Sejak bertemu Rangga di Fakultas, aku meninggalkan Sinta yang masih saja berbincang dengan si mantan kampret itu. Juga meninggalkan Kang Ikal dengan dalih mencari tempat strategis untuk kelas berikutnya. Karena masih setengah jam lagi, alhasil aku duduk sendiri di ruang kelas yang besar ini. Tentunya duduk di jajaran bangku yang menurutku strategis.
Menghirup oksigen dalam-dalam dan menghembuskannya, lalu memandangi pohon-pohon beringin yang masih terlihat dari kaca jendela ruang kelasku yang berada di lantai dua. Keheningan membuatku tenang dari hiruk pikuk para mahasiswa yang tadi terlihat antusias melihat Rangga si artis terkenal itu. Mungkin bagi mereka, Rangga bagai hadiah lotre, bagiku ia bencana.
Aku hanya ingin jauh-jauh dari masa lalu, menghilang dari rasa sakit yang timbul jika Rangga muncul di hadapanku. Tapi sepertinya di kota ini aku dituntut untuk menghadapi rasa sakit itu, sekuat apa aku nanti. Yang terpenting, Rangga itu hanya satu jurusan denganku, mungkin aku bisa lebih pandai menghindari dirinya. Seperti sekarang.
Tak berapa lama, satu per satu mahasiswa yang hanya kukenal wajahnya saja masuk ke dalam kelas dan duduk secara random. Kebanyakan dari mereka laki-laki, beberapa sudah saling akrab, beberapa masih berbaur dengan lingkungan baru seperti laki-laki yang duduk di sisi paling pojok dan sejajar dengan bangkuku.
“Kamu di sini juga?”
Aku menoleh pada laki-laki yang duduk di sampingku.
“Rangga?!” seruku sedikit terkejut.
“Gak usah seneng gitu ketemu aku lagi,” katanya percaya diri.
Aku lihat sekeliling, pantas tidak terdengar gaduh ketika Rangga muncul di kelas ini. Sebab mereka semua rata-rata laki-laki dan hanya melihat sekilas ke arah Rangga, sementara beberapa perempuan hanya saling berbisik dengan teman sebelahnya.
“Ngapain lu di sini?” tanyaku heran.
“Tentu saja belajar,” jawabnya.
“Bukan itu. Ngapain lu duduk di samping gue? Masih banyak bangku kosong, itu tempat Sinta,” kataku sinis.
Rangga bangkit dan bergeser melewatiku lalu duduk di sampingku yang lain. Aku kembali merengut.
“Di sini kosong kan?”
“Bukan di situ juga woy!” kataku merendahkan suaraku sedikit agar tidak menjadi pusat perhatian.
“Arrghh!!! Terserah lu dah!”
Aku berpura-pura membuka ponselku dan mencoba mengabaikan eksistensi si mantan kampret ini. Beberapa kali kulihat orang-orang yang berada di kelasku melihat ke arah kami. Ini yang paling kubenci, diperhatikan orang-orang karena di sampingku ada seorang artis yang dulunya adalah mantanku, cinta pertamaku yang gagal.
“La!” Sinta memanggil namaku dan segera duduk di kursi yang tadi diduduki Rangga. Lalu menyodorkan sebungkus makanan padaku.
“Eh ada Rangga juga. Mau?” tawar Sinta.
“Makasih,” tolak Rangga.
“Enak ya kita sekelas sama Rangga. Aku seneng,” kata Sinta.
Dan Rangga kulihat hanya tersenyum lalu menggunakan earphone-nya. Mungkin sedang mendengarkan lagu.
“Apa ini?” tanyaku.
“Basreng,” jawab Sinta.
“Basreng?”
“Singkatan dari bakso di goreng. Terus dipake bumbu khas Sunda namanya karedok. Cobain!”
Aku mencoba makanan yang dibawa Sinta tadi. “Wah! Enak,” kataku.
“Bener kan? Ada yang jualan di kantin kampus belakang, La. Kamu harus coba makanan khas Kota Bandung yang lain.”
“Iya nanti.”
Sambil memakan makanan yang dibawa Sinta, juga mengobrol dengan perempuan itu. Satu per satu orang-orang masuk dan memenuhi bangku-bangku yang ada di dalam kelas. Mata pelajaran sore itu pun dimulai ketika dosen mata kuliah datang dan memperkenalkan diri di hadapan para mahasiswa baru yang akan beliau ajar satu semester ke depan.
****
“Setelah Pak Yusuf keluar. Eh anak cewek heboh dan ngelilingin Rangga lalu ngajak kenalan. Orang terkenal bisa gitu ya?” tanya Sinta.
Aku tertawa renyah menanggapinya. Setelah kelas terakhir tadi selesai, Sinta dan aku berjalan bersama keluar kampus. Nanti, di depan gerbang kampus, aku dan Sinta berpisah. Ia menaiki angkot yang melintas tepat di depan kampus, sementara aku berbelok ke sebuah jalan di samping gedung kampus untuk pulang ke kosanku.
“Namanya juga artis,” kataku.
“Tapi ini cuma dugaanku ya. Kayaknya Rangga gak suka deh sama perempuan yang agresif.”
“Hah?”
“Habis, aku lihat tadi sekilas Rangga kelihatannya risih gitu waktu anak-anak cewek ngerubunin dia kayak semut,” ujar Sinta. “Tapi dia justru kelihatannya nyaman ngobrol sama aku atau sama kamu, La.”
“Bilang aja kalau kamu seneng Rangga deket-deket kamu,” kataku.
“Nggak kok, La! Ya sedikit sih, tapi aku ngeliatnya begitu.”
“Lagian kan kamu bilang dia mantannya banyak. Masa cuma di deketin anak-anak cewek aja dia risih. Harusnya seneng dong, dia kan playboy,” kataku sambil melongos pergi meninggalkan Sinta.
“Yee! Bukan playboy, La. Dia cuma belum menemukan yang cocok aja,” kata Sinta sedikit berteriak lalu mengejarku.
Hingga di depan gerbang kampus. Kami berpisah.
“Hati-hati, Sin,” kataku. “Kalau ketemu sama copet, teriak lagi kayak dulu.”
“Hahaha…. Duh waktu itu serius aku refleks, La. Kaget!”
Dulu, kalau tidak salah saat hari kedua ospek. Saat acara selesai, sore itu Sinta hampir kecopetan di dalam angkot, lalu secara tiba-tiba dia berteriak dan membuat heboh penumpang yang ada di angkot tersebut.
“Padahal kamu naik motor aja,” kataku.
“Gak ah. Males. Panas,” jawab Sinta. “Ngomong-ngomong La. Kalau ada bapak-bapak bugil jangan teriak, nanti dia seneng.”
Di daerah kosanku pun akhir-akhir ini santer terdengar berita jika ada seorang laki-laki paruh baya yang suka membuka bajunya tepat di hadapan mahasiswi yang lewat, atau istilahnya itu orang dengan gangguan eksibisionis.
“Nggak, Sin. Aku fotoin bapak-bapak itu biar viral.”
“Yee! Kamu mah kejam. Udah ah, aku duluan ya. Kesorean nanti macet di jalannya.”
“Iya hati-hati, Sin.”
“Kamu juga, La.”
Setelah Sinta menyebrang jalan, aku pun pergi menuju kosanku. Sudah lebih dari sebulan aku tinggal, aku tidak pernah bertemu laki-laki aneh itu. Kalaupun memang ada, aku pun tidak akan segan-segan untuk memotretnya dan kubagikan di media sosialku. Jika orang aneh itu hanya sekedar iseng, rasanya ia pantas jika aku membalas keisengannya seperti itu.
Jalan menuju kosanku itu hanya bisa dilalui oleh satu mobil. Dikarenakan daerah ini adalah daerah kampus, sehingga tidak heran jika kawasan di sekitarnya banyak sekali rumah-rumah bertingkat yang sengaja dialih fungsikan menjadi kos-kosan. Sayangnya, karena terlihat dipaksakan untuk membangun rumah hingga bertingkat-tingkat seperti itu, penataan wilayah di sini jadi terlihat berantakan dan kurang rapi.
Bagaimana pun, tak selamanya hal tersebut berdampak negatif seperti kesannya padat dan tidak rapi. Justru karena banyak sekali mahasiswa yang tinggal di daerah sini, aku bahkan tidak merasa kesepian meskipun itu sudah tengah malam. Masih banyak mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang atau sekedar ikut bapak-bapak yang sedang meronda sambil memetik gitarnya. Aku jadi merasa aman.
****
Manusia itu memiliki insting jika ia merasa sedang diawasi atau diikuti oleh seseorang. Sama sepertiku sekarang. Mungkin karena tadi aku membicarakan orang aneh bersama Sinta, kini aku merasa sedang diikuti seseorang dari belakang. Walaupun tadi aku bilang akan membagikan foto orang aneh itu ke sosial mediaku, tapi kenyataannya, aku juga takut jika bertemu dengannya. Segeralah aku mempercepat langkahku dan akan lari ketika belok di gang kecil yang menuju kosanku.
Sambil menunduk dan memegang kuat-kuat tas selempangku, aku berjalan makin cepat menuju bibir gang yang semakin dekat. Jika orang yang mengikutiku itu macam-macam, aku masih ingat jika buku-buku kuliahku itu cukup tebal dan akan membuatnya kesakitan jika kugunakan tasku ini sebagai alat mempertahankan diri.
Hingga aku hampir sampai menuju gang. Aku kembali diam terpaku, karena di gang tersebut ada seorang laki-laki paruh baya menggunakan jaket tebal berwarna coklat selutut ,dan ia tidak memakai celana juga kaki yang lusuh. Ya ampun! Jangan-jangan dia orang aneh yang tadi kubicarakan.
Lalu, siapa yang mengikutiku?
Aku berbalik dan menemukan Rangga berdiri tak jauh dari hadapanku. Yang ini lebih mengejutkanku.
“Rangga!” panggilku.
Rangga menoleh ke arah laki-laki paruh baya yang menghalangi jalanku itu. Rangga menarik lenganku hingga aku berada di balik badannya. Ia pun mengambil ponsel yang berada di saku celana lalu menghubungi seseorang.
Laki-laki paruh baya itu berjalan menghampiri kami. Perlahan ia menarik resleting jaketnya. Apa-apaan sih?! Kenapa hari ini sial sekali bagiku!
“Bapak kalau buka baju saya panggil polisi kemari,” kata Rangga begitu tenangnya. Sementara aku sudah meringkuk di balik tubuh Rangga.
Tak lama, kulihat satpam yang biasa menjaga di depan kampusku datang dan membawa laki-laki paruh baya tadi. Sepertinya orang aneh itu meracau tidak jelas, namun masih mau menuruti para satpam yang menyeretnya.
“Kamu kenapa gak bilang sih kalau ada orang aneh di sekitar kosanmu?” tanya Rangga yang kedengarannya seperti tengah kesal padaku.
“Tunggu! Ngapain lu ngikutin gua?” tanyaku.
Rangga berdecak kesal. “Jadi kalau ketemu orang tadi kamu mau foto dia terus posting di sosial media kamu, gitu!”
“Lu belum jawab pertanyaan gue, Rangga!”
“Aku khawatir!”
Rangga mengusap wajahnya kasar, sementara aku merengut kesal dan heran dengan tingkah lakunya.
“Harusnya kamu bilang aku. Aku bisa anter kamu, bukan ngikutin kamu dari belakang!”
Ini orang baru saja menjadi penyelamatku, sekarang kembali menjadi si mantan kampret yang menyebalkan lagi.
“Gue gak perlu bantuan lo kok!”
“Terus kamu bakal diem aja kayak tadi gitu?”
“Ya pokoknya tadi gue kaget. Udah deh, Ga. Jangan perhatiin gue, gue bisa sendiri. Selama ini kan gue bisa sendiri tanpa lo.”
Aku beranjak pergi dari hadapan Rangga yang bisa saja meracau melebihi orang aneh tadi. Tapi sepertinya Rangga tak memperbolehkanku pergi dan menarik lenganku hingga aku kembali berhadapan dengannya, tidak siap dan malas mendengar ia meracau kembali.
“Aku pingin kamu balik lagi sama aku,” kata Rangga kembali meracau.
“Apa?!” tanyaku tidak percaya.
“Aku bakal buat kamu balik lagi sama aku,” jawabnya lagi penuh percaya diri.
“Idih! Gue gak mau,” kataku tegas.
“Aku masih sayang sama kamu, Ta.”
Ta, atau Cinta, yang sebenarnya kepanjangan dari Pramusita, nama panjangku. Panggilan yang sudah lama sekali aku tak mendengarnya, dan kini panggilan itu tak lagi melambungkan hatiku hingga ke awan-awan.
“Sayangnya gue nggak tuh! Udah deh, Ga. Jangan ganggu gue mulu.”
“Kalau gitu aku bakal paksa kamu buat sayang sama aku lagi!”
Aku menatap matanya. “Sayang itu gak bisa dipaksa, Rangga! Kalau lo sayang, lo tau sakitnya ditinggalin tiba-tiba gitu aja.”
Aku menepis genggamannya kemudian berlalu pergi meninggalkan Rangga. Waktu bisa mengubah sifat kita, begitu pun denganku atau pun Rangga. Jika ucapannya tadi terasa meyakinkan, bagiku ketakutan kembali jatuh pada orang yang salah lebih meyakinkan dari kata-katanya. Untuk apa jatuh cinta kembali pada seseorang yang mematahkan hati kita? Untuk memberi kesempatan agar ia mematahkannya sekali lagi? Lebih baik jangan.
Mantan oh mantan... Kenapa kau jadi lebih menawan setelah jadi mantan?
Comment on chapter Bertemu Dengan Masa Lalu