Ardy mengangguk-angguk sambil mengikuti lirik lagu Linking Park yang mengalun di kamarnya. Sengaja ia putar keras-keras. Mumpung papa dan mamanya belum pulang. Kalau mereka sudah pulang, mungkin laptop dan speaker Ardy sudah habis dibanting papanya.
Sayang, kesenangannya tak berlangsung lama. Sebuah batu ukuran sedang baru saja mendarat mulus di kamarnya setelah menghantam kaca jendela. Pecahannya berserakan di lantai. Tanpa harus susah payah menebak, ia sudah tahu kalau itu ulah tetangganya. Sambil memutar bola mata, Ardy segera bangkit dan membersihkan pecahan kaca, lalu membuka jendelanya lebar-lebar. Tak ada nyali untuk tertawa saat melihat ekspresi anak gadis tetangga di seberang sana. Murka semurka-murkanya seakan hendak menerkam Ardy sekarang juga.
“Musik lo kecilin! Gue lagi belajar!” teriak si pelempar batu.
“Gue mutarnya di rumah gue kok, bukan di rumah lo!” Ardy balas teriak.
“Kalau sampe lima menit lo ga kecilin, lo bakal mati!” Gadis di seberang sana menjulurkan tinju sambil pasang ekspresi mengancam.
Ardy tertawa. Tak lupa menjulurkan lidah.
Benar saja, tak cukup lima menit, pintu kamarnya terdobrak. Pembantu di rumahnya sudah tidak heran. Tiap kali suara keras itu terdengar, mereka sudah bisa menduga siapa pelakunya. Si cewek manis bergaun hijau mint yang sedang menatap Ardy dengan tatapan tak bersahabat.
Kana, 16 tahun, teman sekelas Ardy—ah, sebenarnya dia sahabat Ardy. Tapi kalau ditanyakan padanya, ‘Kamu apanya Ardy?’, maka Kana akan menjawab, ‘Hanya teman sekelas.’
“Cantik-cantik tukang dobrak!” Ardy mengangkat alis kiri.
Kana tak menggubris. Ia melangkah lebar ke arah speaker dan mencabut kabel yang menghubungkannya dengan laptop. Kalau Kana sudah mengamuk begitu, Ardy hanya bisa mendengus geli. Selalu menjadi hiburan tersendiri buatnya.
“Lo sengaja, ya?” tanya Kana sambil mengempaskan bokongnya di kursi belajar Ardy.
“Rumah sepi bang—eh, lo ke sini bawa buku?” Ardy balik bertanya. Matanya tertuju pada dua buah buku yang dipegang Kana.
“Gue udah nyalin buat lo, Bego! Besok quiz Kimia.”
“Masa?!”
“Siapa suruh bolos!”
“Hati kecil gue yang nyuruh.” Ardy mengangkat pundak, acuh tak acuh.
“Dasar nggak menghargai waktu! Lo pikir lo bakal gini terus selamanya? Lo mau jadi apa kalo kerjaan lo bolos mulu? Buang-buang duit aja! Ya gue tau sih kalo lo anak orang kaya, anak rektor, anak pemilik yayasan, anak desainer kondang; bisa dapetin apa pun yang lo mau dengan uang. Tapi masa lo harus seenaknya kayak gini? Apa kalo gak lulus ujian lo bakal beli ijazah? Apa lo bakal nepotisme buat masuk univeristas? Bakal kolusi buat kerja? Apa-apa mau ngandelin duit? Gitu? Lo pernah mikir nggak sih, gimana hidup lo ke depannya? Gimana masa depan lo kalo lo kerjanya main-main mulu?!”
“Yang lo omongin barusan pertanyaan apa pernyataan? Butuh jawaban apa nggak?”
“Ardy!” Kana menggeram.
Lagi-lagi, tingkah gadis itu berhasil membuat Ardy tertawa.
“Gue bakal mati 30 hari lagi. Ngapain mikirin masa depan?”
“Ngaco! Emangnya lo lagi ngerencanain percobaan bunuh diri?”
“Nih ya, Kana Sayang, tadi gue ketemu laki-laki berpakaian serba hitam. Trus dia bilang, umur gue tinggal 30 hari lagi.”
Tawa Kana meledak seketika.
“Ye, malah ketawa. Gimana perasaan lo coba, kalau ada orang yang bilang gitu ke lo?”
Kana tak merespon. Ia terus tertawa.
“Lo alig banget sih?! Gue curhat malah diketawain!” ucap Ardy sambil melempar kepala Kana dengan bantal.
“Lo percaya?” tanya Kana sarkastis sambil memeluk bantal yang dilempar Ardy.
“Hmh. Tauk deh.”
“Trus kalo umur lo tinggal segitu, emang lo mau ngapain?”
“Apa ya?” Ardy mengacak rambutnya. “Gue bakal bikin Bokap dan Nyokap menderita.” Lalu tertawa dengan keras hingga air matanya keluar.
“Gila!” Kali ini Kana yang melempar kepala Ardy dengan bantal. Boro-boro menyentuh kepala Ardy, lemparan Kana mentok di lantai. Sedang Ardy mengusap air matanya sambil menghabiskan sisa tawanya.
“Ada usul nggak, Ka? Menurut lo, siapa yang harus gue kerjain di 30 hari sisa umur gue selain Mama dan Papa? Anak-anak di sekolah? Bantu gue inget siapa yang paling jahat ke gue.”
“Emang lo percaya omongan itu orang?”
“Gimana kalo bener?”
Kali ini Kana yang mengangkat pundak.
“Lo bakal ngapain kalo gue benar-benar mati 30 hari lagi, Ka?”
“Ngelanjutin hidup lah. Emang mau ngapain lagi?”
“Nangisin gue kek.”
“Najis! Unfaedah banget omongan lo!” Kana beringsut berdiri. Buku yang sempat diletakkan di atas meja ia ambil lagi.
“Nih, belajar baek-baek. Jangan bolos besok. Kalo nggak, jangankan 30 hari, lusa lo juga bakal dimatiin sama bokap lo kalo Pak Tristan ngelapor,” ucapnya sembari melangkah ke tempat tidur dan meletakkan buku itu di samping Ardy.
“Pak Tristan?” Alis Ardy mengerut.
“Guru Kimia baru. Lo bolos mulus sih, jadi ga tau kalo Pak Junedi udah digantikan sama Pak Tristan.”
“Pak Tristan guru Kimia baru?” Ardy surprise. Sejak kapan Bapak Junedi yang rendah hati dan enggak suka marah-marah diganti? Ardy sungguh tidak rela.
“Iya. Tetangga samping kanan rumah lo. Temen SMA bokap lo.” Kana tertawa puas melihat ekspresi mengenaskan Ardy.
“Eh, tapi, Dy ... emang lo gak takut mati?” tanya Kana tiba-tiba.
Ardy berpikir selama beberapa jeda. “Takut sih,” jawabnya sembari tertawa lirih. Kata orang-orang, mati itu sakit. Apa sesakit pukulan papanya? Apa sesakit omelan mamanya? Apa sesakit mendengar orangtuanya bertengkar? Apa sesakit hidup yang ia jalani? Kalau iya, atau kalau lebih ... ya, Ardy takut mati.
@isnainisnin Udah diperbaiki, Ukh. Jazakillah (Ga bisa emot ^^
Comment on chapter 4. Alasankalem banget emotnya XD