Loading...
Logo TinLit
Read Story - Someday Maybe
MENU
About Us  

Hari ini aku begitu gugup, sudah empat kali aku mondar mandir di koridor sekolah menunggu kedatangan Adelio dan Yuka. Ini pertama kalinya aku mengikuti olimpiade, aku takut nanti malah mengecewakan guru yang ada di sini. Aku menatap resah jam dinding yang berputar, dia makin membuatku panik kemana dua manusia itu.

            “Sorrry Ness, gue lapar jadi makan dulu deh.” Adelio menunjukkan deretan giginya yang putih, aku menghelakan napas mengangguk.

            Tak lama Yuka datang, dia melambai dan berlari ketempat kami berdiri. Entah sejak kapan aku dan dia akrab tapi berteman dengan Yuka sangat menyenangkan. Aku pergi ke tempat lomba dengan mobil sekolah, dan tentunya aku memaksa Adelio untuk menemaniku. Sedangkan Yuka juga ikut lomba olimpiade Fisika.

            “Lo jangan gelisah gitu dong, santai aja anggap lagi latihan.” Ucap Adelio seraya tersenyum.

            “Kan ini pertama kalinya gue ikut beginian Lio, nanti kalau gue kalah gimana? Kan semua guru bakalan kecewa.” Aku tertunduk.

            “Menang kalah itu soal biasa kok Ness, yang penting itu kemaun kita untuk mencoba. Kita tak akan tahu bagaimana rasanya jika belum mencicipinya bukan?” ucap Yuka yang menenangkanku. Aku mengangguk pelan.

            Lokasi olimpiade tidak jauh dari sekolah, setalah menempuh jarak beberapa kilo akhirnya aku sampai. Adelio memberiku semangat, ah hanya dia yang mampu membuatku bisa senyum. Aku berdoa sebelum memasuki ruang ujian. Andai saja aku dapat menjuarai lomba ini aku bisa membahagiakan guru-guru di sana.

            Bunyi bel tanda ujian di mulai berdering kencang, aku membuka lembar soal yang ada di hadapanku. Aku tersenyum ternyata soalnya tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya, aku mencari jawaban demi jawaban dan tidak ada kendala begitu berarti bagi ku hanya saja di nomor terakhir aku menyerah aku tak tahu mau aku apakan.

            Aku siswi yang pertama kali mengumpulkan jawaban, biarlah untuk nomor terakhir aku ikhlaskan saja. Aku segera menghampiri Adelio yang tengah bermain ponsel di sudut koridor sekolah, aku memeluk tubuhnya yang besar itu rasa bahagia menjalar di tubuhku.

            “Gimana nggak susah kan? Lo aja parnoan banget.” Adelio mengacak rambutku, biarlah untuk kali ini aku balas dengan senyuman.

            “Nanti nggak usah kerja dulu ya, gue mau ngajak lo ketempat sesuatu.”  Ajak Adelio aku mengangguk setuju.

            Setelah ujian Adelio mengajakku suatu tempat makan, bisa di bilang cafe kecil-kecilan gitu. Aku duduk di hadapannya dengan mata yang terus memandang wajah Adelio, dia sepertinya salah tingkah deh.

            “Bentar ya Ness, lo tutup mata dulu deh.” Pinta Adelio, aku agak canggung mau mengikuti keinginan Adelio.

            “Ayolah tutup bentar.” Ucapnya dan akhirnya aku mengikuti saja.

            Cukup lama aku menutup mata menunggu Adelio menyuruhku membuka mata. Aku jadi penasaran Adelio mau menunjukkan apa pada ku, kenapa harus pakai acara tutup mata seperti ini.

            “Buka matanya Ness.” Pinta Adelio, aku mengikuti saja.

            “Happy birthday Nessa selamat panjang umur sehat selalu makin cantik dan makin pintar ya.” Ucap Adelio dengan semangatnya. Ada kue ulang tahun dengan lilin berangka enam belas. Aku terharu kenapa bisa Adelio tahu kalau ini hari ulang tahun ku. Aku beranjak berdiri memeluk tubuh Adelio begitu erat. Sungguh dia anugerah terindah yang kini aku miliki. Adelio membalas pelukan ku, dia membisikan harapannya kepada ku. Aku tersenyum dan melepas pelukan itu.

            “Make a wish dong Ness.” Ucap Adelio sesaat aku ingin meniup lilin.

            Aku kembali duduk di kursi ku, memejamkan mata untuk merangkai doa. Kenangan indah tahun lalu melintas di benakku, Nevan dan aku serentak meniup lilin pada kue yang megah. Hatiku bergetar, rasa rindu pada keluarga tak bisa ku pungkiri. Ini pertama kalinya aku merayakan ulang tahun berdua dengan orang yang bukan keluarga ku. Mungkin Adelio bisa melihat air mataku kini mengalir membasahi pipi, aku tak sanggup untuk meniup lilin di hadapan ku. Nevan, apa kabar mu?

            “Loh kok nangis? Ayo dong Ness tiup lilin.”

            Aku mengangguk, aku menyeka air mataku yang sempat keluar. “Happy birthday Nevan.” Gumamku sebelum meniup lilin tersebut.

            Adelio tersenyum, dia mengacak rambut ku dengan gemas. Kami memakan kue tersebut berdua, tak lupa Adelio mengabadikan moment spesial ini. Aku juga mulai bingung dengan diriku sendiri kenapa suka sekali berfoto, padahal sebelumnya melihat kamera saja aku sudah lari menghindar.

            Pengumuman juara Olimpiade langsung keluar hari ini, tepatnya jam lima sore. Sebelum itu Adelio mengajakku keliling menggunakan motornya, aku menikmati angin yang melambai dan membelai kulitku. Sungguh pengalaman yang tidak pernah aku lupakan.

            “Nessa kalau lo menang gue boleh minta satu permintaan nggak?” tanya Adelio saat kami beristirahat duduk di pinggir jalan.

            “Permintaan?” tanyaku bingung.

            Dia mengangguk, “Satu permintaan, jikalau lo menang sih. mau kaan?” tanyanya.

            Aku teringat dengan jasa Adelio pada edisi kaburku kali ini, aku sudah banyak berhutang budi dengan dia. Untuk satu permintaan akhirnya aku setujui, semoga permintaan itu tidak memberatkan diriku apalagi merugikannya. Adelio tesenyum, lagi-lagi dia terlihat gemas dengan ku. Mengacak rambutku saat rambut ini sudah rapi.

            Kami menunggu waktu di tepi jalan, memandangi kendaraan yang sesekali melintas. Aku menatap pepohonan rindang di sebrang sana, kenapa kini pikiranku selalu kepada Nevan dan mama. Aku ingin pulang tapi aku malu, karena telah berbuat hal yang bodoh seperti ini. Jujur aku tak bisa berlama-lama jauh dari Nevan, dia selaluku sebut dalam doaku kali ini.

            Saat jam lima kurang kami langsung menuju sekolah tadi, jantungku berdebar-debar rasa mau meletus. Adelio hanya bersikap santai seolah-olah aku tidak akan juara. Jam lima akhirnya datang, aku duduk paling depan menunggu pengumuman di bacakan.

            “Untuk kali ini saya begitu takjub dengan perolehan nilai yang di dapatkan. Seratus sempurna, selamat untuk Nessa Felesia Ardelia juara satu olimpiade matematika sekabupaten kota.” Sorak host.

            Aku tersenyum bahagia, berjalan menuju panggung dan menerima penghargaan. Pasti mama dan papa bangga dengan apa yang kini aku peroleh, ma, pa aku tidak lagi jadi Nessa yang dulu aku berani Ma dan aku juara. Aku bahagia, Adelio mengacungkan jempolnya padaku.

            “Selamat ya sayang, bu yakin kalau kamu menang.” Bu Sari mencium pipiku, dia bahagia dengan penghargaan yang ku dapat. Benar kata Yuka kita takan merasa sebelum kita mencicipinya, dan kini aku bahagia.

            “Selamat Nessa, ah lo bikin gue bangga aja.” Ujar Adelio saat aku turun dari panggung.

            Kami berfoto bersama dengan selempang dan piala yang aku dapatkan. Aku dan Adelio berfoto dengan gaya Aku memamerkan piala dan adelio mengecup pipi kananku. Bahagia punya sahabat seperti Adelio.

            Adelio mengajakku ke tempat yang cukup sepi, dia menatap mataku dengan nanar. Apa permintaan Adelio? Apakah minta di cium? Ah aku malah mengada-ngada saja. Sepertinya Adelio begitu berat mengatakannya, berulang kali dia menarik dan menghembuskan napas.

            “Lo janjikan nurutin permintaan gue?”

            “Iya, emang apaan sih? lama amat.” Tanyaku yang sudah lelah dihantui penasaran.

            “Huuuft, Nessa gue mohon lo pulang.” Lirihnya yang membuat aku seketika serasa serangan jantung.

            “Mak..maksud lo?” tanyaku gelagapan.

