersenyum lebar.
"Gimana?"
"Lega." Langit tertawa sendiri. Tawa yang jarang sekali ia perlihatkan pada siapapun. Dan Bulan bersyukur karena ia bisa melihat itu.
"Lang,"
Langit menoleh. "Apa?"
"Kamu pernah ada kepikiran, gak, buat suka sama aku?"
***
Gimana-gimana???
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG