Setelah makan siang bersama Kang Ikal, aku kembali ke dalam gedung fakultas dan masuk ke salah satu kelas untuk melanjutkan jadwal kuliahku di sore hari. Seperti biasanya, aku duduk di samping Nila atau Bram, dan Rangga yang akhir-akhir ini sedang sibuk dengan perilisan film yang di bintanginya itu, selalu datang cukup terlambat dan tidak duduk di sampingku. Aku hanya ingin menetralkan perasaanku dan tak berlanjut peduli padanya.
“Di cariin dari tadi malah kabur,” protes Sinta yang menungguku untuk makan siang bersamanya.
Ini demi kelangsungan kisah cintaku, sedikit berkorban tak apalah.
Lalu selanjutnya, Sinta kembali membuka suara.
“La, aku ngerasa gak enak. Gara-gara aku ngajakin kamu meet and greet, kamu akhirnya ketemu sama mantanmu,” ucap Sinta begitu aku duduk di sampingnya.
Sejujurnya aku tidak yakin apakah pertemuanku dan Rangga saat meet and greet dulu adalah awal dari segalanya. Karena aku merasa Rangga sudah merencanakan jauh sebelum pertemuan kami di acara meet and greet dulu.
“Gak usah minta maaf. Kan kamu juga gak tau, Sin. Yang harusnya minta maaf itu aku, aku nyembunyiin semuanya dari kamu, padahal kamu suka sama Rangga,” kataku.
Sinta menggeleng, ia menggenggam kedua tanganku.
“Aku kan ngefans sama dia, La. Bukan suka kayak kamu dulu, lagian ada orang lain yang aku suka, La, tapi itu bukan Rangga,” ujar Sinta malu-malu sehingga membuatku dan Bram sedikit terkekeh.
“Tapi rasanya sedikit aneh, La. Rangga dahulu meninggalkanmu begitu saja tanpa ada penjelasan. Memangnya sampai sekarang ia tidak menceritakan alasan kepergiannya? Rasanya seperti bukan seorang Rangga,” ujar Bram.
Jangankan Bram yang baru mengenal Rangga, aku sendiri yang pernah menaruh hati dan kepercayaan pada laki-laki itu sangat berat untuk menerima kepergian Rangga yang begitu mendadak. Rasa percaya luar biasa terhadap seseorang kadang menjadi pedang bermata dua yang siap kapan saja akan melukaimu dan menimbulkan perihnya sebuah rasa kecewa.
“Aku gak mau tau, Bram. Lagian aku tau atau tidak soal alasan kepergian Rangga gak akan mengubah apapun, apalagi perasaanku. Semuanya udah selesai dua tahun lalu,” kataku meyakinkan mereka berdua.
Ya. Entah aku tahu atau tidak tentang alasan Rangga, tak akan mengubah apapun. Apalagi perasaanku padanya, aku akan tetap sama selamanya.
“Kalau Rangga berniat pergi, harusnya dia gak usah hadir lagi, La. Ngapain coba sekarang Rangga muncul dan satu jurusan pula sama kamu,” ucap Sinta.
“Lalu seolah-olah Rangga sedang berusaha menebus kesalahannya,” tambah Bram.
Kedua temanku itu menatapku lekat-lekat dan seakan berusaha meyakinkanku. Aku pun mengibaskan kedua tanganku di depan mereka.
“Hahaha…. Kalian kebanyakan nonton FTV, jadi pikirannya drama mulu. Kalau pun Rangga susah payah deketin aku sampe masuk jurusan yang sama, dia cuma cari korban selanjutnya, kalian tau kan citra Rangga sebagai artis itu playboy, banyak mantannya!” kataku.
Tapi Bram dan Sinta masih menatapku seolah-olah berkata, ‘Rangga memang datang untukmu, Nila. Ia ingin berusaha mendapatkan hatimu kembali’ yang justru membuatku tertawa renyah.
“Bisa aja itu cuma rumor, La. Liat deh, Rangga tuh lengket sama kamu doang.”
“Nila, coba sedikit saja memahami maksud dan perhatian Rangga, mungkin ia hanya ingin minta maaf karena pernah meninggalkanmu.”
Bahuku melemas, seberapa banyak aku menampik, pada kenyataannya aku pun sadar bahwa sikap Rangga selalu membuatku berpikir ia benar-benar ingin kembali padaku. Tapi aku masih takut, aku takut membuat pilihan yang salah dan jatuh pada orang yang salah lagi.
****
Saat lima belas menit lagi kelas di mulai. Noni yang tadi bertengkar denganku pun menghampiri bangkuku dengan angkuhnya. Padahal saat itu orang-orang sudah mulai masuk kelas. Apa Noni benar-benar perempuan normal? Rasanya ia terlalu terobsesi pada si mantan kampret satu itu.
“Tuh kan, deketin Bram cuma biar deket-deket Rangga kan?” tuduh Noni.
“Lu kenapa sih? Bawaannya bikin orang kesel aja,” kataku sambil berdiri agar sejajar dengan Noni.
“Aku cuma ngasih tau ya, La. Banyak orang yang gak suka kamu gara-gara mengekang Rangga.”
“Hah? Kamu gak ngaca Non? Sekarang siapa yang mencoba mengekang Rangga? Kalau lo suka dia, ambil!!!”
Sinta mencoba menengahi, ia mendorong Noni untuk sedikit lebih jauh dariku. Sementara Bram memegang pundakku, mungkin dimaksud agar aku tidak menyerang dan memukul Noni, padahal jelas aku ingin memukulnya.
“Udah deh, Non. Kamu obsesi banget sih sama Rangga. Emangnya Rangga mau sama kamu kalau sikapmu kayak gini?” tanya Sinta.
Seorang teman dekat Noni membujuk Noni untuk duduk dengan tenang karena orang-orang mulai melihat ke arah kami.
Hingga Rangga muncul dan menyadari ada yang tidak beres, Noni yang tadinya masih memandangiku sengit mulai duduk di bangkunya, lalu orang-orang yang tadi melihat ke arah kami mulai duduk di bangkunya masing-masing. Sementara Rangga berjalan ke arahku dengan wajah kuatir.
Ada satu hal yang membuatku heran, setiap Rangga melewati orang-orang, mereka selalu menunduk atau berpura-pura tidak melihat ke arah Rangga. Seolah mereka takut padanya.
“Kamu kenapa?” tanya Rangga dengan nada kuatir. Ia memegang kedua bahuku, namun kutepis secara kasar.
Dengan nada sepelan mungkin, aku meluapkan kekesalanku padanya.
“Gara-gara lo, penggemar-penggemar gila lo terus-terusan gangguin gue. Gue gak suka!”
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu