Banyak orang yang mengetahui maksud busuk Dea, si wanita licik yang berusaha mencari popularitas dibalik ketenaran orang lain. Dia bahkan tidak sedih ditinggal oleh sang pacar, Nevan. Dia terlihat enjoy saja, malah kini mendekati Adelio yang memegang kuasa penuh di sekolah. Cowok populer, kaya, dan cucu dari yang punya yayasan ini.
Adelio tidak pernah menolak jika ada yang mendekatinya, toh dia juga mengenali Dea sejak dahulu. Bagi dirinya oke-oke saja jika Dea kini keganjenan dengan dirinya. Adelio kini duduk diatas motor kesayangannya, sudah setengah jam dia memantau dan memperhatikan siapa saja yang datang tapi yang dicari tidak kunjung menampakkan diri. Dia mengontak temannya, menanyakan apakah sosok yang dia cari sudah hadir di dalam kelas, tapi jawabannya masih tidak.
Dia menegakkan punggungnya saat Thifa turun dari mobil yang biasa mengantarkan Nessa kesekolah. Ada guratan kesedihan yang terpancar diwajah Thifa, dia terlihat tergesa-gesa memasuki lobi utama. Tak lama Thifa keluar, dia memasuki mobil tadi dan meninggalkan sekolah. Adelio meloncat menuju lobi utama, menanyakan ada apa orang tua Nessa kesekolah, apa mungkin Nessa juga pindah, kalau iya apa gunanya Adelio masuk SMA Bakti?
“Itu bukan urusan kamu.” Jawab guru piket dengan jutek saat Adelio menanyakan maksudnya kesana.
“Loh itu urusan saya bu, Nessa itu sahabat saya.” Ucap Adelio yang masih mengakui Nessa sebagai sahabatnya.
“Sahabat apanya, dikira ibu nggak tahu ya kemarin kamu yang buat Nessa pingsan.” Tukas guru piket yang masih acuh tak acuh.
“Ini mah pencemaran nama baik bu, saya yang bantu Nessa loh bu. Kalau nggak ada saya, mungkin aja dia jatuh kelantai terus kepalanya terbentur, terus geger otak deh.” Ucap Adelio yang tidak diterima dituduh.
Guru piket tersebut menghelakan napasnya, dia memutar bola matanya dengan malas. “Oke, mau kamu apaan?” tanyanya dengan kesal.
“Tadi mama Nessa ngapain kesini bu?”
“Ni kasih surat izin Nessa kekelasnya, dia masuk rumah sakit.” Guru piket menyodorkan amplop putih dengan label rumah sakit.
“Sakit apa bu?”
“Kamu kepo banget sih.” ucap guru piket bete.
“Ayolah bu.”
“Katanya sih tipus, udah ah kamu ganggu aja. Jangan lupa antarin tu surat ke kelasnya.” Guru piket berdiri dari tempat duduknya, dan meninggalkan Adelio yang terdiam.
Nessa terperanjat saat tiba-tiba Thifa masuk keruangan inapnya, dia segera memalingkan wajahnya kejendela. Nessa puasa berbicara dengan Thifa, sebelum sang mama memberikan alasan yang jelas kenapa Nevan pindah ke Jerman. Thifa mendekat, dia mengusap lembut punggung tangan Nessa.
“Sayang lihat mama, jangan kayak gitu mulu.” Bujuk Thifa.
Tak ada jawaban, hati Nessa begitu keras sebelum dia mendapatkan apa yang dia inginkan dia bakalan tetap diam dan tidak mau makan.
“Oke, oke mama jelasin nih. Sewaktu kamu kabur sebenarnya yang paling kacau itu Nevan, awalnya mama nggak tahu sih karena dia seolah baik-baik aja di depan kami. Kamu tahukan Nevan punya masalah soal pernafasannya dulu?” tanya Thifa, Nessa yang menyimak mengangguk pelan.
“Dia ngerokok Nessa, parah banget mama aja nggak menyangka hingga dia masuk rumah sakit. Nevan kena kanker paru-paru,” ucap Thifa tertunduk.
“Mama nggak bohongkan? Nggak mungkin ma.” Nessa seolah tak percaya, histeris.
