Hai....
Kembali lagi bersamaku. Aku ingin mengucapkan terimakasih, untuk dukungan teman-teman membaca karya pertamaku ini. Masih banyak kekurangan dari tulisanku ini, untuk itu aku tunggu komentar-komentar dari teman-teman.
Sekali lagi, terimakasih semuanya
Cheers,
SR
Tak ada yang memulai percakapan di dalam mobil ketika Davi mengantarku pulang. Atau lebih tepatnya, Davi sedang fokus pada jalanan di depan sementara aku fokus dengan perasaan tak menentu di dalam hatiku. Bersama dengan orang yang kamu kagumi diam-diam itu bukanlah perkara mudah bagis si introvert sepertiku.
“Tasya rumahnya dimana?” tanya Davi memecah lamunanku.
“Iya? Di Jalan Anggrek deket taman yang baru dibangun itu,” jawabku.
“Oh, rumahku juga lewat arah sana kok,” kata Davi.
“O-oh ya? Di daerah mana?” tanyaku.
“Di daerah Riau. Lumayan deket kan?”
Aku mengangguk. Setahun menyukai Davi baru kali pertama aku tahu dimana tempat tinggalnya. Aku menjadi berpikir dua kali, apa yang kulakukan selama menyukai Davi setahun belakangan ini ya? Melihatnya dari jarak aman, dan tak berniat sedikitpun mengetahui segala sesuatu tentang Davi. Harusnya aku melakukannya, menjadi penguntit Davi.
Tiba-tiba saja aku kembali teringat kejadian tadi pagi. Kulirik Davi yang tengah mengemudi, auranya kini terlihat seperti biasanya, tidak seperti tadi pagi yang sangat berbeda dari biasanya itu. Apa Davi baik-baik aja ya?”
“Maaf ya, gara-gara aku, kamu pasti kena masalah,” sesalku.
“Apaan sih, Sya. Gak apa-apa kali. Udah tugas aku,” kata Davi membuatku sedikit salah tingkah mendengar ucapannya. “Emang udah tugasku sebagai Ketua Kelas.”
Dan detik selanjutnya membuatku harus mengembalikan hatiku yang hampir lompat kegirangan.
Memang apa yang kuharap dari seorang Davi. Menyukaiku layaknya aku yang menyukainya? Hmm, harusnya aku lebih sadar diri dan tidak tertipu hanya karena perlakuan Davi. Bukankah memang watak laki-laki ini senang membantu orang?
Senja di Kota Bandung hari ini tak bisa di bilang sangat indah. Meski jalanan yang kami lalui terbilang lenggang dari biasanya, tak membuatku merasa perjalanan pulang begitu cepat. Waktu di kala senja seakan dibuat selambat mungkin. Seperti mengijinkan aku menikmati kebersamaan dengan Davi, juga kenyataan bahwa hanya pihakku yang terus saja menyukainya.
~KALA SENJA~
“Rumah kamu belok sini ya?” tanya Davi memecah keheningan kami cukup lama.
“Iya. Tinggal lurus aja nanti ada pagar item di deket pohon. Nah di situ,” jawabku dengan sangat jelas.
“Siap grak!”
Ucapan Davi membuatku sedikit terkejut. Lalu kemudian aku tertawa renyah. “Kayak Dilan,” komentarku.
“Loh, kamu baca buku Dilan juga?” tanya Davi yang terlihat terkejut sama denganku tadi.
“Kamu juga?” tanyaku.
Davi mengangguk. “Parah sih kalau penikmat buku gak baca buku itu. Apalagi anak sekolahan macam kita,” kata Davi. “Gak pernah aku ketemu sama orang yang juga suka sama buku.”
“Aku juga,” jawabku.
“Oh iya? Wah, kebetulah Sya. Kapan-kapan bisa dong aku pinjem buku kamu? Kita barter deh!”
“Boleh kok.”
Ada satu fakta yang kutemukan hari ini tentang Davi. Ternyata dia juga suka membaca, sama sepertiku.
Obrolan kami semakin lama semakin seru, karena Davi sering membicarakan mengenai buku-buku favoritnya. Perjalanan menuju rumahku pun jadi tak terasa lama seperti tadi hingga kami tidak sadar sudah sampai di depan rumahku.
Ibuku terkejut ketika melihatku keluar dari mobil Davi sambil dipapah.
“Kenapa, Teh?” tanya Ibuku.
“Jatuh Mah,” jawabku.
Davi memapahku hingga teras rumah. Aku pun duduk di kursi yang berada di teras rumah.
“Makannya kalau jalan pake kaki sama mata. Bukan kaki aja,” omel Ibuku.
Aku hanya mengangguk. Malas menanggapi.
“Terus ini siapa?” tanya Ibuku pada Davi.
“Davi Tante, temen sekelasnya Tasya,” jawab Davi sambil menyalami Ibuku.
“Oh Davi, makasih ya, udah direpotin sama anak Ibu,” kata Ibuku membuatku sedikit menghembuskan napas kesal. “Duduk dulu, Davi. Tante buatin minum.”
“Gak apa-apa Tante. Saya kesini cuma nganter Tasya. Sekalian pulang,” tolak Davi.
“Ibu jadi gak enak,” kata Ibuku. “Ya udah, Davi tunggu dulu ya. Ibu ada kue yang baru mateng. Di bawa ya, buat di jalan.”
Belum sempat Davi menolaknya, Ibuku sudah melenggang masuk ke dalam rumah. Davi melihat ke arahku, terlihat wajahnya yang canggung dan merasa tidak enak.
“Gak apa-apa. Mamahku gitu orangnya,” kataku.
“Hahaha. Mamahku juga begitu,” kata Davi. “Ibu kamu jualan?” tanya Davi melihat ada sebuah etalase kaca di depan rumahku.
“Iya. Mamahku jualan kue di depan,” jawabku.
Tak berapa lama, Ibuku datang membawa kotak yang cukup besar dan membuat kami cukup terheran.
"Itu apa?" tanyaku.
"Oleh-oleh. Makasih ya Davi," ucap ibuku.
"Saya juga makasih Tante. Udah ngerepotin," ucap Davi memperlihatkan kotak besar yang diberikan ibuku tadi.
“Ibu juga makasih ya, udah nganterin anak ini satu.”
“Kalau gitu saya pamit dulu Tante. Sya, cepet sembuh ya.”
Aku mengangguk. Aku yakin setelah Davi pergi, ibuku akan menanyakan seribu hal tentang Davi. Dan pertanyaan pertama adalah,
“Itu pacar Teteh?”
“Apa sih Mah, pacar pacar,” protesku.
ka jangan lupa mampir untuk bantu vote ceritaku https://tinlit.com/view_story/1078/1256
Comment on chapter Satu Kelas