“Nessa, lo kemana aja? Kita semua nyariin lo. Sumpah gue kagen banget sama.” Dira melompat memelukku. Aku tersenyum hangat ternyata mereka masih mengharapkan kehadiranku.
“Iya Ness kita semua kangen banget sama lo.” Intan dan Tari ikutan memeluk ku. Kami berempat berpelukkan. Aku juga kangen dengan mereka, tertawa, menangis, dan suka duka selalu kami lalui bersama.
Hanya mereka bertiga yang tahu permasalahan ku, yang lain hanya beranggapan aku pindah keluar negeri. Mereka juga telah mengetahui jika aku dan Nevan kembar, ku rasa cukup mereka saja yang tahu dan yang lain biarlah tenggelam dalam kebohongan yang Nevan dan aku ciptakan.
Lagi-lagi aku tak menjawab saat mereka bertanya kemana saja aku selama ini. Bukankah tidak semua harus kita ceritakan? Bukankah tidak semua kisah ku harus terpublikasi? Ya, aku rasa begitu, cukup aku dan mereka yang ada saat itu yang mengetahui.
“Ness kulit lo agak gelapan deh, suka ngejemur ya di pantai?” tanya Wahyu saat mendekati ku.
“Iya nih, di sana gue sering banget jemuran di pantai.” Jawabku ngasal.
“Hahaha, gimana pun lo tetap cantik kok.” Pujinya.
What? Tetap cantik? Kenapa semua baru sadar kehadiranku saat aku pernah menghilang? Aku membalas dengan senyuman, kemudian Wahyu kembali ke kursi saat Bu Rina masuk. Kehadiranku tidak begitu mengebohkan kelas, semua berjalan lancar. Aku tidak merasa ketinggalan pelajaran karena saat kabur aku juga sekolah. Hanya saja aku harus melengkapi tugas dan nilai saat aku tidak ada. Ya aku harus semangat soal ini.
“Ness, kak Athala nyariin lo mulu.” Bisik Dira saat aku ingin menyalin materi yang Bu Rina tulis di papan tulis.
“Ya nanti gue temuin dia.” Ucapku santai.
“Seriusan Ness? Lo suka ya sama dia?” tanyanya.
“Dia kan teman gue Dira, lagi pula ada yang mesti gue bicarakan sama dia.” Ujarku dengan tangan yang menulis di lembaran kertas putih.
Dira mengangguk, dia juga kembali mencatat pelajaran. Saat bel istirahat aku tidak ikut dengan Dira, Intan, dan Tari ke kantin,aku harus menemui Kak Athala yang biasanya ada di ruang OSIS saat istirahat seperti saat ini. Suasana di sekolah begitu ramai, sangat beda dengan tempat ku sebelumnya yang sepi karena siswanya tidak sebanyak ini.
“Kak.” Sapa ku saat melihat kak Athala, aku bisa pastikan dia langsung tersenyum dan berjalan ke arahku.
“Kamu sudah kembali ya Ness? Duh bahagianya bisa lihat kamu lagi.” Ucap Kak Athala, dia tersenyum dengan lesung pipi yang begitu menggemaskan.
“Heheh ya kak.”
“Boleh bicara sebentar?” tanyaku.
“Boleh, sebenarnya aku mau kekelas kamu. Eh keburu kamu yang nyamperin aku dulu. Mau ngomong dimana Ness?”
“Di taman aja kak, biar sekalian ngadem gitu.”
“Oke.”
Aku berjalan di sebelah Kak Athala, tubuhnya yang lebih tinggi membuatku tak bisa menatap matanya. Kak Athala itu ganteng, kulitnya putih, hidung mancung, dan baik. Dia begitu perfect untuk ku yang masih labil.
“Lo pacaran sama Nevan ya?”
“Hah?”
“Selamat ya Ness, lo memang cocok sama dia. Gue turut bahagia kalau lo bahagia.” Aku tahu senyum yang dia berikan tersirat kesedihan, aku hanya mengangguk saja.
Langkah kami terhenti saat Dea pacarnya Nevan dan gengnya datang. Dia menatap tajam mataku, tidak ada yang berubah dari wajahnya masih dipoles dengan bedak tebal. Dea melangkah mendekatiku, dia tersenyum sinis dengan gaya yang sok kecentilan itu.
“Heh bukannya lo anak orang miskin ya? Kok bisa keluar negeri terus pulang-pulang sudah kaya? Ngejual diri ya?” tanyanya membuat jantungku mau copot, kurang ajar banget.
“Kalau ngomong itu mulut lo dijaga.” Bentak Kak Athala, aku hanya diam tak menganggapi.
“Benar kan? Lo tahu sendiri kalau sebelumnya dia kumal banget, beli baju baru aja nggak mampu. Eh tiba-tiba bisa keluar negeri dan pulang bawa mobil mewah. Gimana bisa gitu kalau nggak jual diri sama om-om.” Ucap Dea.
Aku tertunduk menahan tangis, kenapa Dea bisa bicara seperti itu? Aku bahkan tidak pernah cari masalah dengan dirinya.
“Benar apa yang gue bilang, dasar cewek murahan lo.” Dea mendorong tubuhku sampai terjatuh ke lantai.
“Kurang ajar lo De, mending lo pergi deh. Suka-suka orang mau ngapain, kenapa lo yang sewot bukannya lo yang gitu ya De. Ngaca dulu deh.” Suara Kak Athala meninggi, dia membantuku berdiri.
Dea dan gengnya pergi begitu saja, Kak Athala menghembuskan napas beratnya. Aku masih menangis, kenapa ada aja yang buat aku sedih.
“Kamu jangan nangis, nggak usah di pikirin Ness. Dia cuman iri sama kamu, karena pacarnya Nevan. Jangan tanggapin ya, dia suka gitu bikin siapa pun yang dekat Nevan nggak betah.” Ucap Kak Athala yang sepertinya begitu hafal dengan sikap Dea.
Aku mengangguk dan menyeka air mata. Aku meminta ke Kak Athala untuk membatalkan rencana ke taman. Moodku sudah hilang, aku ingin menenangkan diri dulu, dia menyetujui dan mengantarkanku ke kelas. Di kelas aku hanya menunduk, apa yang aku takutkan datang juga. Aku tak ingin dekat dengan Nevan karena semuanya akan kembali menyusahkanku dan batin ini.
“Tadi Kak Athala cerita, memang kurang ajar banget si muka bedak itu ya.” Ujar Intan yang tiba-tiba datang dengan berbalut emosi.
“Sok kaya banget, padahal hidup pas-pasan.” Omel Tari duduk di sebelahku.
“Gue bilang sama Nevan dulu ya Ness, orang kayak gitu nggak boleh didiamin.” Aku mencegat tangan Dira, aku tak mau dia ikut campur dalam urusan ini. Lagi pula aku tidak peduli dengan Dea, dia hanya iri dan yang dia ucapkan itu tidak benar.
“Janji jangan bilang sama Nevan ya?”
“Iyaa deh.”
***
Aku diam memperhatikan jalanan yang sepi, aku masih bergelut dengan pikiran sendiri. Kali ini aku berada di balkon kamarku yang lama, melakukan hal yang biasa aku lakukan seperti dulu. Apa yang harus aku lakukan? Jujur ucapan Dea masih terngiang di telingaku, apa aku kembali seperti biasa? Bersikap tak acuh lagi dengan orang. Tapi, aku sudah berjanji dengan mama dan papa akan berubah yang tidak lagi menjadi gadis yang berkepribadian tertutup.
Sebenarnya tadi aku bertemu dengan Kak Athala ingin ikut ekskul kepenulisan yang kebetulan dia sebagai ketuanya. Tapi, entah kenapa niat aku mundur begitu saja. Aku jadi tak bernafsu untuk ikut apa pun ekskul yang ada.
Kenangan saat di sekolah bersama Adelio kini menari-nari di pikiranku, saat itu aku beranggapan sekolah bukan sebuah beban yang terpaksa aku jalani. Senyum dan tawaku keluar begitu saja dengan tingkah teman-temanku yang begitu respek. Aku begitu menikmati masa-masa itu, dan sekarang yang bisa aku lakukan hanya mengenang.
Lo apa kabar Lio? Nenek lo sehat-sehat aja kan, aku harap kamu kembali ke Jakarta dan kita bisa ketemu kembali. Nafasku mulai memburu, sesak kini menguasai. Oh tuhan, kenapa aku jadi seperti ini? Aku ingin Nessa yang dulu, tak peduli apa pun yang terjadi. Aku keluar kamar, menuruni tangga dengan tak semangat. Kaki ku begitu lemah, ingin segera tidur dan melupakan masalah tadi.
“Non Tuan, Nyonya, Gibran dan El pergi keluar negeri. Ada urusan katanya, jadi tadi nyonya berpesan buat Non jangan kemana-mana. Besok sudah balik lagi kok.” jelas Bi Minah menghampiriku. Aku mengangguk.
Nevan belum pulang, sepertinya dia sibuk dengan urusan sekolah. Kini aku makin kesepian, mau ngapain nggak tahu mau kemana juga bingung. Aku melangkah menuju teras rumah memperhatikan bunga mawar dengan beraneka macam warna yang mama tanam.
“Neng tadi ada kiriman buat Neng.” Satpam menyerahkan kotak berwarna pink.
“Dari siapa pak?”
“Nggak tahu Neng, tadi bapak tanya namanya dia bilang tak tahu.”
“Ciri-cirinya gitu pak?”
“Yang ngasih sih tukang koran langganan tuan.” Jelas Satpam.
Aku mengangguk, memperhatikan kotak yang cukup besar itu. “Makasih pak.”
Aku mengambil posisi duduk di lantai, membuka kotak tersebut. Apa mungkin di dalamnya bom? Bukankah kini begitu marak soal begituan, tapi mana mungkin sih. Aku membuka isi kotak tersebut, ada jaket berwarna dongker berserta sehelai kertas dengan tulisan di sana.
Gue lupa ngasih lo kado, pakai ya!
Aku tersenyum malu, pasti ini dari Adelio. Tidak perlu heran lagi kenapa dia tahu rumah ku, karena dia pernah bilang dia adalah musuh Nevan. Tapi apa Adelio kini telah di Jakarta? Aku takut menanyakan ini kepada Nevan, takut malah bikin masalah. Aku menyimpan jaket tersebut dalam kotak dan membawa masuk.
Apa aku tengah jatuh cinta? Tapi aku tak tahu soal itu. Aku hanya gadis lugu yang belum mengerti tentang cinta-cintaan. Kini aku begitu ingin didekat Adelio, memandang senyumnya yang kaku.
Saat aku melangkah memasuki kamar suara motor Nevan terdengar dari halaman, dengan tergegas aku menyimpan kotak tersebut di bawah kasur dan melipat jaket kemudian meletakkannya di dalam lemari. Langkah kaki Nevan terdengar makin mendekat, aku berusaha bersikap normal agar Nevan tidak menaruh curiga sedikit pun. Tapi sepertinya Nevan tidak berniat melihatku, terdengar jika Nevan menutup pintu kamarnya, mungkin saja dia lelah.
Aku yang awalnya lelah kini kembali bersemangat karena kado dari Adelio, aku berdiri dan menuju dapur untuk makan siang. Bi Minah sudah siap dengan makanan kesukaan ku dan Nevan, meski kami kembar soal selera aku dan Nevan bertolak belakang. Aku sangat menyukai ikan dan Nevan menyukai ayam.
Bi Minah orangnya sangat santun, dia bekerja dengan baik. Aku tak tega menyuruh-nyuruh Bi Minah dan di sini tugasnya hanya memasak dan mencuci piring. Bersihkan rumah dan cuci baju masih menjadi tugasku, ya sudah lah.
Bi Minah pamit untuk pulang karena tugasnya sudah selesai, aku hanya mengangguk saja. Kini isi rumah benar-benar hanya ada aku dan Nevan, pasti sangat sepi. Tidak ada suara tangis El yang setiap saat minta susu, tidak ada rengek Gibran yang minta di beliin mainan baru. Sesudah makan aku berencana ke kamar Nevan, mengingatkan agar dia tidak lupa makan .
Saat membuka pintu aku melihat Nevan sedang terlungkup di atas kasur.
“Van makan gih.” Aku mendekati kasur Nevan.
“Gue capek Ness, bayangin harus nyelesain program yang aku terlantarin dua bulan.” Keluhnya, aku duduk di samping tubuh Nevan.
“Makan dikit aja Van.” Bujuk ku
“Pijitin gue dong Nes.” Minta Nevan, aku menghelakan napas dan mendekat.
Aku memijit pundak Nevan, ini lah alasan ku malas dekat sama Nevan. Aku hanya di suruh-suruh saja, tapi kelihatan Nevan begitu lelah karena biasanya kalau aku pijitin dia bawel minta ampun tapi kali ini diam saja.
“Beberapa hari ini dada gue sakit banget deh, susah napas gitu.” Keluh Nevan.
“Lo sih suka berantem jadi tubuh lo jadi sakit-sakitan, atau kemarin lo berantem dadanya kehantam?” tanyaku masih mememijit punggung Nevan.
“Maybe,” Jawabnya singkat.
“Ness lo belum ikut ekskul apa pun kan? Gue sudah bilang sama Athala kalau lo mau masuk, dia bilang mulai besok lo sudah jadi anggota kok syaratnya cuman bawa laptop doang soalnya besok mau acara gitu.” lanjut Nevan.
“Loh lo kok nggak bilang dulu sih Van?” tanyaku sedikit kesal.
“Lama banget Ness.”
Aku mendengus kesal, tapi tak apalah aku tidak perlu berfikir gimana mau bicara sama Kak Athala. Kalau di lihat-lihat kenapa aku serasa jadi pembantunya Nevan memijit pundak, tangan, dan kakinya.
Tak lama ponsel ku berdering, saat aku melihat siapa yang nelfon aku mau teriak karena bahagia. Adelio, dia menelfon ku.
“Bentar ya Van.” Ucapku yang segara berlari menjauhi Nevan.
Hallo?
Lo sudah terima jaketnya?
Sudah, makasih banget ya Lio. Gue suka
Hahha, gimana kabar musuh gue baik?
Nevan, maksud lo?
Iya, siapa lagi. Bilang sama dia bentar lagi kita mau satu sekolah
Dia baik-baik aja, lo kenapa sih? gue nggak suka ya lo musuhan sama dia
Ini masalah lain Nessa, sudah ya gue mau bilang gitu aja.
Panggilan putus, aku masih tidak mengerti maksud dari perkataan Adelio. Aku jadi penasaran bagaimana Adelio sebenarnya, kenapa pas bicara tadi rasanya aneh gitu ya.
“Sini hp lo.” Tiba-tiba Nevan merampas hp yang aku genggam, mampus walpapernya foto aku bareng Adelio.
“Sandi.”
“23456” lirihku.
Aku menatap ekspresi Nevan berubah, kedua rahangnya yang mengantup kini mengeras. Nevan berbalik dan menuju kamarnya, aku mengikuti dari belakang. Kalian pernah lihat Nevan marah? Nevan tidak bisa marah dengan ku hanya saja diamnya begitu menyiksa.
“Van.” Aku duduk di samping Nevan, dia masih saja diam seraya memeriksa isi hp tersebut.
Nevan membanting hp tersebut, ya tuhan itu kan masih aku pinjam dari Adelio. Ngembaliinnya gimana coba. Itu ponsel keluaran terbaru dan pastinya mahal. Aku beranjak mendekati ponsel yang Nevan banting sekuat tenaga, layarnya pecah dan aku rasa tidak bisa lagi di gunakan.
“Kalau sekali lagi gue lihat lo sama dia, cukup gue nggak bakalan anggap lo kembaran gue. Lo nggak tahu gimana dia, bisa-bisa lo rusak sama dia. Kalau lo rusak masa depan lo juga hancur.” Bentak Nevan, aku hanya diam mencerna kata-kata Nevan. Aku bisa rusak?
“Van?”
“Arrggh lo kenapa bisa sedekat itu sih Ness,” ucap Nevan kesal.
Aku terdiam, ada apa sih kenapa Nevan tidak menyukai Adelio begitu sebaliknya. Aku menghelakan napas, aku tak tahu harus apa. Ini merupakan sinyal merah dari Nevan untuk perasaan yang aku simpan. Aku berbalik badan, berniat untuk meninggalkan kamar Nevan. Mungkin Nevan butuh waktu sendiri dan aku juga butuh waktu untuk merenung.
***
“Ceritakan apa pun yang kalian tahu tentang Adelio.” Pintaku saat duduk di kursi.
Mereka menatapku dengan bingung, ya jelas baru datang sudah bicara begitu, aku membalas tatapan mereka memberikan isyarat untuk memulai bercerita. Aku butuh sudut pandang yang lain tentang Adelio. Kenapa Nevan bicara jika aku dekat dengan Adelio masa depanku akan hancur.
“Adelio, cowok yang menurut gue ganteng tingkat dewa. Senyumannya manis dan bisa di bilang BadBoy. Kalau yang gue tahu dia anak broken home, orang tua mereka sudah lama bercerai. Adelio tinggal bersama mamanya yang sibuk bekerja. Ya itu yang gue tahu tentang Adelio.” Ucap Dira.
“Gila sampai segitunya lo tahu dia, gue aja baru tahu kalau dia anak broken home.” Ucap Intan takjub.
“Terus kenapa Nevan bilang masa depan gue bakalan hancur kalau dekat Adelio?” tanyaku
“Hah? Lo dekat sama dia?” pekik mereka, aku mendengus kesal.
“Jawab aja!”
“Kalau masalah itu gue kurang tahu ya Ness, tapi kalau di lihat-lihat Adelio juga bukan anak yang baik, dia suka berkelahi,”
“Nevan juga suka berkelahi kok.” Potongku.
“Itu beda Ness, Nevan suka berkelahi hanya sewajarnya. Tapi Adelio, dia kalau berkelahi cukup brutal sih, dia juga perokok berat, dan yang gue denger-denger dia suka balapan liar plus mabuk-mabukan. Kalau Nevan larang lo dekat Adelio itu mah wajar, gue juga ngelarang takutnya lo terpengaruh sama Adelio.” Lanjut Dira.
Kenapa yang dijelaskan oleh Dira beda banget sama Adelio yang aku kenal. Dia sering cerita kalau punya keluarga yang harmonis, papa dan mamanya selalu memperhatikan dan mencurahkan kasih sayang kepada dia. Selama dua bulan aku juga tidak pernah lihat Adelio ngerokok. Apa Adelio yang aku kenal beda dengan yang mereka kenal.
“Memangnya kenapa sih Ness?” tanya Intan
“Saat gue kabur gue ketemu sama Adelio, malah dekat. Tapi yang kalian ceritakan itu bertolak belakang sama yang gue kenal selama dua bulan.” Jelasku dengan singkat.
“Benarkah? Bisa jadi yang lo temui adalah Adelio yang lain. Kembaran mungkin?” ujar Tari yang ada benarnya. Aku mengangguk pelan, menyetujui mungkin saja itu kembaran Adelio.
Perbincangan kami harus terhenti saat Bu Kasih masuk, guru kimia yang terkenal killer. Jangan coba-coba tidur di jam pelajaran beliau, atau kalian akan di permalukan selama seminggu di kelas lain. Tidak ada yang berani macam-macam pada jam pelajaran Bu Kasih, kelas yang biasanya ribut mengalahkan pasar burung bakalan hening dan sepi seperti kuburan. Hanya suara Bu Kasih yang menggema, suara lantangnya seakan tidak mengizinkan mata terpejam satu detik saja.
“Tugas yang saya suruh tolong dikumpulkan.” Ucap Bu Kasih dengan lantang.
Tugas? Aku tidak tahu apa-apa tentang tugas. Aku melirik ketiga sahabatku yang juga cemas, mereka cemas bukan karena tidak buat tugas tapi memikirkan nasib ku nanti.
“Kenapa nggak bilang sih ada tugas sama Bu Kasih?” lirihku pada Dira.
“Gue lupa Ness, masalahnya ini tugas minggu kemarin. Lo kan belum masuk.” Jelas Dira.
Aku menatap resah Bu Kasih yang berdiri tegap di depan kelas, matanya memantau seluruh kegiatan kelas. Sebelum maju ke depan aku menarik napas dalam-dalam, menerima semua akibat yang akan terjadi. Hanya aku yang tidak mengumpulkan tugas, Bu Kasih tidak peduli apa pun alasan yang di lontarkan dari siswanya.
“Kamu keluar!” telunjuk Bu Kasih menunjuk keluar, aku mengangguk.
Aku melangkah keluar kelas, hufft syukurlah aku tidak di suruh hormat bendera. Mungkin tujuanku kali ini perpustakaan, sudah lama aku tidak kesana. Sesekali bolos mungkin tidak apa, aku masih bisa mengejar ketinggalan.
Perpustakaan sangat sepi, Bu Rahmi sibuk membersihkan tumpukan buku yang berdebu. Minat baca siswa di sini sangatlah rendah, guru-guru masih belum bisa menarik siswa untuk membaca atau hanya mengunjungi perpustakaan. Aku menyapa Bu Rahmi, dia membalas dengan senyuman. Dia sudah tahu apa tujuanku kali ini, masuk keruang rahasia perpustakaan.
Pintu ruangan rahasia terlihat semu, dia bersatu diantara rak buku yang menjulang tinggi. Hanya sidik jari yang terprogram yang bisa membuka, sekarang kalian tahu kalau perpustakaan yang di anggap mereka kuno memiliki peralatan canggih dan terpenting tidak semuanya yang mengetahui. Aku memberikan sidik jariku, rak buku yang tertutup debu terbuka secara perlahan.
Ada Kak Athala di sana, dia menoleh kearahku. Pintu rahasia kembali tertutup, ruangan ini tidak begitu besar tapi telah di lengkapi dengan komputer dengan merek yang tidak kalah terkenal. Kak Athala menghentikan jemarinya mengetik, memutar bangku yang di duduki menghadapku.
“Kok kesini Ness? Kamu bolos?” kening Kak Athala mengerut.
Aku menggeleng pelan, menarik kursi kemudian mendudukinya. “ Aku lupa buat tugas kak, jadi di usir.” Aku memamerkan deretan gigi.
“Yaelah baru aja datang sudah bikin ulah.” Kak Athala tersenyum, dia mengacak rambutku dengan gemas.
Jujur aku masih bingung perasaanku dengan Kak Athala, aku begitu nyaman berada di dekatnya. Ah kegalauan selalu menimpaku saat bertemu dengan sosok kakak kelas seperti ini.
“Kak boleh curhat nggak?” tanyaku sedikit ragu.
“Curhat? Yakin nih,?” Kak Athala sepertinya ragu denganku.
Aku mengangguk, aku rasa dia tahu jika curhat sama orang yang lebih tua itu lebih baik.
“Curhat apa Ness? Siapa tahu aku bisa bantu.”
“Kak aku harus gimana sih kak? Aku itu lagi dekat sama cowok tapi saudara aku nggak setuju dengan kedekatan kami.”
“Dia nggak setuju dengan alasan apa?”
“Karena cowoknya musuh dia.” Jawabku.
“Bukannya lo sudah pacaran sama Nevan ya Ness? Lo masih dekat sama cowok lain? Atau cowok yang lo bilang itu Nevan?” tanya Kak Athala yang seperti peluru mengujam kearahku.
Aku terdiam sejenak, Kak Athala kakak kelas yang baik. Dia mau ngebantu Nevan dalam pengurusan OSIS. Dia yang selalu mendukung Nevan untuk menjadi ketua OSIS di saat orang tidak percaya dengan Nevan yang suka berkelahi. Aku rasa Kak Athala boleh tahu dengan semua ini.
“Kakak janji ya jangan bilang sama siapa-siapa?” aku mengacungkan jari kelingkingku.
“Janji.” Dia mengaitkan jarinya, aku masih terpana dengan senyum Kak Athala yang menggemaskan.
“Sebenarnya Aku sama Nevan itu kembar kak.” Lirihku.
“What? Serius?” Kak Athala terlihat antusias, aku mengangguk mantap.
“Gila, pantas aja kalian mirip ya. Tapi syukur deh.” Kak Athala bernapas lega, senyuman dia makin membuatku melayang.
“Syukur kenapa kak?”
“Ya syukur aja Ness, jadi Nevan nggak suka sama cowok yang lagi dekat sama lo?” tanya Kak Adelio, aku mengangguk lemah.
“Kalau boleh tahu siapa Ness?”
“Adelio kak.”
“Apa? Lo seriusan? Pantasan aja Nevan nggak sejutu, orang kayak gitu kamu deketin. Memang nggak ada cowok lain gitu?” tanya Kak Athala yang makin buat perasaan ku bimbang.
“Menurut kakak Adelio itu gimana?”
“Nggak perlu jauh-jauh gambarin dia Ness, Bahaya.” Ucap Kak Athala.
Aku menarik napas dalam-dalam, sejauh ini orang terdekatku tidak suka dengan Adelio. Mungkin saja aku aku mengubur rasa ini, mungkin hari yang aku lalui bersama Adelio tidak akan berlanjut. Aku bukan gadis yang berani mengambil resiko, mau tak mau rasa ini harus aku tenggelamkan.
“Ya udah deh kak, mungkin aku harus jauhin dia. Aku nggak mau kehilangan Nevan hanya karena Adelio.” Ujarku, Kak Athala tersenyum simpul. Dia memutar badannya ke hadapan komputer.
Aku memperhatikan apa yang Kak Athala kerjakan, sesekali keningnya berkerut dan kepalanya menggeleng. Kak Athala sepertinya tengah mendesain sesuatu, aku mengurungi niat untuk bertanya takut menganggu dia bekerja. Setelah lima belas menit berkutat, akhirnya aku mendengar Kak Athala menghelakan napas lega.
“Buat apa sih kak?”
“Oh ini stiker buat acara tahunan klub sastra, kamu ikutkan?”
“Klub sastra?”
“Iya, ekskul menulis.”
Aku mengangguk, ternyata ekskul menulis merupakan klub sastra.
“Acara tahunan itu apa kak?” tanyaku.
Kak Athala tidak langsung menjawab, dia mematikan komputer dan beranjak berdiri. Kak Athala menatap diriku yang masih duduk. “Nanti sepulang sekolah jangan lupa ikut ya, ada rapat. Kalau kamu ikut nanti kamu bakalan tahu kok. Yuk masuk, mau pergantian jam nih.” Ajak Kak Athala.
Aku beranjak, mengikuti langkah Kak Athala dari belakang. Pintu ruang rahasia terbuka, Bu Rahmi menyambut kedatangan kami dengan senyuman. Beliau masih sibuk dengan debu yang menutupi rak buku.
***
“Lho, kok aku sih?” aku terasa keberatan, tiba-tiba di tunjuk sebagai bendahara kegiatan. Baru saja masuk dan sekarang malah memegang peran yang cukup penting.
“Ya kan nggak apa-apa Ness, lo harus bisa berorganisasi donk.” Ujar Kak Athala selaku pemimpin rapat.
Aku mendesah pelan, berfikir soal masalah berat ini. Kalian tahu sendirikan kalau ini pengalaman pertamaku berorganisasi, nanti bukannya sukses malah kacau. Aku menatap teman-teman yang berharap aku menyetujui. Sebenarnya yang mengikuti klub sastra tidaklah banyak, tapi mereka bagitu terbuka menerima kehadiranku.
“Oke, ya deh.” Ucapku lesu.
“Nah gitu dong Ness.” Ujar Ari yang baru aku kenal beberapa menit yang lalu.
Aku tersenyum tipis, mau tak mau aku harus bertanggung jawab atas kelancaran acara. Acara tahunan merupakan acara rutin yang dilakukan setiap ekskul atau klub yang ada di sekolah. Setiap ekskul di tuntut untuk menyusun acara agar terlihat menarik, acara ini biasanya dilakukan setiap akhir bulan September. Jujur aku baru mengetahuinya, sebelum ini aku hanya mengira kalau acara yang ramai tersebut merupakan lomba yang tidak jelas.
Kali ini klub sastra bekerja sama dengan OSIS, mereka akan melaksanakan lomba menulis puisi atau cerpen. Ini hal yang menarik, tapi sayang panitia tidak diizinkan untuk ikut. Aku dan Kak Athala kebagian tugas membeli perlengkapan yang dirasa perlu. Kami merencanakan akan pergi pada hari Sabtu, karena masih banyak tugas sekolah yang harus aku lengkapi di hari-hari sekolah.
Selesai rapat aku tidak bisa langsung pulang, banyak hal yang harus aku data. Ini semua soal keuangan, menata pengeluaran agar tidak rugi. Kak Athala izin keluar katanya ingin membeli minum karena haus bicara panjang lebar saat rapat.
“Nanti pulang sama Athala aja ya Ness, Pak Agus nggak bisa jemput anaknya sakit.” Tiba-tiba Nevan sudah berada dibelakangku, wajahnya lebam dan sudut bibirnya luka.
“Lo berkelahi lagi?” tanyaku mendekat, memastikan luka Nevan tidak lagi mengeluarkan darah.
“Biasa cowok.” Jawabnya santai.
Nevan duduk di kursi kayu, dia merampas dasinya yang bergelayutan di leher. Nevan tampak puas dengan apa yang dia lakukan, senyuman yang sudah jarang aku lihat kembali Nevan pertunjukkan. Nevan menyeringai, bola mata cokelatnya menatap mataku yang kini gelisah memikirkan mau jadi apa Nevan kelak.
Aku duduk di samping Nevan, membelai rambutnya yang halus. Kenapa Nevan tidak bisa jadi contoh yang baik untuk anak sekolah ini, bukankah jabatan ketua OSIS sudah kembali dia sandang tapi dia masih saja suka berkelahi.
“Lo masih marah?” tanyaku.
“Nggak.” Jawabnya singkat, aku tersenyum aku baru sadar Nevan adalah sosok yang begitu aku cintai. Aku tidak bisa jauh darinya, dia bagaikan matahari yang menyinari hatiku yang kelam ini.
Tak lama Kak Athala datang, keningnya berkerut saat melihat Nevan yang terkapar karena lelah sehabis berkelahi. Dia menyodorkan jus Mangga, jus favorit ku.
“Thanks kak.”
“Dia kenapa?” tanya Kak Athala yang kembali ke meja kerjanya.
“Habis berkelahi kak, hobi banget nyiksa diri.” Ucapku sedikit sewot.
“Hahaha, susah banget ya lo dibilangin jangan berkelahi mulu Nevan, katanya mau berubah tapi nggak pernah berubah.” Ucap Kak Athala, Nevan membalas dengan senyuman dan kembali memejamkan matanya.
Nevan tidak pernah mengizinkanku naik motor dengan alasan yang kadang tidak bisa aku terima, dia cemas kalau aku naik motor nanti bakalan jatuh padahalkan saat aku goncengan sama Adelio tidak terjadi apa-apa. Akhirnya aku harus pulang bersama Kak Athala yang selalu membawa mobil ke sekolah.
“Lo pernah nggak berfikir kenapa anak cowok di sekolah nggak berani dekatin lo? Padahal kalau di lihat-lihat lo itu cantik banget? Pernah nggak berfikir gitu?” tanya Kak Athala saat mengendarai mobil, aku terdiam mencerna pertanyaan Kak Athala.
“Pernah sih kak, tapi mana ada yang mau dekatin aku, orang jelek gini.” Ucapku yang kadang juga bingung.
Kak Athala tertawa pelan, dia memutar stir mobil dan berbelok. “Masa sih lo jelek? Toh Nevan kembaran lo jadi idola para wanita di sekolahan.”
Aku mengangkat kedua bahu pertanda tidak tahu, “Umumnya semua cowok di sekolah tahu kalau lo kembaran Nevan, maka dari itu nggak ada yang berani dekatin lo. Boro-boro mau dekatin lo Ness, nyapa lo aja harus berurusan Nevan.” Jelas Kak Athala yang membuat aku terpana, seriusan gitu?
“Masa sih kak? Tapi kenapa kakak tadi kaget saat aku bilang kalau aku kembaran Nevan, terus kenapa kakak bisa dekatin aku kayak sekarang?” tanyaku yang kini pernasaran.
“Aku cuman berakting Ness, hehehe. Kamu kira bisa bicara kayak kamu ini mudah ya Ness? Butuh perjuangan tahu nggak, abang kamu terlalu protektif. Saat aku nembak kamu, sorenya aku harus berhadapan sama Nevan dan teman-teman. Duh Ness, aku pulang babak belur karena ngucapin empat kata itu sama kamu.” Ucap Kak Athala yang geleng-geleng.
Aku tidak menyangka kalau Nevan begitu protektif denganku, melarang semua cowok untuk berkomunikasi denganku. Aku tersenyum, ternyata Nevan begitu menyayangiku jauh yang aku ketahui sebelumnya.
“Menurut aku sih tindakan Nevan tepat, dia nggak mau adik perempuan satu-satunya harus jatuh ketangan yang salah. Jadi kamu turutin apa kata dia aja, pasti itu juga demi kebaikan kamu kok.” Ujar Kak Athala dengan intonasi lembut.
“Iya kak, tapi soal anak cowok tahu aku kembaran Nevan itu gimana ya kak, aku masih bingung.”
“Nggak perlu di pikirin, semua sudah janji nggak bakalan kasih tahu sama yang lain kok. Mereka pura-pura nggak ngenalin kamu, tapi selalu memantau kegiatan kamu.” Ucap Kak Athala dan mobilnya berhenti di depan pagar rumahku.
Aku bergidik ngeri apa yang Nevan lakukan, terlalu berlebihan. Aku juga bisa jaga diri kok, nggak gitu-gitu amat ngejaa akunya.
“Kakak mampir dulu yuk.” Ajakku.
“Kapan-kapan aja Ness, sudah sore nih nanti mama nyariin.” Tolak Kak Athala.
“Oke deh, makasih ya kak.”
“Sama-sama.”
Mobil kak Athala melaju meninggalkan rumahku, mobil papa sudah terparkir dan pasti mama dan adik-adikku sudah pulang. Aku menutup pintu pagar, satpam kembali menghampiri dengan kotak berwarna dongker di tangannya.
“Non ada paket buat non.”
“Buang aja pak, saya nggak butuh.” Suruhku tanpa ada niat membuka kotak tersebut. Aku harus jauh dari Adelio bagaimanapun itu, Adelio tidak sebaik yang aku kira.
Bagus banget siihh...
Comment on chapter Ini Aku (Nessa PoV)