Loading...
Logo TinLit
Read Story - LANGIT
MENU
About Us  

BAB 24

***

"Segala kebaikanmu tak perlu ada orang yang tahu, karena yang terpenting adalah hatimu ikhlas melakukannya."

***

"Lan, mending lo di rumah aja." Ucap Langit tegas. Namun, ketegasan itu dapat Bulan halau dengan tatapan tajamnya yang tak mau kalah.

"Aku tetap mau sekolah." Kata Bulan kekeuh dengan tampang memelasnya. "Aku bukan orang lemah yang cuma sakit sedikit mendekam di kamar,aja, Lang."

"Sakit sedikit?" 

"Kamu ngehina aku?" Ucap Bulan seraya melangkah menjauhi Langit.

"Nggak." Elak Langit dingin seraya mencekal pergelangan Bulan agar berhenti.

Perdebatan ini berlangsung sejak jam setengah tujuh pagi di rumah Bulan, dan sekarang telah menunjukkan jam tujuh. 

Langit sendiri harus ke rumah Bulan karena Bi Sumi yang minta tolong agar bisa menghentikan Bulan yang kekeuh ingin sekolah padahal fisiknya saja terlihat lemah.

Bahkan, kemarin, Bulan juga yang meminta ingin pulang dari rumah sakit karena makanan rumah sakit tidak enak sama sekali. Padahal dokter sudah menganjurkan untuk Bulan agar di rawat dengan intens, namun Bulan tetaplah Bulan. Memberontak hingga keinginannya terwujudkan. Dan akhirnya dokter pun mengijinkan dengan ketentuan setiap pagi dan malam, seorang dokter akan datang ke rumah Bulan untuk memeriksa perkembangan gadis itu. Serta semalaman Bulan harus memasang infus.

Awalnya Bulan menolak, namun akhirnya setuju karena Langit yang mengintimidasinya.

Dan sekarang, gadis itu kembali memaksakan diri untuk sekolah. Bulan selalu merasa dirinya kuat, padahal faktanya ada sel kanker mematikan yang bersarang dalam tubuhnya.

"Biarin aku sekolah kalo gitu, ya, ya?" Bulan kembali memelas. "Lang, pleaseee,"

Langit mendengus keras. "Oke."

"YEAY!!!"

"Tapi," Gantung Langit membuat Bulan menatapnya penasaran. Teriakannya pun terhenti karena Langit menatapnya teramat dalam. "Jangan pernah ngelakuin aksi percobaan bunuh diri kayak waktu itu."

Bulan bungkam.

***

"Hey, yo, Wazhapp, Bro!" Sapa Miko seraya mengangkat tangannya ala ala anak Jaksel.

Cowok tampan itu duduk di depan Bulan. Ia mengedipkan matanya pada gadis yang duduk di samping Langit. Bulan terkekeh saja. Sedangkan, Langit hanya memutar bola matanya malas.

"Gimana kabarnya, Nona Bulan yang cantik?" Ucap Dami yang mengambil tempat duduk di samping Miko. Mereka datang bersama.

"Baik." Bulan tersenyum ramah.

Bersamaan dengan itu Angkasa datang membawa semangkok Bakso dengan saos tomat yang banyak dan aroma jeruk nipis yang sebelumnya sudah Angkasa peras. Nikmat dan harum.

"Haduhh, enak bener, tuh." Celetuk Miko seraya melirik bakso milik Angkasa. "Boleh dong bagi-bagi."

"Beli, dong." Ucap Angkasa cuek seraya mengaduk-aduk baksonya.

Miko kicep sendiri, ia melirik sinis Angkasa. "Yaudah, gue beli dua mangkok dan lo," Tunjuk Miko pada Angkasa. Ia berdiri dari duduknya. "Gak boleh minta."

"Bodo amat, Mik, bodo amat." Angkasa menggigit pentol dengan nikmat. Tentu saja, Bulan jadi ikut kicep.

"Dam, temenin gue, beli." Ajak Miko masih melemparkan tatapan kesinisan.

"Oke." Sahut Dami. "Traktirkan tapi?"

"Iya, iya." Miko mendengus kesal. Dami dan Miko pun beranjak meninggalkan tiga orang yang tersisa di sana.

Angkasa menatap Bulan. "Lo mau?"

"Ma--"

"Ga boleh." Potong Langit seraya meminum es jeruknya dengan cuek.

Bulan menghembuskan napas kesal. Ia heran dengan sikap yang Langit tunjukkan akhir-akhir ini. Tapi, Bulan juga senang karena dengan begitu ia melihat sisi Langit yang perhatian.

"Kenapa?" Tanya Angkasa dengan polosnya. "Bakso, kan, enak."

"Lo lupa." Ucap Langit. "Dia gak boleh makan begituan. Apalagi pake jeruk nipis."

Angkasa cengengesan sendiri. Ia pun menatap Bulan. "Sori dori stroberi ceri, nih, ya Bulan. Your boyfriend gak ngebolehin lo makan bakso yang mamamia lezatos ini. Hehe." Ucap Angkasa dengan tampang sok merasa bersalah. "Jadi, tawaran gue, ya gue tarik kembali, deh."

Bulan berdecak kesal, sedangkan Angkasa kembali melanjutkan acara makannya yang nikmat itu.

Langit melirik Bulan, ia menghembuskan napas pelan. "Kalo mau makan, mending yang lain aja." Saran Langit cuek. "Salad buah, mau?"

Bulan mengangguk lemah. "Iya, deh."

"Ya udah." Langit meminum es jeruknya dengan santai sambil bermain dengan handphonenya.

Bulan mengerutkan keningnya. "Kok, masih di sini?"

"Maksud, lo?"

"Kamu gak mesenin aku, gitu?" Tanya Bulan bingung.

"Terus gunanya Tuhan menciptakan kaki sama tangan buat apa?" Tanya Langit balik, nadanya pun cuek secuek muka bebek. "Pesan sendiri."

Seketika raut wajah Bulan berubah jadi datar.

Untung sayang, Bulan membatin.

***

Bulan pulanh dengan keadaan sangat lelah, tentu saja. Semakin hari pun semakin sering ia merasa kelelahan. Bahkan, ia baru menyadari kakinya juga membengkak.

Bulan menghembuskan napas lelah. Untung saja Langit berbaik hati mengantarnya pulang, karena tak mungkin lagi ia mengharap jemputan Sang Ayah. Tentu saja, Ayah dan Ibunya telah memutuskan bercerai, bahkan sidangnya dilaksanakan saat ia dirawat di rumah sakit waktu itu.

Bulan menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya dengan pelan. Sesekali ia berhenti melangkah karena energi yang rasanya sangat terkuras. 

Hingga, ia berhasil menapak pada lantai dua rumah ini. Bulan pun berjalan menuju kamarnya. Untuk menuju kamarnya, Bulan harus melewati kamar ibunya.

Entah dorongan darimana, Bulan berhenti tepat di depan pintu yang terbuka sedikit. Bulan mengintip dari celah-celah pintu kamar ibunya. Ingin masuk ke dalam, tapi ia takut diusir jika tidak berkepentingan.

Bulan menghela napas sendu. Saat berbalik, Bi Sumi sudah di belakangnya. Berdiri dengan nampan yang di atasnya terdapat sepiring nai lengkap lauk pauknya, segelas air putih, serta ... obat.

"Obat?"

"Nyonya, sakit, Non Bulan." Ucap Bi Sumi dengan nada sendu.

"Sejak kapan?" Bulan bertanya dengan alis yang mengerut.

"Semenjak perceraian itu, Non." 

"Kok, aku baru tau?" Tanya Bulan dengan sedikit kesal dan jengkel. "Kenapa Bibi baru ngasih tau sekarang?"

Bi Sumi menatap Bulan dengan raut bersalah. "Maaf, Non. Bibi gak tega ngasih tau." Jawab Bi Sumi. "Takut Non Bulan jadi sedih."

Bulan menghembuskan napas kasar. Ia tidak bisa dianggap lemah hanya karena sakit ini , tapi mau bagaimana pun fakta lah yang berbicara. Fisiknya saja sudah kian melemah, tidak bisa ia mengelak lagi. 

"Yaudah." Ucap Bulan. Ia menatap Bi Sumi. "Aku aja yang bawain makanannya."

"B, baik, Non." Bi Sumi pun memberikan nampan pada Bulan. Bulan menyambutnya, lalu menggumamkan terima kasih.

Setelah Bi Sumi undur diri, Bulan pun masuk ke dalam kamar Anita dengan langkah sepelan mungkin. Ia takut mengganggu ibunya yang sedang istirahat.

"Bu," Panggil Bulan dengan pelan. Tapi, Bulan yakin suaranya akan kedengaran di ruangan sesunyi ini. Itu pun jika ibunya tidak tertidur. "Bulan bawa nasi sama obat. Dimakan, ya."

Tidak ada jawaban. Bulan menghela napasnya dengan pelan. Sadar ibunya tak akan merespon, tapi Bulan tetap bersikeras mengajak bicara.

Bulan menaruh nampan itu di nakas samping tempat tidur. "Bu, Bulan taruh nampannya di nakas. Jangan lupa dimakan nasinya dan minum juga obatnya."

Bulan tersenyum sendu. Ia menarik selimut yang hanya menutupi setengah badan ibunya hingga menutupi sampai pundak. Agar ibunya merasa hangat.

Bulan berbalik untuk keluar kamar. Meninggalkan ibunya sendirian dan berharap agar ibunya makan dan tidak lupa minum obat yang sudah Bulan letakkan.

Dan seperti itu hingga seterusnya, Bulan sedang sakit, tapi merawat ibunya yang sedang sakit. Bi Sumi sudah melarang Bulan agar tidak perlu repot melakukan itu agar ia tidak kelelahan, tapi Bulan tetap kekeuh. 

Setiap pulang sekolah, Bulan selalu mampir ke kamar Anita untuk membawakan makanan dan obat. Bahkan, Bulan rutin mengganti kain kompres agar tetap hangat. Setiap malam pun Bulan selalu menyempatkan diri menjenguk ibunya, menyelimuti ibunya agar tidak kedinginan.

Namun, Bulan melakukan itu hanya ketika ibunya sedang tidur. Karena dengan begitu ia tidak akan mendengar kata 'Pergi' dari Anita. 

Bulan sadar yang ia lakukan tak akan ternilai dan tak berharga. Karena ia tau ia hanya orang yang hidupnya tak pernah dianggap ada.

Bulan tersenyum kecut.

***

Suka???

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Tataniiiiii

    Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu

    Comment on chapter EPILOG
  • dreamon31

    Hai...aku suka sama nama Langit. Aku juga punya judul cerita yang sama - LANGIT - , mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Diary of Time
1860      884     3     
Romance
Berkisah tentang sebuah catatan harian yang melintasi waktu yang ditulis oleh Danakitri Prameswari, seorang gadis remaja berusia 15 tahun. Dana berasal dari keluarga berada yang tinggal di perumahan elit Menteng, Jakarta. Ayahnya seorang dokter senior yang disegani dan memiliki pergaulan yang luas di kalangan pejabat pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Ibunya seorang dosen di UI. Ia memiliki...
Mr. Kutub Utara
354      273     2     
Romance
Hanya sebuah kisah yang terdengar cukup klasik dan umum dirasakan oleh semua orang. Sebut saja dia Fenna, gadis buruk rupa yang berharap sebuah cinta datang dari pangeran berwajah tampan namun sangat dingin seperti es yang membeku di Kutub utara.
The Puzzle
1248      725     4     
Fantasy
Banyak orang tahu tentang puzzle, sebuah mainan bongkar-pasang untuk melatih logika. Namun berbeda dengan puzzle yang dimiliki Grace, awalnya Grace hanya menganggap puzzle yang dimilikinya sama seperti puzzle yang dimiliki orang lain. Dia sering memainkan puzzle itu sejak kecil tapi setelah dia dewasa, puzzle itu mulai memunculkan teka-teki baginya. Grace heran saat ayahnya benar-benar menjaga pu...
V'Stars'
1535      705     2     
Inspirational
Sahabat adalah orang yang berdiri di samping kita. Orang yang akan selalu ada ketika dunia membenci kita. Yang menjadi tempat sandaran kita ketika kita susah. Yang rela mempertaruhkan cintanya demi kita. Dan kita akan selalu bersama sampai akhir hayat. Meraih kesuksesan bersama. Dan, bersama-sama meraih surga yang kita rindukan. Ini kisah tentang kami berlima, Tentang aku dan para sahabatku. ...
Ignis Fatuus
2111      802     1     
Fantasy
Keenan and Lucille are different, at least from every other people within a million hectare. The kind of difference that, even though the opposite of each other, makes them inseparable... Or that's what Keenan thought, until middle school is over and all of the sudden, came Greyson--Lucille's umpteenth prince charming (from the same bloodline, to boot!). All of the sudden, Lucille is no longer t...
ALVINO
4659      2058     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
Cinta dan Benci
5021      1533     2     
Romance
Benci dan cinta itu beda tipis. Bencilah sekedarnya dan cintailah seperlunya. Karena kita tidak akan pernah tau kapan benci itu jadi cinta atau sebaliknya kapan cinta itu jadi benci. "Bagaimana ini bisa terjadi padaku, apakah ini hanya mimpi? Apakah aku harus kabur? Atau aku pura-pura sakit? Semuanya terasa tidak masuk akal"
She Is Falling in Love
555      351     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
The Reason
11016      1992     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
always
1227      671     6     
Romance
seorang kekasih yang harus terpisah oleh sebuah cita-cita yang berbeda,menjalani sebuah hubungan dengan rasa sakit bukan,,,bukan karena saling menyakiti dengan sengaja,bahkan rasa sakit itu akan membebani salah satunya,,,meski begitu mereka akan berada kembali pada tempat yang sama,,,hati,,,perasaan,,dan cinta,,meski hanya sebuah senyuman,,namun itu semua membuat sesuatu hal yang selalu ada dalam...