            “Lo benar-benar cewek yang lugu ya Ness, lo bahkan nggak ngenalin gue. Gue Adelio Orlando Arsenio, cowok yang sering berkelahi sama Nevan. Gue nggak tahu masalah apa yang menimpa lo Ness, tapi gue mohon pulang. Teman-teman gue bilang mereka tidak penah melihat senyum Nevan semenjak lo pergi, jangankan senyum mereka bahkan tidak pernah melihat penampilan Nevan rapi. Lo kembarannya Ness dan gue tahu kalau lo juga merasakan yang sama bukan? Aneh ya gue ngomong gini tapi ngelihat musuh gue merasa sedih entah kenapa gue juga ikut sedih.” Jelas Adelio yang membuatku membeku.

            “Nevan butuh lo Nessa.” Ucapnya, air mataku tumpah bahkan aku tidak penah membayangkan Nevan seperti itu. Dia orang cuek denganku, dia malah suka menatapku dengan tatapan selalu meremehkan.

            “Pulang Nessa,” Lagi-lagi Adelio mengucapkan kata itu.

            “Kabur nggak bakalan menyelesaikan masalah.” Lanjutnya.

            Tubuhku terisak, kepingan masa lalu ku seakan membuatku menyesali semua perbuatan yang telah aku lakukan. Kabur bukan suatu penyelesaian, kabur hanya untuk para pengecut yang tidak berani melawan kenyataan. Aku menangis, Adelio hanya menatap diriku yang kini di balut penyesalan.

            “Nggak ada yang terlambat, gue udah prediksi kalau lo bakal menang kok. Jadi gue sudah ada tiket buat pulang malam ini, lo harus pulang apapun yang terjadi. Sudah dua bulan lo menghilang dan gue nggak bisa menunggu lama lagi sampai lo sadar.” Ucapnya, aku mengangguk lemah.

            Adelio mengatarkanku kebandara, dia tidak bisa pulang bersama karena masih harus mengurusi neneknya. Aku banyak berhutang dengan dia, kenapa Adelio yang mengaku sebagai musuh kembaranku malah menolong diriku.

            “Lo nggak perlu malu, mereka begitu mengharapkan kepulangan lo.” Bisiknya sebelum aku masuk lebih dalam lagi pada bandara ini.

***

            Aku menatap pantulan wajahku dari kaca jendela pesawat, banyak yang berubah dari diriku tak terurus seperti dahulu. Aku datang secara tiba-tiba ke kota terpencil itu kini pulang tanpa permisi. Aku akan tak akan melupakan semua kisah yang aku ukir di sana. Terima kasih semuanya.

            Aku sampai di Jakarta saat pukul jam 12 malam, mana mungkin aku pulang selarut ini. Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di bandara sampai hari kembali cerah. Aku yang sudah biasa tidak makan hanya menahan perut, jujur aku masih malu untuk pulang. Apakah benar mereka mencari kepergian ku?

            Aku mendekap diri, memeluk tubuhku yang kedinginan. Aku pulang dengan membawa piala yang aku dapatkan kemarin sore ini kenang-kenangan ku di kota kecil tersebut.

            “Pak tolong anterin saya ke alamat ini ya.” Aku memberika kertas berisi alamat rumahku. Sopir mengangguk dan mengantarkan ku.

            Aku mengatur detak jantung ku yang mulai tak karuan sebentar lagi taksi ini akan sampai. Aku tak tahu harus apa saat menginjakkan kaki di sana, menangis, minta maaf, atau cuek saja. Taksi berhenti di depan pagar yang terbuka, aku menatap rumahku yang sepi sekali. Aku rasa tidak ada orang di sana. Aku membayar sejumlah uang di kepada sopir dan menuruni taksi tersebut. Sebelum masuk perkarangan aku menarik napas dalam-dalam mau tak mau aku harus menerima semua kemungkinan yang akan terjadi.

            Tidak ada yang beda dari rumah ini, masih sepi seperti yang dulu. Aku meletakkan tas dan piala yang aku pegang di atas meja yang ada di teras. Aku melangkah mendekati pintu, tanganku telah menggenggam ganggang pintu yang terbuat dari kristal, aku tak bisa bayangkan apa yang kini tengah tejadi di dalam rumah. Aku tahu aku salah, begitu salah. Aku hanya jadi anak yang selalu menyusahkan orang tua, dan kini aku malu untuk melangkah memasuki rumah. Apa aku siap jika ternyata di dalam rumah mama, papa, Nevan, dan Gibran sedang berpesta dan tak menghiraukan kehadiranku? Apa aku siap jika keadaan dalam rumah kacau? Siap atau tidak, aku sudah ada di depan rumah dan harus menerima apa yang ada di dalam.

            Kosong! Itulah yang dapat ku deskripsikan, tak ada orang sejauh ku pandang. Aku memberanikan diri memasuki rumah, kemana semua orang? Kenapa mereka membiarkan pintu rumah tidak terkunci, aku melangkah menuju kamar mama tapi tidak ada orang yang aku temui. Aku memeriksa kamar Nevan dan Gibran lagi-lagi tidak mereka di sana? Mungkin saja aku seharusnya tidak pulang.

            Aku berjalan gontai menuju kamar ku, biarlah mungkin tak ada yang mengharapkan kehadiran ku lagi. Lantai dua kosong, memang kamar di sini hanya di peruntukkan untuk tamu. Aku menaiki lantai tiga, kenapa terasa capek ya. Kenapa aku malah minta kamar di lantai paling atas?

            Waktu terasa berhenti, tubuhku membeku, dadaku sesak sehingga menyulitkanku bernapas. Air mata ku jatuh mengalir memasahi pipi, sungguh ini kesalahan besar yang aku lakukan. Saat aku membuka pintu kamar semua orang aku temui ada di sana, mama yang menangis dan Nevan yang berusaha menenangkan sedangkan Gibran hanya diam menatap mama.

            “Maaa.” Lirihku dengan gelimang air mata dan penyesalan.

            “Nessa?”

            Aku memeluk tubuh mama yang kurus, matanya sembab karena menangis. Tuhan apa yang telah aku perbuat? Kenapa aku tega membuat orang yang aku cintai seperti ini? Kenapa aku begitu bodoh harus kabur-kabur segala? Banyak penyesalan yang bertubi-tubi menyalahkan diriku.

            “Maafin Nessa ma, maafin. Nessa nggak ngulangin lagi ma. Maafin Nessa.” Ucap ku, mama tersenyum dia mencium keningku berulang kali.

            “Nessa jangan pernah gini lagi, ya Allah makasih kau kembali mempertemukan diriku dengan anakku.” Lirih mama yang membuatku makin bersalah.

            “Iya maa maafin Nessa, hikss.” Aku tak bisa menahan tangis, bagaimana pun ini kesalahan yang begitu fatal.

            Mama mengangguk, aku melepas pelukan itu dan menatap Nevan yang kusut. Rambutnya tak lagi rapi seperti dulu, bajunya juga tidak terurus, wajahnya begitu kusam. Aku langsung memeluk tubuh Nevan, menangis sejadi-jadinya. Aku juga bisa dengar kalau Nevan juga menangis, pelukannya begitu erat.

            “Lo bodoh, lo sudah ngehancurin hidup gue.” Gumamnya.

            “Maafin gue Van, maafin gue.” Bisikku, Nevan tidak menjawab dia melepas pelukkannya dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mata Nevan menatap tajam, begitu lama sampai aku tak berani membalasnya.

            “Gue sayang lo, jangan pernah coba berfikir pergi dari hidup gue.” Ucap Nevan dan mencium kening ku.

            Aku mengangguk, dan kemudian beralih ke Gibran yang menatap sendu. Aku langsung menggendong tubuh Gibran yang kini terasa lebih ringan. Gibran melingkarkan tangannya ke leherku, tatapannya lagi-lagi membuatku menyesal. Pasti Gibran juga terkena dampak dari prilaku ku yang bikin susah banyak orang.

            “Maafin kakak ya sayang, kakak janji nggak ninggalin kamu.” Ucapku dan mencium sekilas bibir Gibran.

            Senyum Gibran menggembang, dia memeluk tubuhku begitu kuat. Aku tahu jika dia begitu sayang padaku karena sejak dulu dia sangat suka mencari perhatianku yang tak peduli dengan dirinya. Mama mengajak turun ke bawah, dia ingin memasak meski sudah di larang oleh Nevan.

            “Lo kemana aja sih? ngapain?” tanya Nevan saat kami berada di meja makan.

            “Van gue nggak mau bahas ini.” Ucap ku yang masih memeluk Gibran. Dia tidak ingin lepas tetap ingin di pangkuanku.

            “Kulit lo gelap banget Sa, tubuh lo juga kurus. Lo nggak di siksa kan?” tanyanya dengan penuh penyelidikkan. Aku menggeleng, biarlah kisahku yang kabur hanya kalian yang mengetahui jangan sampai keluarga ku tahu karena itu akan membuat mereka makin terluka.

 

***

            Banyak perubahan yang terjadi kini terjadi, kamarku pindah ke kamar Nevan. Nevan jadi tergusur dan tidur berdua dengan Gibran. Aku tak boleh lagi menyisihkan diri di lantai atas, kunci kamar ku di sita papa karena mereka tidak ingin kejadian yang lalu terulang lagi. Paling parah kini rumah ku punya empat satpam yang memantau kepergian ku, aku rasa ini terlalu berlebihan tapi bagaimana pun orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

            Aku tidak bisa langsung sekolah, banyak yang harus di urus karena kepergianku yang mendadak. Papa yang langsung pulang dari Amerika kini harus sibuk mengurus sekolahku, sedangkan Nevan malah ikutan tak sekolah karena menjaga ku agar tak kabur lagi. Soal anak mama yang terakhir aku masih bingung kenapa nggak cewek sih, kan aku kesepian karena tidak ada teman perempuan.

            “Ma aku izin ke mall ya mau belanja buat peralatan sekolah.” Ucapku, mama menggeleng tidak mengizinkan.

            “Suruh bibi aja, kamu nggak boleh keluar. Nanti kabur lagi.” Ucap mama, dia tengah menidurkan El.

            “Nggak kok ma, Nessa janji.” Ucapku yang berusaha di beri izin.

            “Nggak ya nggak Nessa, jangan ngebantah deh.” Aku menghelakan napas, mengangguk dan meninggalkan kamar El.

            Dengan wajah kusut aku melangkah menuju dapur mengambil segelas air dan meneguknya. Ada Nevan di sana, entah kenapa dia sangat suka duduk di meja makan dari pada di sofa. Nevan sangat sibuk, matanya tidak lepas dari layar ponsel. Sesekali Nevan mendesah gelisah, dia terlihat bingung dan berusaha mencari jalan keluar.

            “Lo kenapa?” tanyaku yang duduk di seberang Nevan.

            Nevan menggeleng, ah dia sudah seperti dulu tidak menganggap ku ada. Apa perlu aku pergi lagi?          

            Aku mengangguk, aku juga ikutan mengeluarkan ponsel dan memainkannya.

            “Sejak kapan lo punya handphone gituan Sa?” tanya Nevan tiba-tiba.

            Aku tersentak kaget dan buru-buru menyimpan ponsel yang di berikan oleh Adelio, bisa mati aku jika Nevan tahu selama ini aku dekat dengan Adelio.

            “Udah ah Nevan gue ke kamar dulu.” Ucapku yang melangkah cepat meninggalkan Nevan. Aku harus kembalikan ponsel ini ke Adelio.

            Di ponsel ini terdapat banyak foto kenang-kenangan ku, tak mungkin aku hapus begitu saja. Jujur semenjak balik ke rumah aku tidak banyak permintaan, takut nanti malah nyakitin hati. Aku menyimpan ponsel itu di tempat yang tidak mungkin di temukan orang lain, kemudian merebahkan diri ke kasur. Sungguh aku seperti kelinci di dalam penjara, terkurung dan tidak bisa kemana-mana.

            Aku menatap langit kamar, apa aku pergi saja ya ke mall tanpa izin mama? Toh nanti aku bakalan pulang nggak bakalan kabur seperti sebelumnya. Nevan benar kulitku hitam dan aku harus membeli kosmetik untuk perawatan.

            Aku menukar bajuku dengan dress selutut berwara pink kemudian memoleskan sedikit bedak ke wajah. Aku membuka pintu kamar dan Nevan sudah ada di sana menatap tajam.

            “Mau kemana?”

            “Ke mall.”

            “Yang izinin siapa?” tanyanya penuh penyelidikkan.

            Aku menggeleng menunduk menatap ubin yang kini terasa menyebalkan, sampai kapan aku seperti ini tidak boleh keluar dan semua kegiatanku di pantau. Oh tuhan aku benar-benar kesal dengan ini.

            “Van please izinin gue, kenapa semuanya kok gini amat sih sama gue? Gue juga ingin kayak anak-anak perempuan lainnya Van, jalan-jalan ke mall, nonton, shooping. Masa gue cuman di rumah doang, kayak orang bego.” Ujarku kesal.

            “Sebenarnya sih lo mau kemana aja itu mah urusan lo, tapi karena lo pernah kabur dari rumah ya lo harus terima akibatnya dong. Orang dirumah terpaksa protektif sama lo Nessa.” Jelas Nevan yang membuat aku makin tertunduk lesu.

            “Perginya sama gue aja ya?” ucapnya.

            Aku mengangguk dan tersenyum akhirnya keluar rumah juga.

            “Kakk ibran juga mau icutt.” Gibran menarik bajuku, dia merenggek minta ikut. Kalau kayak gini mah kayak bawa anak deh.

            Aku mengangguk dan menukar baju Gibran, aku menggendong Gibran menuju mobil. Sudah ada Nevan di sana yang tersenyum hangat, ah kenapa aku serasa jadi pacar Nevan sih?

            “Kamu mau kemana sih Bran? Kakak nggak mau ya kamu banyak tingkah.” Ucapku, Gibran hanya mengangguk saja.

            “Van lo taktir gue ya, lo tahu kan kalau gue jajan gue nggak banyak.” Pintaku.

            “Siapa yang bilang? Lo itu bego banget sih Ness, jajan kita itu nggak pernah beda bahkan seribu rupiah pun. Lo aja nggak nggak pernah ke ATM, papakan ngasih duit selalu transfer.” Ucapnya yang tersenyum sinis denganku.

            What? Kenapa nggak ada yang ngomong sih? kenapa selama ini aku nggak tahu ya. Aku merebahkan punggungku ke bangku, memijit kepala yang terasa pusing. Nevan terkekeh, mungkin melihat ekspresi kagetku yang luar biasa itu.

            “Papa pernah ngecek tabungan lo itu udah ratusan juta, hahah jadi lo yang traktir gue sama Gibran ya. Kita ke ATM dulu. Okey?” ucap Nevan bersemangat.

            Aku mengangguk lemah, ini begitu telat untuk ku sadari. Mama juga nggak pernah protes saat setiap hari aku minta jajan meski hanya di kasih sepuluh ribu doang.

            Aku mengambil sejumlah uang dari ATM dan jalan-jalan ke mall. Kehadiran kami sepertinya mengundang perhatian banyak orang karena menggandeng Gibran yang masih kecil. Kali ini Gibran di gendong oleh Nevan karena aku tak sanggup.

            “Kalian cocok banget sih, mirip. Anaknya umur berapa?” tanya ibu-ibu yang bertanya kepada Nevan.

            “Empat tahun bu.” Jawabnya singkat.

            “Lho, kalian nikah umur berapa sih?” tanya ibu itu makin kepo.

            “Umur enam belas, keburu hamil dianya.” Jawab Nevan ngasal dan sempurna buat aku malu.

            “Loh sayang banget ya, tapi langgeng ya.” Ucap ibu itu dan berlalu.

            “Lo gila ya Van, bilang gue hamil di luar nikah. Di kira cewek apaan sih gue.” Omel ku dengan wajah cemberut.

            “Hahaha, yang ngomong lo hamil di luar nikah siapa? Nggak Ada kok, gue bilang lo keburu hamil. gitu doank.” Jawabnya singkat yang lagi-lagi buat ku emosi.

             “Kakak jangan marah-marah gitu dong, aku mau mandi bola.” Pinta Gibran.

            “Lo ngapain mandi bola Gibran? Kayak nggak ada air aja.” Ucap Nevan yang berhasil membuat Gibran cemberut.

            “Udah turutin aja Van, dia juga jarang main keluar gini. Ya nggak sayang.” Ucapku mencium pipi Gibran dengan gemes.

            “Papanya nggak di cium nih?” goda Nevan yang membuatku naik darah.

            “Mau di cium sama ini?” aku mengepalkan tanganku, dia hanya terkekeh dan membawa Gibran jalan duluan.

            Aku begitu bahagia, bermain bersama Gibran dan Nevan. Sudah lama sekali kami tidak bermain bersama karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Gibran yang lucu meloncat kesana kemari, mencoba permainan yang ada. Dari mandi bola, perosotan, dan trampolin untuk anak-anak. Aku tak pernah lihat Gibran seceria ini, dia juga sangat mudah mendapatkan teman baru di sana.

            “Bahagia ya Van lihat Gibran sesenang itu.” Ucapku, kami kini tengah duduk di area permainan menatap Gibran dari jauh.

            Nevan mengangguk, dia tersenyum tapi matanya tidak lepas memantau Gibran. “Lo dulu juga kayak gitu kok Sa, suka banget main mandi bola sedangkan gue suka main mobil-mobilan.” Ucapnya mengingat masa lalu.

            “Dulu kita itu dekat banget, kemana-mana berdua. Apapun couple dan gue selalu ada buat lo. Saat ada yang jahilin lo gue selalu ngebela lo, gue bahkan nggak rela ada yang bikin lo nangis. tapi waktu terlalu cepat berubah ya Sa, lo terlalu jauh sama gue. Seakan lo nggak butuh gue lagi buat ngelindungin lo, dan lo ngeciptakan dunia sendiri tanpa gue. Gue serasa nggak ada lagi punya tempat di hati lo, dan paling buat gue kecewa lo menciptakan sendiri tembok yang mengelilingi diri lo dan bahkan kembaran lo nggak di izinkan untuk mengakses apa yang ada di balik tembok itu.” Jelas Nevan yang membuatku sadar kenapa dia selalu mencuri padangan menatapku saat bicara dengan teman-teman atau sama Athala, ternyata Nevan cemburu.

            “Maafin gue Van, gue cuman nggak mau bikin lo susah. Itu aja.” Jawabku, aku menyandarkan kepada ke pundak Nevan.

            “Tapi nggak gini juga Nessa, kenapa orang nggak boleh tahu kalau kita itu saudara? Lo malu punya kembaran kayak gue?” tanya Nevan.

            Aku menggeleng, “Gue cuman menganggap kalau orang tahu gue sama lo kembaran nanti masalah yang gue hadapin berimbas sama lo dan masalah yang lo hadapin juga berimbas sama gue. Itu doang nggak lebih.”

            “Tapi gue juga butuh pengakuan, gue iri lihat orang bisa dekat sama lo sedangkan gue cuman bisa mandang lo dari jauh dan itu kalau di rumah lo nggak mau bicara sama gue.” Ucap Nevan, aku terdiam mencerna perkataannya, sebuah pengakuan?

            “Oke Van, kita buka lembaran baru. Seperti dulu lagi, nggak ada tembok yang batasin kita.“ ucapku.

            “Nggak ada rahasia-rahasian?”

            “Nggak ada rahasia-rahasian, Nevan.”

            “I love you.” Lirih Nevan yang mencium keningku.

            “I love you too.”

***

            “Nevaaaannnnnnnnn.” Teriakku dari kamar, bagaimana bisa kaus kaki ku hilang tanpa jejak seperti ini.

            “Apaan sih pagi-pagi sudah bikin ribut.” Ucapnya malas, dia mengucek matanya dan mengumpulkan nyawanya yang belum sempurna berkumpul.

            “Lo kemana in kaos kaki gue? Kan punya gue di sini.” Ucapku sebal.

            “Lo kira gue pakai punya lo gitu?” tanyanya dengan sinis, aku menggangguk.

            “Nggak guna benget deh, gue nggak pernah pakai punya lo, bau.” Ucapnya dan kembali pergi.

            Aku mendengus kesal, Nevan itu sangat suka memakai barangku tapi tidak pernah mengaku. Dia orang yang gengsian, tapi nggak tahu diri. Aku terpaksa memakai kaos kaki lama padahal ini kan hari pertama ku masuk setelah menghilang dua bulan. Nevan sudah bilang kalau ketiga sahabatku telah mengetahui jika kami kembar, dan aku tidak bisa bayangkan reaksi mereka yang akan heboh mengoceh tentang Nevan dan menanyakan apa yang Nevan lakukan selama di rumah.

            “Pagi-pagi sudah cemberut, ada apa sih sayang?” tanya papa saat aku keluar kamar, dia langsung mencium keningku.

            “Nevan makai kaos kaki ku tapi nggak ngaku.” Jawan ku bete.

            “Nggak ada, ish kenapa nuduh sama gue mulu sih. Tanya sama Gibran siapa tahu dia yang makai, kan dia anaknya usil.” Oceh Nevan yang langsung keluar kamar saat mendengar namanya.

            Aku memutar bola mataku dengan kesal, dan kalian tahu aku melihat Nevan kini mengenakan kaos kaki yang aku cari-cari. Sialan anak tak tahu diri itu.

            “Nah itu apa? Ini punya gue buka Nevan.” Rengek ku memaksa Nevan membuka.

            “Kamu ini kenapa sih Van? Nggak cukup uang jajan kamu beli kaus kaki seharga sepuluh ribu gitu?” tanya mama yang tiba-tiba datang dengan menggendong baby El. Kenapa malah sekeluarga ribut soal kaos kaki aku sih?

            “Nggak mau, sudah ke pakai nggak bisa di lepas.” Cibir Nevan yang meraih tasnya.

            “Lho, kamu nggak makan?” tanya mama.

            “Nggak ma, ada urusan OSIS jadi Nevan harus buru-buru ke sekolah.” Jawab Nevan yang menyalami mama dan papa.

            “Bukannya kamu sudah keluar dari OSIS,?” tanya papa bingung.

            “Pembina aku minta kembali pa, katanya Nessa kan sudah balik jadi nggak ada alasan lagi buat lepas dari tanggung jawab. Aku pamit dulu.” Ucap Nevan yang bergegas pergi.

            Aku mendengus kesal, itu anak nggak ada baiknya. Ada aja yang bikin aku naik darah, aku menatap kaos kaki yang ku kenakan. Biar saja,aku sabar jadi anak adi itu harus esktra sabar. Selesai sarapan aku langsung berangkat sekolah, takut terlambat. Aku berangkat sekolah dengan sopir yang sudah papa sediakan khusus untukku.Pak Agus namanya, sopir yang kini akan mengantar jemputku. Beliau cukup tua untuk bekerja tapi demi untuk makan mau tak mau dia harus mencari nafkah. Pak Agus begitu santun, dia berbicara dengan nada bicara yang rendah sehingga membuatku betah untuk berbincang-bincang.

            Saat aku sampai di sekolah, sudah ada Nevan di pagar sekolah. Entah apa yang di lakukan tapi kelihatan wajahnya serius, dia sesekali melirik jam tangannya. Aku hanya tersenyum saat melewati Nevan, mau bicara apa? Pagi-pagi sudah bikin kesal.

            “Lo marah ya?” tanya Nevan yang mencegat jalanku.

            “Menurut L?” tanyaku kesal.

            “Bercanda doang Sa,” ucapnya menyengir, bercanda apaan ini?

            Nevan merangkulku, dia mengajak masuk. Kini sempurna semua pandangan orang kearah ku, ish Nevan kenapa harus pakai acara begini. Aku risih di lihat banyak orang, apa lagi fans Nevan yang menatap ku dengan penuh kebencian. Mungkin saja orang menganggap ku adalah pacar baru Nevan.

            “Van jangan rangkul gue ah, risih tahu nggak.” Ucapku kesal.

            “Bodo amat, biar semua tahu kalau lo itu istri gue, mama Gibran.” Bisik Nevan yang buatku kesal.

            “Ish, lo ya Van. Sedetik aja bikin gue seneng gitu kayak di mall.” Ucapku kesal.

            “Hahaha, kalau lo marah makin manis tahu nggak.” Nevan mencubit hidungku, dan adegan ini bikin semua tatapan orang makin tajam. Apa istimewanya Nevan? Cowok sok ganteng dan nyebelin.

            “Kalau gue sok ganteng, berarti lo sok cantik dong.” Nevan mengangkat alisnya.

            “Gue nggak sok cantik, emang gue dari lahir cantik.”

            “Berarti gue dari lahir juga ganteng dong.”

            “Loh kok bisa gitu?”

            “Kalau bego itu nggak perlu lo pelihara, kita kan kembar wajah lo mirip sama gue. Kalau yang satu jelek pastinya keduanya jelek. Jadi lo harus hati-hati ngehina gue, atau lo juga ngehina diri lo sendiri.” Jelas Nevan menjitak kepala ku.

            “Au ah, gue mau ke kelas.” Aku melepaskan tangan Nevan dari bahuku melangkah meninggalkan Nevan yang melambai dan tersenyum. Ini anak kepengen kali aku akui sebagai saudara, tapi sayang orang mengira kami pacaran. Menurutku biarlah semua tahu dengan sendirinya, tanpa aku umbar.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • rahmalief

    Bagus banget siihh...

    Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)
Similar Tags
Warna Rasa
11953      2089     0     
Romance
Novel remaja
Kesempatan
19203      3048     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Du Swapped Soul
13113      2071     8     
Fantasy
Apa kamu pernah berasumsi bahwa hidupmu lah yang paling sempurna? Apakah kamu pernah merasakan rasanya menjalani kehidupan orang lain? Dan apakah... kamu pernah mempunyai sahabat yang aneh, tapi setia? Kalau belum, kau akan menemukan semuanya di sini, di kehidupan Myung-Joo yang akan diperankan oleh Angel.
Secret Garden
285      243     0     
Romance
Bagi Rani, Bima yang kaya raya sangat sulit untuk digapai tangannya yang rapuh. Bagi Bima, Rani yang tegar dan terlahir dari keluarga sederhana sangat sulit untuk dia rengkuh. Tapi, apa jadinya kalau dua manusia berbeda kutub ini bertukar jiwa?
You Can
1147      723     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
My Andrean
10575      1835     2     
Romance
Andita si perempuan jutek harus berpacaran dengan Andrean, si lelaki dingin yang cuek. Mereka berdua terjebak dalam cinta yang bermula karena persahabatan. Sifat mereka berdua yang unik mengantarkan pada jalan percintaan yang tidak mudah. Banyak sekali rintangan dalam perjalanan cinta keduanya, hingga Andita harus dihadapkan oleh permasalahan antara memilih untuk putus atau tidak. Bagaimana kisah...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
Sanguine
5273      1625     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
Bullying
558      339     4     
Inspirational
Bullying ... kata ini bukan lagi sesuatu yang asing di telinga kita. Setiap orang berusaha menghindari kata-kata ini. Tapi tahukah kalian, hampir seluruh anak pernah mengalami bullying, bahkan lebih miris itu dilakukan oleh orang tuanya sendiri. Aurel Ferdiansyah, adalah seorang gadis yang cantik dan pintar. Itu yang tampak diluaran. Namun, di dalamnya ia adalah gadis rapuh yang terhempas angi...
Communicare
12334      1746     6     
Romance
Menceritakan 7 gadis yang sudah bersahabat hampir lebih dari 10 tahun, dan sekarang mereka dipersatukan kembali di kampus yang sama setelah 6 tahun mereka bersekolah ditempat yang berbeda-beda. Karena kebetulan mereka akan kuliah di kampus yang sama, maka mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Seperti yang pernah mereka inginkan dulu saat masih duduk di sekolah dasar. Permasalahan-permasalah...