“Nin, kamu tahu temen kakak yang namanya Hamas, gak?”
Sebuah pertanyaan keluar dari mulut Bang Reza setelah kurang lebih sepuluh menit makan malam yang entah mengapa hari ini berlangsung sangat khidmat. Biasanya pasti ada saja hal yang dibahas di meja makan untuk meramaikan suasana.
Aku mendongakkan kepalaku, mengalihkan fokus dari hidangan. “Yang anak teknik mesin itu?” tebakku ragu-ragu.
Bang Reza punya banyak teman, berbeda denganku yang jumlah temannya bisa dihitung dengan jari. Saking banyaknya teman yang pernah diceritakan Bang Reza, aku jadi sedikit lupa yang mana yang namanya Hamas.
Bang Reza mengangguk dengan antusias, binar bahagia terpancar dari matanya. “Iya, yang sealmamater sama kamu itu.”
“Kenapa memangnya, Bang?”
Seketika hening mendera di seisi ruang makan. Aku melihat Bang Reza melemparkan kode kepada ayah yang dilanjutkan dengan sikutan lengan ke arah ibu. Aku mengernyitkan dahi melihat tingkah anggota keluargaku yang cukup aneh hari ini.
Aku mendengus kesal karena merasa ada sesuatu yang disembunyikan dariku. “Ini pada kenapa sih?!”
Setelah saling melemparkan pandangan, akhirnya ayah berdeham untuk memulai pembicaraan. “Nin… kalau semisal dia pengen ta’aruf sama kamu gimana?” tanyanya hati-hati.
“Hah?!” Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku setelah mendengar ucapan Ayah.
“Dia sudah membicarakan niatnya ke Ayah. Tapi kan yang menjalankan kamu, jadi Ayah masih belum memberi keputusan.”
Sekarang giliran Bang Reza yang berbicara. “Anaknya baik kok, Nin. Abang sih setuju, malah ngasih rekomendasi. Mana mungkin Abang nyerahin kamu ke laki-laki gak bener,” paparnya.
Aku mengedarkan pandanganku kepada tiga manusia yang ada di ruangan ini. Ekspresi mereka menyiratkan harapan untuk mendengarkan sesuatu hal yang baik keluar dari lisanku.
“Iya, Nin. Mau, ya? Anaknya sopan, dari keluarga baik-baik juga. Kita semua setuju deh. Tinggal kamu aja maunya gimana.” Ibu mulai melancarkan aksi bujuk rayunya.
Aku menggaruk-garuk kepala. Jadi begini rasanya ditodong sama keluarga sendiri?
“Apa sih?! Ini Anin masih gak ngerti!” kilahku.
Bang Reza berdeham seraya menatap mataku lurus. “Jadi, kamu kan selalu bilang kalau gak mau pacaran, maunya yang syar’i-syar’i aja. Sekarang ada yang ajakin kamu ta’aruf. Yang ajakin temen Abang yang namanya Hamas. Udah ngerti sekarang?” jelas Bang Reza dengan intonasi sejelas dan ritme sepelan mungkin.
Aku mengangguk kemudian menadahkan tanganku ke Bang Reza. “Terus mana?”
Sekarang giliran Bang Reza yang memasang wajah cengo. “Apanya?”
“Proposalnya mana?” tanyaku tidak sabaran.
“Harus banget pake proposal?”
Aku memutar bola mata sembari menganggukkan kepala. “Ya iya lah. Dia sih bisa tanya-tanya sama Abang aku orangnya kaya gimana, tapi aku kan gak tahu dia orangnya kaya gimana,” semburku.
Bang Reza tergagap sesaat kemudia menggaruk-garuk kulit kepalanya yang jelas tidak gatal. “Oh… itu… Iya, nanti Abang mintain.”
Setelah peristiwa todongan ta’aruf yang telah dilancarkan oleh ayah, ibu, dan Bang Reza, mood makan malamku menjadi turun drastis. Secara tidak sadar, aku mengetuk-ngetukkan sendokku di atas piring sembari memikirkan sesuatu.
Di antara sekian banyak teman Bang Reza, Hamas itu yang mana ya? Aku hanya pernah sekilas mendengar jika waktu kuliah dulu dia ambil jurusan teknik mesin di kampusku. Apa kami pernah bertemu? Kok tiba-tiba dia ngajakin t’aruf padahal aku ngerasa belum pernah berhubungan dengan orang yang bernama Hamas.
Belum. Mungkin sebentar lagi kisah kami akan dimulai.
-T B C-
Hai!
Selamat Idul Fitri. Taqabbalallahu minna wa minkum.
Akhirnya up lagi setelah libur lebaran. Tema-tema nikahan kaya gini cocok banget dipublish di bulan Syawal. Bagi yang jomlo, jangan baper ya.. Pasti ada waktu kita-kita ini diperjuangkan oleh lelaki yang ditakdirkan untuk kita :)
Pasuruan, 23 Juni 2018
Pake proposal donggg.... :""""
Comment on chapter [1] Todongan Keluarga