Adelio, atau lengkapnya Adelio Orlando Arsenio, adalah biang kerusuhan di SMA Jati. Setelah tiga bulan menghilang kini dia mulai menampakkan batang hidungnya di SMA Bakti, bukan tanpa alasan dia pindah ke sekolah yang seharusnya merupakan markas musuhnya. Dia terpaksa pindah karena SMA Jati tidak lagi menginginkan kehadirannya, dan kebetulan Adelio merupakan cucu pemilik yayasan SMA Bakti. Banyak isu yang beredar tentang dirinya dari anak broken home, suka mabuk-mabukan, hobi balapan liar, perokok berat, sampai cowok yang paling suka hura-hura di klub malam. Tapi, kehidupan Adelio yang tertutup tak mengizinkan satupun orang mengakses fakta sebenarnya membuat isu itu menjadi sesuatu yang melekat dengan dirinya tanpa klarifikasi kenyataan yang ada.
Adelio yang tidak peduli dengan sekitarnya kini mulai ada perubahan, dia yang tidak suka berurusan dengan cewek kini mulai mendekati diri dengan gadis yang bernama Nessa. Dia tahu jika Nessa merupakan saudara kembar musuhnya sendiri, tapi bagi dia urusan perasaan tidak bisa memandang sosok yang di cintai berasal dari mana. Benar saja, meskipun Adelio membenci Nevan tapi dia begitu mencintai Nessa yang selaku saudara Nevan.
Adelio menyelipkan sebatang rokok diantara bibirnya, baginya rokok merupakan suatu ketenangan yang mampu membuat dia lupa akan masalah meski hanya sejenak. Dia menatap lurus pohon yang dibelai lembut oleh angin, pikirannya kacau dan perasaannya gundah. Tapi sedetik kemudian gairahnya kembali mencuat, dia mencampakkan rokok yang dia hisap kemudian menginjaknya agar puntung rokok tersebut benar-benar mati.
Adelio menyeringai, dia melonggarkan ikatan dasi yang membuat napasnya sesak. “Sudah punya nyali lo buat hadapin gue.” Adelio memiringkan sedikit kepalanya kemudian tersenyum dengan penuh gairah.
“Brengsek lo dekatin Nessa.” Umpatnya yang melangkah mendekati.
“Lho memang gue salah gitu? Hak gue.” Ucapnya santai.
Nevan sepertinya sudah terbakar emosi, dia mencengkram erat krah segaram Adelio. Dia menghujam pukulan ketubuh Adelio, bagaikan petinju yang baru mendapatkan samsak Nevan tidak hentinya melepaskan pukulannya kepada Adelio, yang dipukul juga tidak tinggal diam dia sudah tiga bulan tidak meluapkan emosinya. Ini bukan masalah tentang Nessa, tapi soal masa lalu yang merusak hubungan mereka.
Lapangan belakang sekolah jadi ramai di kelilingi banyak siswa yang penasaran, ketua OSIS vs mantan pentolan SMA Jati. Sorak gembira seakan mengiri perkelahian mereka, tidak ada guru yang melerai mereka karena semua guru tengah rapat di gedung utama membicarakan kehadiran Adelio. Mereka cemas karena saat Adelio masih di SMA Jati dia sering membuat sekolah ini heboh karena masalahnya dengan Nevan dan sekarang Adelio dan Nevan disatukan dalam satu atap sekolah. Apa yang selanjutnya terjadi?
“Ness, ini gawat benar-benar gawat.” Ucap Seno yang ngos-ngosan. Nessa dan kawan-kawan menatap bingung, gawat? Apa yang gawat.
“Gawat apaan sih?” tanya Nessa bingung.
“Penting ini gawat banget, duh gila.” Seno panik.
“Iya gawat apaan Seno? Jangan bikin gue emosi deh.” Ucap Tari kesal dengan sikap Seno yang tidak terus terang.
Seno mengatur deru napasnya, dia menatap mata Nessa dengan nanar. Sedetik kemudian dia kembali panik dan membuat Tari kembali kesal kembali.
“Oke, oke, Nevan sana Adelio berantem di lapangan belakang sekolah.”
“Apa?”
“Buruan Ness, mereka nggak bisa dihentikan. Sama-sama sudah babak belur.” Gumam Seno.
Nessa yang panik tidak menghiraukan teman-temannya, dia berlarian keluar kelas menuju halaman belakang. Koridor sangat sepi karena semua orang menuju lapangan belakang sekolah. Kenapa Nessa terlambat menyadari, apa yang diperbuat Adelio pada Nevan, degub jantung Nessa kini meningkat dia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan disana.
Nessa mempercepat larinya, dia tidak peduli dengan orang yang memperhatikannya dengan bingung. Benar saja, semua orang mengelilingi Nevan dan Adelio, teman mereka sudah berusaha melerai tapi nihil dua insan yang punya kepribadian keras itu tidak dapat dipisahkan. Adelio menghantam tubuh Nevan sampai dia tersungkur ketanah, Nevan meringis kesakitan di daerah perutnya tapi dia masih bisa berdiri dan membalas perlakukan Adelio.
“BERHENTTIIIIIIII.” Teriak Nessa yang sudah berada diantara Nevan dan Adelio.
“Lo apa-apan sih Lio, maksud lo apaan hah?” bentak Nessa, dia terlihat tidak terima kembarannya di pukul habis-habisan.
Adelio menyeringai, dia menyeka darah segar yang keluar dari sudut bibirnya. Dia menatap Nessa dengan penuh kemenangan, sedangakan Nevan berusaha mengatur napasnya yang mulai memburu hantaman yang Adelio berikan di perut Nevan membuat dia kesakitan dan terlihat Nevan sesak napas.
“JAWAB!” Nessa mengeluarkan suara terbesar yang dia miliki, dia melotot menatap Adelio.
“Tanya sendiri sama kembaran lo, yang mulai dulu siapa?”
Nessa beralih menatap Nevan, sungguh dia tidak tega melihat belahan jiwanya luka-luka begini. Tapi dia menepis rasa itu, bagaimanapun Nevan juga salah.
“Gue nggak terima dia dekatin lo!.”
“Nggak gini caranya Van.”
Nevan tidak menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada lingkaran manusia yang mengelilinginya. Nevan memberikan tatapan tajam, seketika semua berhamburan bubar.
“Lo masih berurusan sama gue,” Nessa menatap Adelio sinis, “Ikut gue.” Nessa membantu Nevan berdiri dan memopong menuju UKS.
UKS hening , Nessa tidak bicara sepatah katapun saat mengobati luka dan lebam pada wajah Nevan. Sebenarnya Nessa masih marah dengan kejadian kemarin, tapi dia tidak tega melihat kondisi Nevan sekarang. Nessa merebahkan tubuh Nevan, menaikan seragam Nevan kemudian mengkompres lebam yang ada di perut. Sangat lama, sampai semuanya benar-benar selesai Nessa obati.
Nessa mencuci tangannya, kemudian keluar dari UKS meninggalkan Nevan yang masih diam. Tugas Nessa untuk Nevan sudah selesai, kini dia harus menemui Adelio tapi dia masih belum tahu kalau Adelio itu kelas berapa.
“Lo tahu kelas Adelio nggak?” tanya Nessa pada salah satu siswa yang melintas di hadapannya.
“Yang baru masuk itukan? Yang berkelahi sama Nevan barusan?” tanya memastikan, Nessa mengangguk.
“Kelas XII IPS 2.”
“Dia anak kelas dua belas?” Nessa kaget saat mendengar kalau Adelio itu kakak kelasnya.
“Iya.”
Di sini setiap kelas punya wilayah mereka masing-masing, wilayah kelas dua belas haram di lalui oleh anak kelas sebelas dan kelas sepuluh, wilayah kelas sebelas juga haram dilalui oleh anak kelas sepuluh. Nessa mengurungi niatnya untuk bertemu Adelio, dia tidak ingin mengambil resiko. Nessa berbalik badan, dengan wajah muram dia kembali ke kelas.
Kelas sepi, di pojok ada Adelio yang duduk dengan kaki di atas meja. Nessa bernapas lega, ternyata yang dicari menyerahkan dirinya sendiri. Dengan emosi Nessa mendekat, ditatapnya mata Adelio tajam-tajam.
“Maksud lo apaan?”
“Lo nggak tanyain kondisi gue gitu? Ngobatinnya kayak lo ngobatin luka Nevan.”
Nessa mendesah pelan, dia menarik bangku dan mendudukinya. Nessa memutar kedua bola matanya, dia kesal melihat sikap Adelio.
“Benar ya kata orang kalau Adelio itu brengsek!” umpat Nessa yang dibalas dengan senyuman oleh Adelio.
“Bagus dong kalau lo peka.” Adelio menarik kakinya turun, dia sedikit memajukan tubuhnya.
Nessa tersenyum tipis, dia memperbaiki rambutnya yang di gerai oleh angin.
“Lo pikir gue takut sama lo? Iya?” tanya Nessa penuh penekanan, Adelio mengangguk.
“Jika Adelio yang gue kenal berubah, berarti Nessa yang lo kenal juga berubah.” Lirih Nessa yang kemudian beranjak menuju bangku dan meraih tas ranselnya. Nessa meraih ponselnya, dia menelpon Pak Agus kemudian keluar dari kelas. Adelio masih duduk di kelas tersebut, tersenyum miris sampai Nessa hilang dari pandangannya.
Nessa mendengus kesal, apalagi banyak siswa yang memandanginya. Karena rapat yang tidak kunjung selesai maka siswa di pulangkan, itu hal yang tepat bagi Nessa untuk menenangkan diri. Dia kecewa dengan sikap Adelio, bukankah Adelio janji tidak melukai Nevan, karena melukai Nevan sama saja melukai dirinya.
Sebelumnya Nessa telah menghubungi ketiga sahabatnya, dia butuh waktu untuk sendiri dan harus pulang. Pak Agus sudah stand bye di depan pagar, dia membukakan pintu saat Nessa sudah menampak diri dari balik pagar. Nessa meminta Pak Agus untuk segera mengantarkannya ke rumah, karena dia ingin melepaskan semua yang dari tadi dia tahan. Air mata.
“Mamaaaaa.” Nessa meringkuk dalam pelukan Thifa yang membukakan pintu untuk sang anak.
Thifa terhuyung karena mendapat pelukan mendadak, dia membalas pelukan Nessa membiarkan anak gadisnya meluapkan semua kesedihan. Thifa membimbing Nessa untuk duduk, setelah setengah jam menangis akhirnya Nessa menegakkan kepalanya dia menyeka air mata yang sudah habis.
“Kenapa tiba-tiba nangis gini?” tanya Thifa bingung plus khawatir.
“Pertama Dea nyebarin identitas aku ma, kedua Nevan sama Adelio berkelahi karena aku ma, ketiga Adelio yang aku kenal berubah.” Jelas Nessa terisak.
Thifa tersenyum muram, dia membelai puncak kepala anaknya.
“Nevan dan Adelio sejak dulu memang suka berantem, mama sering di panggil sekolah cuman karena ngurusin mereka. Jadi kamu jangan salahin diri kamu sendiri ya.”
Nessa menggeleng, bibirnya manyun. “Tapi Nessa kecewa sama Adelio, kenapa dia mukulin Nevan. Adelio yang Nessa kenal anak yang baik, nggak suka berantem.”
Thifa tidak tahu harus bicara apa, memang begitu adanya. Dia tidak bisa membeberkan persoalan sebenarnya, biarlah hal tersebut menjadi pengakuan bagi Adelio jika dia ingin mengakui. Nessa kembali memeluk Thifa, dia merasa jiwanya lebih tenang saat berada di dekat sang mama.
Tak lama Nevan pulang, dia sekilas melirik Nessa yang memeluk mamanya. Thifa sempat syok melihat wajah lebam dan kondisi Nevan yang sulit berjalan, tapi tatapan Thifa tidak di hiraukan oleh Nevan yang terus berjalan menuju kamarnya. Pintu kamar tertutup dan terkunci. Thifa menghelakan napas, sikap Nevan begitu mirip Alden yang terkadang membuat dirinya gundah apalagi dengan kondisi Nevan saat ini.
“Nessa jangan nangis lagi ya sayang, nggak apa-apa nggak usah di pikirin. Itu urusan mereka, kita nggak perlu ikut campur. Nevan sama Adelio itu sudah besar pastinya mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Kamu mandi gih, mama sudah siapin kamu makan.” Suruh Thifa.
Nessa mengangguk lemah, dia melepas pelukkannya dam berjalan gontai menuju kamar. Dia melirik kamar Nevan yang tertutup rapi, sudah dua hari mereka berantem. Nessa menghelakan napas beratnya, kemudian membuka pintu kamar ada Gibran yang tertidur pulas di atas kasur. Ingin rasanya Nessa kembali kecil, bermain bersama Nevan dan saat itu tidak ada jarak yang memisahkan mereka seperti sekarang.
Sesuai perintah sang mama, Nessa duduk di meja makan setelah mandi. Ada Nevan di sana, mereka sempat bertatapan tapi hanya sekilas kemudian melemparkan pandangannya ke sisi lain. Thifa selaku mama mereka tidak dapat berbuat apa-apa, dia tahu maksud Nevan yang terlalu protektif dengan Nessa tapi bukan berarti Nessa tidak boleh menentukan pilihannya sendiri.
“Dimakan jangan didiem mulu, dikira enak apa didiem kayak gitu.” Celetuk Thifa memecah keheningan.
Nessa mengangguk, diraihnya sendok dan garpu kemudian mengaduk makanan yang ada dipiring jadi satu kesatuan yang tidak enak dipandang. Thifa lagi-lagi menghelakan napasnya, saat kedua anaknya diam seribu bahasa dan tidak berselera untuk makan.
Thifa beranjak pergi menuju kamar dan mengambil ponsel miliknya .
Aku harus gimana sih Al?
Gimana apanya?
Itu Nessa sama Nevan berantem.
Ya kamu lerai dong sayang
Ini berantemnya diam sih Al, nggak ada yang mau ngomong.
Ya ajak diskusi bersama-sama dong Fa, mesti aku ya nyelesain masalah mereka?
Nggak sih
Kamu kan bisa, ajak mereka bicara sama-sama
Hufft oke deh nanti aku coba.
Iya, aku baru bisa pulang besok itupun kalau tugasku selesai semuanya. Berkas Nevan juga belum aku urus.
Iya.
Thifa kembali kemeja makan, kedua anaknya masih tidak bersuara dan makananya tidak ada yang di makan.
“Oke berhenti dulu deh makannya.” Perintah Thifa dan kemudian dituruti oleh Nessa dan Nevan.
“Sekarang yang buat kalian diam-diam gini apa?”
Tidak ada yang menjawab, Nessa menunduk Nevan seolah tidak mendengar.
“Pernah dengar nggak sih balasan untuk anak yang nggak ngejawab pertanyaan orang tua? Kalau nggak salah masuk neraka.” Gumam Thifa.
“Nevan milih Dea dari pada aku.” Lirih Nessa angkat bicara tidak berani menatap mata mama dan abangnya.
“Apa alasannya Nevan?”
“Aku nggak suka cewek kasar ma, kata Dea Nessa yang ngajak ribut dia yang ngejambak rambut Dea duluan.” Ucap Nevan.
“Pernah nggak tanya sama adik kamu yang mulai duluan siapa?” tanya Thifa, Nevan menggeleng lemah.
“Kalau jadi calon pemimpin itu harus mendengar dari banyak sisi, bukan dari satu sisi terus percaya. Kalau yang kamu minta penjelasan itu bohong gimana? Nessa kamu jelasin kenapa kamu sama Dea bisa berantem gih.” Pinta Thifa.
Nessa menjelaskan dari awal sampai akhir, tanpa mengada-ada. Thifa mendengar sempat mendidih karena Dea bisa-bisanya mengatakan Thifa cewek murahan. Nevan ngaku salah, dia secara sepihak menyalahkan Nessa dan malah percaya apa kata Dea.
“Ada masalah lagi nggak?”
“Aku nggak suka Nessa dekat sama Adelio!” tegas Nevan.
“Kenapa?”
“Ya aku nggak suka kalau Nessa dekat sama musuh aku sendiri.”
“Nessa suka nggak Nevan pacaran sama Dea?”
“Nggak” jawab Nessa singkat.
“Kalian itu sudah besar, nggak boleh terlalu mengatur satu sama lain. Nessa aja yang nggak suka sama Dea nggak protes tuh kalau kamu pacaran sama dia, tapi kenapa kamu protes saat Nessa dekat sama Adelio?”
“Nessa nggak pernah bilang kalau dia nggak suka sama Dea, kalau dia bilang aku langsung putusin kok.” Ucap Nevan jujur.
“Jadi gimana? Mama nggak mau ya karena cinta hubungan persaudaraan kalian jadi kacau gini!”
“Nessa jahuin Adelio, aku putusin Dea.” Usul Nevan yang membuat Nessa kaget.
“Loh kok gitu sih?”
“Mau nggak? Apapun yang terjadi gue nggak setuju lo sama Adelio, karena gue tahu apa yang terbaik buat lo.” Ucap Nevan penuh penekanan. Nessa terdiam, kemudian dia mengangguk lemah.
***
Mungkin pada detik itu Nessa harus melupakan rasanya yang pernah mencintai Adelio, tidak ada pilihan lagi hubungan darah lebih penting. Nessa yang duduk termenung di depan meja belajarnya, buku pelajaran biologi yang seharusnya dia baca kini menganggur terbuka sia-sia. Jemari Nessa mengetuk meja kayu tersebut, ponselnya yang sedari tadi bergetar kini akhirnya dia mati totalkan. Ini begitu menyulitkan dan menyakitkan tapi Nessa lebih sakit lihat Nevan dipukuli oleh Adelio.
Nevan yang tahu kalau saudaranya tidak dalam keadaan baik mendekat, di tatapnya manik mata hitam milik Nessa sampai gadis tersebut luluh. Dia menarik Nessa dalam pelukannya, ditundukkannya kepala kemudian mencium pucak kepala Nessa. Nevan benar-benar mencintai Nessa, dia selalu ingin Nessa mendapatkan semua yang terbaik itu saja walaupun terkadang caranya yang salah.
“Lo nggak seharusnya ngekang gue kayak gini Van, gue bingung gue kayak burung dalam sangkar. Gue punya sayap, gue bisa terbang tinggi kemanapun gue mau tapi lagi-lagi lo yang menghalagin. Mau lo itu apa sih Van? Buat gue bahagia? Ini bukan bahagia namanya, gue sengsara.” Lirih Nessa dengan suara serak, dia masih melingkarkan tangannya ditubuh Nevan.
“Ini yang bisa gue lakuin sebelum gue pergi.” Jelas Nevan yang membuat Nessa bingung.
Nessa melepas pelukkannya, mendorong Nevan agar menjauh. Pergi? Nevan mau kemana. Nevan tertunduk, bibirnya seakan kaku untuk berbicara. Terdengar sudah berulang kali dia mengatur napas, tapi kini dadanya naik turun menahan emosi yang bergejolak di dalam sana. Nessa menunggu kata apa yang akan Nevan lontarkan, tapi sudah lima menit napas Nevan makin sesak.
“Van lo kenapa? Pergi kemana? Nggak ninggalin guekan? Lo tahu gue nggak bisa hidup tanpa lo? Van lo kok diam aja, napas lo sesak? Nevannnn.” Nessa menguncangkan bahu Nevan, tapi dia tidak bergerak sedikit pun.
“Nggak bisa gue jelasin Ness, penting lusa gue sudah pindah ke Jerman sama papa.”
“Ke Jerman? Sama papa? Maksud lo apa?”
“Nggak ada maksud apa-apa.”
Nessa kembali gagal mempertahankan benteng pertahanannya, dia menangis kali ini menangis secara terang-terangan. Air matanya dengan lembut jatuh membasahi pipi, Nevan makin remuk melihat Nessa menangis diraihnya pundak Nessa kemudian memelukknya, tidak ada jarak antara mereka dia dapat merasakan tubuh Nessa bergetar karena menangis. Bukan kemauan Nevan, ini kemauan sang papa yang merahasikan sesuatu dari Nessa, yang bermula dari hilangnya kontrol Nevan saat ditinggal oleh Nessa selama dua bulan. Kini mau tak mau Nevan harus menerima resiko yang telah dia ciptakan untuk dirinya sendiri.
Apa ini sebuah jawaban kenapa Nevan selalu mengunci rapat kamarnya? Dia selalu menghilang saat jam istirahat, dan apa ini juga jawaban dari wajah Nevan yang sering kali Nessa dapati memucat. Nessa dapat merasakan jantung Nevan bekerja diluar kendali dengan detak yang cepat dan tidak beraturan.
Nessa kembali mendorong tubuh Nevan yang tidak berdaya, dia berlari menuju kamar mama. Meminta keterangan yang mungkin dapat dia terima, tapi yang dia tanya juga bungkam dan memilih tersenyum suram. Nessa benar-benar tidak mengerti, cobaan apa lagi ini. Dia melangkah meninggalkan rumah, menuju taman belakang yang biasanya dia tatap saat semua benar-benar kacau. Kali ini dia kembali dalam situasi tersebut, Nessa bingung plus kacau.
Langit mendung sebentar lagi akan menjatuhkan rintik air ke bumi, gemuruh yang silih berganti datang bersama petir membuat perasaan Nessa makin gundah. Dia tidak tahu harus apa, seperti dulu dia merasakan kesepian yang haqiqi. Padahal keluarganya kembali harmonis beberapa bulan yang lalu tapi kini kembali hancur saat tiba-tiba Nevan bilang dia akan pindah ke Jerman. Apa mama dan papanya tidak dalam kondisi baik, sehingga papa menarik Nevan untuk pergi dengan dirinya, atau Nevan yang kini tidak dalam kondisi baik? Tapi karena apa, bukankah Nevan selalu tampak tegar di hadapan Nessa?
Akhirnya hujan turun, menghantam tanah. Dinginnya hawa menyisakan luka di hati Nessa. Kenapa dan kenapa lagi dia selalu diberikan kesedihan? Tak bisakah Nessa tersenyum bahagia, seperti dahulu saat dia benar-benar tak peduli dengan orang disekitarnya. Apa perlu Nessa kembali, melupakan janji untuk berubah.
Satu jam Nessa memandang taman yang kini basah oleh hujan sampai benteng pertahanannya kini benar-benar roboh. Nessa kembali masuk kedalam rumah, semua seperti mengurung diri dalam kamar. Sebenarnya apa yang telah terjadi. Nessa membatalkan niatnya untuk masuk ke kemar Nevan dan kembali ke dalam kamarnya. Gibran masih meringkuk dalam selimut, mencari kehangatan atas dingin yang menyiksa diri. Nessa tersenyum tipis, dia membelai rambut lurus milik Gibran, lagi-lagi dia ingin kembali kecil disaat hanya luka yang membuat dirinya menangis.
Tadinya penghuni rumah sudah kembali damai, tapi setelah Nevan mengucapkan kata-kata yang memberatkan Nessa dinginnya suasana lagi-lagi tercipta. Mereka mengurung diri di kamar masing-masing, Nevan dan Nessa enggan keluar. Thifa tidak bisa berbuat banyak karena ini rahasia yang harus dia jaga, sesekali dia masuk kamar Nevan memastikan anak sulungnya dalam keadaan baik. Mereka juga tidak berniat untuk pergi sekolah, padahal ini merupakan hari perpisahan bagi Nevan.
Di saat keberangkatan Nevan pun Nessa tidak menampakkan mukannya. Dia tidak mau mengantarkan Nevan kebandara, di temani Gibran dan El Nessa menangis karena tidak bisa menahan beban. Kini Nessa bagaikan berada di tengah laut, terombang ambing oleh ketidakmengertiannya pada dunia.
Empat hari Nessa tidak masuk sekolah, mungkin jika dia tidak mengnonaktifkan ponselnya sudah ratusan pesan masuk dari sahabat-sahabatnya. Thifa begitu sulit membujuk Nessa untuk kembali semangat, seolah kehilangan Nessa untuk kedua kalinya Nessa yang dulu kembali. Dia bahkan tidak peduli dengan senyuman yang Thifa lemparkan.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)