Sudah hampir sebulan aku menjadi mahasiswa. Tugas-tugas dari setiap mata pelajaran pun mulai berdatangan bak koloni semut yang baru menemukan sebongkah gula putih. Hal ini menjadi peluang bagiku untuk PDKT dengan Kang Ikal, sesekali aku bertanya perihal tugas-tugas yang kupunya. Perpustakaan menjadi saksi bisu perjuanganku dalam memenangkan hatinya. Setelah kami larut dalam perbincangan mata kuliah, perlahan aku bertanya perihal kehidupan seyang lebih pribadi darinya.
“Kalau Nila sendiri punya mantan berapa?” tanya Kang Ikal ketika kami sedang berbincang-bincang mengenai pengalaman pacaran kami berdua.
“Aku?” kataku membeo. Sebenarnya mantanku cuma satu dan kebetulan si kampret itu adalah artis terkenal yang tiba-tiba ingin fokus kuliah di kampus dan jurusan yang sama denganku.
“Cuma satu sih, Kang,” jawabku malu-malu.
“Haha…. Bagus dong, berarti kamu tipe setia,” puji Kang Ikal. “Kok bisa putus?” tanyanya kemudian.
Pertanyaan Kang Ikal membungkamku. Kilas balik waktu dengan latar hitam putih seperti memutar di kepalaku. Saat seragam putih abu adalah pakaian khas kami. Ketika aku belum tahu rasanya diabaikan dan dibuang.
“Putus gitu aja,” jawabku asal.
Memang mengingat Rangga tak pernah mengukir senyuman dari raut wajahku. Semua hitam putih dan tak bernyawa.
“Eh, Nila. Kayaknya Akang harus ke kelas deh, sebentar lagi masuk kelas lagi,” kata Kang Ikal sambil melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Oh aku juga kok, Kang,” kataku.
Akhirnya kami berdua mengakhiri obrolan kilas balik itu, lalu memasukkan barang-barang kami ke dalam tas kembali.
Hingga kami sampai di luar perpustakaan. Kang Ikal memberikanku sebuah buku tulis yang masih bersih.
“Buat apa Kang?” tanyaku.
“Kalau kamu sedih dan gak ada Akang, tulis aja kesedihanmu di situ. Biar sedikit mengobati,” katanya.
Ragaku bagai terbang ke awang-awang. Dopamin dalam tubuhku tiba-tiba saja meningkat tajam hingga memberikan rasa euforia yang memabukkan.
“Makasih, Kang.”
“Kalau gitu Akang duluan ya,” katanya lalu berpamitan meninggalkanku yang sedang kelebihan dopamin itu.
Kedengarannya aku terlalu percaya diri. Tapi percayalah, hanya padaku Kang Ikal selalu memanggil dirinya sendiri dengan panggilan ‘Akang’, bukan kata ganti orang pertama. Dan rasanya, aku seperti spesies homo sapiens paling dispesialkan olehnya.
****
Aku melintasi lorong kelas dan masuk ke dalam kelas. Rasanya setiap ubin yang kuinjak berwarna merah jambu. Kemudian langit-langit ruang kelasku menjadi awan berwarna jingga bak permen kapas yang dijual di depan kampus. Semuanya terasa manis di pandanganku. Bahkan bangku yang kutempati seperti tahta kerajaan yang dilapisi sutra berkualitas tinggi. Semuanya begitu menyenangkan.
“Kamu kenapa, Ta?”
Suara tadi bagai petir yang mengacaukan kerajaan mimpiku. Membuatnya menjadi kelabu. Aku menoleh ke asal suara. Ada Rangga di sana, juga Bram yang sedang memainkan Nintendo DS yang kupastikan itu milik Rangga. Kenapa? Karena warna case-nya hitam dan Rangga itu maniak game sejak dulu.
“Ngapain lu duduk di sini?” protesku karena Rangga duduk di sampingku. Lagi dan lagi.
“Justru aku kaget karena kamu tiba-tiba duduk di samping aku. Padahal bangku lain masih kosong,” kata Rangga.
Aku melihat sekeliling. Kelas masih sangat kosong melompong. Lalu kenapa aku duduk di samping si mantan kampret ini?
Aku tak menjawab ucapan Rangga. Aku pun bangkit untuk mencari bangku kosong yang memiliki unsur Rangga lebih sedikit. Tapi tangan Rangga menarik lenganku hingga aku kembali duduk di bangku tadi. Aku kembali menolehnya dengan raut wajah kesal.
“Ngapain sih?” tanyaku.
“Duduk di sini,” jawabnya penuh penekanan.
“Gak mau,” jawabku tak mau kalah.
“Rangga ini gimana ya?” Earphone yang dipakai Bram dilepaskannya lalu ia melihat ke arah kami. Kontan aku menarik lenganku yang digenggam Rangga tadi hingga terlepas.
“Loh, ada Nila,” kata Bram yang sepertinya baru menyadari kehadiranku.
“H-hai, Bram,” sapaku.
Rangga melihat ke arah layar Nintendonya, lalu menjelaskan sesuatu yang kedengarannya seperti bahasa planet lain di telingaku. Lalu kemudian, Bram menggunakan kembali earphone-nya dan melanjutkan permainan yang sempat tertunda tadi.
Rangga kembali melihat ke arahku. Mata kami saling bersinggungan namun aku memandang Rangga yang seolah-olah ‘ngapain lu liat-liat gue?’.
“Kamu cantik seperti biasanya,” bisik Rangga tepat di telingaku.
Kali ini aku memandangnya dengan makna yang berbeda. Yang terkejut dengan kegilaan mantan yang tidak tahu diri sepertinya itu.
Aku heran dengan Rangga. Sangat heran! Bagaimana penafisran hatinya setelah meninggalkanku dulu? Lalu kembali dan menggangguku, menuntut agar kami bisa kembali dulu. Tanpa bertanya terlebih dahulu perihal kabar hatiku yang dipatahkan olehnya. Pertanyaan itulah yang terus memupukku untuk tak lagi jatuh kepada orang yang keliru seperti Rangga.
****
“Baik. Pertemuan kita akhiri sampai sini. Jangan lupa untuk kelompok satu dan kelompok dua mempersiapkan presentasinya untuk minggu depan,” ucap dosen yang mengajar hari ini.
Diantara teman-teman sekelasku yang terlihat senang dengan anggota kelompoknya. Mungkin hanya aku sendiri yang sedih dengan anggota kelompok yang kupunya.
“Yeah! Rangga lagi.” Terdengar suara Sinta yang berseru riang karena Rangga dan Bram berada dalam kelompok yang sama dengan kami.
Ya. Kami. Termasuk aku di dalamnya.
“Kapan nih kita mulai ngerjain? Mumpung belum banyak tugas, mending kita cicil dari sekarang,” usul Sinta.
“B-boleh, bagaimana jika kita mengerjakannya hari Sabtu?” usul Bram.
Aku tak merespon, malas lebih tepatnya. Kapan pun itu tak akan menghilangkan Rangga dari kelompok ini.
“Sabtu? Oke!” kata Rangga setuju.
“Gimana La?” tanya Sinta meminta persetujuanku.
“Ya mau gimana lagi,” responku.
“Oke fix ya Sabtu,” kata Sinta mempertegas.
“Kalau begitu, aku pamit duluan,” kata Bram pamitan untuk pergi keluar kelas duluan.
Aku mengamati gerak-gerik Bram hingga ia menghilang dari balik pintu kelas. Meski terdapat beberapa orang di ruangan ini, gerak-gerik Bramlah yang menjadi perhatian utamaku. Satu-satunya teman Rangga di kampus. Kutebak Bram pasti menyukai game seperti Rangga, wajar saja jika mereka berdua bisa dekat. Walaupun rasanya jika diamati dari luar, Bram tipe mahasiswa introvert, sementara Rangga cenderung senang memamerkan dirinya, tapi hal itu hanya jika kamu melihat kedua laki-laki itu dari luarnya saja.
“Kenapa sih ngeliatin Bram segitunya?” tanya Sinta.
“Oh, nggak. Aneh aja, Bram kalau sore-sore gini buru-buru sekali. Rumahnya sejauh itu ya?” tebakku. Kupikir rumah Bram sangat jauh dan harus melewati daerah macet jika sore hari
“Mungkin,” ujar Sinta yang kemudian berjalan terlebih dahulu menuju arah pintu.
“Aku gak suka kamu perhatiin cowok lain, Ta.” Suara pelan namun jelas terdengar di telingaku mengganggu lamunanku.
Rangga bagai anak ayam yang selalu mengikutiku. Aku bagai induk ayam yang selalu mencoba merebus anak ayam semacam Rangga. Perhatianku justru teralihkan pada tempat kacamata yang tersimpan di atas meja tak jauh dari Rangga berdiri. Aku mengambilnya.
“Punya sahabat lu,” kataku mengambil tempat kacamata tersebut dan menunjukkannya pada Rangga.
“Biar aku yang kasihin. Bram biasanya ada parkiran belakang,” kata Rangga hendak mengambil tempat kacamata milik Bram.
Namun aku terlebih dahulu menjauhkannya dari jangkauan Rangga.
“Tau gak kenapa tadi gue merhatiin Bram?”
“Kenapa?”
“Gue gak percaya kalau lo bisa punya temen sebaik Bram. Lu sogok apa dia?” tuduhku.
“Gak ada, aku memang berubah,” jawab Rangga dengan tenangnya.
Aku tidak percaya itu. Aku akan terus mengingkari bagaimana Rangga dan sifat-sifat baik yang ada padanya. Bagiku Rangga adalah tokoh antagonis di masa remajaku, mungkin sekarang juga.
“Kalian berdua gak akan pulang?!” tanya Sinta.
Aku berjalan meninggalkan Rangga.
“Aku ke parkiran ya, Bram ketinggalan tempat kacamatanya,” kataku begitu melewati Sinta dan berlalu begitu saja mengejar Bram yang kuharap masih berada di parkiran belakang kampus. Satu-satunya parkiran motor yang masih melayani mahasiswa di jam sesore ini.
“La, biar aku aja!” teriak Sinta, tapi aku tidak mempedulikannya, takutnya Bram sudah pergi. ****
Lalu aku sampai di tempat parkir. Lokasi berada di belakang gedung utama kampus. Sebuah lahan kosong dengan bentuk letter L yang sengaja dibangun satu tempat lagi di atasnya hingga terdapat dua lahan parkir. Di bagian atas yang langsung menghadap ke langit tanpa ada atap, juga bagian bawah yang tertutupi bangunan di atasnya dan beberapa besi besar sebagai penyanggahnya.
Kutelusuri bagian bawah, sudah kosong. Aku lantas menaiki anak tangga menuju lahan parkir di atasnya. Benar saja, ada Bram di sana juga tiga orang lainnya yang tidak kukenali. Aku hendak menghampiri Bram namun langkahku tersendat melihat Bram di dorong cukup keras hingga ia tersungkur dan jatuh tepat di atas aspal.
Lalu ketiga orang itu pun menendang tubuh Bram yang tersungkur di bawah. Bram meringkuk mencoba menjaga wajahnya dengan tangannya agar tidak terkena tendangan orang-orang tersebut.
Bullying?
“Woy!!!” Aku menghampiri mereka dan mereka menghentikan kekerasan itu. “Ngapain lu semua main keroyokan?” tanyaku sambil membantu Bram berdiri.
“Siapa kamu?” tanya salah seorang dari mereka sinis.
“Temennya, kenapa?” tanyaku tak kalah sinisnya.
“Awaslah! Gak usah ikut campur!” Orang tadi mendorongku hingga Bram yang tadi berada di belakangku kembali berhadapan dengan ketiga preman tadi.
Aku tidak tinggal diam. Aku pegang tas selempangku lalu kugunakan sebagai alat memukul mereka bertiga. Suksesnya tindakanku membuat mereka kembali melihat ke arahku. Ternyata dugaanku benar, buku-buku tebal yang selalu kubawa itu memiliki manfaat lain selain ilmu di dalamnya.
“Eh sialan!!!”
Salah seorang yang lain hendak menghampiriku dan melayangkan tangannya, sementara aku sedikit meringkuk siap menahan pukulan mereka. Aku sih tidak jago berantem atau riwayat mengikuti les pun kegiatan bela diri, tapi aku tidak suka melihat penindasan di hadapanku.
Dengan cepatnya tubuh seseorang memunggungiku dan menahan orang yang tadi menghampiri. Aku menoleh padanya, sosok laki-laki yang selalu tercampur dengan oksigen yang kuhirup sebulan belakangan. Yang kini bagai pemeran utama laki-laki di drama-drama Korea yang sering kutonton.
“Jangan gitu, malu kalau mukul perempuan, Kang,” katanya dengan begitu tenang mencoba melerai keributan ini.
“Atau Akang mau saya pukul juga?” tanyanya kemudian yang mengejutkanku.
“Pergi, pergi. Bahaya aya si Rangga,” kata orang yang sempat mendorongku barusan. Ketiga orang itu pun pergi begitu saja.
Rangga berbalik dan melihat ke arahku. Terlihat raut cemas dari wajah tampannya. Sementara sekuat tenaga aku berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa barusan.
“Kamu tuh! Ditinggal sedikit kena masalah terus. Apa aku harus terus merhatiin kamu?” tanya Rangga dengan lantangnya.
Membungkam Bram dan Sinta yang mematung mendengar ucapannya. Aku memukul lengan Rangga lalu tertawa canggung kepada dua orang yang tak tahu hubungan kami di masa lalu.
“Hahaha…. Bram gak apa-apa kan?” tanyaku mengalihkan perhatian.
Sinta terlihat baru menyadari sesuatu lalu kemudian menghampiri Bram.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Sinta.
“Hehe…. Terimakasih kalian semua. Aku tidak apa-apa,” jawab Bram.
“Lain kali kalau ada apa-apa bilang sama kita,” kata Rangga. “Jangan takut!”
Aku melirik sejenak padanya. Rangga yang dulu tidak percaya diri, kini secara lantang meminta Bram untuk mengandalkannya. Hal yang cukup besar yang sanggup memaksa antensiku mengarah secara menyeluruh padanya.
‘Aku memang berubah.’
Kalimat yang sebelumnya terucap dari mulut Rangga kini menghantui pikiranku. Laki-laki yang berada di sampingku ini ternyata memang berubah. Berubah seperti super hero, juga berubah seperti anti hero. Semua unsur Rangga, tak memiliki nilai yang bagus dariku.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu