Suara bel sekolah memenuhi penjuru sekolah. Guru-guru yang semula berdiri di depan kelas pun satu per satu membubarkan kelasnya masing-masing. Sorak sorai murid bagai baru terbebas dari penjara tak kasat mata itu pun mengudara kemana-mana. Selama lima hari ke depan, murid-murid itu diliburkan oleh karena rapat guru dan akredtiasi sekolah. Senang rasanya. Terlebih untuk murid-murid kelas satu yang masih belum diberatkan oleh tugas-tuga sekolah yang maha sulitnya.
Seorang murid laki-laki terlihat berjalan berlawanan dengan kerumunan murid-murid lain yang hendak keluar dari lingkungan sekolah. Laki-laki itu berjalan masuk ke salah satu kelas yang berada paling ujung. Ia menemukan sekumpulan anak perempuan yang masih setia berbincang-bincang dengan kondisi kelas yang mulai sepi.
Laki-laki itu menghampiri seorang perempuan dengan rambut sebahu dan bando berwarna merah menghiasi surai hitamnya.
“Kamu Nila ya?” tanya laki-laki itu.
Perempuan bernama Nila itu membalas uluran tangan laki-laki tersebut. “Iya,” katanya sambil mengumbar senyum manis.
“Aku Rangga, salam kenal,” kata laki-laki itu memperkenalkan diri.
Perempuan lain yang menjadi penonon saling berbisik satu sama lakin. Laki-laki bernama Rangga itu menjadi bahasan utama mereka. Sau-satunya murid yang terkenal dengan kesendiriannya itu, dengan berani mendatangi seorang perempuan bernama Nila yang tidak mengenal laki-laki tersebut, namun ia tetap menerima uluran tangannya.
****
Suara alarm ponselku membangunkan tidurku. Kumatikan alarm tersebut agar tetangga-tetangga tidak mendobrak pintu kosan dan memakiku sepagi ini. Jam di ponselku menunjukkan pukul empat pagi. Mimpi yang sempat menjadi bunga tidurku tadi seperti kilas balik kehidupan putih abu-abuku. Ada Rangga di dalamnya. Ini pertama kalinya aku memimpikan dia.
“Hahhhhh~”
Helaan nafas menjadi kalimat awal di pagi hari itu.
****
Di hari Sabtu pagi ini aku masih harus datang ke kampus. Bukan untuk kuliah, melainkan bertemu Kang Ikal untuk meminjam buku. Sebenarnya itu hanya akal-akalanku saja untuk bisa bertemu Kang Ikal. Dan baiknya, Kang Ikal mau menemuiku meski hari ini bukan jadwal kuliahnya. Aku jadi semakin jatuh cinta padanya.
“Nila!” panggil Kang Ikal sambil melambaikan tangannya dari jauh.
Aku tersenyum dan membalas lambaian tangannya. Perpustakaan selalu menjadi tempat kami bertemu.
“Nunggunya lama ya?” tanya Kang Ikal begitu sampai di hadapanku.
Aku menggeleng. “Nggak kok Kang. Aku juga baru nyampe,” jawabku.
Kang Ikal memberikan beberapa tumpuk buku padaku.
“Ini buku-buku semester satu dan dua. Pakai aja,” kata Kang Ikal.
“Wah! Makasih banyak Kang. Padahal aku mau pinjem buku Ekonomi Makro aja,” kataku.
“Biar sekalian.”
Aku menyimpan buku-buku yang diberikan Kang Ikal ke dalam sebuah tas yang sudah kubawa sebelumnya.
“Memangnya ada tugas apa?” tanya Kang Ikal.
“Presentasi teori Ekonomi gitu Kang. Masih lama sih, cuma kita sengaja kerjainnya dari sekarang,” jawabku.
“Ohh. Kebetulan Akang masih punya materi-materi semester satu, nanti Akang e-mail ke kamu ya.”
“Ihh makasih banyak, Kang,” kataku riang.
Siapa yang tidak senang ditolong sebaik itu oleh gebetan sendiri. Semakin banyaklah kadar sukaku padanya. Kenapa sebaik itu Kang Ikal tidak punya pacar ya? Padahal jika itu aku, aku tidak akan melepas Kang Ikal, selamanya mungkin.
“Hari ini kerja kelompoknya? Dimana? Biar Akang anterin.”
Semakinlah aku dibuat terbang olehnya. Perhatiannya, dan bagaimana ia memperlakukanku seperti itu.
Entah darimana, Rangga datang dan dengan kasarnya merampas tas berisi buku-buku dari Kang Ikal. Laki-laki itu muncul seperti nyamuk, tiba-tiba dan mengagetkan.
“Aku nyariin kamu,” kata Rangga begitu dinginnya.
Aku menautkan kedua alisku. Kesal mendengar penuturannya. Siapa pula yang meminta ia menunggu.
“Ngapain lo disini? Kita janjiannya gak di sini ya!” kataku tak kalah dinginnya.
“Bukannya aku udah bilang ya, aku bakal terus perhatiin kamu.”
“Emangnya gue bilang setuju?”
“itu bukan penawaran, tapi pernyataan!”
Rangga menangkap lenganku lalu menariknya paksa.
“Hei!”
Aku melepas genggaman Rangga secara kasar. Lalu memandanginya tidak suka, benar-benar tidak suka dengan sikap Rangga yang selalu seenaknya itu. Membuatku semakin ingin menghajarnya habis-habisan.
“Jangan seenaknya!”
Rangga seperti menulikan indra pendengarannya. Ia lalu menangkap kembali lenganku lalu benar-benar menarik paksa untuk keluar perpustakaan tanpa sempat berterimakasih atau meminta maaf pada Kang Ikal yang kelihatannya kaget dengan sikap kasar Rangga.
Kampus sepi di hari Sabtu, dan itu menjadi kesempatan besar bagiku untuk bebas bertengkar dengannya.
“Rangga!!!”
Kali ini aku benar-benar marah padanya. Aku melepaskan genggamannya sekali lagi. Kali ini aku sedikit mundur agar Rangga tidak mudah menangkapku kembali.
Rangga menatapku dengan raut wajah kesal dan dinginnya. Ia berjalan selangkah menghampiriku, namun secara bersamaan aku mundur selangkah darinya. Kemudian Rangga mengusap wajahnya kasar. Ia lipat kedua tangannya di depan tubuh, matanya masih menatapku lekat-lekat.
Aku tak kalah sengit darinya. Wajahku tak pernah menunjukkan rasa suka atau ketertarikan ketika bersama Rangga. memang harus begitu, Rangga harus tahu bagaimana ketidaksukaanku padanya.
“Aku bisa kasih apapun buat kamu. Jadi jangan mengandalkan laki-laki itu,” kata Rangga begitu percaya dirinya.
“Kenapa?” tanyaku. “Kenapa gue gak boleh minta tolong sama Kang Ikal?”
“Karena aku gak pernah suka kamu deket sama laki-laki mana pun.”
Aku tertawa sinis. “Gue mau tanya satu hal sama Rangga,” kataku memanggil namanya. Habis sudah semua kesabaranku padanya.
“Lo kemana dulu?” tanyaku.
Rangga bungkam.
“Gue tanya dulu lo kemana, Ga? Waktu gue baru sadar kalau gue cinta sama lo. Lo kemana?”
Perasaanku dulu padanya begitu dalam. Rangga yang terkenal dingin dan tak tersentuh itu justru memperlakukanku begitu hangat dan menyenangkan. Ia selalu membuatku nyaman dengan segala yang dilakukannya. Melindungiku dan selalu membawaku terbang dengan segala perhatiannya. Rangga bahkan sanggup menutupi kekuranganku dengan sempurna.
Itu adalah momen paling membahagiakan dalam hidupku. Meski satu tahun bukan waktu yang lama, tapi perasaanku sudah memupuk terlalu banyak untuknya. Hingga Rangga sendirilah yang menumpahkan perasaanku dan membuangnya ke sembarang tempat. Menjatuhkan hatiku hingga tak bersisa sedikit pun.
Aku ingin mendengar penjelasannya dari Rangga. Tapi tak ada satu pun kalimat yang terlontar darinya. Lalu alasan apa yang membuatku harus merasa baik-baik saja di depannya? Setelah semua rasa patah yang ia berikan pada hatiku.
“Kalau lo ngebuang gue, lo gak punya alasan buat mendikte dan menjauhkan gue dari orang-orang yang membuat gue seneng,” tuturku. “Jangan merasa lo adalah orang baik dihadapan gue. Perasaan gue gak bisa lo mainin sekali lagi, Ga. Berat rasanya harus kembali bangkit dari rasa patah.”
Aku berjalan melewatinya, tapi Rangga lagi-lagi menahan gerakanku.
“Jangan pergi, Ta. Aku cuma mau menebus semuanya, aku cuma pingin jagain kamu dari orang-orang yang gak bener.”
“Apa lo berhak ngomong kayak gitu, Ga? Secara gak langsung lo menilai kalau Kang Ikal adalah orang jahat. Apa lo berhak ngomong gitu di depan gue?”
“Aku cuma—“
“Tolong berhenti, Rangga! Jangan membetulkan semua yang udah lo buat patah. Gue lelah jika harus berusaha bangkit kembali. Lo cuma sesuatu yang nyakitin.”
Terlebih Rangga tak mau menjelaskan perihal kepergiannya dulu. Membuatku enggan membuka perasaanku kembali padanya. Atau kembali mempercayai semua kata-katanya.
“Kalau lo gak bisa menjelaskan kepergian lo. Lebih baik kita pura-pura menjadi orang asing. Bukankah dulu lo yang memulainya? Membuat kita berdua bagai orang asing yang tak saling kenal.”
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu