Kami harus menunggu sekolah sepi, takutnya malah ketemu Adelio. Saat merasa tepat akhirnya aku dan sahabatku keluar. Sebenarnya sekolah tidaklah kosong, anak-anak yang ikut ekskul masih tetap ada disini, tapi aku rasa Adelio sudah pulang. Setelah mengambil tas di kelas kami berpencar. Intan dan Tari pulang dan Dira ada acara PMR. Ruang klub sastra dengan markas PMR ibaratkan sabang dan merauke, kami harus jalan sendiri di sini.
Aku tertunduk, banyak hal yang membebani pikiranku. Aku menghitung ubin yang aku injak, berfikir apa yang harus aku lakukan. Menghindar? Bukankah kata Adelio menghindar dari suatu masalah itu nggak guna? Aku menghembuskan napas lelah, mengencangkan tali tas agar mantap disandang.
“Awww.” Desisku.
Aku serasa menabrak tembok sampai terpelanting seperti ini, langkah kaki mendekat menghampiriku, seseorang mengulurkan tangan kanannya membantu aku berdiri. Aku menengadah, jantungku berdetak tidak terkendali dia Adelio yang menyambut dengan senyuman khasnya. Aku dengan sukarela mengapai tangan Adelio dan berdiri.
“Lo ada masalah? Kenapa kita bertemu disaat lo punya masalah mulu?” ucap Adelio.
Aku tertegun, benar apa yang dikatakan Adelio kenapa kami bertemu disaat aku punya masalah. Adelio mengajakku duduk di bangku beton yang ada didepan kelas, dia menaikkan daguku dan memaksa menatap matanya.
“Lo kenapa Ness?” tanyanya dengan lembut.
“Lo jauhin gue Lio, gue mohon.”
“Lho, gue baru aja ketemu lo Ness. Dari tadi gue keliling periksa semua kelas dan gue nggak ketemu lo. Kenapa gue harus ngejauh dari lo, gue salah apa ya?” tanya Adelio bingung.
“Gue takut.” Desisku, aku takut karena tidak sengaja tadi aku melihat Nevan menatap tajam dari kejauhan.
“Takut sama siapa? Bilang sama gue biar gue hajar.” Tangan Adelio mengepal, aku menggeleng menatap lemas.
“Nevan Lio, dia nggak suka lihat lo sama gue.”
Adelio menghembuskan napasnya berulang kali, dia tersenyum. “Lo takut gitu sama dia? Bilang sama dia ya, jangan campur aduk urusan kita. Lo diapain bilang gue.”
Aku menggeleng, “Gue takut lo dipukul Nevan.”
“Gue balas pukul.”
“Gue nggak mau dia luka.”
“Nggak sampai luka kok, palingan lecet dikit.”
“Itu kan luka Lio, gue nggak mau dia kesakitan.”
“Terus lo mau gue kesakitan? Gitu?”
“Ya nggak lah, penting dengan ngejauhin lo semua bakal baik-baik Lio. Nevan nggak bakalan musuhan sama lo.”
Aku dapat mendengar dengan jelas Adelio tertawa, matanya menatap lurus kedepan. “Nggak ada elo pun, kita nggak pernah baik Ness. Kembaran lo nggak pernah dengerin penjelasan gue.”
“Maksud lo?”
“Udah gih pergi, nanti telat loh. Ada rapatkan di klub sastra?”
“Kok lo tahu?”
“Apa yang nggak gue tahu tentang lo Ness, sahabat sejati gue gitu.” Adelio tersenyum geli, dia dahulu meninggalkanku.
Bagaimana aku bisa melupakan Adelio? Dia begitu baik dan ramah, apa yang mereka bicarakan tentang Adelio tidak pernah aku temui. Disetiap bicara Adelio tersenyum, dia tidak pernah menekan pembicaraan, kadang membuat aku dengan mudahnya mengalirkan kata-kata yang seharusnya aku tahan. Aku membiarkan diriku tenang dahulu, sesekali mata ini mencari keberadaan Adelio tapi dia sudah menghilang.
Setelah merasa enakkan aku kembali melanjutkan perjalanan menuju klub sastra, aku berusaha bersikap normal saat bertemu dengan teman-teman satu klub. Kak Athala tersenyum tipis saat aku duduk di sebelahnya, apa dia cemburu lihat aku berduaan dengan Adelio? Tapi apa hak dia untuk cemburu, aku hanya menganggapnya sebagai abang pengganti Nevan.
Ponselku berbunyi, ada notifikasi dari WA. Nomor baru menyapaku, aku mengerutkan keningku saat membaca pesan dari nomor tersebut.
Jangan sedih, gue kembali. Hehehe
Itu pasti dari Adelio, aku segera menyimpan kontak Adelio. Tapi dari mana dia tahu nomorku? Bukankah ini nomor baru.
“Kak biar aku aja yang beli perlengkapannya bareng Pak Agus.” Ucapku seraya menyimpan kembali ponsel kedalam saku.
“Nggak apa-apa nih?” tanya Kak Athala memastikan.
“Iya kak, sepertinya kakak juga capek gitu. Kakak kan udah kelas dua belas, banyak bimbel dan pendalaman materi.” Jelasku, Kak Athala mengangguk setuju.
“Makasih ya Ness.”
“Iya kak.”
Sebenarnya aku malas untuk pergi sendiri, tapi dari pada berduan dengan Kak Athala bakalan menambah skanario ini makin panjang. Aku kini beranjak mendekati Ari yang sibuk mengetik cerita, dia sangat suka membuat cerita horor yang katanya sesuai dengan pengalaman dia sendiri. Aku duduk di sebelah Ari, memperhatikan susunan kata yang dia rangkai. Ari benar-benar penulis yang tekun sampai membuatku iri sebagai penulis amatiran yang menulis sesuai mood.
Aku membuka pintu klub membiarkan udara segar masuk, sebenarnya aku lebih suka di rumah berdiam diri atau tidur. Sekilas aku melihat Nevan berduan dengan Dea, ya benar saja mungkin mereka sudah balikan. Aku mendesah pelan, kenapa Nevan lebih mempercayai dia dari pada aku. Tapi biarlah yang terpenting aku sudah bebas dari Nevan seakan seperti nasib yang mengatur takdirku.
Aku mengetuk kaca jendela dengan jari, entah apa yang harus aku lakukan. Berdiam diri gitu? Aku mendesis, rasa berkecamuk muncul dalam hati. Aku sejak dulu hidup sebagai gadis introvert, menyimpan semuanya sendiri dan tidak menyukai ada orang yang merusak hidupku. Kini aku harus siap, mau tak harus berani tidak boleh berdiam diri tertindas begitu saja.
Aku pamit pulang duluan, bukan tidak ada alasan melainkan harus mengerjakan tugas selama aku menghilang. Hanya tugas matematika, pasti dengan mudah akan ku kerjakan. Pak Agus sudah menunggu di mobil, dengan sabar beliau menunggu jalanku yang bisa dibilang lelet kayak siput.
Selama di mobil aku asyik memainkan ponsel, menatap foto profil Adelio yang sok misterius karena dia hanya memasang foto punggungnya. Aku tersenyum tipis, kenapa aku lebih nyaman dekat sama orang dari pada saudaraku sendiri. Aku menyimpan ponsel kembali saat mobil berhenti di halaman. Ada motor Nevan yang terparkir di sana.
“Tadi Mas Nevan datang sama cewek, bapak malas banget lihat dia sombong banget nggak mau nyapa.” Celetuk Pak Agus saat aku membuka pintu mobil.
“Bedaknya tebal nggak pak?”
“Iya non.”
Aku menghelakan napas, sekarang Nevan berani membawa cewek di rumah. Oke kita mulai permainan ini.
Aku melengang masuk rumah, Dea terkejut melihat kehadiranku. Matanya tidak lepas memandangi langkahku, yap dia belum tahu kalau aku ini saudara Nevan. Ada mama yang tengah bicara dengan Dea, entah apa yang mereka bicarakan tapi malah membuatku makin panas apa dia juga berniat merebut mama dariku.
“Dia siapa tan?” suara Dea terdengar samar-samar.
“Dia siapa?”
“Yang barusan lewat.” Tanyanya.
Aku berbalik badan saat ingat kalau Daffa duduk di sebelah Dea, aku menatap tajam matanya dan menggendong Gibran agar menjauh. “Ngapain lo sini? Rumah ini nggak terima tamu.” Ucapku jutek.
“Loh sayang kenapa bicaranya gitu, ini pacar Nevan loh.” Ucap mama.
“Pacar nevan kek, tunangan kek, atau istri segala memang aku peduli gitu ma? Sudah ah, aku mau masuk kamar.” Ucapku berlalu, tak sengaja aku berpapasan dengan Nevan. Tatapan tak suka langsung aku berikan padanya.
Gibran menatap aku bingung, sedari tadi bermenung menatap kaca lemari.
“Kakak kenapa? Kok bengong mulu.” Gibran berusaha memanjat kakiku. Dia sangat suka dipangku dan digendong.
“Kamu jangan dekat-dekat sama nenek lampir tadi ya dia ngegigit.” Perintahku, Gibran mengangguk setuju.
“Kamu tidur di kamar kakak aja, jangan dikamar abang Nevan.”
“Boleh kak?”
“Boleh dong, kan masih kecil.” Ucapku, aku takut nanti Gibran terkena pengaruh Nevan.
Aku membawa Gibran ke atas kasur dan menidurkannya, saat sudah tertidur aku mengganti pakaian dan mengambil buku tugas di dalam tas serta ponsel yang selalu aku sembunyikan dari Nevan. Aku duduk di meja belajar, menatap layar ponsel berharap ada pesan dari Adelio tapi sudah sepuluh menit aku pantengin tidak ada kabar darinya. Aku kini mengalihkan perhatianku pada buku matematika, banyak soal yang harus aku kerjakan tapi pikiranku tidak bisa fokus kesana.
Ada bunyi Notifikasi dari WA, aku langsung ngecek dari siapa itu.
Adelio : Cie yang lagi mikirin gue sampai nggak fokus bikin tugas.
Aku : Sok tahu lo!
Adelio : Jujur ada deh, kangen ya. Ya dong Adelio ganteng sih.
Aku : Jijik
Aku terperanjat, kenapa Adelio tahu kalau aku tengah memikirkannya dan nggak fokus bikin tugas. Itu anak sebenarnya manusia atau siapa sih? kok rasanya tahu semua tentang aku. Adelio tidak membalas, aku pahami itu karena dia juga nggak suka megang hp. Aku tersenyum sendiri jika telah mengingat senyum Adelio, aku tidak bisa membohongi rasa ini kalau aku benar-benar mencintainya.
Pintu kamar terbuka, sudah ada Nevan berdiri di sana. Aku tak peduli, toh kalian masih ingat kejadian tadi. Aku kini pura-pura mengerjakan tugas dan tak lupa menyimpan ponsel tadi di balik saku celana. Langkah Nevan terdengar mendekat, aku mengutuknya dalam hati mau dia apa sih? Tak lama langkah kaki Nevan menghilang, pintu kamar tertutup, aku bernapas lega.
Ponselku berdering, pertanda telpon masuk.
“Gila perjuangan gue nelfon lo berat banget.” Seru seseorang dari seberang sana, terdengar deru napasnya yang memburu.
“Lo gila nelfon gue, bisa-bisa mampu gue denger ocehan Nevan.” Aku memberlambat suaraku, ya yang tengah berbicara denganku adalah Adelio.
“Lo takut banget sih Ness sama tuh bocah, bukannya tadi kalian berantem ya?” ucap Adelio yang lagi-lagi buat aku kaget.
“Lo itu apaan sih kenapa tahu semuanya? Cenayang ya?” aku jadi kesal, serasa tidak ada lagi privasi yang aku sembunyikan.
“Bukan gitu Ness, gue tadi lihat lo di kantin lagi bersitegang sama Nevan. Gue lihat lo nggak takut tuh, kenapa sekarang lo cemas banget?”
Aku mengetuk meja belajar dengan pensil, benar juga kata Adelio.
“Lo nggak tahu Nevan ah Lio, yang gue cemaskan itu lo.”
“Kan sudah gue bilang, gue sama Nevan itu memang suka berkelahi. Jadi lo jangan cemas, selagi ada gue dunia tenang.”
“Tenang pala lo peyang, duhh gue kesal tahu nggak.”
“Kenapa?”
“Lo nyaksikan sendirikan kalau Nevan milih nenek lampir dari gue, terus Kak Athala nyuekin gue.” Ceritaku.
“Nenek lampir? Dea maksud lo? Hahah tu anak masih aja gila sama Nevan, padahal cakepan gue tapi malah milih Nevan dari pada gue. Oh ya Athala? Itu siapa ya?”
“Kakak kelas gue, anaknya baik banget.”
“Oh.”
“Ish kok Oh doang sih?” protesku.
“Ya gue harus apa dong, ngomong sama lo aja harus sembunyi-sembunyi gini. Jadi cewek jangan takut gitu dong, lo nggak bakalan di apa-apain sama Nevan.”
“Gue takut.” Desisku yang kini mulai risih.
“Ada gue Nessa, ada Adelio di samping lo.” Suara Adelio terdengar begitu lembut. Aku mengangguk menghelakan napas.
Aku mengakhiri komunikasi saat mama memanggil untuk makan, ah apa si nenek lampir itu sudah pulang ya? Aku bakalan muntah kalau harus makan satu meja dengan dia. Aku membuka pintu, memperhatikan situasi sekitar sepertinya nenek lampir sudah pulang.
“Dari tadi cemberut mulu kenapa sih?” tanya mama saat menuangkan air putih kegelas.
“Nevan itu lebih milih dia dari aku, malah dia ngebentak aku karena main kasar sama dea.” Ucapku cemberut.
“Oh gadis tadi? Sebenarnya mama juga nggak suka sama gaya dia, suka pamer bilang mamanya sering keluar negerilah papanya punya tambang emaslah kan mama nggak nanya.” Gerutu mama kini duduk di sebelahku.
“Aku kira mama bakalan kayak Nevan, milih dea dari pada aku.” Ucapku seraya memasukkan sayuran kedalam mulut.
Mama membelai rambutku, kemudian menyelipkan ke belakang telinga. Aku sangat mencintai mama, dia bagaikan malaikat yang selalu ada buatku.
“Ma kalau aku suka sama orang salah nggak?”
“Ya nggak lah, wajar dong kan kamu sudah dewasa.”
“Tapi Nevan nggak setuju ma, cowok yang aku suka musuh bebuyutan Nevan.” Keluhku.
“Adelio itu?” tebak mama yang membuatku seketika menegakkan kepala menatap mama.
“Mama kenal Adelio?”
“Kenallah, diakan anak sahabat mama. Iya sih mama bingung kenapa Nevan sama Adelio bisa musuhan gitu, padahal dulu deket banget lo sering main kesini.” Ucap mama yang membuat aku terkesima.
“Dia sering kerumah ma?”
“Iya, kan rumahnya nggak jauh dari sini.” Ucap mama, pantesan saat aku jalan keliling kompleks ketemu sama Yori yang mengaku sebagai adik Adelio.
“Tapi kata orang dia anak broken home ya ma?”
“Siapa yang bilang? Dia anak dari keluarga yang harmonis, mama masih sering ketemu sama mama dia. Kapan-kapan mama ajak deh main ke rumah Adelio.” Mama tersenyum gemas.
“Jadi mama setuju nih aku dekat sama dia?” tanyaku sedikit ragu.
“Kalau kamu nyaman siapa yang ngelarang, malah asyik dong bisa besanan sama sahabat sendiri.” Mama mencolek daguku, membuatku makin salah tingkah. Aku memeluk tubuh mama, ternyata masih ada orang di rumah ini yang peduli dengan perasaanku, kini aku makin pede dekat sama Adelio karena ada mama yang mendukung.
***
Risih, kata itu yang kini mengambarkan suasana hatiku, begitu banyak pasang mata yang memperhatikan setiap langkahku. Mereka menatapku dengan tajam seolah-olah ingin menerkamku. Aku mendesis apa yang telah terjadi, apa identitasku sudah ketahuan jika sudah kenapa mereka seakan membernciku.
“Dea nyebarin berita kalau lo kembaran Nevan.” Intan menarikku untuk menjauh.
“Dia tahu dari mana?” tanyaku setengah berbisik.
“Nggak tahu deh, dia ngirimin foto kecil lo sama Nevan di grub WA.” Jawab Intan.
Aku segera memeriksa grub WA, benar saja aku dan Nevan jadi topik pembahasan mereka. Ini pasti kemarin Nevan mengajak Dea datang kerumah, aku mengeluh tapi percuma semua sudah mengetahuinya.
“Mau diapain lagi In, biarin aja.”
“Tapi fans Nevan bakalan menyerbu lo Ness, nanyain yang nggak penting.”
“Gue lagi nggak baikan sama Nevan.”
“Lho, masalah kemarin?”
“Lebih parah lagi, dia lihat gue bicara sama Adelio. Ah udah ah In, kekelas yuk bentar lagi bel.” Ajakku.
Aku dan Intan berjalan menuju ke kelas, kami tak peduli dengan tatapan siswa yang memperhatikan diriku yang bisa di tebak kini mereka tengah membandingkan wajahku dengan Nevan. Langkahku terhenti saat ada Adelio yang berdiri menyandar ke tembok, dia memasukkan kedua tangannya kesaku celana. Adelio menegakkan punggungnya, dia tersenyum padaku.
“Lo gila ya nyamperin gue di tengah fakta yang beredar?” aku mempelototi Adelio yang masih memamerkan senyuman indahnya.
“Lo sama Nevan kembar?” Adelio menaikkan kedua alisnya, kini senyumnya berubah menjadi seringaian.
Aku menarik napas dalam-dalam, melirik sekeliling orang yang masih memusatkan perhatiannya padaku.
“Lo di sini sendiri Lio, lo nggak sadar lagi di kandang musuh?”
“Siapa yang bilang gue sendiri, gue punya banyak teman.” Ucap Adelio dengan santai.
Aku menatap Intan yang terpaku memperhatikan Adelio, dia juga penggemar Adelio sejak dulu. Intan menggigit bibirnya, mungkin saja dia tidak menyangka kenapa ada Adelio di sini.
“Siapa?” tanyaku dengan nada menantang.
Adelio menaikkan dagunya dan mengarahkan ke arah samping tangga menuju kelas dua belas. Teman-teman Adelio melambai kepadaku, mereka anak kelas dua belas.
“Jaga Nevan baik-baik ya Nessa, gue nggak jamin nanti sepulang sekolah dia bakalan baik-baik saja.” Adelio menyeringai, dia membalikkan tubuhnya dan meninggalkaku yang kini terdiam.
“AWAS LO LIO, GUE NGGAK TERIMA KALAU SAUDARA GUE LO APA-APAIN.” Teriakku, Adelio hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh.
Bibirku memucat, mungkin kini aku dengan Nevan tengah dilanda masalah dan kami tidak baikan tapi aku tidak bisa memungkiri rasa cemas yang mulai menggebu. Adelio yang terkenal brandalan itu bakalan dengan mudah menghabisi Nevan, aku harus apa? Menerima jika saudara kembarku habis oleh sahabatku sendiri? Itu hal yang gila.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)