Menghilangnya Nevan bersama hadirnya Nessa dengan mata sembab membuat se isi sekolah kebingungan. Nessa melangkah gontai menelusuri koridor, banyak orang yang menanya kemana Nevan dan dia tidak mengacuhkannya. Intan melompat menyambut kemunculan Nessa dari balik pintu kelas, dia memeluk tubuh Nessa yang kaku.
“Lo kemana aja, lo menghilang Nevan juga menghilang.” Tanya Intan.
Nessa tersenyum tipis, dia lepaskan tas yang dia sandang kemudian duduk di kursi kayu yang sudah dia tinggalkan selama empat hari. Dira dan Tari yang baru datang juga langsung melompat menuju Nessa, dia pandangnya wajah Nessa yang menjadi pertanda semua dalam kondisi tidak baik.
“Kalau ada masalah cerita Ness, nggak baik nyimpan sendiri.” Lirih Dira.
“Nevan pergi ninggalin gue, dia pindah ke Jerman bareng bokap tanpa alasan yang jelas.” Tutur Nessa menatap lurus punggu Rifki yang duduk didepannya.
“Kok bisa?”
Nessa menggeleng lemah, dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Intan mengusap punggung Nessa, berharap sang sahabatnya dapat merasa baikan.
“Ini semua karena Adelio brengsek itu, andai aja dia nggak sekolah di sini Nevan nggak bakalan pergi dan andai saja gue nggak kenal sama dia jalan hidup gue nggak bakalan gini.” Umpat Nessa dengan emosi mendidih.
“Sudah empat hari lo libur dan empat hari juga Adelio bolak-balik nyariin lo Ness.” Gumam Tari.
Nessa bangkit, ada suatu urusan yang harus diselesaikan. Adelio, dia sudah tidak sabar mencaci maki sosok yang membuat dirinya terpuruk. Intan, Dira, maupun Tari tidak bisa mencegah Nessa yang sudah bergejolak menahan emosi. Nessa tidak peduli harus pergi ke wilayah kekuasaan kelas dua belas, mendengar sumpah serapah dari mereka karena Nessa benar-benar sangat emosi.
Tapi, Adelio kini berada di samping tangga bersama teman-temannya. Dia segera menghampiri Nessa saat melihat langkah Nessa yang panjang dan tergesa-gesa.
“Lo ba—“
“Mau lo apa sih hah? Puas buat hidup gue hancur, dari dulu niat lo memang gini kan?” potong Nessa yang tidak mengizinkan Adelio bicara.
“Kenap—“
“Gue kira lo itu baik ya, ternyata lebih busuk dari bunga bangkai yang pernah ada. Lo sudah buat Nevan pergi.” Tukas Nessa menatap tajam mata Adelio, dia tidak peduli terhadap kawan-kawan Adelio yang juga bingung.
“Nevan pergi? Wah kurang ajar banget tuh anak, bukannya nyambut tamu dengan baik eh malah kabur.” Adelio menampakkan sikap aslinya sehingga membuat Nessa makin geram.
Plak
“Lo yang kurang aja! Nggak seharusnya lo ada disini, karena sekolah ini nggak menampung orang kayak lo.” Bentak Nessa yang mengundang perhatian dari banyak orang, siswa kelas dua belas turun menyaksikan perkelahian antara Adelio dan Nessa.
Adelio meringis kesakitan, dia mengusap pipinya yang merah akibat tamparan Nessa. Beberapa detik kemudian Adelio menyeringai, dia memiringkan kepalanya dan tertawa geli. Sikap Adelio membuat darah yang ada di ubun-ubun kepala Nessa mendidih, bukannya sadar Adelio malah mengejek kehadiran Nessa.
“Jadi lo nantangin gue buat gantiin Nevan, gitu hah?” suara Adelio meninggi membuat Nessa jadi terkesiap.
“Gue nggak takut sama lo!”
“Oke, lo kira gue takut gitu sama lo. Kasih sedikit pelajaran juga langsung nangis.” Ejek Adelio.
Nessa mengehembuskan napas beratnya, ditatapnya tajam-tajam semua orang yang kini telah membentuk lingkaran menmpatkan dirinya dan Adelio di tengah sebagai objek tontonan. Alan dan David tiba-tiba berdiri didepan Nessa sedangkan Ali menarik paksa Nessa agar menjauh.
“Lo sama kembaran lo itu nggak ada bedanya ya, suka banget cari masalah.” Bisik Ali dengan suara tajam. Nessa mendesis, dia melepaskan tangan Ali yang mencengkram lengannya.
“Oh jadi lo mau jadi pahlawan gitu?” tanya Adelio dengan santai.
“Cuman banci yang mau ngelawan cewek.”
“Banci? Bukannya kalian yang banci ya, eh salah ketua kalian yang banci.” Ucap Adelio meremehkan. Ali langsung mencegah Nessa yang berniat menghampiri Adelio.
“Lo apa-apaan sih Al, gue nggak terima kalau dia ngomong gitu tentang Nevan.”
“Lo itu cewek, sadar posisi deh. Nevan nggak ada lagi buat lindungi lo Nessa, sudah deh ikut gue kekelas.” Alan menarik paksa Nessa keluar dari lingkaran manusia tersebut. Biarlah Adelio jadi urusan David dan Alan.
“Lo tahu kan apa alasan Nevan pindah?” sedari tadi Ali dilempari pertanyaan sejenis itu oleh Nessa.
“Lo aja kembarannya nggak tahu apa lagi gue.” Tukasnya.
“Lo sahabat Nevan, pasti tahu lah. Nggak perlu ada rahasia-rahasia deh.”
“Lo kenapa suka banget nyolot sih.”
“Lo nggak suka?” tanya Nessa menatap tajam.
“Lo nggak ada bedanya dengan Nevan, untung gue sudah biasa ngadapin Nevan kalau nggak.” Ucap Ali gregetan.
“Kalau nggak apaan?” mata Nessa melotot.
“Sudah gue pacarin lo.” Ali menutup pembicaraan, dia meninggalkan Nessa di kelas. Ali kembali menuju tempat teman-temannya, tapi semua telah bubar karena Pak Yakup datang.
Pindahnya Nevan merupakan kekalahan telak baginya, mau tak mau teman-teman yang selalu mendukung Nevan kini pindah mendukung Adelio. Tidak ada lagi dua kubu yang akan bersitegang karena salah satu paling inti sudah menyatakan mengalah. Alan, David, dan Ali masih tetap membela Nevan, dia tidak lagi ikut campur dalam penguasaan sekolah. Tugas utama mereka hanya memantau dan melindungi Nessa.
Kepindahan Nevan masih sebuah mesteri yang sampai kini tidak ada yang tahu penyebabnya, banyak dari fans Nevan berandai jika Nevan pindah karena takut dengan Adelio. Sebenarnya itu pengandaian yang luar biasa salahnya, jika dilihat dari segi manapun diantara mereka berdua Nevanlah sosok yang keras kepala dan bandel tapi dengan bagitu ahli dia dapat menyembunyikannya begitu rapi sampai gurupun terkecoh.
Nessa juga menyatakan mundur dalam klub sastra, dia melepas tanggung jawabnya sebagai bendahara sebelum melaksanakan tugas dengan baik.
“Kemarin lo menghilang, Nevan yang frustasi. Sekarang Nevan yang menghilang dan lo yang frustasi. Mau kalian berdua ini apaan sih? Nggak sanggup pisah? Yaudah ngapain nggak sekalian keduanya menghilang?” Athala geram dengan sikap Nessa yang menurutnya labil.
“Kalau dia ngajak gue menghilang gue ikut kali kak, ini mah kagak.” Jawab Nessa singkat.
“Lo bisa tanggung jawab nggak sih? acara tahunan sekolah H-29 loh. Ketua OSIS pergi lagi, dan lo bendahara mau mengundurkan diri. Nyesal gue ngedukung Nevan buat jadi ketua OSIS, tahu nggak ini tahun kacau banget karena kalian berdua,” Athala masih saja mengomeli Nessa yang sudah tertunduk.
“Gue nggak mau tahu ya Ness, lo harus kelarin dulu tugas lo. Mau keluar kek terserah lo deh.” Athala akhirnya menyerah.
“Oke deh, kelar Acara tahunan sekolah, kelar tugas gue di sini.”
“Oke.” Ucap Athala kemudian pergi meninggalkan Nessa.
Koridor yang tadinya ramai seketika sepi, Nessa melengah diperhatikannya apa yang membuat semua menjadi senyap gini. Adelio, ya itu yang Nessa lihat. Dia berjalan santai ditengah lorong, tidak ada satupun orang yang menghalangi langkahnya. Yang ditatap sepertinya sadar akan keberadaan Nessa, dia menghentikan langkahnya tepat didepan Nessa yang masih badmood sehabis diceramahin Athala.
Tidak ada respon dari Nessa, dia membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan Adelio. Nessa yang awalnya ingin melawan teringat kata-kata Ali Lo itu cewek, sadar posisi deh. Nevan nggak ada lagi buat lindungi lo Nessa .
“Orang mau ngomong malah kabur.” Gumam Adelio yang berhasil menahan pergelangan tangan Nessa.
Nessa mendesis, dia hentakkan tangannya sehingga cengkraman Adelio lepas. Dia tatap nanar mata Adelio, kemudian memutar bola matanya dengan malas.
“Katanya mau gantiin Nevan, kok ngelihat gue langsung kabur sih? itu mah lo mau maluin Nevan didepan gue dong, alias pengecut.” Seru Adelio yang memancing emosi Nessa kembali mendidih.
Sabar Ness, sabar.
“Loh kok diam?”
Nessa tidak ada tenaga untuk memuntahkan semua sumpah serapahnya, sedari tadi dia belum makan ah bukan sudah dua hari dia menolak untuk makan. Setelah membalas tatapan tajam dari Adelio, dia mengembungkan mulutnya seraya melirik orang yang sepertinya sangat tertarik dengan pertentangan mereka.
“Lo bukannya ke klub sastra malah pacaran disini, cepat gih.” Omel Athala yang tiba-tiba menarik Nessa, entah darimana dia berasal tapi Nessa dapat bernapas lega.
Adelio memperhatikan Athala yang menarik paksa Nessa, dia bahkan seperti menyeret tubuh Nessa untuk pergi.
“Oh jadi itu yang namanya Athala, berani ngambil Nessa dari gue berarti lo juga harus berani menanggung resikonya.” Lirih Adelio, dia kembali melangkah menuju kelas.
Nessa mengeluh sakit dibagian tangannya karena dua orang manusia yang tidak tahu diri mencengkram erat pergelangan tangannya. Athala sebenarnya tidak bermaksud begitu, tapi hanya dengan cari tadi dia bisa membawa Nessa kabur dari ancaman Adelio yang kini telah berkuasa.
“Maafin aku ya,” Lirih Athala yang kembali menggunakan kata aku-kamu.
“Kakak mohon, dengan amat bermohon jauhin Adelio. Kita ini bagaikan kaum minoritas yang berada ditengah kaum mayoritas, kita nggak bisa apa-apa selain menurut.” Suara Athala kini melembut, dia membelai puncak kepala Nessa.
“Tapi aku nggak terima Nevan selalu dia hina Kak. Dia ngehina Nevan sama aja ngehina aku.” Lirih Nessa, mereka kini berada diruang rahasia perpustakaan yang hanya orang tertentu yang dapat mengetahui.
“Kakak ngerti Nessa, nanti kalau kamu diapa-apain gimana? Kamu cewek loh, dia suka main kasar sama cewek. Percaya deh sama kakak, pergaulan dia bebas apalagi anak orang kaya raya mau ngapain juga bebas.”
“Benar-benar nggak Adelio yang aku kenal.”
“Kamu maukan nggak lagi bikin masalah sama dia? Cukup tadi pagi, nantangin dia sama aja cari mati.” Kini Athala seolah seperti abang yang menasehati adiknya, Nessa mengangguk lemah.
“Dan sekarang kamu jangan lupa sama tugas kamu, karena kamu sudah besar Nessa nggak boleh lari dari tanggung jawab.” Ucap Athala sekali lagi.
Nessa menghelaka napas beratnya, mengangguk lemah.
***
“Ayo makan Nessa, lo itu pucet banget.” Ucap Dira menyodorkan bubur ayam kehadapan Nessa.
“Jiwa gue serasa kosong, mereka merahasiakan sesuatu dari gue.” Lirih Nessa, teman-temannya bisa melihat jika tatapan Nessa kosong, mereka prihatin dengan musibah yang Nessa hadapi.
Adelio yang baru masuk kantin menatap iba Nessa yang tidak penuh semangat, dia memperhatikan teman-teman Nessa yang membujuk Nessa untuk makan. Ada rasa bersalah yang kini Adelio rasa, kenapa dia malah melawan Nessa dan kini hubungan mereka retak. Firasat Adelio yang tidak baik akan kondisi Nessa memaksa dirinya untuk mendekat.
Hap.
Dengan sigap Adelio menyambut tubuh Nessa yang terhuyung lemah, gadis itu pingsan. Dira terkesima melihat Adelio bak pahlawan yang datang tiba-tiba menangkap Nessa. Ada kecemasan yang terpancar diwajah Adelio, dia segera membawa Nessa menuju UKS.
“Maksud lo sebenarnya apa sih? Lo sudah buat Nessa marah, sekarang lo malah bantuin dia.” Ucap Tari yang bingung, dia mengikuti Adelio yang membawa Nessa ke UKS. Saat Adelio keluar UKS Tari langsung menghampiri Adelio.
“Memang salah ya gue bantuin dia?” Tanya Adelio yang balik bingung.
“Salah lah, kalau jadi orang itu lo harus konsisten. Jadi musuh ya musuh, nggak setengah-setengah gini.” Ujar Tari kesal.
Adelio tersenyum geli, dia tidak menanggapi teman Nessa tersebut. Dia melangkah meninggalkan UKS, Tari menatap kesal punggung Adelio yang kini menjauh.
“Lo minta sakit ya Ness? Jangan bikin orang tua lo tambah repot dong.” Lirih Dira saat Neesa bangun dari pingsannya.
“Eh bukannya bantuin dia malah lo omelin.” Ucap Intan yang membantu Nessa bersandar ke bantal.
Nessa tersenyum tipis, penglihatannya belum sempurna memfokuskan benda dihadapannya. Bibir Nessa begitu pucat, dia tidak mempunyai tenaga untuk berbicara.
“Tuh Adelio maunya apaan sih, bingung gue. Dia yang bikin lo gini, eh dia juga yang bantuin lo.” Mulut Tari sedari tadi tidak berhenti mengoceh.
“Bantuin gue?”
“Iya, dia dengan sigapnya nangkep badan lo Ness. Kan aneh, ish nyesel gue dia pindah ke SMA Bakti.” Oceh Tari seraya menarik bangku dan mendudukinya. Nessa tersenyum suram, ada bisikan dari hati kecilnya namun Nessa belum bisa mengerti apa arti bisikan tersebut.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)