“Buat apa mama bohong, Stadium awal, dan papa mencari pengobatan yang terbaik Nessa yaitu di Jerman. Kita doakan Nevan bisa kuat berjuang ya dan pulang dalam keadaan sehat kembali.” Thifa membelai rambut Nessa.
Nessa mendesah, dia tidak bisa menahan air matanya lagi. Ini semua salahnya, semua jadi berbuntut panjang dan rumit hanya karena tindakkannya yang bodoh. Thifa menarik Nessa dalam pelukkan, mencium puncak kepala Nessa.
“Papa nggak ngizinin kamu tahu takut kamu ngedrop Nessa, cuman itu saja.”
“Tapi aku harus ada di samping Nevan ma, harus!” ucap Nessa setengah membentak.
“Iya tapi kamu harus makan dulu ya, Nevan bakalan sedih kalau tahu kamu sakit. Kamu mau nambah beban pikiran Nevan lagi?” Nessa menggeleng, dia berusaha memperbaiki posisinya menjadi duduk. Thifa mengambil bubur yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit kemudian menyuapkannya ke Nessa, dengan amat terpaksa Nessa makan bubur yang sebenarnya tidak ada rasa itu.
Pintu kamar terbuka, cowok dengan seragam berantakkan hadir menyapa. Sepertinya Nessa tidak mengharapkan kehadirannya, tapi dengan senyuman Thifa menyambut.
“Ngapain lo di sini?” Tanya Nessa jutek.
“Pagi tan.” Ucapnya menyalami Thifa, tanpa menganggapi pertanyaan Nessa.
“Pagi juga Lio.” Dia Adelio, yang rela cabut hanya untuk melihat kondisi Nessa.
“Kebetulan ada Adelio, titip Nessa bentar ya, tante mau jemput El dan Gibran dulu.” Thifa mengambil tasnya, mencium kening Nessa kemudian keluar ruangan.
Tatapan Nessa seperti menyimpan rasa benci yang amat luar biasa pada Adelio, tangannya mencengkram sperai kasur. Adelio menarik kursi mendekati ranjang Nessa dan mendudukinya. Dia tidak membalas tatapan tajam Nessa hanya saja tersenyum manis.
“Lo anggap gue apa?” tanya Adelio yang membuat Nessa bingung.
“Lo anggap gue apa Nessa?” dia mengulang kembali pertanyaannya.
Nessa diam.
“Kalau sakit tipus itu pendengaran jadi budek ya?” kenapa Adelio selalu membuat Nessa bergelimang emosi.
“Gue nggak kenal lo.” Lirih Nessa nyaris tidak bersuara, tapi karena Adelio berada diposisi dekat Nessa dia dapat mendengarnya walau sedikit samar.
“Gue Adelio Orlando Arsenio, cowok ganteng yang temuin cewek cantik di terminal kemudian mencarikan dia kos dan kerjaan. Gue juga yang selalu ada buat cewek tersebut selama dua bulan.” Tukasnya.
“Oh.” Jawab Nessa singkat.
“Sudah kenal?”
“Gue nggak pernah kenal sama lo, Adelio yang gue kenal itu ramah, baik, lucu bukan yang suka ngerokok, berkelahi, menindas banyak orang.”
Adelio mengangguk paham, dia melempar pandangannya ke jendela yang sengaja terbuka agar sirkulasi udara dapat berjalan lancar.
“Kalau gue nunjukin sikap asli gue saat itu bukannya nenek gue sehat malah bakalan koma karena di panggil oleh pihak sekolah.” Jelasnya singkat.
“Dan lo itu pembohong besar.” Ucap Nessa dengan tatapan tajam.
Adelio tersenyum, dia mengangguk setuju karena memang benar jika dia adalah pembohong besar.
“Lo pergi deh, gue mau istirahat.” Nessa kembali dalam posisi tidur, menarik selimut sampai menutupi wajahnya kemudian berbalik membelakangi Adelio.
“Maunya pergi sih tapi tante Thifa nitip lo sama gue, nanti gue dibilang nggak amanah.” Ucap Adelio.
Nessa mendengus kesal, kenapa Adelio hadir kembali disaat dia membencinya.
***
Sudah banyak siswa yang menduduki bangku mereka masing-masing, ada yang tengah mengerjakan pr, ada juga yang pagi-pagi sudah menggosip. Kehadiran Adelio membuat kelas menjadi sepi mengalahkan kuburan. Adelio berjalan menuju tempat duduk teman-teman Nessa.
“Nessa masuk rumah sakit.” Ucapnya menyodorkan amplop tadi.
“Sebenarnya maksud lo apa sih? bikin gue kesal deh. Lo suka Nessa atau musuhin Nessa?” tiba-tiba Tari berdiri menatap tajam mata Adelio.
“Nggak kedua-duanya.” Jawab Adelio dengan santai.
“Yaudah jangan ikut campur urusan dia, semenjak dia kenal lo hidupnya jadi rumit.” Intan menarik Tari menjauh, mencari masalah dengan Adelio bukan hal yang baik.
Adelio tersenyum sinis, “Lo cerewet banget, gue mau anggap Nessa apa ya terserah gue dong. Ngapain lo yang sewot, lagi pula gue kesini di suruh guru piket buat nganterin surat dia.” Ketus Adelio dan melangkah meninggalkan kelas.
Adelio merogoh sakunya, mengambil kunci dengan gatungan tengkorak.
“Adelio kamu kemana?” tanya Pak Yakup setengah berteriak, yang di tanya tidak menjawab dan malah mempercepat langkahnya.
“KAMU ITU SISWA BARU DISINI, JANGAN BERANI CABUT YA.” Teriak Pak Yakup, Adelio tak menggubris, dia berlari menuju parkiran saat menemukan motornya dia langsung tancap gas meninggalkan perkarangan sekolah.
Adelio menuju rumah sakit tempat Nessa di rawat, dia mengetahuinya dari alamat yang tertera di amplop tadi. Pikiran Adelio seketika kacau, apa mungkin Nessa sakit karena dirinya yang menantang Nessa untuk menjadi pengganti Nevan, tapi itu hanya sekedar permainan yang dia buat agar hidupnya tidak menoton.
Setiba di rumah sakit Adelio menanyakan tempat Nessa dirawat pada suster, langkah Adelio yang panjang mempercepat waktunya menuju tempat Nessa. Ada mama Nessa disana tengah menyuapkan bubur pada Nessa yang tidak semangat makan, kesedihan kini menyelubungi hati Adelio untuk sesaat.
***
Nessa tertidur, mungkin karena efek obat yang diminum. Adelio menatap wajah Nessa yang menyimpan kesedihan mendalam, dia juga kepo dengan Nevan kenapa musuhnya pergi disaat dia kembali. Apa yang salah, sejauh yang dia tahu Nevan cowok yang tidak pengecut, menyelesaikan masalah sampai tuntas. Nevan dan Adelio benar-benar beda, Nevan begitu lihai menyimpan semuanya sendiri, sedangkan Adelio tidak, dia malah mencari pelampiasan atas penderitaan yang dia terima.
Adelio tersentak saat pintu ruang inap Nessa terbuka, muncul sepasang manusia dengan buah-buahan ditangan mereka. Mata Adelio mengikuti langkah mereka, sampai tepat disamping ranjang Nessa dan seberang Adelio.
“Nessa tidur, pulang gih.” Usir Adelio santai
“Lo yang pulang, bukannya sehat Nessa bisa makin sakit lihat lo.” Protes salah satu diantara mereka, Dira, sahabat Nessa.
“Jangan dilawan Ra, anggap aja dia nggak ada.” Ucap Athala yang datang bersama Dira.
“Gimana anggap dia nggak ada kak, tuh anak badannya besar wajahnya bikin emosi mendidih.” Dira sewot melihat Adelio.
“Hufft, ya penting kamu jangan lihat kearah dia, kitakan kesini buat membesuk Nessa bukan dia.” Ucap Athala, dia meletakkan sekeranjang buah di meja Nessa. Dira mengangguk paham..
Terasa terganggu Nessa bangun, dia mengejapkan mata memastikan siapa yang tengah mengisi bola matanya. Athala tersenyum, lesung pipitnya membuat Nessa sedikit membaik. Dira juga melambai pada Nessa.
“Kak Athala, Dira?” ucap Nessa memastikan.
“Jangan duduk dulu Ness, tiduran aja ya.” Cegah Athala saat Nessa berencana untuk duduk, Nessa mengangguk lemah.
Nessa melirik Adelio yang duduk di sebelah kanannya, dia seolah tidak peduli dengan kehadiran Athala dan Dira.
“Kamu nggak apa-apa kan Nessa? Kakak cemas loh.” Ucap Athala.
“Caper banget.” Celetuk Adelio yang enggan melirik mereka.
“Nggak apa-apa kok Kak, cuman kelelahan doang.” Nessa mengembangkan senyumnya dengan bibir pucat dan mengabaikan Adelio yang sewot sendiri.
“Syukur deh.”
“Lo sama Kak Athala cabut juga?” tanya Nessa.
“Lo kira kita sama kayak dia gitu? Beda jauhlah, gue resmi dari perwakilan kelas dan kak Athala resmi dari perwakilan Klub Sastra.” Jelas Dira.
“Gue juga resmi kok.”
“Oh ya? Nggak nanya.” Ucap Dira membuat Adelio terdiam.
Adelio berdecak kesal, dia berdiri dan berjalan mendekati jendela kamar. Pemandangan yang cukup indah, dari sana dia bisa melihat kota dari ketinggian.
“Ness dia kenapa ada disini sih? lo betah gitu dekat-dekat sama dia?” tanya Dira setengah berbisik, tapi masih bisa Adelio dengar.
“Gue nggak mengharapkan kehadiran dia kok.” Lirih Nessa.
Setelah mengecek ponselnya, tiba-tiba Adelio mengambil tasnya dan keluar ruang inap Nessa. Mereka saling melempar pandangan, apa Adelio tersinggung dengan perkataan Dira dan Nessa.
“Gue salah bicara ya?” tanya Dira pada Athala dan Nessa.
“Nggak kok, lebih baik nggak ada dia.” Ucap Athala.
Athala cemas saat mendengar kabar Nessa masuk rumah sakit, dia berprasangka jika Nessa drop karena dirinya yang memaksa Nessa untuk menyelesaikan tugas di klub sastra. Athala juga banyak memberikan tekanan pada Nessa karena ulah Nessa dan Nevan organisasi jadi kacau. Nevan yang pindah secara mendadak menandakan kepemimpinan OSIS jadi kosong, banyak program yang dia tinggalkan dan bebarapa hari lagi acara tahunan sekolah akan diadakan padahal acara tersebut peran ketua OSIS sangat diperlukan.
“Soal tugas-tugas itu kamu jangan pikirin dulu ya Ness, biar kakak aja yang ngurusinnya. Nggak apa-apa kok.” Ujar Athala dengan senyuman manisnya.
“Tapi kak, kakak kan sudah kelas dua belas mana ada waktu buat gituan dan memang guru masih bolehin siswa kelas dua belas aktif organisasi?”
“Nggak boleh sih, tapi gimana lagi dari pada kacau. Lagi pula cuman satu bulan ini kok, sesudah itu Devo bakalan naik jadi ketos dan jika Nevan kembali dia nggak bisa jadi ketos lagi, pembina kecewa banget sama tuh anak.” Tutur Athala.
Nessa paham, sejak awal dia tidak pernah setuju jika Nevan jadi OSIS. Nevan hanya bermodal ketenaran dan berjiwa pemimpin itu saja tidak lebih. Cukup lama berbincang akhirnya Athala dan Dira pamit kembali kesekolah, mereka tidak bisa lama-lama karena waktunya hanya sampai istirahat kedua. Kini tinggal Nessa sendiri yang bermenung menatap ruangan serba putih, bukan saja fisiknya yang lelah jiwanya juga.
***
Tiga hari dirawat di rumah sakit, dua hari rawat jalan membuat Nessa muak berdiam diri di kamar. Dia berusaha bangkit dari tidurnya, mengapai handuk yang tergantung di paku belakang pintu. Hanya sedikit pusing, mungkin itu dapat menggambarkan kondisinya dipagi yang cerah ini. Keadaan Nevan di Jerman juga mulai membaik, meski kepulangannya belum dapat ditentukan.
Dengan tertatih Nessa menuju kamar mandi, dia mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Membiarkan air menjalar membasahi wajahnya yang kusut karena sakit, dinginnya air setidaknya cukup membuat pikiran dia kembali segar. Setelah mandi dia mengambil seragam yang terlipat rapi di lemari kayu, bau pewangi menyengat indra pembaunya.
Hanya sidikit polesan bedak diwajah dan lip los membuat wajah Nessa bersinar kembali, kecantikan natural kembali terpancarkan. Thifa kaget saat Nessa keluar dari kamar dengan kondisi siap pergi sekolah. Dia melangkah tergesa-gesa mendekati Nessa yang hendak menutup pintu kamar.
“Kamu yakin sudah mau sekolah?” tanya Thifa cemas.
Nessa tersenyum.
“Aku bosan ma tiduran mulu.” Jawabnya melangkah menuju meja makan.
“Mama nggak masak Ness, mama kira kamu nggak sekolah.” Thifa menghidupkan kompor gas, dia berencana menggoreng telur untuk Nessa.
“Nggak usah repot ah ma, nanti Nessa sarapan di sekolah aja.” Buru-buru Nessa meraih tas sekolahnya, menyalami Thifa dan berlari menuju depan rumah. Pak Agus sudah siap dengan mobilnya.
Thifa bingung dengan Nessa kenapa bergegas untuk kesekolah, bukankah bel sekolah masih satu jam lagi. Dia menggeleng, kemudian menutup pintu saat mobil meninggalkan halaman.
Nessa menatap jalanan yang masih sepi, tidak ada alasan jelas kenapa dia tergesa-gesa menuju sekolah. Mungkin saja dia kangen sekolah, atau kangen dengan Adelio? Hm, Adelio tidak lagi menampakkan batang hidungnya semenjak hari pertama Nessa dirawat, apa benar dia tersinggung dengan ucapan Nessa dan Dira.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang, sekolah masih sepi hanya terlihat satu atau dua siswa yang baru datang memasuki gerbang. Nessa membuka pintu mobil, dia tersenyum pada Pak Agus kemudian berjalan menuju gerbang sekolah. Ada seulas senyum yang dia berikan pada pagi ini, mungkin dia sudah kangen dengan suasana sekolah yang sudah satu minggu dia tinggalkan.
Kehadiran Nessa disambut oleh Intan yang selalu menjadi yang pertama datang di kelas. Dia memeluk tubuh Nessa sampai terhuyung kebelakang.
“Lo kenapa nggak bilang mau sekolah sih?” tanya Intan yang butuh penjelasan sesegera mungkin.
Nessa tidak segara menjawab, dia meletakkan tasnya pada korsi dan duduk disebelah Intan.
“Ya lupa.” Jawabnya singkat.
“Ada kabar mengerikan.” Ucap Intan.
Nessa menatap dengan penasaran, kelas yang masih sepi membuat mereka bebas membicarakan siapa pun tanpa takut terciduk. Intan mendekatkan tubuhnya, sepertinya yang akan dia bicarakan bersifat pribadi.
“Adelio di scorsing.”
“Hah? Kenapa bisa?”
“Satu minggu yang lalu, hari pertama lo di rawat dia berkelahi sama anak sekolah lama dia. Bisa dibilang mantan anggota geng dia, yang gue denger-denger dia dibilang penghianat karena pindah sekolah. Perkelahian tidak dapat dihindarkan, gila lo bakalan tercengang ngelihat Adelio berantem Ness, anak orang jadi koma.” Jelasnya membuat Nessa terpana.
Jadi yang membuat Adelio tiba-tiba pergi dari ruang inap Nessa karena itu, Nessa mengangguk paham. Tapi, segitu parahkan sampai Adelio membuat anak orang koma. Dia melengah, hampir saja dia serangan jantung saat kedua matanya beradu dengan mata Adelio yang kebetulan melintas melewati kelasnya.
“Lo bilang dia scorsing tapi kenapa dia sekolah, pagi-pagi lagi.” Tanya Nessa.
“Hah serius lo? Di scorsing selama dua minggu loh.”
“Astagfirullah.” Teriak Nessa dan Intan serentak, tiba-tiba yang mereka bicarakan telah berada dibelakang mereka.
Dari mana Adelio masuk.
Adelio menarik kursi dan mendudukinya, dia datang tanpa seragam sekolah. Baju kaos oblong dengan celana jeans selutut. Tanpa ada ekspresi dia terus menatap Nessa yang masih mengatur napasnya yang masih memburu karena kaget. Cukup lama kelas ini hening, murid kelas XI IPA 1 yang baru datang pun mengurungi niatnya masuk dalam kelas saat mengetahui ada Adelio di sana. Mereka kini benar-benar menghindar dari biang onar dimana pun dia berada.
Intan menyikut Nessa, dia mulai ketakutan memperhatikan Adelio dengan tampang datar, meskipun masih terlihat keceh badai. Nessa beranjak berdiri, dia menarik tangan Intan untuk pergi dari sini. Dengan sigap Adelio mencegat jalan mereka, memblokade jalan agar mereka tidak kemana-mana.
Nessa mengerti isyarat yang Adelio berikan, yang meminta mereka untuk kembali duduk di tempat. Dia mengajak Intan kembali duduk, mengenggam tangan Intan pertanda mereka akan baik-baik saja.
Intan melirik keluar jendela, sudah banyak siswa yang mengintip penasaran dengan apa yang tengah terjadi.
“Ini sebenarnya rahasia gue sama Nessa, tapi karena lo terlanjur ada biarlah ini jadi rahasia kita berempat.”
“Lho kok berempat, kita cuman bertiga.” Protes Nessa.
“Lo, gue, dia, dan Tuhan.” Jawabnya singkat tapi penuh makna.
“Oh.”
Adelio menarik napas kemudian membuangnya, dia melakukan ini berkali-kali. Dia mengetuk meja dengan kukunya yang dibiarkan memanjang. Jam dinding berbunyi seakan menambah ketegangan di kelas ini. Nessa maupun Intan menunggu bibir Adelio terbuka dan berbicara, mereka tidak betah dengan keadaan seperti ini.
“Musuh Nevan tahu kalau lo kembaran Nevan,” Ucapnya.
Mata Nessa terbulalak menatap Adelio yang kini makin panik.
“Beri gue waktu lima menit untuk mengungkap gimana Nevan.” Lanjut Adelio, dia melirik jam dinding di atas papan tulis sepertinya sepuluh menit lagi bel akan berbunyi.
“Nevan sangat lihai dalam menyimpan apapun, termasuk persoalan ini. Sosok yang selalu lo bilang belum apa-apa dengan gue itu, malah lebih parah. Gue nggak habis pikir kenapa Nevan yang tumbuh di keluarga harmonis bisa lebih parah dari gue yang sejak lahir dihadirkan di keluarga yang kacau balau. Tapi kita nggak bahas soal ini, Nevan memiliki banyak teman dan tentunya juga banyak musuh termasuk gue yang tiba-tiba dianggap musuh oleh dia. Banyak orang yang dia kalahkan dan tentunya juga banyak orang yang ingin balas dendam. Awalnya cuman gue musuh Nevan yang tahu lo kembaran dia, dan gue nggak mungkin ikutin lo dalam masalah gue. Tapi lain orang lain prinsip Ness, mungkin banyak musuh Nevan yang mau lo juga terseret dan lo tahukan jika Nevan tersiksa lo bakalan tersiksa dan begitu sebaliknya. Gue nggak tahu ya kenapa dia hilang begitu saja, tapi gue cuman mau bilang jaga diri lo baik-baik. Ada yang aneh lo teriak minta tolong aja, karena balas dendam itu mengerikan dan gue pernah mengalaminya.” Jelas Nevan.
Nessa terdiam.
“Selamat datang, gue tahu lo sekolah bukan karena sudah sehatkan tapi karena bosan? Belajar yang giat, soal persoalan yang kemarin jangan dipikirin karena kita masih sahabatan.” Adelio tersenyum simpul, dia mengacak rambut Nessa dan beranjak meninggalkan sekolah.
Teman kelas Nessa berhamburan masuk kelas saat Adelio sudah melangkah menjauh. Mereka menanyakan apa yang telah terjadi, Nessa maupun Intan bungkam seribu bahasa karena masih syok dengan apa yang Adelio ucapkan.
Pandangan Nessa tak lepas memperhatikan papan tulis putih yang penuh dengan coretan penting pak guru, ucapan Adelio masih terngiang di benaknya. Nevan memiliki banyak musuh? Tapi dia selalu melihat Nevan sebagai saudara yang cukup baik, pulang tepat waktu dan hanya sesekali pergi malam. Sangat banyak yang Nevan rahasiakan padanya, dan kini dia harus menanggung rasa cemas karena semua musuh Nevan tahu kalau mereka kembar.
“Kalau gue mati gimana?” tanya Nessa.
“Apaan sih Ness.” Dira kesal medengar pertanyaan Nessa.
“Musuh Nevan itu banyak Ra, nanti kalau gue diapa-apain gimana? Gue kan cewek.” Nessa makin cemas.
“Lo tenang dulu deh Ness, Adelio nggak bakalan diam lihat lo dilukai dan masih ada teman-teman Nevan yang bakalan lindungin. Lagi pula ya Ness, negara kita itu negara hukum, kalau lo sudah merasa terancam bisakan laporin kepolisi?”
Intan mengangguk setuju dengan argument Tari,
Nessa mengangguk lemah, rasa gelisah kini menghujam perasaannya. Kapan dia akan hidup secara normal, seperti dahulu.
***
“Cewek.” Seru seseorang yang disusul dengan siulan, dia memasukan kedua tanganya pada saku celana.
Langkah Nessa terhenti, napasnya memburu karena cemas. Cowok dengan wajah lumayan, kulit cukup gelap melangkah mendekati, bibirnya membuat seringaian yang mengerikan. Nessa melangkah mundur sampai mentok ke tembok sekolah, dia memperhatikan seragam cowok tersebut yang ada lambang sekolah SMA Jati dan bernama Riski
“Mau apa lo?” tanya Nessa, bibir dia pucat.
“Mau bersenang-senang.” Godanya.
Koridor belakang selalu sepi saat jam pulang karena selalu dikabarkan banyak hantunya. Nessa menyesal memilih korodor itu, andai saja dia tetap konsisten dengan jalur biasa mungkin dia tidal bertemu dengan Riski. Nessa menepis tangan Riski yang mendekat, tapi seringaian Riski malah menjadi-jadi.
“Nyakitin lo sama dong dengan nyakitin saudara lo?” kedua alis Riski naik, dia mendekatkan wajahnya pada Nessa yang sudah tidak bisa lagi lari.
Ucapan Adelio langsung terngiang, Ada yang aneh lo teriak minta tolong aja.
“Toloooongggggggg, siapa pun tolongin gue.” Teriak Nessa.
Riski sempat kaget karena teriakan itu persis mengenai gendang telinganya, segerombolan cowok datang dari berbagai tempat. Nessa dapat bernapas lega saat mereka melangkah mendekati, tapi itu hanya berlangsung beberapa detik sampai Nessa melihat lambang sekolah SMA Jati yang terpampang di dada mereka. Bagaimana bisa mereka menyusup masuk kesekolah. Nessa makin cemas.
“Jangan teriak, nanti lo kehilangan tenaga buat ngelayanin kita-kita.” Ucap salah satu dari mereka, Agus.
“Maksud kalian, apa-apaan? Gue nggak kenal sama kalian semua, dan gue nggak punya masalah sama kalian.” Nessa makin cemas, keringat dingin bercucuran membasahi keningnya.
“Aduh duh, sayang gue sampai keringatan.” Riski menyeka keringat Nessa.
Nessa menepis tangan tersebut, dia harus apa?
“Jangan beri perlawanan deh, percuma habisin tenaga. Nggak ada yang bisa bantuin lo, dan lo pasrah aja deh.”
“Bangsat! Cowok kurang ajar kalian semua, cuman berani lawan perempuan.” Umpat Nessa dengan tenaga yang tersisa.
Mereka sekitar sepuluh orangan, melangkah makin mendekat mengepung Nessa yang pucat. Dia sudah memberonta tapi sayang tenaganya kurang kuat dengan Riski. Pasrah? Itu bukan tipe Nessa, dia masih berteriak minta tolong berharap orang yang ada dikoridor depan terdengar. Tapi lagi-lagi usaha Nessa terlihat sia-sia.
“KURANG AJAR LO SEMUA.”
Adelio, Alan, Ali, David, beserta teman-teman Adelio datang meluncurkan tinjuan mereka. Ali menarik Nessa keluar dari arena perkelahian, Nessa yang takut langsung memeluk tubuh Ali. Untung saja mereka datang tepat waktu, jadi pelecehan yang akan dilakukan oleh sekelompok cowok bangsat itu gagal. Nessa tak melepas dekapannya, dia tidak ingin sendirian lagi.
“Ngapain lo disini sih Ness, ngapain nggak langsung pulang?” tanya Ali hati-hati.
“Niatnya gitu Al, tapi entah kenapa gue kepikiran mau lewat sini.”
Koridor belakang selalu menjadi tempat SMA Jati dan Bakti berkelahi, halaman yang luas, jauh dari keramaian plus belum ada cctv. Sebenarnya tadi SMA Jati menunggu kehadiran Adelio dan kawan-kawan tapi melihat Nessa, tujuan mereka seketika berubah. Melukai dan membuat Nessa ancurlah tujuan mereka kini, sebab sudah banyak yang Nevan perbuat sehingga membuat mereka dendam.
Seakan mengerti maksud dari Adelio, Ali mengajak Nessa untuk pergi. Sebenarnya Ali, Alan, dan David belum baikan tapi karena Nessa mereka kini bekerja sama. Dia membawa Nessa pergi dari sekolah, bibir Nessa yang pucat dan suhu tubuhnya yang panas menandakan bahwa Nessa masih syok. Ali tidak berani membawa Nessa pulang dengan kondisi seperti ini.
“Lo duduk dulu ya, gue mau beliin minum.” Suruh Ali.
Nessa menahan tangan Ali, dia menggeleng takut.
Ali menghelakan napasnya, dia kembali duduk disebelah Nessa. Kini mereka sedang berada di alun-alun kota, cukup sepi sih karena disana ramainya sore menjelang magrib. Dia menatap wajah Nessa yang masih ketakutan.
"Dulu Nevan pernah buat salah satu dari mereka koma dan ketua mereka masuk penjara.” Jelas Ali.
“Nevan nggak kayak gitu Al, Nevan anak yang baik meski hobi berantem tapi masih wajar kok.” Nessa membela saudara kembarnya.
Ali tersenyum tipis, dia mengacak rambut Nessa gemas. “Lo mana tahu Ness, nyokap lo juga. Yang sering ngurusin Nevan kan bokap lo, mereka merahasiakannya. Ya bokap lo itu frendly banget, bantuin kita-kita kalau terjebak dalam masalah. Kata dia sih Nevan kayak gitu juga karena dia dulu juga begitu.” Jelas Ali terdengar santai.
Nessa makin syok, apa lagi yang tidak dia ketahui. Bagaimana semua ini dapat tertutup rapat, atau mungkin karena dia dulu bersikap apatis. Dia menyandarkan kepalany pada dada bidang milik Ali, karena sahabat Nevan mungkin dia terasa begitu dekat. Ali sempat kaget, bingung mau ngapain karena dia tidak pernah dekat sama cewek.
Ponsel Ali berdering, vidio call dari Nevan. Mungkin teman-temannya telah memberitahu kalau Nessa berada bersama dia kini. Mau tak mau Ali menerima vidio call tersebut
dia siap menerima ocehan dari Nevan saat melihat posisi Nessa saat ini.
Ekspresi Nevan langsung berubah, emosinya mendidih saat melihat gambar dari layar ponselnya. Mata dia terbulalak kemudian menatap tajam Ali agar menjelaskan semua ini.
“Ness, Nevan nih.” Lirih Ali.
Nessa menegakkan kepalanya, menatap layar ponsel Ali kemudian membuang muka kearah lain. Nevan menghelakan napas, dia sedih melihat kondisi saudara kembarnya saat ini.
“Nessa hampir diperkosa sama geng Riski.” Lapor Ali.
“Sudah tau, David yang bilang tadi.” Jawab Nevan singkat.
“Lo jangan marah dong Van, dia tadi cuman numpang sandaran doang. Gue nggak ngapa-ngapain dia kok suer.” Jelas Ali takut.
“Ngapain nggak lo ajak pulang sih? cari kesempatan dalam kesempitan banget.” Celetuk Nevan tajam.
“Bukan gitu bos, gue takut dimarahin mamak lo bawa anak dalam kondisi syok gini.”
“Hmm, kasih hape sama Nessa.”
“Jangan dong Van, lo tahu sendirikan kondisi keluarga gue. Beli hape ini gue harus kerja dulu.”
Nevan memutar bola matanya kesal, “Maksud gue, berikan hape lo bentar sama Nessa gue mau ngomong, nanti ambil lagi.” Jelas Nevan.
Ali menyengir, dia mengikuti permintaan Nevan. Tapi Nessa menolak, dia masih kesal. Karena Nevan hampir saja kehormatannya direngut.
***
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)